Friday, June 30, 2006


TOMPRANG (1); Lomba Merpati Ketahanan Terbang

Di daerahku, adu balap merpati (burung dara) disebut tomprang. Dari berbagai cerita orang tua, dulunya ada dua jenis tomprang yakni tomprang "ketahanan terbang" dan tomprang "jarak jauh sekitar 5 km". Jadi mirip balap motor, ada jenis balap adu cepat dan ada balap ketahanan motor.

Tomprang ketahanan terbang atau istilah Jawanya "adu doro gaburan" adalah mengadu kemampuan ketahanan serombongan merpati untuk terbang dalam jangka waktu tertentu (bisa beberapa jam) dan menuruti perintah pemiliknya misal perintah untuk turun atau istirahat. Dulunya merpati untuk lomba "gaburan" ini berupa merpati gaburan yang biasanya dominan berwarna putih (walau ada juga jenis warna lain). Lomba ini biasanya dilakukan secara beregu maksudnya merpati yang diadu berupa sekawanan merpati yang terbang bareng, dan bukan terbang individu. Untuk memberikan aba-aba, biasanya dengan cara memukul kentongan bambu dengan irama tertentu... Rombongan merpati yang paling lama terbang, itulah yang menjadi juara....

Monday, June 19, 2006

MELATIH MERPATI UNTUK BALAP JARAK JAUH


Ketika saya masih kecil, di tahun 1970-an, didaerahku sering ada lomba doro (merpati) antar kampung yang berdekatan. Merpati yang diadu biasanya merpati jantan. Merpati tersebut dilepas dari jarak sekitar 5 kilometer atau lebih (tergantung kesepakatan antar pihak yang bertanding).

Jauh sebelum dilombakan, biasanya merpati perlu dilatih supaya hafal dengan rumah tinggalnya. Cara melatih merpati biasanya dilakukan ketika merpati tersebut sedang “giring” atau “nemplek” atau “ngeket” maksudnya ketika merpati jantan tersebut sedang jatuh cinta dan birahi pada si betina pasangannya sehingga selalu mengejar si betina. Pada saat giring, si jantan jadi mudah ditangkap (jinak) dan ketika si betina di pegang dan sayapnya dikelepakkan si jantan akan hinggap di atasnya. Cara melatih si jantan untuk terbang jarak jauh biasanya dimulai dengan dilepas dari jarak 300-500 meter di luar kampung. Kalau merpati tersebut pulang kemudian diulang atau jaraknya ditambah jadi 700 meter dan seterusnya hingga jarak 5 kilometer atau lebih. Untuk mempermudah mengetahui kedatangan merpati, biasanya di bagian bulu ekor si jantan di pasang “sawangan” atau semacam peluit yang dibuat dari duri cangkring atau seng atau tutup reumason yang akan berbunyi (misalnya seperti denging, atau dengung) ketika merpati tersebut terbang dengan kecepatan tinggi.

Pada saat itu juga dikenal adanya “begal” merpati. Pada saat ada yang melatih merpati, di desa tetangga seringkali ada orang yang “nakal”. Ketika merpati jantan yang sedang dilatih, orang tersebut berusaha “membegal” atau merampas dengan cara menghadang merpati yang sedang terbang dengan mengelepakkan merpati betina untuk memikatnya. Biasanya dengan teknik-teknik tertentu misalnya ketika merpati yang sedang dilatih hinggap di suatu rumah di desa tetangga, para begal dari desa tetangga tersebut berusaha memikat dengan cara menyodorkan merpati betina (sambil dipegang) dipinggir teras rumah yang seolah-oleh si betina siap dikawini. Nanti kalau merpati jantan sudah nangkring diatas si betina maka kaki si jantan “tetamu” tinggal dijepit dan si jantan akhirnya ketangkap. Biasanya merpati betina yang untuk mengumpan (menarik perhatian si jantan) adalah merpati betina yang parasnya cantik dan "lemer" atau "lenjeh". Lemer atau lenjeh adalah merpati yang mudah terpikat atau mudah nyerah pada si jantan, misalnya kalau si pejantan "mbekur" atau nyanyi wok..wok...ketekur maka si betina mengangguk-anggukan kepala tanda setuju atau "monggo mas" silahkan nangkring.... Ciri-ciri betina yang lemer tadi; selain mudah nyerah (jinak-jinak merpati) juga relatif jinak geraknya (tidak liar) alias nurut...di daerahku ada kepercayaan kalau merpati "panjing" atau di bagian ujung daging ekor (brutu) ada centil atau tonjolan dua maka itu potensial jadi merpati lemer dan bisa digunakan untuk mbegal merpati jantan.

