Monday, December 31, 2007

Culture shock

Istriku dibesarkan di daerah kota kecil Bumiayu - Brebes. Di keluarganya mereka memasak memakai kompor minyak dan kompor gas. Hal ini berbeda dengan di rumahku yang berada di pelosok kabupaten Magelang yang ketika memasak masih memakai tungku (luweng) kayu bakar.

Di suatu hari ketika kami masih pengantin baru, dia menginap di rumahku yang ndeso itu sementara aku sudah mulai kerja kembali di jakarta. Pagi-pagi ibuku sudah pergi ke sawah dan dia menitip pesan agar istriku menanak nasi dan masak sayur untuk makan siang. (Di daerahku ini orang jarang sarapan pagi). Karena ingin menunjukkan bahwa dia merupakan seorang menantu yang baik, istriku kemudian berusaha memasak memakai kayu bakar. Karena dia tidak biasa menggunakan tungku maka kayu-kayu yang ada dijejalkan ke mulut tungku kemudian di siram minyak tanah dan dibakar. Tapi apa daya... karena kayunya terlalu penuh maka apinya nggak mau membakar kayu di tungku itu walau istriku sudah menghabiskan sisa persediaan minyak tanah termasuk sisa minyak yang ada di lampu dapur....

Sambil keringat bercucuran karena "kondite" atau performance sebagai menantu yang baik dipertaruhkan dalam acara masak itu, dia kemudian cari kertas koran bekas yang tidak terpakai. Tapi walaupun persediaan koran sudah habis, apinya nggak membakar kayu tersebut.... Dia sudah tiup apinya berluang-ulang, tapi tetap nggak menyala jua...

Istriku makin frustasi dan akhirnya menangis.... Untunglah pada saat itu kakakku yang kerja ngantor pulang kerja lebih awal dan melihat Dewi menangis, dia bertanya ke istriku kenapa menangis... akhirnya sambil senyum-senyum malu istriku cerita sama kakakku bahwa dia nggak bisa bikin api di tungku... kakakku ngakak dengan keluhan istriku dan kemudian dia membantu bikin api dan berhasil..... Akhirnya istriku berhasil menunaikan tugasnya untuk masak di hari itu dan dia lulus ujian dari ibuku sebagai seorang istri yang baik he..he...he... Meski demikian kejadian lucu istriku yang menangis karena nggak bisa bikin api di tungku terdengar juga oleh ibu bapakku...dan ibu bapakku malah ketawa terpingkal-pingkal mendengar cerita itu.... Sampai sekarangpun beliau masih ingat kejadian-kejadian itu dan seringkali bernostalgia mengungkap kejadian-kejadian lucu itu....

Misunderstanding

Istriku yang dilahirkan di Brebes biasa menggunakan bahasa Jawa untuk percakapan sehari-hari. Meski demikian dia awal mulanya agak sungkan berbicara dengan ibu bapakku karena istriku tidak terlalu lancar berbahasa Jawa halus (kromo inggil). Sehingga sewaktu aku baru menikah dia hanya bicara "nggih" (ya) atau "mboten" (tidak)..persis kayak wawancara dengan kuesioner tertutup..he..he...

Pada suatu saat ketika kami tinggal di rumah ibuku, ibu sedang menanak nasi . Tapi karena ada keperluan panen maka beliau harus segera pergi sawah. Ibu menitip pesan agar istriku nanti menanak nasi yang sudah setengah matang dan saat itu sedang didinginkan. Saat itu istriku hanya bilang "inggih, bu". Setelah beberapa lama istriku hendak menanak nasi, tapi dia cari nasi setengah matang itu nggak ketemu. Akhirnya dia nemu kelapa parut dalam panci... Istriku berpikir jangan-jangan ibu mau bikin kue dan tadi menyuruh dia untuk menanak kelapa tersebut. Tanpa pikir panjang kelapa parut tadi dituang dalam kukusan (kerucut) kemudian ditanak di dandang.

Setelah satu jam, ibuku pulang dari sawah dan melihat dandang masih di atas tungku. Beliau berpikir istriku sudah menanak nasi tapi belum dituang ke bakul. Maka ibuku mengambil bakul dan akan menanak nasi tersebut....Alangkah terkejutnya beliau ketika melihat kelapa parut dalam kukusan itu. Istriku yang menyadari kedatangan ibuku kemudian menyusul ke dapur... Di sana kemudian meledaklah tawa ibu dan bapakku sambil berkata: "Oalah...Dewi, ini ampas kelapa parut kok kamu tanak...ini kan untuk kasih makan ayam". Melihat komentar ibuku istriku mukanya merah padam malu bercampur geli.....Bapakku yang melihat kejadian itu tertawa terpingkal-pingkal sampai keluar air matanya... Gara-gara malu bertanya akhirnya ampas kelapa ditanak jua he..he...

Monday, December 17, 2007

Istriku yang pekerja keras

Dewi Setiawati, itu nama istriku. Dia lahir tahun 1972 dan menikah denganku di usia 23 tahun. Setahun kemudian lahirlah buah hati kami yang kami beri nama Dudi. Istriku rajin membersihkan rumah, mencuci baju, menyeterika, mengepel lantai dan segala urusan rumah tangga beres ditangannya. Dia juga rajin antar jemput si Dudi ke sekoilah dan kursus. Tak lupa dia juga selalu siap sedia melayani kebutuhanku. Walau kalau lagi kumat manjanya, dia malas masak dan malah minta aku yang masak bikin indomie. Kata istriku dan anakku, indomie buatanku memang mak nyuuuusssss.. nggak kalah rasanya sama mie kuah Mie Jogja-nya Pak Karso.
Ibuku memang wong ndeso, beliau punya indikator yang ndeso pula untuk menilai sesamanya. Seorang istri yang baik adalah istri yang trampil di dapur serta mampu membereskan urusan rumah tangga, itu katanya. Melihat segenap kerja keras istriku, ibuku jadi sangat sayang sama istriku. Saudara-saudaraku menyebutnya "menantu kesayangan". Istriku tidak hanya rajin di rumahku...kalo pas tinggal di rumah ibuku, di rumah mertuaku atau di rumah mbak Tatik kakakku, dia juga rajin beres-beres rumah...
Istriku seorang ibu rumah tangga yang luar biasa. Dulu waktu gadis pernah bekerja di BKIA atau poliklinik sebagai asisten perawat. Tapi semenjak menikah denganku, dia kuminta untuk fokus ngurus rumah. Aku kuatir kalo istriku juga kerja nanti anak dan keluarga nggak terurus... Alhamdulillah istriku setuju dengan ideku....
Istri yang rajin dan pekerja keras mrupakan suatu karunia bagiku. Dia rela mengorbankan segenap kepentingan pribadinya demi keluarga.....Walau terkadang ada hal-hal yang kurang sempurna, tapi kusadari itu merupakan fitrahnya sebagai manusia...
Istriku, I love you......

Monday, November 26, 2007

Bapakku, wong ndeso yang lugu dan pekerja keras

Menurut KTP, bapakku lahir tahun 1928 tanpa ada keterangan tanggal dan bulan. Beliau seaktu kecil bernama Ngabdul. Mungkin nama beliau diadopsi dari bahasa Arab "Abdul", hanya saja karena kesangkut lidah Jawa yang medok maka jadi Ngabdul. Setelah ayahku menikah dengan ibuku, beliau punya nama tua Sastrodiharjo. Meki demikian sebagian orang masih menyebut bapakku dengan sebutan Pak Ngabdul, Pak sastro ngabdul atau terkadang pak Sastro.

Meski namanya Sastro, sungguh mati bapakku bukan seorang sastrawan. Beliaupun kayaknya nggak pernah lulus Sekolah Rakyat (nama lain dari SD jaman itu). Beliau konon tidak terlalu cerdas di sekolah. Meski demikian sewaktu aku masih kelas 1-2 SD, bapakku dulu sangat rajin mengajariku membaca di bawah temaram lampu teplok minyak di setiap malam. Sehingga tidak mengherankan sewaktu kelas 1 SD aku sudah lancar membaca dan buku atau majalah apapun kulalap termasuk cerita silat Nogososro Sabukinten maupun Api di Bukit Menoreh karya SH Mintarja. Bapakku juga rajin membuatkan aku batang lidi untuk alat bantu berhitung. Mungkin bapakku berpikir bahwa beliau tidak bisa menempuh pendidikan yang memadai, maka beliau rela melakukan apapun agar aku bisa sekolah dengan baik.

Menjelang makan malam di atas balai-balai di dapur, sambil menunggu masakan dihidangkan oleh ibuku, bapakku biasa ngajari aku dengan lagu-lagu jawa sederhana. Balai-balai di dapur ini menjadi ajang kumpul keluarga setiap harinya sambil menikmati makan malam.

Bapaku seorang petani tulen. Dengan perawakan yang tinggi besar, beliau sangat kuat untuk mencangkul di kebun atau sawah. Aku sangat senang menemani beliau mencangkul sambil mencari dan mengumpulkan belut atau gangsir (jangkrik besar) untuk dibuat lauk makan. Aku paling suka lihat bapakku makan sehabis mencangkul, karena beliau akan makan dengan lahap meski menunya hanya nasi dengan sayuran hijau.

Bapakku seorang yang sangat lugu. Konon sewaktu sehabis G30S, banyak kerabat bapakku yang diciduk aparat karena diduga terlibat G30S. Saat itu bapakku tidak melarikan diri malah beliau kemudian mendatangi tentara dan menanyakan mengapa dirinya tidak ikut ditahan seperti saudara-saudaranya. Mungkin tentara saat itu tidak menangkap bapakku karena dianggapnya bapakku orang yang bodoh sehingga tidak perlu dicurigai ikut gerombolan G30S.

Bapakku terkasih meninggal dunia pada bulan puasa tahun 1996. Aku saat itu sedang kerja di Jakarta dan kaget bukan kepalang karena selama ini tidak dengar kabar beliau sakit. Dari ibuku aku mendengar bahwa bapakku menjelang meninggalnya masih sempat makan sahur terus kemudian bermain-main dengan salah seorang cucu di halaman rumah sambil berjemur. Sekitar jam 8 pagi beliau pergi ke kebun di samping rumah dan jam 9 pagi pulang ke rumah terus tiduran. Sekitar setengah jam kemudian ibuku mendengar bapakku mengorok dan ibu berusaha membangunkan bapakku. Tapi saat itu badan bapakku terasa dingin maka ibuku kemudian mengundang mantri kesehatan yang segera datang ke rumah. Meski sudah dilakukan beberapa upaya pertolongan, pada jam 11 pagi, ayahku sudah dipanggil menghadap Illahi.

Satu hal yang terkadang tersisa di hatiku adalah sebersit penyesalan karena ayahku meninggal ketika aku belum bisa membahagiakan beliau. Beliau yang telah bekerja keras membesarkanku dan menyekolahkanku, belum sempat menikmati buah atau hasil kerja kerasnya. Aku yakin beliau melakukan semua itu dengan ikhlas tanpa pamrih, tapi hati kecilku menyesal karena merasa aku belum berbuat sesuatu untuk membahagiakan bapakku. Aku hanya bisa mengirimkan doa untuk bapakku, semoga beliau diampuni segenap dosanya dan diberi limpahan surgawi oleh Illahi....

Wahai Bapakku yang lugu, dengarkanlah bahwa aku sangat mencintaimu ....

