Friday, June 29, 2007

Tips menangkap laron

Ketika aku kecil (tahun 1970an), laron masih sering muncul di malam hari. anak-anak biasanya suka menangkap laron dan dikumpulkan untuk kemudian digoreng atau dibikin rempeyek (goreng dengan tepung). Waktu menggorengnya harus kering benar supaya aroma tengik-nya (sengir) hilang.
Laron yang muncul dimalam hari mudah ditangkap, dengan cara menyiapkan tampi dan di atasnya ditaroh lampu minyak (karena belum ada listrik saat itu). Biasanya laron akan ngumpul dan kalau sudah ngumpul nanti laron didalam tampi itu di-uyek (atau ditekan pelan dengan cara berputar) agar bulunya rontok sehingga laron itu tidak bisa terbang kabur.

Kalau laron itu muncul di sore atau pagi hari (biasanya sehabis hujan), biasanya yang keluar tidak banyak. Oleh karena itu perlu dipancing dengan cara menusuk laron hidup dengan sebatang lidi kecil dan ditancapkan di mulut lobang tanah tempat keluar laron. Karena pancingan seperti itu biasanya laron akan mulai keluar berombongan.

Kalau laron yang sedang terbang biasanya ditangkap dengan di-saut atau disambar dengan tangan. Aku masih ingat lagunya anak-anak ketika mencari laron yaitu:
erek-erek sunti kencur,
kowe endhek aku dhuwur... (kamu rendah aku tinggi)

Lagu itu dinyanyikan terus sambil mendekati laron yang terbang (mungkin ini seperti rayuan agar laron mau terbang rendah sehingga mudah disambar). Yah ternyata sejak dulu manusia sudah mengenal ilmu rayuan...buktinya binatang seranggapun diajak komunikasi walau akhirnya diperdaya.....




Sumber gizi alternatif di masa kecilku...


Masa kecil di kampung yang jauh dari gemerlap kota, membuat orang ndeso harus kreatif mencari sumber gizi. Beberapa sumber gizi alternatif yang kudapat dimasa kecil antara lain:

(1) Cicak, yang kutangkap kemudian kumasukkan didalam bara di tungku kayu(luweng) yang ada di dapur (pawon). Sebelum kering, cicak kuangkat dan kukeluarkan jerohannya dan kubuang kepalanya. Seingatku cicak ini gurih rasanya dan dipercaya untuk obat kudis. (Seingatku aku jarang kudisan ketikamasih suka makan cicak bakar).

(2) Gangsir yaitu serangga kayak jangkrik tapi ukurannya lebih besar. Gangsir ini biasanya ada di lahan kering (kebun atau halaman). Gangsir ini biasanya didapat ayahku ketika mencangkul di kebun. Selain itu anak-anak juga suka menggenangi lobang dalam tanah yang menjadi rumah gangsir dengan air sehingga gangsir itu keluar dari lobang dan mudah menangkapnya.Gangsir ini setelah dibersihkan isi perut dan bulunya, enaknya digoreng. Cara masak yang lain adalah gangsir di-uleg kemudian dipepes kering dengan parutan kelapa.

(3) Gendon yakni ulat penggerek berwarna putih, penuh lemak dan ada didalam batang pohon yang agak empuk misalnya sengon. Karena bentuknya yang putih berlemak dan menggelikan, aku kurang suka terhadap gendon ini. Cara memasaknya adalah dengan digoreng.

(4) Laron, yakni serangga yang biasanya terbang dan tinggal dekat dengan rumah rayap. Laron ini biasanya muncul di malam hari dan cara masaknya dengan digoreng.

(5) Kampret atau kelelawar yang ditangkap dengan senapan angin atau dengan mencari di dalam daun pisang yang masih kuncup. Kelelawar ini sesudah di-beset atau dibuang kulitnya kemudian dicuci dan digoreng. Di beberapa tempat seperti Cilacap dan Banyumas, kampret ini dipercaya sebagai obat penyakit asma.

(6) Bulus atau kura-kura yang kalau pas beruntung bisa kita dapatkan di kali atau sawah. Cara masaknya dengan dibumbu mangut atau kuah santan.

(7) Marmot semacam kelinci kecil. Marmot ini mudah dipelihara karena makan dedaunan dan cepat berkembangbiak. Cara masaknya dengan digoreng atau dibumbu lainnya.


Itulah sumber gizi alternatif masa kecilku...mungkin bagi anda itu menjijikkan, tapi aku tetap mensyukurinya karena masih banyak saudara kita yang hingga saat ini belum bisa makan kenyang bahkan mati kelaparan...