Cara lain untuk menangkap pejantan tetamu adalah dengan diumpan makanan jagung atau minum air dan kemudian ditubruk pakai keranjang atau ditubruk langsung. Kalau merpatinya agak liar, biasanya merpati dibiarkan menginap dan malam hari saat gelap merpati tersebut baru ditangkap.

Ketika merpati tersebut hinggap di desa tetangga biasanya anak atau orang yang disuruh melatih merpati tersebut akan memburu ke kampung tersebut dan menghalau agar terbang. Terkadang mereka sudah keduluan oleh para begal, sehingga dia tidak menemukan merpati itu lagi. Terkadang begal tersebut kenal dengan si pemilik merpati sehingga merpati dikembalikan, tapi kadangpula harus ditebus atau bahkan si begal pura-pura tidak tahu keberadaan merpati itu. Hal ini tidak jarang menimbulkan perselisihan dan dendam.

Kalau merpati yang dilatih tersebut sudah dirasakan lancar dan hafal tempat tinggal serta dirasakan berkualitas bagus (mampu terbang cepat dan berani turun menghunjam ke tanah), merpati tersebut siap diadu. Aku sendiri punya pengalaman dengan merpatiku yang punya daya hafal cukup tinggi. Dalam hal ini merpatiku yang sudah kupelihara sekian tahun saat kujual seminggu kemudian pulang ke rumah. Hal ini berulangkali terjadi. Saat itu merpati jantanku laku Rp. 1.750,- suatu jumlah yang cukup lumayan karena uang saku sekolahku di SMP hanya 100 rupiah per hari. Tapi mungkin si pedagang lama-lama tahu kalau merpatiku sering pulang kandang, saat terakhir kali kujual merpatiku tidak pulang lagi. Mungkin merpati itu telah disembelih....

Om-ku sendiri pernah sedih luar biasa ketika merpati kesayangannya yang cukup mahal (sekitar 20.000 rupiah pada saat itu harga emas sekitar 1.500 per gram) hilang waktu dilatih terbang. Dicari ke berbagai kampung tapi tak ketemu jua....Namanya juga merpati kesayangan sehingga hubungannya sudah sangat dekat...Mungkin merpati om-ku itu termasuk merpati yang suka ingkar janji sehingga terpikat pada betina lain dan tidak mau pulang kandang....

Tuesday, June 13, 2006


NGOBOR; cari ikan di tengah malam

Ketika SD, aku sering memancing di kali atau sawah di dekat rumah. Karena saat itu teknologi setrum dan racun potas sudah masuk desa, maka di kali sudah semakin sulit didapatkan ikan yang agak besar. Dapat ikan lele atau gabus (ikan kotes) sebesar ibu jari kaki sudah merupakan karunia besar karena biasanya yang ada hanya anak ikan gabus (genjilan) atau anak ikan lele (jabresan) sebesar kelingking. Jenis-jenis ikan lain yang ada di sungai paling wader, mujahir, uceng dan tawes. Ikan gabus (kotes) biasanya juga terdapat di sawah-sawah, mungkin karena ikan tersebut agak tahan hidup di berbagai kondisi. Ketika mancing, bilah pancingnya dari bambu sebesar ibu jari tangan sepanjang 1,5 meter yang diraut dan ujungnya runcing agar lentur. Di ujung bilah diikatkan sebuah tali senar yang diberi bandul dari gotri (peluru senapan angin) dan diujung nya diberi kail. Umpan untuk mancing biasanya cacing tanah yang didapat dengan cara menggali tanah yang agak lembab. Tradisi mancing ini terutama dilakukan ketika bulan puasa dengan tujuan untuk mengisi waktu luang puasa sekaligus mencari lauk untuk berbuka puasa.