Friday, November 23, 2007

Meraih asa, bergelut derita

Badannya mungil dan imut, berwajah cantik, berbungkus kulit kuning langsat, berotak cerdas, berpikir dewasa dan bertingkah ceria nan lincah. Kalau dia pake kaos T-shirt dan celana overall, dia mirip anak SMP karena saking imutnya. Itulah sosok Lenny Christy, seorang karib yang biasa kupanggil dik Lenny. Dengan sosok yang jelita dan penuh inner beauty seperti itu, maka berbahagialah laki-laki yang mendapatkan cinta kasihnya...he..he...he...
Dia teman karib sekantorku dulu di proyek kebakaran hutan. Aku salut dengan perjuangan hidupnya. Dia mulai kerja di kantorku dengan menggunakan ijazah Diploma 1 sekretaris dan bekerja sebagai kasir. Setelah beberapa lama ada seorang bule perempuan ahli pemetaan GIS bernama Anja yang tertarik melihat ketrampilan dik Lenny dalam bidang komputer. Dik Lenny kemudian ditawari jadi asisten beliau. Dengan kerja keras dik Lenny dan bimbingan Anja, dik Lennypun tumbuh menjadi seorang yang ahli GIS. Dik Lenny tidak berhenti di situ saja dia terus belajar dan menempuh S1 dibidang informatika di sebuah Perguruan Tinggi di Samarinda dan berhasil lulus terbaik dengan predikat cum laude (atau bahkan summa cum laude). Dengan perjuangan kerasnya karir dik Lenny terus menanjak bahkan dari sisi salary, dia telah menyalip banyak kawan seangkatan dia bahkan menyalip kawan2 yang level pendidikannya lebih tinggi.
Setelah proyek selesai, dia pindah ke sebuah LSM Internasional di samarinda. Dia juga tidak puas dengan pendidikan S1, dik Lennypun menempuh pendidikan S2 di Universitas Mulawarman Samarinda walaupun untuk itu diapun harus mengorbankan waktu untuk sekolah hari demi hari. Karir diapun terus berkembang, walau tentu saja tidak sedikit riak yang menghadang.
Dari perjuangan dik Lenny, aku mendapat hikmah bahwa untuk meraih asa kita harus mau berjuang dan terus belajar dan belajar. Hidup adalah pembelajaran... Salut dan selamat untuk perjuangan dik Lenny yang tiada kenal lelah untuk belajar....

Wednesday, November 21, 2007

Hargailah jerih payah pasanganmu

Kakakku nomor dua bernama Sri Hartati dan biasa kupanggil Mbak Tatik. Beliau tinggal di Yogya dan berwirausaha buka kios kelontong. Mbak Tatik lahir tahun 1952 dan menikah tahun 1975. Sejak tahun 1981/1982, kakakku menjanda karena kakak iparku meninggal dunia akibat sakit lever. Dengan dukungan keluarga besar kakak iparku, kakakku berwiraswasta dan membesarkan ketiga orang anaknya. Beliau semenjak ditinggal kakak iparku fokus menangani wiraswasta dan tidak menikah lagi. Alhamdulillah perjuangannya membuahkan hasil dimana 2 orang anaknya saat ini sudah bekerja di kejaksaan dan 1 orang anaknya menemani kakakku berwiraswasta. Beliau juga sudah mempunyai seorang cucu yang cerdas dan lucu. Dudi anakkupun sangat dekat dengan Mbak Tatik dan biasa memanggilnya dengan sebutan Mama Ndut karena badan Mbak Tatik agak gemuk.
Dari kakakku aku belajar tentang sebuah kesetiaan dan perjuangan untuk membahagiakan keluarga. Aku ingat kakakku pernah bilang padaku bahwa suatu saat ketika suaminya (kakak iparku) masih hidup, di suatu sore Kakakku sibuk masak di dapur untuk menyiapkan makan malam. Ketika kakak iparku pulang dari kantor, kakak iparku bilang bahwa dia sudah makan di luar dengan teman-temannya. Mendengar kata suaminya, kakakku kemudian menangis karena merasa jerih payahnya menyiapkan makan malam menjadi sia-sia. Dari cerita kakakku tersebut, aku memperoleh pesan bahwa dalam berumahtangga kita hendaknya harus menghargai jerih payah pasangan kita dan terkadang kita harus memberikan perhatian untuk hal-hal kecil.. Pesan kakakku itu selalu terngiang di telingaku sehingga akupun berusaha untuk menghargai jerih payah istriku....

Tuesday, November 20, 2007

Cinta tulus tak berbatas waktu

Ibuku bernama Sumisih. Tidak ada bukti surat atau akte kelahiran tapi konon beliau dilahirkan tahun 1932 lalu. Beliau seorang perempuan ndeso yang bersahaja dan tinggal di sebuah desa kaki gunung Merbabu di Magelang sana. Seperti layaknya perempuan ndeso, beliau sehari-hari bekerja berkutat di dapur dan di sawah. Beliau membesarkan aku dan anak-anakku dengan penuh kasih sayang. Selain mengatur kebutuhan logistik rumah tangga (menteri urusan pangan), beliau juga bertanggungjawab sebagai Menteri keuangan di keluarga kami. setiap kami perlu uang untuk sekolah, beli baju sampai jajan semuanya minta ke ibuku.
Ibuku juga pinter masak, walau masakan ala ndeso. Apapun yang beliau masak, semua terasa enak di lidahku. Makanya aku tidak suka jajan makanan di luar (selain juga karena persoalan uang jajan yang minim). Walau aku sudah makan di luar rumah sekalipun, rasanya belum puas kalau belum makan masakan ibuku. Karena keahliannya dalam memasak, ibuku sering diminta bantuannya untuk ngurusi logistik bila ada famili atau tetangga punya gawe atau hajatan.

Dari ibuku aku belajar tentang kasih ibu yang tak lekang oleh jaman. Beliau menyayangi bapakku, kakak2ku dan diriku. Beliau sangat sayang pada cucu-cucunya termasuk Dudi anakku. Saking sayangnya sama Dudi, setiap anakku dari samarinda telpon beliau, beliau selalu menanyakan anakku pengin kiriman makanan apa? Terkadang beliau mengirim makanan snack kampung yang sebenarnya juga dijual di samarinda. Terkadang biaya kirim via pos paket jauh lebih mahal dari pada harga makanan yang dikirimkan.
Untuk aku dan istrikupun beliau senantiasa mencurahkan kasih sayangnya. Berbagai barang beliau kirimkan sebagai tanda kasih untukku dan istriku, walau aku dan istriku sering melarangnya. Aku tahu untuk membeli berbagai barang itu beliau harus menyisihkan serupiah demi rupiah, dan aku sendiri sebenarnya tiada kesulitan untuk membeli barang itu. Tapi begitulah, kasih ibuku tidak memandang harga...demi cinta kasih sama keluargaku beliau rela mengorbankan apa saja.... Tiada keluh kesah dalam memberikan pelayanan terbaik untuk keluarga....Benar kata pepatah bahwa kasih ibu itu tiada berbatas waktu.......... Sungkem hormat dan kasih untuk ibuku, karena aku tak kan pernah bisa membalas budi jasamu........

Wednesday, November 07, 2007

Monumen Independence

Di akhir Oktober 2007, saya mengikuti training workshop tentang Pengelolaan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat bertempat di hotel Blue Sky Balikpapan. Pesertanya sekitar 35 orang dari Indonesia, Thailand, Malaysia, Kamboja, China, Amrik, Aussie, Finland dan Jerman.
Karena ingin menjadi tuan rumah yang baik, setiap malam saya mengantar rekan-rekan dari Thailand (5 orang), Malaysia (1 orang) dan Kamboja (2 orang)untuk keliling kota dan menikmati makan malam di Balikpapan. Mungkin karena dekat dengan kultur kita, peserta dari 3 negara tersebut akrab sekali dengan peserta dari Indonesia (10 orang). Mereka sangat menyukai sea food sehingga makan malampun kuarahkan ke seafood restaurant. Hari kedua mereka kuantar cari makan malam di Ocean seafood restaurant, malam ketiga mereka makan di restoran Tiptop, dan malam berikutnya ke restaurant Kepiting Kenari.
Komentar kawanku dari Thailand terhadap layanan 3 restoran itu adalah:
Ocean restauran ; masakan cukup, pelayanan bagus, tempat bagus tapi agak mahal.
Tiptop; masakan enak mak nyus, pelayanan cukup, tempat bagus dan murah.
Kepiting Kenari; masakan enak, pelayanan kurang karena pelayan cemberut dan galak, agak murah.
Sewaktu mengantar mereka makan malam ada suatu kejadian lucu yang membuatku getir. Ceritanya, waktu pulang dari restoran Tiptop, sambil menunggu mobil jemputan dari hotel aku bermaksud memperkenalkan monumen perjuangan yang ada di dekat parkiran restoran, yang menjadi monumen kebanggan kota Balikpapan. Tapi alangkah terkejutnya aku karena di keremangan malam, terlihat banyak anak muda pacaran dan kayaknya cukup hot pacarannya. Kawan dari Thailand agak tersipu2 dan dia bertanya padaku; "apakah mereka pacaran?". Kujawab; "Iya". Sambil berlagak cuek (walau dalam hati agak malu juga pada rekan-rekan Thailand) aku berusaha menjelaskan bahwa monumen ini merupakan simbol perjuangan bangsa Indonesia merebut kemerdekaan. Kubumbui pula dulu bangsa Indonesia mampu mengusir penjajah Belanda dan Jepang.
Salah seorang kawan dari Thailand yang orangnya cukup kocak, bertanya padaku:" Jadi ini monumen independence/kemerdekaan ya?". Kujawab: "iya". Kawan tadi sambil guyon komentar; "Pantes.. pantes.... Karena disini ada monumen kemerdekaan, pantesan orang-orang pada "merdeka" pacaran dan bercumbu (dengan sangat mesra/hot) tanpa merasa malu atau risih pada orang-orang yang berlalu lalang". Mendengar celetukan tersebut aku hanya bisa terdiam sambil tersenyum getir...
Moga-moga Pemkot Balikpapan bisa menertibkan kawasan itu, agar jangan sampai lokasi monumen yang menjadi simbol perjuangan berubah menjadi lokasi untuk perselingkuhan dan berbuat cabul...

Friday, November 02, 2007

Merokok tanpa keluar ongkos

Merokok merupakan kebiasaan besar bagi orang Indonesia (termasuk saya). Namun ketika pergi ke luar negeri, para perokok perlu berhati-hati karena banyak negara membatasi ruang gerak bagi perokok. Selain itu rokok di luar negeri juga cukup mahal untuk ukuran kantong orang Indonesia.

Singapura merupakan negara yang agak membatasi ruang gerak perokok. Namun tahukah anda bahwa ada cara menikmati asap rokok secara gratis di singapura?

Caranya adalah:
Pertama, datanglah ke bandara Changi Singapura.
Kedua, Carilah smoking room di bandara itu,
Ketiga, Masuklah ke smoking room itu
Keempat, cari kursi yang kosong di ruangan itu,
Kelima, nikmatilah asap rokok yang cukup tebal dan pekat di ruangan itu
dijamin anda bisa menikmati asap rokok tanpa perlu bayar atau membakar rokok sendiri...

Wednesday, October 31, 2007

Anakku gemuk plus enak dipeluk

Anakku si Dudi pada tanggal 13 September 2007, berusia 11 tahun. Sejak kecil oleh Mamanya si Dudi sudah diajak prihatin. Dia minum susu ASI eksklusif hingga umur dua tahun. Dia tidak doyan susu kaleng, sehingga ketika krismon tahun 1997/1998 ketika harga susu melonjak lipat 4 kali, kami tenang-tenang aja. Dudi cukup makan lauk tahu tempe plus setiap pagi dikasih sarapan telur ayam kampung setengah matang dicampur madu.
Ketika usia Dudi mencapai 2 tahun, kami berusaha menyapihnya... Kami datangi seorang dukun kampung dan Dudi dibacain mantera plus disuruh makan telur ayam kampung. Selain itu mamanya dikasih biji mahoni untuk dioleskan ke puting payudaranya. Ketika malam hari si Dudi terbangun dari tidur dan merengek minta netek karena haus. Ketika dia mulai netek dia teriak-teriak karena air susu mamanya pahit gara-gara sudah diolesi biji mahoni. Dia nangis terus sambil memelas..."Ma, nenen ma....Ma, haus ma...." Aku yang mendengar Dudi nangis sampai nggak tega dan trenyuh. Karena mungkin saking hausnya, akhirnya dia embat juga susu Mamanya walau pahit...Namun sejak itu pagi harinya dia langsung peeet.... berhenti...nggak mau netek lagi...
Untuk merangsang Dudi doyan makan, istriku setiap pagi memberikan vitamin Supradyn junior (setengah kapsul). Dia akhirnya kuat makan dan tumbuh sehat. Tetangga-tetangga juga suka mengundang Dudi untuk makan karena mereka suka melihat Dudi makan dengan lahap. Anak-anak tetangga yang susah makanpun biasanya terangsang ikut makan bila lihat Dudi makan dengan lahap.
Saat menginjak 11 tahun sekarang ini, Dudi sudah tumbuh adi anak yang bongsor dan gemuk bahkan mungkin agak overweight. Tinggi badannya sudah mulai bersaing dengan mamanya. Terkadang aku dan istriku berusaha mengajar dia untuk diet, tapi terkadang kami sendiri kangen lihat dia makan dengan lahap. Akhirnya program diet seringkali gagal....
Dengan tubuh bongsornya, aku dan istriku paling senang memeluk dia. Rasanya hangat, kenyal dan menggemaskan. Apalagi kalau dia bobok masih suka telanjang baju..nyaman benar untuk dipeluk...Itulah yang membuatku sering kangen kalau lama tidak ketemu dan bobok dengan anakku...