Menu makan di kala prihatin


Ketika kecil aku tinggal di daerah pegunungan di kaki gunung Merbabu. Saat itu (tahun 1970 an) daging, telor bahkan indomie masih menjadi makanan mewah bagi masyarakat. Di sisi lain ikan sudah mulai susah di dapat. Makanya ketika bulan puasa, ikan asin pindang yang sebesar ibu jari sudah merupakan makanan mewah bagiku. Aku sendiri sangat suka ikan asin. Kalo bapakku pulang kenduri, selain daging ayam, ikan asin murahan (istilahnya gereh pethek atau keper) yang digoreng pake tepung merupakan makanan yang paling kucari.

Bahkan demi ikan asin, aku rela untuk kumpulin tali sandal jepit, ember/baskom plastik atau barang bekas lainnya untuk ditukar ke pemulung dengan segenggam ikan asin. Ikan asin yang kuperoleh kadang kugoreng, terkadang kalau ibuku tidak punya minyak goreng, ikan asin tersebut kubakar didalam bara lalu kugunakan untuk lauk makan.... Walaupun mungkin tidak hygienis, alhamdulillah aku tidak pernah sakit perut gara-gara makan ikan asin....

Saat ini karena ekonomi masyarakat mungkin sudah membaik, barter sandal jepit dengan ikan asin ini sudah mulai jarang kutemukan. Barter dengan pemulung yang nampaknya ada adalah barang rongsokan ditukar dengan mainan anak-anak. Tapi soal kesukaanku pada ikan asin ini terus berlangsung sampai sekarang. Walaupun di Kalimantan Timur aku menikmati berbagai jenis ikan sungai yang lezat, namun kerinduanku sama gereh atau keper ini tidak pernah pudar. Sayangnya, istriku tercinta yang kuminta untuk mencari gereh di pasar tradisional Samarinda tidak pernah ketemu jua walau dia sudah mengobok-obok seisi pasar (sampai badannya bau ikan asin..:-)). Mungkin karena di Samarinda ikan yang bagus mudah didapat sehingga ikan murahan seperti gereh tidak laku sehingga tidak ada yang jual....


MEMET: mencari ikan

Memet (baca bunyi “e” seperti bunyi “e” pada kata “pelet“ atau ”keket”), merupakan kegiatan mencari ikan di sungai, kali kecil, saluran irigasi atau di sawah. Memet ini biasanya dilakukan ketika musim kemarau. Memet ini kebanyakan dilakukan oleh anak-anak (walaupun ada beberapa orang dewasa suka melakukannya). Saya sendiri dulu suka memet untuk mencari lauk pauk makan.

Memet bisa dilakukan dengan beberapa cara, yakni:
(1) Cara pertama, membendung kali di bagian hulu (atas), kemudian air yang masih tersisa di beberapa kubangan di hilir (istilahnya ”kedhokan”) dibuang pakai ember. Setelah air mulai berkurang, ikan-ikan yang ada di kubangan itu akan kelihatan dan tinggal mengambilnya.
(2) Cara kedua, adalah menggunakan ”irig” yaitu semacam tampi dari bambu yang anyamannya renggang. Dengan alat penyaring ini kita tidak perlu menguras air tapi cukup dengan menjaring ikan di kubangan dengan alat irig ini.
(3) Untuk di pematang sawah, memet dilakukan dengan cara ”merogoh” atau memasukkan tangan ke lobang-lobang yang diduga menjadi persembunyian ikan. Untuk menghindarkan agar kita tidak salah merogoh lobang ular, biasanya kita intip atau amati dulu. Kalau di muka lobang itu nongol kepala ikan (biasanya ikan gabus) maka barulah kita rogoh lobang itu.
(4) Untuk di sungai yang berbatu yang dangkal (kurang dari 20 cm), biasanya memet dilakukan untuk mencari udang kali yang kecil-kecil. Caranya adalah dengan pelan-pelan kita mendekapkan telapak tangan kita ke rongga tumpukan batu-batu kecil dan perlahan-lahan kita buka batu yang diatas sambil waspada agar udang buruan kita tidak kabur. Udang termasuk binatang lincah jadi kita harus senantiasa siap untuk mencegat mereka kabur.
(5) Memet menangkap belut biasanya dilakukan sambil mencangkul di sawah. Biasanya belut membuat lobang dan ketika sambil mencangkul kita bisa mentelusuri jejak belut itu.

Memet saat ini sudah semakin jarang dilakukan karena populasi ikan di sawah maupun di sungai sudah semakin sedikit. Banyaknya racun pestisida maupun setrum ikan, mengakibatkan ikan menjadi punah. Selain itu, alternatif lauk pauk lain seperti telur, ikan laut, dan daging yang relatif mudah didapatkan membuat kegiatan memet ini menjadi semakin jarang dilakukan oleh anak-anak.