Ketika saya sudah duduk di SMP, saya sering diajak kakak untuk "ngobor" atau "nyuluh". Ngobor adalah kegiatan mencari ikan di sawah atau kali kecil dengan cara membacok dengan menggunakan pedang atau pisau. Ngobor ini biasanya dilakukan di malam hari saat bulan gelap (tidak purnama). Saat ngobor biasanya menggunakan lampu petromaks untuk penerangan dan sebilah pedang. Satu tim kecil biasanya terdiri 2-3 orang.Ikan yang biasanya didapat antara lain, gabus, lele, mujahir, ikan mas, wader hingga belut. Terkadang kalau tidak hati-hati, ikan yang disangka belut seringkali ternyata ular air. Untuk membedakan belut dengan ular sebenarnya agak mudah dengan cara dipegang. kalau dipegang halus itu berarti belut, tapi kalau kasar berarti ular karena ular bersisik. Kalau pas beruntung ngobor selama 3 jam dan menempuh jarak 1-2 km bisa dapat ikan setengah ember besar, atau kalau pas lagi dapat karunia saat ngobor bisa dapat bulus (kura-kura) atau bahkan dapat ikan pelus atau sidat (belut besar yang lezat). Tapi ikan sidat sangat jarang ditemui. (belum tentu 5 tahun sekali)...

Kalo ngobor sudah selesai, aku dan kakakku pulang ke rumah dan ikan hasil ngobor "dibetheti" (dibersihkan kotoran di bagian perut dan insang) sampai bersih dan diberi bumbu garam sama bawang putih yang sudah diuleg. Selanjutnya adalah ikan tersebut digoreng..... Mungkin karena sehabis ngobor, badan terasa capek, udara dingin dan perut terasa lapar maka saat makan ikan hasil ngobor terasa lezat. apalagi kalau nasinya juga panas ...wah dijamin ueennnnaaaak tenaaaaannnn.......

Sayang ikan sudah semakin punah karena racun dan setrum yang masuk ke desa-desa....Tiada tempat lagi bagiku untuk menikmati masa kecilku........

Monday, June 12, 2006


ROWEK TEMBAKAU; cara mencari tambahan uang jajan


Semasa kecilku di tahun 70-an, orang tuaku alhamdulillah tidak terlalu miskin namun juga bukan orang kaya. Kala aku berangkat sekolah aku diberi uang saku 5 at1u 10 rupiah. saat itu, uang 5 rupiah masih cukup berharga setidaknya masih dapat 5 lembar opak (krupuk dari singkong) atau 5 biji permen murahan. Untuk menambah uang saku, terkadang aku mencari daun pisang untuk dijual ataupun mencari kelapa jatuh di kebun-kebun untuk dijual. Cara lain adalah mengumpulkan pasir dari sungai kecil untuk dijual kepada orang sekampung yang sedang membangun rumah.

Musim panen tembakau, merupakan musim yang ditunggu oleh anak-anak. Setelah tembakau dipanen dan dibawa ke rumah, pada saat itu anak-anak biasanya dilibatkan untuk "rowek". Rowek disini merupakan suatu proses untuk menghilangkan urat utama pada daun tembakau (yang bentuknya seperti batang). Urat utama itu perlu dihilangkan agar nanti saat diiris akan dihasilkan tembakau yang halus. Setiap 15-20 lembar daun yang telah dihilangkan urat utamanya kemudian digulung dan diikat pakai daun kelapa untuk kemudian diperam (disimpan) selama beberapa hari sampai menguning. Dari setiap ikat yang dihasilkan, seorang anak dapat upah sekitar 5 rupiah d an paling banyak seorang anak hanya dapat 50 rupiah karena jumlah anak yang terlibat cukup banyak sementara panen tembakau terbatas. Selain anak-anak, biasanya kaum ibu ikut serta untuk rowek.