Friday, September 28, 2007

Boleh nampar dan mukul asal jangan ngomong nylekit

Ketika saat pacaran dulu, istriku pernah bilang padaku: "Mas, kalo kita sudah jadi suami istri, mas kalau marah padaku boleh memukulku atau menamparku. Tapi tolong jangan ngomong kasar atau nylekit yang menyakiti hatiku".
Dalam perjalanan hidup rumahtanggaku yang sudah lebih dari 12 tahun, seperti wajarnya rumah tangga orang awam, terkadang aku berselisih paham atau marah dengan istriku. Kalau aku pas marah sama istriku, aku hanya bersikap diam (sampai maksimal 3 hari) untuk cooling down dan mencegah suasana makin panas/buruk. Melihat diriku biasanya jahil, banyak canda kemudian berubah jadi diam seribu basa ("seperti kuburan" kata istriku), istriku jadi bingung. Akhirnya dialah yang memulai mencairkan suasana.
Kalau suasana sudah rukun dan mesra kembali biasanya istriku ngomel; "Papa ini nggak ngenaki, kalo marah nggak pernah minta maaf...nggak pernah mau ngomong lagi ". Biasanya aku menjawab: "ma, dulu kamu bilang aku boleh memukulmu tapi aku nggak boleh ngomong kasar. Sekarang aku nggak pernah ngomong kasar padamu dan nggak memukulmu ketika aku marah , berarti dengan diam-ku aku sudah memenuhi permintaanmu kan? berarti aku nggak melanggar janji kan?. Istriku biasanya hanya ngomel: "iya sih, tapi dengan diam-nya papa, suasana menjadi nggak nyaman dan sepi kayak muka kuburan".
Yah begitulah misteri wanita, dituruti kemauanya malah bingung sendiri...he..he...

Anakku sedang pubertas

Anakku saat ini sudah berusia 11 tahun. Ketika suatu saat istriku bilang sama anakku: "dik, kamu kok suaranya serak sih? sakit batuk ya?" Anakku menjawab: "mama...mama... aku ini sedang puber .. jadi suaraku jadi berubah begini ma....."

Ternyata anakku sedang tumbuh dewasa, walau di rumah dia masih bersikap manja dan seringkali masih suka telanjang hanya bercawat saja. Tapi ketika mau sekolah atau kursus bahasa Inggris di English First atau Primagama, dia sudah mulai suka pakai handbody lotion dan parfum untuk menghilangkan bau keringat. Dia juga sudah suka memadu serasikan baju dan celana yang dia pakai, padahal sebelumnya dia sangat cuek dalam berpakaian. Dia juga suka rajin menyisir rambut agar rapi, padahal biasanya hanya jabrik begitu saja.

Tak terasa waktu terus berlalu, menjemput anakku menuju dewasa...

Ke luar negeri yang ketiga kali

Pada awal tahun 1998, saya berkesempatan mengikuti Training Conflict Resolution selama 10 hari di RECOFTC - Bangkok. di training tersebu ada beberapa kawan dari Indonesia yang akhirnya menjadi karib bagiku Mbak Diah alias Mboke Kendil, Pak Ilya Mulyono dari Studio Drya Media Bandung, Pak Simon Devung dan Pak Ketut Gunawan dari CSF Unmul Samarinda. Peserta lain berasal dari Kamboja, Vietnam, China, Mongolia dll.
Saat pelatihan tersebut bertepatan bulan Ramadhan, jadi kami agak kalang kabut cari makanan untuk sahur. Untunglah disana ada supermarket yang jual mie instant. Cilakanya merk mie intant tersebut sebagian besar dalam bahasa Thailand yang hurufnya kayak huruf Jawa Kawi. Akhirnya saya main feeling aja dengan melihat warna bungkusnya, kalau indomie itu warna bungkusnya dominan merah putih misalnya, kalau mie sedap warnanya ada kecoklatan dll.. Mie intant dan telur ayam saya beli untuk dimasak di asrama ...
Kalau malam hari, saya dan teman2 cari makan di luar. Untuk menemukan makanan muslim agak susah disana, akhirnya saya dan mbak Diah ketemu makanan favorit yakni kerang yang digoreng pake telur (omelette kerang). Walau aku sebenarnya sih nggak yakin makanan itu halal 100 % karena mungkin minyaknya tidak halal. tapi apa boleh buat kondisi sedang darurat...
Kami juga sempat menikmati tom yam (sup Thailand). Kami semua semula agak bingung cara memasaknya karena di restoran terbuka itu kami diberi tungku dan kuali di atas meja, sayuran dan daging mentah yang diiris tipis. Akhirnya sambil ngawur, sayuran dan daging kami masukkan ke kuali yang sudah ada kuahnya itu. Setelah dirasa masak, sayuran di kuali tersebut kami sendok ke piring kami beserta kuahnya. Tapi nasi kami di piring belum habis ternyata supnya sudah habis. Akhirnya kami minta tambahan kuah dan oleh pelayan diberi tahu bahwa cara makannya cukup sayuran dan daging diceplungkan kemudian disendok sedikit demi sedikit ke piring atau kalau perlu pake sumpit. Jadi bukan dengan cara kuahnya dituangkan ke piring semua........kami semua ketawa mentertawakan diri sendiri yang tidak tahu adat makan di negeri orang he..he..he...
Di Thailand, saya juga sempat jalan-jalan ke pasar Chattuchak untuk beli oleh-oleh semacam kaos, gantungan kunci dll. Harga di pasar ini agak murah dan beberapa penjual bisa berbahasa Melayu khususnya pedagang yang berasal dari Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Sewaktu jalan-jalan dengan Mboke Kendil di dekat kampus pelatihan, aku juga sempat mendapatkan majalah Playboy bergambar Pamela Anderson yang aduhai... ha..ha..ha.. (wah majalah itu akhirnya hilang karena dipinjam sana sini he....he...)
Di pelatihan itu ada suatu kejadian lucu karena ada seorang peserta dari Afrika yang di hari ketiga sempat semalaman tidur di depan gerbang pintu asrama. Ceritanya saat malam itu dia jalan-jalan ke Patpong distrik, yang terkenal sebagai daerah lokalisasi dan sex shop, dan pulang kemalaman karena keasyikan disana. Akibatnya pintu gerbang sudah dikuci dan dia nggak bisa masuk asrama, akhirnya semalaman dia tidur di depan pintu gerbang. Dia sendiri nggak kapok bahkan atur strategi dengan kejadian itu. Konon pada malam berikutnya, dia membawa dua gadis Thailand yang cantik-cantik ke kamarnya di asrama sampai pagi...ha...ha...ha...
Suatu malam, aku juga sempat jalan-jalan di kampus Universitas Kasetsart yang tidak jauh dari asrama. Di lapangan kulihat banyak anak muda (mungkin mahasiswa) sedang ketawa-ketawa nonton film yang sangat sederhana yang dibuat dari slide foto dan diputar pake slide projector (karena saat itu belum ada multi media projector macam Infocus). Mereka menayangkan sejumlah adegan secara berurutan (seperti slideshow) yang diberi narasi dialog. Sederhana tapi sangat kreatif dan menarik ide mereka itu. Narasi film itu pakai bahasa Thai, jadi aku nggak tahu artinya. Tapi dari gambar yang ditayangkan aku menangkap pesan film itu yang bercerita seorang anak kampung dari keluarga sederhana berangkat ke kota untuk kuliah. Di bangku kuliah, anak tersebut kenal seorang gadis dan lalu pacaran. Karena si cowok bukan orang kaya, ketika pacaran mereka memakai sepeda onthel, jalan di pematang sawah sampai jatuh di selokan dll pokoknya lucu, menghibur dan sekaligus romantis.... Luar biasa kreatifitas anak-anak mahasiswa itu....
Menjelang kepulangan kami, di Jakarta krisis moneter terus berlangsung dan rupiah anjlok sampai Rp. 16.500 per dollar. Makanya banyak kawan yang meledek:" wah kamu pulang jadi orang kaya karena kamu bawa uang saku dalam bentuk dollar". Dari kepergianku ke Thailand ini aku sempat menyisihkan uang 150 dollar. Ketika rupiah makin menguat, uang ini kutukar ke rupiah dan aku mendapatkan rupiah sekitar 1,5 juta yang kujadikan uang muka sebuah kapling siap bangun yang berukuran kecil 12 x 8 meter di pinggiran kota Bumiayu (tempat istriku).

Merauke, tanah tanpa batu

Tatkala berkunjung ke Merauke - Papua, sepuluh tahun lalu, aku memerlukan waktu hampir dua hari untuk menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Merauke. Pagi setelah subuh saya dan Mas Haryo (teman sekantorku) berangkat dari Jakarta ke Ujungpandang. Setelah nunggu beberapa jam, kami ganti pesawat dan meneruskan perjalanan ke Jayapura dan transit di Ambon, Sorong dan Biak. Sampai di Jayapura sudah jam 19.00 sehingga kami terpaksa menginap di Jayapura. Untunglah disana ada Mas Istiyoso yang merupakan saudara sepupuku, sehingga kami sempat mampir dan muter-muter sedikit lihat daerah Sentani. Pagi hari kami baru melanjutkan perjalanan via udara dari Jayapura ke Merauke.

Sampai di Merauke, rekan-rekan WWF menyambut kedatangan kami. Aku merasakan udara yang agak kering dan panas. Selama disana saya sempat keliling kota dan terpana melihat bahwa sangat sulit untuk mencari batu. Sehingga untuk membangun rumah, orang menggunakan batu karang. Demikian pula untuk pasir, mereka menggunakan pasir yang diambil dari pantai...jadi pasirnya warna cokelat karena mungkin berasal dari cangkang binatang laut atau karang yang mati kemudian hancur.... Kondisi Merauke ini hampir sama dengan beberapa daerah di Kaltim, dimana orang agak sulit cari batu. Sehingga tidak mengherankan bila untuk membangun jalan atau rumah tembok biayanya cukup mahal karena semen harus didatangkan dari luar daerah (dan terkadang harus pake pesawat), demikian pula batu serta material lainnya juga didatangkan dari jauh...Kupikir inilah tantangan bagi Pemerintah untuk bisa mengembangkan dan mengaplikasikan konsep pembangunan yang adil dan merata.

Monday, September 17, 2007

Kaya tapi tertinggal

Kalau kuingat kunjunganku untuk pelatihan Perencanaan Partisipatif ke Taman Nasional Wasur tahun 1997 lalu, terkadang aku terkenang-kenang kepengin berkunjung ke sahabat-sahabat lama di ujung Timur Papua itu. Pada saat itu peserta pelatihan berjumlah sekitar 30 orang antara lain berasal dari suku Kanum, Marind dan Moyo. Secara umum mereka sangat ramah, lugu, sederhana dan bersahabat. Bahkan beberapa peserta pelatihan dari suku Moyo (atau Muyu) cara berpikirnya cukup kritis.