Setelah diperam sampai menguning, giliran kaum bapak yang ahli "ngrajang" atau mengiris tembakau dapat giliran kerja. Kegiatan ngrajang dilakukan dengan menggunakan sebuah pisau khusus yang dinamakan "gobang" dan bentuknya persegi empat seperti pisau daging yang besar dan alat khusus dari papan kayu sebagai landasannya. Setelah dirajang sampai halus, giliran ibu-ibu menata tembakau hasil rajangan dalam selembar "rigen". Rigen ini terbuat dari anyaman bambu dengan ukuran sekitaar 1x2 meter. Anyamannya agak jarang-jarang sehingga terdapat lobang-lobang di rigen tersebut selebar sejitar 1x1 cm. Lobang-lobang tersebut di buat agar sirkulasi udara lancar sehingga proses pengeringan nantinya bisa berjalan cepat. Tembakau ditata secara rapi di rigen dengan ketebalan sekitar 0,5 cm agar cepat kering, dan pagi harinya dijemur dibawah terik matahari. Penjemuran ini terkadang memakan waktu 3-5 hari dan di bolak-balik. Cara membaliknya adalah rigen yang ada tembakaunya ditutup pakai rigen lain yang kosong kemudian dibalik. Sehingga tembakau yang ada di regen lama berpindah ke rigen baru.

Setelah tembakau dirasa kering, kemudian diangin-anginkan dan malam harinya digulung dengan panjang 20 cm dan diameter 10-15 cm. Langkah berikutnya adalah penyimpanan dalam keranjang bambu yang dilapisi dengan gedebok pisang yang sudah dikeringkan. Keranjang ini bisa memuat 30-40 kg tembakau kering atau lebih. Setelah dipak dalam keranjang, tembakau ini siap dijual atau disimpan terlebih dulu sambil menunggu harga tembakau naik....

Friday, June 09, 2006


WIWIT; Syukuran panen padi dan media peningkatan gizi untuk cah ndeso


"Wiwit" berasal dari bahasa Jawa yang artinya mulai. Di masa kecilku, wiwit merupakan kata yang disambut gembira oleh anak-anak karena kalau ada wiwit berarti akan "makan enak". Wiwit di daerahku berarti upacara kenduri dipimpin seorang "modin" atau "pak kaum" (sebutan bagi tetua di bidang agama) dan pesertanya anak-anak. Kenduri biasanya dilakukan menjelang musim panen padi dan dilakukan di salah satu sudut sawah. Kenduri ini sebagai ungkapan makna pada Tuhan khususnya Dewi Sri (dewi padi) yang telah memberikan karunia rejeki pada pak tani.

Kenduri ini biasanya berupa nasi tumpeng, ayam yang dibumbu kuah namun bentuk utuh (ingkung), jajan pasar seperti jambu biji, pisang, krupuk, jenang bekatul dll. Saat itu makanan seperti itu terasa sangat enak dan mewah bagi kami yang anak desa. Makanya kalau ada Wiwit, pasti anak-anak gembira dan ikut semua walaupun harus jalan kaki di pematang sejauh 1 kilometer dan nanti dapat bagian hanya berupa sekepal kecil nasi tumpeng plus daging ayam secuil yang disajikan di atas lembar daun pisang ditambah pisang kecil sebiji. Pak modin sendiri biasanya dapat bagian yang lebih besar dan bagian yang penuh daging misalnya bagian paha. Bagi kami anak desa yang makan daging ayam mungkin hanya sebulan sekali, wiwit menjadi sangat nikmat karena makan enak plus tambah gizi...Tapimungkin semua terasa lezat karena semua diolah dengan cinta kasih mbok tani dan dinikmati dengan dihantar doa dan suasana kebersamaaan.....

Saat pak modin mau pulang, biasanya dia menyisakan secuil daging, telur dan jajan pasar di tempat kenduri untuk persembahan kepada yang "mbaurekso" atau yang menjaga ladang. Mungkin semua itu maksudnya sebagai rasa syukur sehingga pak tani perlu k berbagi kepada binatang-binatang yang menghuni lingkungan itu. Tapi tak jarang ada anak nakal yang suka mencuri "persembahan tersebut" ketika pak modin sudah beranjak pulang ke rumah...maklum anak kampung....

Tapi itulah kebersamaan yang sudah semakin langka...........