Dengan lingkungan yang masih alami, sumberdaya alam (termasuk flora fauna) mereka cukup melimpah. Bahkan pada sekitar bulan Oktober, udang harganya sangat murah karena panen laut yang berlimpah ruah dan akses pemasaran yang masih terbatas. Hal itulah yang ironis karena SDA yang melimpah ruah, tidak diimbangi dengan sentuhan pembangunan yang memadai. Dengan kondisi geografis yang terpencil di ujung Timur Indonesia, membuat pembangunan prasarana transportasi, kesehatan dan pendidikan masih minim walaupun kita sudah lebih dari 50 tahun merdeka. Dengan kondisi seperti itu, aku sangat memahami kalau saudara2 kita di ujung Papua kepengin memisahkan diri dari Indonesia. Kemerdekaan yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan mereka, ternyata tiada membuahkan kenyataan indah. Sumberdaya alam mereka dikeruk, alam diperkosa dan kemanusiaan dinistakan atas nama pembangunan. Harkat martabat mereka tersisih oleh sebuah persaingan kehidupan yang tidak adil. Cita-cita luhur Negara Republik Indonesia yang bertujuan “melindungi segenap tumpah darah Indonesia” hanya menjadi slogan tak berarti di tangan birokrasi yang tidak tahu diri.

Kalau kita renungkan kembali, kondisi ketertinggalan, penindasan dan ketimpangan itu terjadi di banyak tempat khususnya daerah terpencil. Semoga segenap komponen pemerintahan yang memimpikan lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) nantinya bisa lebih mampu melihat secara jernih dan mampu menyadari akar persoalan ini. Sehingga mereka tidak asal main tembak dan menggunakan pendekatan represif untuk menumpas separatisme yang disebabkan oleh ketimpangan semacam ini. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk mau dan mampu memperbaiki paradigma pembangunan di masa mendatang. Kalau selama ini pembangunan terkonsentrasi di Jawa, hendaknya di masa depan Luar Jawa perlu dikembangkan. Kalau selama ini perkotaan menjadi pusat pembangunan, semoga nanti desa bisa menjadi sentra pembangunan. Kalau selama ini industry jadi idola, semoga nanti pertanian jadi primadona. Kalau selama ini pemodal besar jadi tumpuan, semoga nanti wong cilik, pengusaha mikro dan sector informal bisa jadi andalan. Semoga perubahan terus bergulir agar sanak saudaraku di Papua, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan berbagai belahan wilayah lainnya benar-benar bisa menikmati kue pembangunan. Semoga…semoga….

Friday, August 24, 2007

Taman Nasional Wasur, riwayatmu dulu..

Taman Nasional Wasur merupakan sebuah hutan alam yang menyimpan kekayaan alam (flora fauna) yang melimpah seperti ikan, burung, reptile, kanguru, rusa dll. Kawan-kawan WWF Merauke mengatakan bahwa di lokasi itu juga terdapat Danau Biru yang merupakan sebuah danau dengan kepadatan ikan yang termasuk paling tinggi di dunia. Namun dengan semakin terbukanya akses daerah itu, ancaman kepunahan satwa semakin meningkat karena banyaknya perburuan satwa serta penebangan kayu. Untuk perburuan, sebenarnya penduduk asli diperbolehkan berburu dalam jumlah yang dibatasi dan dengan menggunakan peralatan tradisional seperti panah dan tombak. namun saat itu ada indikasi aturan tersebut sering dilanggar karena ada perburuan-perburuan (oleh pendatang) yang menggunakan senapan dan sepeda motor untuk masuk ke lokasi.

Sewaktu kami praktek PRA di lapangan sekitar 10 kilometer dari kota Merauke pada tahun 1997, para peserta menyarankan agar kami cukup membawa beras saja karena lauk mudah dicari. Disana setiap pagi dan sore kami menggunakan jaring seperti net badminton dan kami beramai-ramai masuk ke arah laut sekitar 50 meter dari bibir pantai . Ketika jaring tersebut ditarik ke daratan, berbagai jenis ikan terjaring termasuk ikan kakap, udang, lele laut dll. Ikan kakap sangat mudah didapat. Bahkan ketika kami dapat ikan kakap ukuran besar (panjang 50 cm) dan kemudian agak bau basi karena kami lambat memasaknya, penduduk bilang :’sudahlah pak, buang ikan itu. Nanti kita nangkap lagi yang besar”. Aku yang jarang melihat ikan laut segar tentu sayang untuk membuang ikan itu, apalagi membayangkan harganya di Jakarta pasti selangit. Tapi karena mereka terus mendesakku, akhirnya ikan itu terpaksa di buang.

Suatu saat jaring yang kami tarik ke darat terasa berat sekali. Dikiranya jarring tersebut nyangkut di karang atau tonggak, ternyata yang kami dapatkan adalah seekor ikan pari ukuran diameter sekitar 1 meter yang kemudian kami lepas lagi karena kata penduduk local ikan sebesar itu dagingnya keras kayak ban mobil. Ikan pari yang enak adalah yang seukuran piring. Di sana aku benar-benar merasakan "sorga ikan", ibaratnya kalau mau makan ikan tinggal ngambil dari kolam ikan besar. Sampai suatu saat aku sempat "mabok" pusing-pusing karena kebanyakan makan ikan he..he...he.,..


Di saat lain ketika kami akan pergi ke kampung Sota di perbatasan dengan Papua Nugini, kulihat banyak transmigran dari Jawa atau tempat lain sedang nyemplung ke parit di pinggir jalan. Ternyata mereka sedang mengumpulkan ikan Gator (Gabus Toraja) yang ukurannya mencapai ukuran lengan orang dewasa. Mereka tinggal mengambil ikan di kubangan-kubangan yang airnya tinggal sedikit karena saat itu musim kemarau. Ikan tersebut biasanya terjebak di kubangan lumpur dan tidak susah untuk menangkapnya. Penduduk asli sendiri konon tidak doyan dengan ikan Gabus karena bentuk dan sisiknya seperti ular.


Melihat orang-orang mencari ikan gabus, kami sendiri merencanakan di Sota akan mencari tas plastik kresek untuk tempat ikan. Sewaktu dalam perjalanan pulang dari Sota, kami mampir dan cari ikan di kubangan. Tapi yang kami dapatkan hanya sisa-sisa berupa ikan “bethik” (seperti mujahir). Bandhu (teman dari WWF) menyarankan agar kami ambil ikan bethik itu karena kalau digoreng kering, rasanya enak dan “kemremes”. Kami tiba di rumah sudah agak malam sehingga ikan sebanyak dua plastic kresek itu kami taruh di ember di kamar mandi. Pagi-pagi kami dikejutkan oleh suara Bandhu yang sedang muntah-muntah. Ternyata pagi itu dia masuk ke kamar mandi, dan dia mendapati kamar mandi bau bangkai busuk yang menyengat yang berasal dari ikan bethik yang sebagian mati dan berserakan di lantai karena melompat dari ember. Akhirnya ikan-ikan tersebut kami buang begitu saja karena kami tiada waktu untuk memasaknya…..

Penduduk lokal menceritakan bahwa mereka sering makan ikan arowana yang ada di perairan tawar sekitar daerah itu. Selain itu saat bulan Oktober udang laut harganya jatuh karena panen melimpah sementara tidak ada pemasaran keluar daerah. Yach, itulah potret Indonesia yang kaya raya, namun kita belum mampu mengelolanya secara optimal…

Pengalamanku ke luar negeri yang ke dua kali

Kepergianku ke luar negeri yang kedua kali kulakukan ke Papua Nugini secara ”illegal” dalam arti aku menyeberang ke Papua Nugini tanpa melalui prosedur dan dokumen resmi. Saat itu saya dan Mas Haryo sedang memfasilitasi pelatihan Participatory Rural Appraisal untuk masyarakat di sekitar Taman Nasional Wasur – Merauke. Di saat libur oleh beberapa teman WWF Merauke diajak ke jalan ke Taman Nasional Wasur dengan menggunakan motor. Perjalanan kami kemudian mengarah ke kampung Sota yang merupakan daerah perbatasan. Selain melihat keindahan alam Taman Nasional Wasur, kami juga mampir ke beberapa rumah penduduk setempat. Kampung itu selain dihuni oleh transmigran local juga dihuni oleh militer yang menjaga perbatasan.

Di daerah itu kemudian kami pergi melihat tugu tanda perbatasan dengan Papua Nugini. Kami juga sempat menyeberang sekitar 100 meter ke wilayah PNG, walau dengan sedikit perasaan was-was karena keamanan di sekitar itu masih kurang terjamin (isu tentang Gerakan Papua Merdeka yang sering latihan militer di daerah itu). Di lokasi itu kami juga menemukan banyak "sarang semut" yang bentuknya seperti sebuah tugu berukir dari tanah liat setinggi 2 meter. “Kunjungan” kami ke Papua Nugini ini akhirnya hanya berakhir sekitar 100 meter di wilayah perbatasan, karena kuatir aspek keamanan kami kalau melangkah terlalu dalam ke wilayah PNG. Bagiku nggak penting 100 meter atau kurang atau lebih, yang penting sudah menginjak tanah Papua Nugini he..he…he…

Thursday, August 23, 2007

Pengalamanku pergi ke luar negeri pertama kali

Sekitar tahun 1997 sewaktu aku masih kerja di Bina Swadaya, oleh atasanku yakni Mbak Yuni aku diberi kesempatan mengikuti Workshop Internasional tentang Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Partisipatif di Phillipina selama seminggu. Workshop itu diselenggarakan di kampus International Institute for Rural Reconstruction (IIRR) di Silang Cavite (di luar kota Manila).

Setelah menempuh perjalanan 4 jam dari Jakarta, tibalah aku di Manila dan di bandara disambut seorang gadis cantik yang menjadi panitia dan mengalungiku dengan seuntai bunga untuk ucapan selamat datang.Untunglah urusan imigrasi semua lancar. Aku semula agak kuatir karena ini pengalaman pertama pergi ke luar negeri dan bahasa Inggrisku minim banget.
Di forum itu aku satu-satunya undangan dari Indonesia. Aku sekamar dengan seorang teman dari Nepal yang wajahnya kayak bintang film komedi laga Mandarin (Stephen Chow). Dia orangnya humoris dan ramah banget.
Di workshop itu hadir pakar-pakar pendekatan partisipatif sepertti John Gaventa, Irene Guijt dll. Mereka ternyata orang-orang yang menurutku rendah hati dan tidak pelit bagi pengalaman. Peserta-peserta lain dari Afrika, Eropa, Amrik dan Asia juga ramah-ramah dan simpatik. Sampai-sampai ketika aku mau pulang ke Indonesia dan masih memegang banyak uang pesos (mata uang Phillipina), kawan-kawan dari Phillipina membantuku menjual uang peso-ku ke makelar karena di pagi buta itu money changer belum buka. Selama di Manila, urusan makan juga nggak menjadi masalah bagiku karena menu di Phillipina hampir sama dengan Indonesia (sama-sama makan nasi).

Selain materi workshop yang menarik, ada hal lain yang menarik bagiku dan selalu kukenang yakni: Kampus IIRR yang besar, sederhana dan hijau penuh pepohonan merupakan kampus yang sangat nyaman untuk belajar. Apalagi para fasilitator juga tinggal di dalam kampus sehingga interaksi dengan fasilitator juga berlangsung akrab ketika di luar kelas. Proses pembelajaran di lingkungan yang asri, terasa nikmat nian. Hal menarik lainnya adalah gadis-gadis Filipino itu banyak yang cantik dan modis pakaiannya khususnya gadis yang ada darah Spanyolnya (yah kayak Maribeth yang nyanyi Denpasar Moon itu)...ha...ha...
Setelah menikmati kunjungan wisata ke beberapa obyek wisata di Phillipina, tak terasa sudah seminggu berlalu. Akupun berkemas pulang ke Indonesia sambil terbayang-bayang wajah Maribeth-Maribeth muda yang tertinggal disana he...he...he.......…..

Mainan anak yang merangsang kreatifitas

Banyak kenangan indah masa kecilku yang terpateri dalam ingatanku. Salah satunya berupa mainan-mainan tradisional yang biasa dibuat sendiri dengan bahan lokal yang seadanya. Refleksiku mengatakan bahwa proses pembuatan mainan oleh anak-anak itu sebenarnya merupakan suatu proses kreatif yang luar biasa karena si anak dituntut untuk mampu berimajinasi dan kemudian menuangkannya dalam design dan karya dengan bahan yang sangat terbatas. Proses kreatif itu selain melatih olah pikiran (imajinasi teknis), juga melibatkan olah rasa (sense of art) dan juga olah fisik karena si anak dituntut untuk mengerjakan sendiri mainan yang diidamkannya. Misalnya ketika aku membuat mobil-mobilan truk dari kayu, aku dituntut mampu membayangkan seperti apa fisik truk yang sesungguhnya, kemudian mencoba mendesign mobil truk yang ingin kubuat agar nantinya indah dan aku juga dituntut kerja fisik seperti memotong papan kayu dengan gergaji untuk membuat mobil truk idamanku. (Wah... ternyata orang-orang tua di kampung yang lugu dan tidak terlalu well educated secara tidak sadar sejak dulu sudah menerapkan metode-metode pendidikan yang sering dikatakan oleh para orang pintar macam metode Montessori, Contextual Teaching Learning, Nabila/Nature based Learning dll).

Beberapa jenis mainan tradisional itu antara lain: Gledhekan atau motor-motoran dari batang pohon pepaya atau dari tong kaleng, mobil-mobilan dari kulit jeruk bali atau kayu, Bedil-bedilan dari bambu atau pelepah daun pisang, tulup (sumpit) dari bambu, Keris-kerisan dari janur kelapa, Seretan (alat penarik dari pelepah pinang), Kincir air dari pelepah daun singkong, Kitiran kertas, pesawat dari kertas, perahu dari kertas, burung-burungan dari kertas, semprotan air dari pelepah daun pepaya, Layangan, Wayang dari pelepah daun singkong, Long bumbung (meriam bambu), kebo-keboan dari pelepah daun kelapa, sepatu dari jantung pisang, jaran kepang dari pelepah daun kelapa dan lain-lain.

Seperti juga permainan tradisional, alat-alat mainan tradisional ini juga sudah semakin memudar karena banyaknya serbuan mainan produksi pabrik yang mudah didapat di pasar atau kaki lima. Sangat disayangkan memang akan memudarnya mainan tradisional itu karena refleksiku mengatakan bahwa mainan produk pabrik seringkali hanya lebih menumbuhkan sifat konsumeristis, egois dan kurang mengembangkan daya kreatifitas anak.

Permainan anak-anak tradisional yang edukatif



Sewaktu kecil, terdapat banyak permainan anak di kampungku. Permainan itu biasanya dilakukan di sore hari setelah shalat Ashar atau bahkan di malam hari khususnya di malam bulan purnama. Kebetulan halaman rumahku dulu cukup luas dan letaknya di tengah kampung, sehingga di sore hari banyak anak-anak yang suka ngumpul di depan rumahku untuk bermain-main.

Kalau kurenungkan, permainan tersebut sangat bermanfaat untuk menumbuhkan fisik yang sehat karena banyak menggunakan olah tenaga/fisik seperti lari. Selain itu permainan-permainan itu juga membantu menumbuhkan sikap sportif dan melatih kerjasama dalam kehidupan sosial karena permainan tersebut dilakukan secara berkelompok.

Beberapa jenis permainan yang terkait dengan olah fisik (utamanya kecepatan lari dan kelincahan), antara lain: Gobak sodor, Gobak Bunder, Jethungan, perang-perangan dan Jilumpet (petak umpet).

Permainan yang terkait dengan ketrampilan dan kecermatan, antara lain; Benthik, Engkling, Egrang, dan Patholan

Pemainan yang ada unsur judi anak-anak, misalnya: Adu wayang, Bantingan karet, Setripan karet, gejlikan (adu kecik sawo) dan Dhir-dhiran (adu kelereng),

Permainan yang terkait dengan adu kekuatan, antara lain Sathakan (adu buku ruas jari) dan Engkol (pancho)

Sayang nian, permainan-permainan yang edukatif tersebut nampaknya sudah mulai ditinggalkan oleh anak kampung karena populasi anak di kampung sudah menjadi semakin sedikit (mungkin karena keberhasilan program KB) dan semakin banyaknya hiburan lain yang lebih modern.

Tuesday, August 21, 2007

Cari Mama Baru yuk...

Suatu ketika saat berkumpul dengan istri dan anakku, sering muncul isengku. Dudi anakku kuprovokasi: "dik, kita jalan-jalan yuk...cari Mama baru yang cantik dan baik hati". Saat itu Dudi sedang berantem dengan mamanya, sehingga dengan semangat Dudi menjawab: "Iya pah...kita cari mama baru saja... nanti mama kita jadikan pembantu kita saja". Mendengar jawaban itu mamanya hanya bisa ngomel:" anak dan suami sama-sama sablengnya. Mosok mama turun derajat jadi pembantu"...ha..ha...ha...

Tapi suatu saat ketika Dudi sedang baikan dengan Mamanya kucoba provokasi Dudi untuk cari mama baru. Eh, Dudinya malah menjawab:" ah nggak mau.. papa nanti kulaporkan sama Mbah uti Jawa biar dimarahi karena meninggalkan mama. Kan kasihan mama." Mamanya biasanya lalu tersenyum bangga penuh kemenangan kalau mendapatkan pembelaan dari anak semata wayangnya.....

Istanaku = Kandang Kambing

Setelah kontrak rumah di Kauman - Bumiayu selesai, saya dan mas Budi cari rumah kontrakan di dusun Kalijurang II untuk mendekatkan diri dengan Kelompok Tani yang menjadi dampingan kami. Setelah tanya sana-sini, mas Budi menemukan sebuah rumah kontrakan sederhana dan kami segera ingin menempatinya.
Saat itu aku memberitahu pacarku bahwa kami ingin ngontrak rumah di dusun. Dia tertarik ikut melihat rumah kontrakanku yang baru. Bahkan ibunya dan tetangga-tetangganya ingin mengantar kami boyongan. Dengan menggunakan sebuah mobil colt tua, kami boyongan ke dusun. Kebetulan barang milik kami nggak banyak karena hanya berupa sebuah meja kayu murahan, lemari plastik kecil, tikar plastik, kasur, pakaian dan buku.
Sampai di dusun Kalijurang II, kami langsung menuju rumah kontrakan kami. tapi alangkah terkejutnya kami karena dalam rumah tersebut masih ada beberapa ekor kambing. Rupanya Mas Budi karena buru-buru, lupa memberi tahu pemilik rumah kontrakan baru tentang rencana boyongan rumah kami. Melihat kontrakanku sangat sederhana dan masih berupa kandang kambing, ibu pacarku bilang dengan nada prihatin: "Oalah..cari kontrakan kok ya kandang kambing. apa nggak ada kontrakan yang lebih baik? Sederhana ya sederhana tapi mbok ya yang bersih dan sehat. Mosok kandang kambing kok mau ditempati". Untunglah beberapa tetangga dengan sigap datang membantu membersihkan rumah yang jadi kandang kambing itu. (Pa) Man Rakup, Man Sadi, Man Tamud dll langsung membersihkan rumah kemudian menyiapkan kamar mandi darurat dengan dinding dari daun kelapa di belakang rumah.
Rumah kontrakanku berukuran 4x6 meter, dengan dinding bambu yang bolong-bolong lapuk dimakan usia, lantai tanah, atap genteng tanpa plafon sehingga sering tempias ketika hujan, dengan sebuah jendela bambu ukuran besar seperti jendela warung tradisional di kampung. (Dinding rumah yang bolong-bolong akhirnya kami tutup dengan koran dan poster sehingga dinding rumah menjadi seperti majalah dinding besar). Kamar mandi darurat terletak di belakang rumah dengan ember sebagai tempat airnya. WC-nya berupa "jumblengan" atau lubang yang digali ukuran 2x2 meter yang diberi palang-palang bambu diatasnya sehingga kalau musim hujan, baunya yang "sedap" menyebar kemana-mana. Rumahku berada di bawah rimbunnya pohon bambu. Di samping rumah, ada sebuah sumur tua yang dijadikan tempat mandi dan cuci bersama. (Aku jadi ingat kalau dulu suka godain gadis-gadis desa yang mandi di tempat itu he..he...he..). Tempat itu sering becek di musim hujan karena tanah daerah itu berupa tanah liat (lempung). Sarana di rumah itu berupa meja kayu tua dengan dua buah kursi kayu yang panjang, sebuah lemari kayu untuk pakaian,
sebuah dipan untuk tidur mas Budi dan sebuah balai-balai bambu tempat tidurku.
Kami tidak kesulitan untuk adaptasi dengan lingkungan, walau pada mulanya kikuk ketika harus buang air besar di atas WC "jumblengan" yang luasnya cukup untuk akrobat itu. WC yang hanya berdindingkan daun kelapa yang dianyam setinggi 1 meter dan tanpa atap membuat kami agak ragu buang air karena was-was diintip orang he..he...he...Demikian pula kalau mandi, kami memilih membawa air ke kamar mandi darurat kami karena rikuh atau sungkan bila mandi di sumur terbuka bareng ibu-ibu atau gadis-gadis kampung. Padahal sih mereka cuek-cuek saja.....
Pilihan kami memilih rumah tersebut sebagai kontrakan sangat tepat, karena masyarakat menjadi mudah berhubungan dengan kami. selain itu mereka yang sebagian besar merupakan petani sederhana tidak sungkan berkunjung ke rumah kami karena rumah kami juga sederhana. Hampir tiap hari ada petani yang datang menghantar makanan seperti jagung muda, pepaya, sirsak, dodol, kelapa muda dll. Kalau ada orang punya hajatan, kami juga memperoleh kiriman makanan. Kami ibarat raja di istana kandang kambing itu. Di kala bulan puasa mereka rajin menghantar makanan untuk berbuka puasa. Bahkan di saat menjelang lebaranpun meja kami penuh dengan toples yang berisi makanan dari para petani. Sebuah ketulusan dan budi baik yang tanpa pamrih dari para petani itu...Sebuah nilai yang sudah semakin susah dijumpai pada jaman yang semakin materialis dan individualis saat ini....

"Mama-ku" yang galak tapi baik hati

Sewaktu tugas di daerah Bumiayu, setelah indekos di rumah Masturo di Kalijurang I selama beberapa bulan, saya dan mas Budi dapat kontrakan di Kauman - Bumiayu. Di rumah kontrakan ini kami tidak masak sendiri karena berlangganan makan di sebuah warung di depan Losmen Tenteram - Bumiayu. Warung tersebut milik Ibu Fatimah yang akrab kami panggil dengan sebutan "Mama". Selain kami, juga banyak bujangan lain yang bekerja sebagai Guru atau polisi makan di warung Mama. Kami juga banyak kenal dengan salesman yang sering makan di warung Mama atau nginap di losmen Tenteram.

"Mama" orangnya sudah setengah umur (50 tahunan), perangai keras bahkan terkesan agak galak namun orangnya sebenarnya baik hati dan suka menolong. Beliau sangat melindungiku dan perhatian padaku. Beliau kuanggap sebagai ibuku sendiri. Beliau juga sangat karib dengan ibuku dan saudara-saudaraku. Ketika keluargaku mau melamar pacarku, Mama-lah yang ikut repot menyiapkan perlengkapan sampai menyiapkan tim PKK setempat untuk bantu menghantar mas kawin. Sampai saat ini alhamdulillah hubungan kami dengan Mama tetap baik. Beliau juga sangat sayang pada anakku Dudi, yang kalau kami pas pulang dan mampir ke warungnya langsung disediakan berbagai hidangan untuk Dudi.