NJEBOR; Tradisi gotong royong untuk bocah ndeso saat tanam tembakau


Ketika aku kecil dibesarkan di desa Sawangan di kaki gunung Merbabu - Jawa Tengah. Tahun 1970 –an, pada saat menjelang musim kemarau, para petani biasanya menanam cabe dan tembakau. Saat itu biasanya dinanti oleh anak-anak karena biasanya anak-anak akan diminta bergotong royong untuk “njebor”. Saat mau menanam tembakau dan cabe biasanya lahan ditugal (dilobangi) dan ditaruh pupuk kandang. Nah, njebor ini merupakan kegiatan mencampur pupuk kandang yang ada di dalam lobang yang ditugal dengan air hingga menjadi bubur lumpur yang siap ditanami. Saat itu anak-anak dengan senang hati membawa ceret air atau panci punya simboknya (terkadang dengan sembunyi-sembunyi) untuk mengambil air yang sudah dialirkan ke ladang tersebut. Dengan ceret atau panci tersebut, anak-anak mulai meremas dan mengaduk-aduk pupuk kandang hingga jadi bubur. Terkadang kalo nasib lagi apes, kita masih menemukan pupuk kandang yang masih mentah sehingga ya...seperti meremas-remas kotoran sapi atau kerbau yang lunak-lunak hangat. Para bapak-bapak juga ikut gotong royong. Merekalah yang menanam bibit tembakau dan cabe ke lobang tugal yang pupuk kandangnya sudah diaduk-aduk oleh anak-anak. Biasanya suasananya sangat happy.....

Kerjaan menanam itu biasanya dilakukan agak sore sekitar jam setengah tiga sore sampai jam lima. Setelah selesai, anak-anak biasanya membersihkan ceret, panci dan cuci tangan. Sambil berjalan beriring di pematang sawah, anak-anak bermain tetabuhan dengan panci dan ceret atau ember yang dibawanya. Semuanya gembira......

Setelah mandi. Menjelang magrib, anak-anak dan orang tua yang ikut njebor biasanya akan menuju rumah pemilik sawah. Disana kita makan bersama dan biasanya menunya sangat khas. Minum segelas teh manis dengan snack “jadah” (ketan yang ditumbuk halus) atau seperti lemang. Adapun makannya nasi dengan lauk tahu atau tempe bacem dan sayur lodeh kol...ueennaaaak tenan karena makan bersama, suasana gembira plus lapar.... Sayang semua kini tinggal impian saja karena petani sekarang lebih suka menyewakan tanahnya pada kaum pemodal dari kota dan tembakau telah tergusur dari desa.....

Merajut ikat tali silaturahmi, nggathukake balung pisah


Almarhum bapakku tinggal di dekat kaki gunung Merbabu tepatnya di desa Sawangan Kabupaten Magelang – Jawa Tengah. Beliau merupakan seorang petani desa yang tidak kaya namun juga tidak miskin. Bapakku bercerita bahwa di tahun empat puluhan ketika masih bujangan, sehabis musim tanam padi, biasanya beliau kemudian pergi ke rumah famili jauh di daerah Tempel – Sleman untuk membantu mengerjakan sawah atau ladang di sana. Beliau tinggal di sana hingga berpuluh hari atau berbulan. Dan nanti setelah selesai, secara bergantian famili dari Tempel pergi ke tempat kami untuk membantu bersawah. Dengan cara demikian, silaturahmi keluarga menjadi terjalin erat. Hal itu terus berjalan hingga bapakku berkeluarga....

Kondisi itu berubah sangat jauh pada saat ini, ketika semua orang sibuk dengan kesibukan mencari nafkahnya masing-masing dan orang tercerai berai dalam perantauan. Orang sulit untuk bertemu dan silaturahmi. Hari Raya Lebaran yang seharusnya jadi moment untuk silaturahmi terkadang begitu pendek karena harus berkunjung ke rumah banyak famili. Akibatnya perjumpaan dengan famili hanya sekedar sua sekejap mata yang tiada banyak makna untuk saling berbagi. Saat ini saudara sepupu-pun terkadang tidak saling kenal secara dalam karena minimnya silaturahmi.

Pelajaran kasus gempa Jogja sangat menggugah hati, ketika dilanda musibah orang secara spontan mau berbagi. Orang desa, tukang ojek, orang tani, buruh pabrik dan kalangan lainnya tergerak hati saling melindungi. Mungkin ini akan menarik untuk dikaji bila dibangun suatu model “sister village” (mengadopsi dari istilah sister city) dimana suatu rombongan warga desa dari daerah luar bencana dikelola untuk membantu membangun kembali desa yang hancur terkena gempa. Bantuan materi dan tenaga dikerahkan, termasuk pula bantuan moril. Hubungan silaturahmi lahir batin dan kebersamaan dibangun secara intensif antar desa. Aku yakin ini akan bisa mempercepat kembali proses rekonstruksi fisik dan moril bagi para korban..........

Thursday, June 08, 2006


Jogjaku, Jogja kita tercinta

Kemarin saya baru pulang dari Jogja dan Klaten. Alhamdulillah, menurut penglihatan saya kondisi di lapangan sudah mulai membaik (misal di berbagai tempat masyarakat sudah mempunyai stok beras mencukupi bahkan indomie melimpah ruah), walau di beberapa tempat lain atau beberapa jenis bantuan lain masih belum mencukupi. Beberapa kebutuhan yang diperlukan masyarakat tersebut misalnya alat pertukangan untuk membereskan puing-puing rumah yang hancur, tenda untuk temporary shelter, perlengkapan perempuan (pakaian dalam, Pembalut wanita dll) atau makanan tambahan untuk bayi plus susu dll.

Suatu hikmah yang menarik bagi saya dari musibah gempa ini adalah " MASIH ADANYA" atau bahkan "TUMBUH KEMBANGNYA" belarasa sosial (solidaritas) antar masyarakat. Dalam kasus ini dijumpai banyak "wong cilik" seperti kumpulan tukang ojek, atau masyarakat desa dari daerah lain (magelang, temanggung, madiun, sumedang, purwokerto dll) yang sertamerta memberikan dukungan dalam bentuk natura (beras, sayuran, nasi bungkus, bungkusan air teh) sampai mereka datang berbondong-bondong ke lokasi untuk kontribusi tenaga "gugur gunung" atau gotong royong membersihkan puing rumah yang hancur... ALANGKAH INDAHNYA KEBERSAMAAN ITU........ Sesama wong cilik ternyata menjadikan mereka LEBIH PEKA terhadap penderitaan sesama. Saya tahu bahwa sebagian masyarakat penyumbang tersebut bukan orang kaya dan mereka kerja hari ini untuk makan hari ini pula. Tapi demi kemanusiaan mereka rela mengorbankan penghidupannya untuk menolong korban gempa. Semoga amal mereka diterima oleh Allah s.w.t..... amin.....

Menurut saya, selain mampu memberikan dukungan moral bagi para korban untuk bangkit kembali, adanya dukungan dari "masyarakat akar rumput" daerah lain ini juga akan mendukung tumbuhnya keswadayaan para korban. Melihat dukungan dari warga daerah lain, para korban mulai bangkit untuk membangun rumah dan kampungnya masing-masing tanpa harus menunggu uluran dari pemerintah (yang tidak kunjung tiba) ataupun dari donor atau Lembaga Internasional. Saya malah melihat upaya pendekatan "COMMUNITY TO COMMUNITY" inilah yang seharusnya secara cerdas diadopsi oleh pemerintah untuk pengelolaan bencana ke depan. Kasus aceh bisa menjadi pelajaran berharga dimana banyaknya bantuan Lembaga Internasional dan Pemerintah telah mengakibatkan MANDULNYA keswadayaan masyarakat bahkan ditengarai munculnya banyak KETERGANTUNGAN masyarakat terhadap bantuan luar misalnya untuk membangun rumah bagi mereka sendiri, si pemilik rumah malah minta bayaran.... Kalau pemerintah cerdas, pemerintah seharusnya mampu mengelola sumberdaya masyarakat termasuk dukungan tenaga masyarakat dari daerah lain untuk kepentingan rekonstruksi jogja.

Apa yang bisa dipelajari untuk diterapkan di tempat lain?
saya melihat bahwa solidaritas atau belarasa sosial banyak muncul ketika terjadi suatu musibah atau bencana, sedangkan dalam kehidupan normal rasa solidaritas ini seringkali menjadi "kata mutiara" saja. Solidaritas dan kebersamaan merupakan suatu MODAL SOSIAL yang sangat tinggi nilainya, tapi selama ini nampaknya tidak dikelola dengan baik karena pihak Pemerintah selama ini sibuk dengan MODAL EKONOMI. Apakah kita harus selalu menunggu ada bencana kemudian baru tumbuh rasa solidaritas?