Semoga Allah senantiasa melindungi Mama dan keluarganya serta melimpahkan kebahagiaan dunia dan akhirat buat beliau....

Cita-citaku jadi ABRI Desa..

Ketika aku bekerja di Program Perhutanan Sosial - Bina Swadaya, pada tahun 1991-1993 aku ditempatkan sebagai Dokumentator Proses di wilayah Kecamatan Bantarkawung dan Kecamatan Larangan Kab. Brebes. Pekerjaanku saat itu mencatat semua aktivitas pembinaan Kelompok Tani Hutan (KTH) yang didampingi oleh petugas lapang Bina Swadaya (mas PN Budiyono) dan petugas-petugas Perhutani.
Di wilayah Bantarkawung, pada mulanya aku dan Mas Budiyono indekos di rumah Bpk. Masturo di dusun Kalijurang I. Suasana di dusun ini relatif sepi, damai dan sejuk. Istri Masturo masakannya cukup lezat sehingga kami jadi gemuk. Tetangga-tetangga cukup ramah. Dimalam hari ketika tidak ada aktivitas pertemuan kelompok tani, terkadang kami main kartu bersama sambil menunggu listrik padam jam 11 malam. Saat itu listrik yang ada masih listrik diesel sehingga jam 11 malam sudah dipadamkan.
Masturo bekerja sebagai penjahit di kampungnya. Keluarga Masturo merupakan keluarga yang berbahagia dengan 2 anak. Anak sulungnya laki-laki bernama Aris, anak keduanya perempuan bernama Dede. Dede punya cita-cita jadi peragawati (sejak kecil Dede sudah kelihatan bibit kecantikannya). Sedang si Aris ketika kutanya apa cita-citanya menjawab dengan lantang dan tegas plus serius bahwa dia punya cita-cita jadi ABRI Desa (Hansip). Mungkin Aris terpesona oleh Hansip yang jaga Kantor Kelurahan yang kelihatan gagah dengan seragam hijaunya, sehingga dia punya cita-cita jadi ABRI Desa.
Setelah saya bertahun-tahun meninggalkan Bumiayu, saya masih sering silaturahmi ke rumah Masturo. Sayang beberapa bulan lalu ketika saya silaturahmi ke Kalijurang I, saya menerima kabar menyedihkan karena Aris "sang ABRI Desa" telah meninggal dunia karena suatu penyakit. Sehingga punahlah sudah cita-cita sang ABRI Desa.......
Semoga almarhum diampuni segenap dosa, dan keluarga yang ditinggalkan senantiasa diberi ketabahan dan kesabaran.... Amin...

Monday, August 20, 2007

Ceiiiilah Mama....

Dongeng lain yang sering kuceritakan pada anakku Dudi menjelang bobok adalah kisah nostalgia percintaanku dengan mamanya. Sambil berbaring bersama Dudi dan mamanya di tempat tidur, kumulai bercerita:
Alkisah pada 10 tahun lalu ada seorang pemuda desa yang sederhana nan bersahaja memulai bekerja di sebuah kota kecil bernama Bumiayu... (biasanya sampai di sini, anakku sudah mulai menebak jalan ceritanya lalu berdehem ehm..ehm..sambil melirik nakal sama mamanya).
Pemuda desa tersebut tinggal di sebuah rumah kos dekat musholla Baitul Amin - Bumiayu. Di rumah kos tersebut, si pemuda desa rajin membersihkan rumah, halaman dan sekitarnya, sehingga menarik perhatian tetangga-tetangganya karena di daerah itu biasanya membersihkan rumah menjadi pekerjaan ibu-ibu atau gadis-gadis. Banyak tetangga yang memuji sikap rajin si pemuda desa. Di antara para tetangga tersebut terdapat seorang gadis yang tinggal di seberang rumah kos. Si gadis nampaknya terpesona sama si pemuda desa dan untuk menarik perhatian si pemuda, gadis itu kemudian ikut-ikutan setiap pagi membersihkan halaman rumahnya padahal dulunya gadis itu paling malas kalau disuruh menyapu halaman...(biasanya sampai disini anakku mulai ngeledek mamanya...ceilaaaah mama.....!!!)
Suatu saat di kala mentari pagi mulai menampakkan sinarnya nan cerah, si gadis tersebut berpakaian rapi bak sekretaris eksekutif dengan baju blazer putih bergaris hitam, rambutnya yang berombak disisir rapih, bergincu merah dan berbedak tipis. Gadis itu berjalan penuh percaya diri menuju jalan raya. Si gadis tersebut memakai sepatu hitam memakai hak tinggi, dan suara langkahnya terdengar nyaring klothak...klothak...klothak... kayak Hansip dikejar anjing....ha..ha...ha... Si pemuda desa yang melihat gadis itu berjalan tegap namun anggun, hanya bisa terpana dan terpesona...Anggun nan cantik nian, ucap si pemuda desa dalam hati.
Di sore hari si gadis pulang ke rumah, dan mampir ke rumah kos si pemuda. Si Gadis tersebut bercerita bahwa dia ternyata sedang mendaftar kerja di sebuah kantor di kota Tegal. Dia ingin bekerja dan menjadi pegawai, untuk meringankan beban keluarga.
Tapi lama ditunggu tiada kabar berita hasil tes di kantor itu. Si gadis pun tiada bersedih karena sebenarnya tiada peduli lagi dengan hasil tes-nya. Sejatinya si gadis merasa berat meninggalkan kampung halamannya. Dimana di sana tinggal si pemuda desa yang menjadi pujaan hatinya.,....
Mendengar cerita tersebut, si Dudi biasanya langsung meledek mamanya; "ceilaaah mama, diam-diam ngebet sama papa ya....".
Mamanya yang diledek cuma bisa bilang: "ah itu papamu yang menjungkir balikkan fakta. Dulu yang ngejar-ngejar itu papa. Mama hanya kasihan ke papa, maka mama mau jadi pacar papa. Tuh lihat surat-surat cinta papa, disitu kelihatan kalo papa yang ngejar-ngejar mama"
Tapi mendengar mamanya sewot si Dudi malah tambah seneng ngerjain mamanya: "Ceiiilah mama, cantik-cantik kok langkahnya kayak hansip dikejar anjing hi..hi...hi..."
Akhirnya mamanya cuma bisa nyerah dan dengan wajah merona merah dia bilang sambil sewot ke aku: "Pa, kalo cerita mbok jangan memutar balik fakta , aku kan malu walau sama anakku..."
Akupun hanya bisa ngakak ha..ha.,...ha... melihat mamanya Dudi nyerah dikerjain anaknya........

Tuesday, August 14, 2007

Mama dulunya dipungut dari tong sampah?

Kalo anakku mau bobo, dia biasa minta didongengi. Aku biasanya menemani sambil mendongeng tentang masa kecilku di desa yang menyenangkan, masa sekolahku, sampai pacaran dan berumah tangga. Dudi sangat senang kalau kudongengi dan biasanya dia minta didongengi ketika "papa masih kecil hingga aku lahir".
Salah satu dongeng fiktif yang kuceritakan adalah sebagai berikut:
"Di suatu senja yang berkabut, nan temaram kota Bumiayu diguyur hujan lebat. Semua orang lebih suka tinggal di rumah untuk menghindarkan diri dari sengatan hawa dingin yang menusuk tulang dan guyuran air yang deras. Setelah beberapa lama, di tengah malam hujanpun reda. Di saat yang dingin, gelap nan kelam itu terdengar rengekan suara tangis bayi dari sebuah bak sampah. Sepasang suami istri mendengar tangisan itu dan mencari arah suara itu berasal. Di tumpukan sampah yang lembab nan busuk, terlihat seorang bayi perempuan berselimut kain kumal sedang dirubung ribuan lalat hijau. Pasangan tua itu kemudian segera mengambil dan menggendong bayi yang kurus kering nan bau busuk itu untuk segera di bawa ke rumah. Karena bayi itu dirubung lalat, maka sampai gadis itu besar tahi lalat yang bertebaran di tubuh gadis itu tiada hilang. Gadis itulah yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Setiawati."
Kalau mendengar cerita itu Dudi langsung bertanya pada mamanya (karena mamanya juga bernama Dewi Setiawati): "benarkah mama ditemukan di tong sampah dulu? benarkah mama hanya anak nemu atau anak pungut?
Sebelum mamanya menjawab, aku bilang ke Dudi: " Itu benar dik, coba lihat aja badan mama banyak tahi lalatnya. Itu karena waktu kecil dia dirubung lalat hijau di tong sampah. Dulu dia ditemukan di tong sampah oleh mbah kakung dan mbah uti"
Mendengar provokasiku yang menyesatkan itu, mamanya Dudi biasanya complain sambil bersungut-sungut : "Itu bohong dik, papamu aja kok dipercaya untuk dongeng gituan...Dasar papa...nanti kubilangin ke Bapak ibu biar dimarahin."
Tapi dasar Dudi juga suka ngeyel, dia terkadang nanyain terus dan membumbuin agar mamanya makin keki... he..he...he... Tinggal Mamanya yang ngomel-ngomel karena di-diskreditkan oleh cerita bualanku dan ledekan Dudi he..he...he...

Dudiku yang jahil...

Sejak kecil Dudi sudah menunjukkan bakatnya yang jahil. Salah satu tingkah kejahilannya adalah kalau aku sedang enak-enak tidur siang, dia pelan-pelan merangkak di belakangku kemudian merangkulkan tangannya yang gemuk ke leherku dengan gaya seperti pemain smackdown sambil menghitung 1,2,3 dst sampai sepuluh pertanda kalau aku menyerah....Tentu saja aku yang dibekap demikian menjadi gelagepan karena kehabisan nafas. Akhirnya tidur siang jadi batal karena ulahnya he..he..
Kejahilan lain adalah dia masih TK, ketika aku sedang mandi pagi dia kancing pintu kamar mandi dari luar dan dia diam-diam aja ngeloyor pergi ke sekolah. Mamanya sendiri tidak tahu kalo Dudi ngancing pintu, sehingga aku terjebak di kamar mandi dan nggak bisa keluar karena nggak ada yang bukain pintu kamar mandi....Paling-paling mamanya Dudi yang bukain pintu setelah dia pulang dari ngantar Dudi ke sekolah TK yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah....
Terkadang aku jengkel namun juga akhirnya ketawa sendiri melihat kejahilannya karena apa yang dia lakukan merupakan potret kejahilan dan warisan dariku...he...he...

Ehm..ehm....Malam pertamaku....

Acara resepsi pernikahanku dilakukan pada malam hari. Pak De dan Bude Abdulah, Bude Muhtohari, Mas Heru, Mbak Tri, Mbak Marsih, Dik Rin, Mas Sukiyat dll merupakan rombongan kerabat dekat keluargaku yang ikut acara resepsi itu. Setelah acara resepsi yang sampai larut, aku dan keluarga istriku membuka kado-kado pernikahan kami. Bermacam rupa kado yang kami terima dari para undangan seperti gelas, jam dinding, alat dapur dll... cuma belum ada kado yang berupa kunci mobil BMW atau kunci rumah ..he..he...he.... Saat itu kami rame-rame membuka kado di atas ranjang pengantin. Karena kelebihan beban dan sewaktu memasang dipan ada sekrup yang nggak pas maka..gedubrak...dipannya ambrol....

Karena capek seharian resepsi dan banyak tamu, saya dan istri segera tertidur sampai pagi harinya bangun kesiangan jam 8 pagi. Karena kami bangun kesiangan, saya dan istri eyel-eyelan untuk menentukan siapa yang harus keluar kamar duluan karena malu sama mertua dan keluarga he..he..he..

Setelah mandi, kami segera ke Losmen Tentram-Bumiayu, tempat keluargaku menginap. Di sana keluargaku sudah siap-siap benah-benah mau berangkat pulang ke Magelang. Mereka juga complain; hei mengapa telat bangun nih...? Mentang-mentang pengantin baru ha.ha...ha...

Sehabis menghantar keluargaku berangkat pulang ke Magelang, kami mau pulang ke rumah mertua dan dicegat sama serombongan ibu-ibu. Mereka menanyai:" Kudengar semalam dipannya ambrol ya? pakai gaya apa sih kok bisa sampe ambrol gitu?". Mendengar pertanyaan itu, aku dan istriku ketawa ngakak...dan akhirnya kami jelaskan bahwa dipan itu ambrol karena diduduki rame-rame sewaktu membuka kado dan bukan karena gaya smackdown kami yang dahsyat ..he....... he...he...

Monday, August 13, 2007

Mau nikah kok klayapan ke pasar hewan....

Sehari sebelum "hari H" pernikahanku, kawan-kawan kerjaku di Bina Swadaya seperti mas Haryo, Mas Ruruh dkk. datang di Bumiayu untuk menyaksikan pernikahanku. Pagi harinya mereka kuajak jalan-jalan melihat keadaan kota kecil Bumiayu. Kebetulan hari itu hari Wage yang merupakan hari pasaran untuk pasar hewan Bumiayu, sehingga rombongan kuajak ke sana untuk melihat transaksi jual beli hewan, alat pertanian dll...Aku sendiri punya hobby untuk berkunjung ke pasar tradisional. Kemanapun aku pergi ke suatu daerah, aku senang lihat pasar tradisional. Karena bagiku, pasar tradisional itu merupakan potret gamblang kondisi sosio kultural masyarakat di situ...
Sehabis jalan-jalan, Dewi yang saat itu jadi calon istriku ngomel-ngomel karena jam 10 pagi kami mau akad nikah kok masih sempat-sempatnya klayaban ke pasar hewan ha..ha...ha...
Akhirnya akad nikah dilaksanakan tanggal 15 Mei 1995 jam 10 an pagi. Dengan disaksikan keluargaku, keluarganya dan kerabat dekat, akad nikah yang berlangsung di musholla Baitul Amin, Kauman - Bumiayu berjalan lancar karena aku sudah hafal ucapan ijab-qabulnya. Bapak mertuaku sendiri yang bertindak sebagai wali istriku. Terus terang semula aku agak deg-degan karena malu kalau keliru (bukan deg-degan karena hendak memikul tanggungjawab berat sebagai seorang suami lho....). Dengan selesainya acara akad nikah ini, resmilah sudah aku menjadi suami dari Dewi Setiawati dan meninggalkan status bujanganku untuk menyambut statusku yang baru sebagai seorang suami dan kepala keluarga......

Mas kawin, kristalisasi keringatku...

Jauh hari sebelum lamaran ke rumah Dewi, aku diajak ibuku ke pasar Muntilan untuk membeli beberapa barang untuk persiapan mas kawin. Beberapa barang yang kubeli berupa sepasang cincin kawin, seuntai kalung, beberapa bahan kebaya, tas perempuan, sandal, koper dll. Mungkin barang yang kubeli tersebut tiada mahal atau bernilai harganya, karena memang sangat sederhana. Tapi itulah kemampuanku saat itu.... Meski demikian aku bangga karena untuk keperluan pernikahanku, aku tidak banyak merepotkan bapak ibuku. Walau gajiku tidak banyak, dengan bimbingan ibuku aku mampu menabung dan membeli barang-barang itu dengan tetesan keringatku .....

Friday, August 10, 2007

Rumahku ndeso banget lho...

Ketika aku pacaran sudah semakin serius, suatu saat keluarga Dewi (bapak, ibu, nenek, saudara-saudaranya) gantian silaturahmi ke kampungku. Kubilang jauh hari sebelumnya bahwa rumahku ndeso banget dan harus jalan kaki berkilo-kilo. Rumah orangtuaku hanya gubug reot dan tidak ada WC jadi semua harus nyebur ke kali untuk buang hajat dll. Jadi semua harus persiapan fisik dan mental.
Mereka berangkat dari Bumiayu dan mampir ke tempat kakakku sulung di Wonosobo. Kakakku yang bernama Mas Har inilah yang kemudian jadi pemandu jalan ke rumahku yang di ndeso itu.... Setelah dari Magelang, rombongan kemudian menyewa kendaraan angkutan desa sampai ke rumahku. Di rumahku rombongan Dewi bertanya-tanya kenapa mampir di situ?. Dewi menjawab bahwa mungkin sopirnya perlu istirahat sebentar karena perjalanan masih jauh. Mereka baru sadar telah kubohongi setelah Bapak Ibuku menyambut mereka. Mereka semula masih berpikir rumahku benar-benar jauh di pelosok dan harus jalan kaki berjam-jam.... Memang rumahku ndeso tapi untuk jalan kaki sebenarnya hanya cukup sekilometer saja.
Di rumahku ibuku kemudian sibuk masak-masak, dan rombongan keluarga Dewi jadi agak kikuk karena kalau ibuku menawari makanan, karena makanan itu disodorkan terus sampai si tamu mengambilnya. Itu tradisi di kampungku.
Malam harinya untuk rombongan keluarga si Dewi sudah di siapkan tempat tidur. Tapi yang ibu-ibu lebih suka tidur rame-rame dalam satu dipan...tahu-tahu...gedubrakkk.... dipan tempat tidurnya jebol karena kelebihan beban he..he..he... itulah nostalgia kunjungan keluarga Dewi ke rumahku....

Thursday, August 09, 2007

Serangan kilat keluargaku...

Saat pacaranku dengan Dewi menginjak 3 bulan, kukirim surat ke ibuku yang tinggal di kampung bahwa aku sudah punya pacar. Ibuku kaget dan cemas karena kuatir aku sudah berbuat yang enggak-enggak...ha..ha... Ibuku kemudian bilang kepadaku bahwa sebaiknya keluarga kami segera ke bersilaturahmi ke rumah Dewi untuk menunjukkan keseriusan kami. Ibuku bilang bahwa tidak baik menggantung nasib anak perempuan. Selang sebulan kemudian, bapak dan kakak sulungku bersilaturahmi ke tempat Dewi. Dewi yang saat itu sedang bekerja di BKIA terkejut dengan kedatangan adiknya yang menyusulnya dan memberitahu bahwa bapak dan kakakku berkunjung ke rumah dia. Dia terkejut karena selama ini aku diam tidak pernah ngomongin hal itu. memang ini skenarioku untuk bikin kejutan ha..ha...ha... Dewi ngomel-ngomel padaku tentang kejutan ini, tapi aku yakin bahwa dalam hatinya dia sangat bahagia dengan kedatangan keluargaku he..he....he...
Setelah pacaranku hampir setahun, gantian ibu, bapak dan kakak-kakakku datang kembali kerumahnya. Pada malam harinya Dewi diajak oleh ibuku untuk menemani ibuku tidur di tempat kosku. Di situ Dewi melihat keluargaku bawa banyak koper. Pagi hari sehabis shubuh Dewi cepat-cepat kabur dan memberi tahu bahwa keluargaku mau lamaran sekaligus tunangan. Keluarga Dewi geger karena mereka belum ada persiapan makanan sama sekali. Dikiranya kunjungan keluargaku kami hanya silaturahmi biasa. Akhirnya dengan mendadak, keluarga Dewi segera masak-masak untuk menjamu keluargaku. Setelah jam 10 pagi, keluargaku yang disertai rombongan PKK setempat yang dikerahkan oleh "Mama Fatimah" berangkat ke rumah Dewi sambil membawa serah-serahan (bahan mas kawin). Rombongan PKK setempat dikerahkan karena rombongan keluargaku sedikit dan tidak mencukupi untuk membawa serah-serahan yang terdiri dari beberapa jenis barang.
Pada saat itu juru bicara dalam rombongan keluargaku adalah sepupuku yang bernama Mas Sukiyat. Dia purnawirawan ABRI dan pernah lama tugas di Bumiayu sewaktu jaman DI/TII dan orangnya suka guyon. Oleh Mas Sukiyat, di depan keluargaku, keluarganya dan beberapa kerabat serta tetangga dekat, Dewi ditanya apakah dia mau jadi istriku...ehm..si Dewi hanya senyum-senyum malu sambil pipi merona merah..ha..ha...ha... Walau Dewi tidak menjawab secara verbal tapi diartikan oleh mas Sukiyat bahwa si dewi ho-oh alias setuju banget he..he...
Akhirnya acara itu berlangsung sukses, dan keluarga kami pamitan siang harinya. Tinggalah si Dewi dan keluarganya yang ngomel padaku karena aku tidak memberi tahu rencana lamaran ini...aku hanya cengengesan saja karena aku yakin mereka juga bahagia dan aku telah menunjukkan bahwa keluargaku adalah keluarga yang bertanggungjawab......

Ungkapan hati lewat Surat...

Ketika aku sudah mulai pacaran dengan Dewi, rasanya pengin setiap saat bersamanya... Kalau aku pas tugas selama sekitar seminggu di kecamatan Larangan yang berjarak sekitar 25 kilometer, setiap hari doi kukirimi surat via pos. Aku ingat kertas surat dan amplopnya bergambar romantis Demi Moore, karena saat itu sedang wabah film "Ghost" yang dibintangi Si Demi dengan Patrick Swayzee.
Yang bikin heboh adalah surat itu kukirim ke alamat doi bekerja di BKIA dengan kata-kata "Untuk calon ibunya anak-anak". Wah teman-teman doi akhirnya pada ngeledekin doi terus he..he...he... Tapi surat-suratku tiada pernah doi balas, karena ternyata doi punya kesulitan untuk menulis surat..yah penyakit sulit untuk menulis yang diderita banyak orang Indonesia ternyata juga menghinggapi doi...BTW, nggak apa-apa doi tidak bisa nulis surat, yang penting dia juga sayang padaku ...he..he...he..

Cinta dibalik sebuah novel....

Ketika tahun akhir 1991 aku bekerja di LSM Bina Swadaya dan ditugaskan untuk mendampingi Kelompok Tani Hutan di daerah Bumiayu dan Larangan- Kab. Brebes. Melalui perantaraan Ibu Fatimah yang akrab kami panggil "Mama", aku berhasil mendapatkan sebuah rumah kos-kosan di daerah Kauman - Bumiayu.
Singkat kata, aku pindah ke rumah kos-kosan itu dengan Mas Budi mitra kerjaku. Di Kauman, ternyata banyak gadis-gadis yang lumayan cantik (setidaknya menurut seleraku..). Karena di rumahku ada mesin ketik, di sore hari banyak anak-anak muda yang sering main di kos-kosanku untuk numpang ngetik proposal kegiatan remaja masjid dll. Salah seorang gadis yang sering ikut ngobrol di kos-kosanku bernama Dewi Setiawati. Dia berambut keriting berombak, kulit kuning, ramah, suka guyon dan cantik (setidaknya menurutku lho)... Dia juga aktif di remaja masjid di kampung itu. Dia merupakan anak ketujuh dan ayah ibunya berprofesio sebagai Kepala sekolah SD dan aktif di organisasi Muhammadiyah.
Di kos-kosanku dia lihat aku punya koleksi kaset dan buku novel. Karena dia suka baca maka dia pinjam bukuku dan akupun meminjam koleksi-koleksi miliknya. Kami saat itu sangat menggemari bukunya Sidney Sheldon. "Witing tresno jalaran soko kulino" atau adanya cinta karena dari terbiasa merupakan proses yang tumbuh dalam hatiku. Dari saling meminjam novel dan kaset, tumbuh perasaanku tertarik padanya. (Kayaknya doi juga punya perasaan yang sama sih he...he...). Sampai suatu saat dia kukirimi surat setengah guyon berupa selembar "Surat Pernyataan Cinta yang lengkap dengan materai" (surat ini masih kudokumentasikan sampai sekarang). Walaupun rumah kami hanya berseberangan dengan jarak 20 meter, surat tadi kukirim via pos kilat. Cilakanya, yang menerima surat itu ibundanya yang terkenal agak streng...Surat itu dibuka oleh ibundanya dan ibundanya cuma geleng-geleng kepala melihat kelakuanku sambil mbatin aku ini serius apa nggak sih dengan surat itu...ha..ha...ha...
Untunglah hati ibundanya sudah luluh dulu dengan tingkahku. Akhirnya setelah beberapa lama ibunda dan Bapaknya menyuruh si Dewi untuk memanggilku guna diinterogasi tentang maksud hatiku yang sebenarnya. Wah pucuk dicinta ulam tiba.... Tak sabar menunggu sore menjelang, bada isya aku ke rumahnya. Disana beliau menanyai maksud hatiku....Kujawab semi cengengesan bahwa aku serius ingin pacaran dan merajut kasih dengan Dewi. Insya Allah nanti kami bisa menjadi pasangan suami istri. Akhirnya beliau berdua merestui... yah akhirnya kami jadi pacaran.....dan berakhirlah musim men-jomblo buatku...

Dudi dan Kak Dita

Ketika Dudi berumur sekitar 1 tahun, kami tinggal di Perumahan Pondok Cipta, Kranji-Bekasi Barat. Di tempat itu ada seorang gadis kecil yang lincah bernama Dita. Dita saat itu kelas 3 SD atau berumur sekitar 9 tahun. Dita sangat sayang sama Dudi, sehabis pulang sekolah dia "culik" Dudi ke rumahnya untuk diajak main-main. Saat bobok siang, Dudi dianterin ke rumah dan sorenya diambil lagi. Mamanya Dita yang kami sebut Mama Aang juga sangat sayang sama Dudi. Sehari-hari Mama Aang masak untuk Dudi.
Sayang, ketika Dita menginjak kelas 4 SD, Dita pindah ke kampung halaman mama Aang di Pati. Dan sejak itu Dita dan mama Aang tidak pernah kami jumpai walaupun aku sudah mencari melalui berbagai media. Surat yang kukirim ke alamat mereka di Pati juga tiada berbalas karena konon mereka sudah pindah... Semoga Allah senantiasa melindungi dan melimpahkan hidayah-Nya untuk Dita dan Mama Aang sekeluarga.....Semoga suatu saat kami bisa bersilaturahmi dengan Dita dan Mama Aang sekeluarga, untuk membalas budi baik Mama Aang yang tidak akan pernah kami lupakan....

Tuesday, August 07, 2007

Dudiku yang penuh pengertian...

Sewaktu aku bekerja di LSM Bina Swadaya, gaji yang kuterima tidak terlalu besar sehingga aku sekeluarga dituntut untuk hidup hemat dan pintar mengelola uang. Alhamdulillah dengan cara tersebut, gaji yang kuperoleh bisa mencukupi kebutuhan keluarga untuk hidup sederhana. Aku, Istriku dan Dudi anak semata wayangku alhamdulillah masih bisa berteduh, makan kenyang dan berpakaian pantas walau tidak mewah...
Ketika Dudi masih berusia 2 tahunan dan saat itu sedang musim sinetron Panji Milenium dan Saras 008, Dudi pengin banget punya kaos bergambar Saras 008. Dengan berbekal uang 30 ribu di kantong, kuajak dia ke pasar tradisional dekat tempat tinggalku yakni di Pasar Kranji - Bekasi Barat untuk membeli kaos idamannya. Saat masuk ke pasar matanya tertarik melihat 5 buah robot Power Ranger ukuran kecil yang ada lampu didadanya. Walau dia tidak ngomong padaku kulihat dia naksir berat dan tatapan matanya menyiratkan keinginannya yang amat dalam untuk memiliki mainan robot itu.... Robot itu kuperiksa dan ternyata harganya 50 ribu, padahal uang di kantongku hanya ada 30 ribu....
Akhirnya dengan lembut kurayu Dudi; "Dudi pengin mainan robot itukah?"
Dudi matanya berbinar dan mengangguk pasti sambil menjawab; "Ya pa..bagus banget robot itu"
Dengan perlahan kubilang; "Papa juga pengin banget beliin mainan robot untuk Dudi. Tapi papa lagi nggak bawa uang nih...karena tadi kita kan hanya ingin beli kaos. Jadi papa hanya bawa uang sedikit. Nanti kalau papa sudah gajian, nanti kita kembali ke sini dan beli robot itu ya? sekarang kita beli kaos Saras dulu ya dik....? Papa janji nanti kalau gajian kita beli robot itu"
Alhamdulillah Dudi dengan penuh pengertian Dudi mengangguk ikhlas dan menjawab: "bener ya pa nanti kita beli robot itu kalau papa sudah gajian ya.. kita sekarang beli kaos aja...."... Plong rasanya mendengar jawaban Dudi yang penuh keikhlasan itu....
Setelah 2-3 mingguan ketika aku mempunyai sejumlah uang yang cukup untuk membeli robot itu, aku bilang kepada Dudi;"Dik, kita jalan-jalan ke pasar Kranji yuk...kita beli robot Power Ranger yang dulu adik suka itu". Apa jawaban Dudi?
Dudi menjawab dengan nada sabar namun penuh gembira dan mata berbinar:"Emangnya papa sudah punya uang untuk beli robot itu? kalau belum punya nanti aja nggak apa-apa kok, nanti belinya kalau papa sudah punya uang".
Mendengar jawaban itu, hatiku menjadi trenyuh, terharu bercampur bahagia sampai mataku berkaca-kaca karena anakku yang masih kecilpun sudah mampu dan mau untuk memahami keadaan orang tuanya yang hidup sederhana. Akhirnya kami pergi ke Pasar Kranji dan Dudi mendapatkan robot Power Ranger idamannya. Sampai saat ini robot itu masih terawat baik walaupun robot itu dibeli sekitar sepuluh tahun lalu.
Pesan moral dari pengalaman ini adalah: (1) Sejak dini kepada anak perlu ditanamkan sikap hidup bersahaja dan mau memahami keadaan dan kesulitan orangtuanya sehingga dia tidak tumbuh menjadi anak manja (2) Orang tua juga harus konsisten dan amanah. Kalau orangtua berjanji juga harus ditepati agar tumbuh rasa percaya dari anak kepada orangtua. (3) adanya rasa saling percaya ini akan membantu menumbuhkan sikap saling pengertian menuju terciptanya keluarga yang harmonis.

Monday, August 06, 2007

Dudi: singa pejuang kecilku

Tahun 1996, waktu istriku hamil mendekati delapan bulan, dia kukirim ke kampung halamanku di Magelang dengan pertimbangan agar irit saat melahirkan, karena biaya melahirkan di Magelang lebih murah daripada biaya melahirkan di Jakarta. Selain itu di kampungku ada ibuku yang bisa membantu menjaga istriku bila mau melahirkan sewaktu-waktu…

Di kampungku, ibu selalu rutin mengajak istriku kontrol ke bidan atau dokter. Alhamdulillah saat itu istriku juga nggak ngidam yang aneh-aneh. Dari USG oleh dokter, diperkirakan anakku sangat sehat karena detak jantungnya kuat dan diperkirakan akan lahir 16 September 1996. Istriku saat itu kemudian menelponku dan bilang sangat bahagia, karena kalau anakku lahir tanggal itu maka itu akan jadi hadiah ulang tahun yang paling berharga buat dia. Istriku sendiri lahir pada tanggal yang sama tahun 1972. Mendengar telpon istriku, aku merencanakan pulang pada hari Jumat tanggal 13 September 1996 agar bisa menunggui istriku melahirkan. Mbak Yuni yang menjadi bosku di kantor LSM Bina Swadaya juga merekomendasikan aku agar ambil tugas luar di Jateng saja selama seminggu agar bisa dekat keluarga…

Tanggal 13 September sewaktu aku pulang dari shalat Jumat, teman-temanku menyalami aku dan mengucapkan selamat. Aku bingung dan teman-temanku menjelaskan bahwa ketika aku shalat jumat ada telpon dari keluargaku yang menginformasikan anakku sudah lahir selamat dan sehat tanggal 13 September pagi di rumah sakit Gladiol Magelang. Sore harinya dengan menumpang bus aku pulang ke Magelang. Perjalanan ke Magelang yang 12 jam terasa amat lambat bagiku yang sudah kangen istri dan kepengin melihat anakku.
Keesokan hari, sampailah aku disana dan langsung menuju ke rumah sakit menengok anak istriku. Di pagi yang cerah itu, istriku kemudian bercerita tentang pengalamannya melahirkan. Sejak jam 1 malam tanggal 13 September, dia sudah merasa mulas dan berulangkali ke kamar kecil. Dia tidak berani membangunkan ibuku karena kuatir mengganggu. Untunglah setiap subuh ibuku selalu menengok istriku. Melihat pagi itu istriku sudah bangun maka ibuku terkejut dan menanyakan apakah istriku merasa mulas? Ibuku juga langsung membangunkan kakakku dan saudara-saudaraku untuk berkemas-kemas ke rumah sakit untuk mengantar istriku. Jam 7 pagi mereka berangkat ke Rumah Sakit. Di rumah sakit dia langsung dimasukan ke ruang bersalin dan langsung ditunggui dokter spesialis kandungan. Eh …mungkin karena ditunggui dokter, bayinya malu ke luar maka setelah menyuntik terlebih dahulu dokter kemudian meninggalkan istriku ke luar kamar. Walaupun mulas-mulas istriku mencoba sabar dan tawakal. Kakak sepupuku yang menungguinya juga menawarkanpada istriku untuk makan telur ayam kampong mentah agar persalinan lancar, tapi istriku menolak karena tidak biasa makan telor mentah. Kakak sepupuku sangat memuji ketabahan istriku yang tetap tenang meski menahan sakit mulas. Tidak sedikit orang perempuan sering meraung-raung kesakitan karena tidak kuat menahan sakit ketika melahirkan. Alhamdulillah sekitar jam 9 pagi bayinya lahir. …

Ibuku yang mengetahui kedatanganku pagi itu kemudian membawaku menengok bayiku ke ruang karantina bayi. Disana kulihat bayiku yang masih merah sedang memejamkan mata sambil sesekali menggeliatkan badan. Mungil, imut dan lucu bayi itu... Ibuku cerita bahwa bayiku mudah dikenali karena kalau menangis suaranya kencang. Bayiku suka menangis terutama kalau lapar atau haus. Dia juga suka kentut ...duuuut...bunyinya keras juga...

Sehabis menengok bayiku, aku tertidur di kamar istriku karena semalaman sulit tidur di bus. Aku terbangun sewaktu ada suara celoteh dari perawat-perawat yang akan memeriksa dan memandikan istriku. Kalau ingat peristiwa saat itu, istriku sering protes karena aku bukan seorang suami yang romantis. Alasannya selain dia harus bertaruh nyawa sendirian ketika melahirkan tanpa ditunggui suami, eh...suami datang nggak ngucapin selamat sambil membelai istri tercinta malah ngorok di lantai di bawah kolong tidurnya he.,..he...he...

Akhisnya setelah 3 hari di rumah, bayiku kubawa pulang. Sudah kusiapkan sebuah nama untuknya yakni Muhammad Azaduddin Hazazi yang artinya Singa Pembela Agama yang rajin dan gagah berani. Hazazi juga kupilih untuk mengingat tahun tersebut terdapat pelanggaran hak azazi yang serius dimana kantor PDI di Jakarta yang dikuasai kelompok Megawati diserbu oleh pihak lain dan korban meninggal maupun luka berjatuhan walau tidak ada angka pasti tentang jumlah korban yang bisa dijadikan rujukan.. aku duga korban yang jatuh sebagian besar adalah wong cilik yang saat itu simpati kepada Megawati karena Megawati didzolimi oleh pihak lain. Melalui nama Mohammad Azaduddin Hazazi atau biasa kupanggil Dudi itu, kuberdoa semoga anakku nantinya mampu menjadi singa pejuang kebenaran azazi yang gagah berani....khususnya pembela bagi masyarakat yang tertindas....Semoga Tuhan mengabulkan doaku........Amin....