Thursday, June 28, 2007

Merpati sebagai sumber protein hewani


Mungkin anda sudah pernah merasakan merpati goreng? Yah lumayan gurih kan?

Selain digoreng, ketika kecil saya juga suka makan telur merpati rebus. Telur merpati ketika direbus, putih telurnya tetap berwarna agak bening dan kenyal seperti daging buah rambutan. Hal ini berbeda dengan telur ayam atau bebek yang putih telurnya berwarna putih ketika direbus. Mungkin ini dipengaruhi oleh jenis kandungan dan komposisi zat yang ada di telur-telur tersebut. Meski demikian telur merpati rasanya tetap enak dan gurih.

Masakan lain yang kusuka adalah ”gethik” atau merpati cincang. Untuk membuat gethik ini diperlukan anak merpati (piyik) yang baru mulai tumbuh bulu dan mulai berani keluar dari kadang (pagupon) atau istilahnya ”mapag lawang”. Piyik ini disembelih dan bulu halusnya dibuang atau dibakar, kemudian dibuang ususnya dan dibersihkan. Piyik yang sudah dibersihkan ini kemudian dicincang beserta tulang-tulangnya. Karena masih muda, tulang piyik ini mudah dilumatkan. Setelah halus kemudian dimasak pakai merica dan bumbu lainnya.... Hm sedap, ketika gethik tersebut dimakan dengan nasi putih yang masih panas (kemebul).......kata orang, gethik ini bisa buat jamu tambah stamina...

CARA MEMILIH MERPATI ADUAN

Untuk memenangkan aduan merpati, dibutuhkan kejelian dalam memilih merpati. Didaerahku orang dulunya membedakan beberpa jenis merpati misalnya merpati ambon, merpati surabaya, merpati jawa, merpati pos dst. Saya sendiri tidak tahu persis ciri-ciri fisik masing-masing merpati itu. Cuma seingatku kalau merpati pos itu agak besar, bathok kepalanya nonong kayak ikan lohan. Merpati pos ini terbangnya agak lambat tapi staminanya dan daya ingatnya kuat. Merpati Jawa itu agak kekar, mata tajam, punya daya ingat kuat tapi terbang dan kecepatan tukiknya sedang. Merpati Surabaya itu agakl kecil body-nya tapi kecepatan terbang dan tukiknya tinggi. Merpati ambon aku agak lupa cerita-tentang ciri-cirinya.......

Tidak ada kata sepakat antara satu orang dengan lainnya tentang ciri fisik merpati yang bagus. Hanya biasanya orang akan memilih yang kepalanya agak ”nonong”, mata bening tajam sehingga dia mudah mengenali kampungnya, bulu sayap agak kering yang mengindikasikan kecepatan terbang lumayan bagus, lengan atas sayap berotot dan kuat yang melambangkan kecepatan terbang dan kecepatan tukiknya bagus, serta body gagah perkasa dan proporsional ketika dia sedang membusungkan dadanya.

Tapi kalau anda memang benar-benar mau membeli merpati aduan, sebaiknya dicoba terbang jarak pendek dulu.. karena terkadang ciri fisik di atas dan body yang gagah ternyata tidak menunjukkan performance yang memuaskan... tentu saja untuk bisa dicoba, anda perlu memberi sepasang merpati yang sedang giring (musim kawin) agar kerika dicoba terbang, si merpati jantan tidak terbang kemana-mana.

Di daerahku dulu, anak-anak sekolah setiap hari pasaran Pahing ada yang suka membolos untuk melihat orang transaksi jual beli merpati di Pasar Tradisional Talun. Biasanya di situ kita akan asyik melihat merpati-merpati yang sedang di coba atau sedang diperjualbelikan. Saat awal tahun 1980an sepasang merpati yang berkualitas sedang bisa mencapai 10 ribuan. Tapi sebuah rumor menyebutkan bahwa pada tahun 1970an pun merpati terkenal yang sering juara balap di kota Muntilan sudah mencapai 2 jutaan rupiah harganya... Saat ini kutidak tahu pasti harga pasaran burung merpati karena sudah lama nggak pernah nongkrong di pasar merpati....

TOMPRANG (3): Adu balap merpati jarak pendek

Pada awal tahun 1980-an, di daerahku Magelang (terutama di wilayah perkotaan) mulai marak adu balap merpati jarak pendek. Jarak tempuhnya paling 300-500 meter. Biasanya adu balap ini dilakukan di tempat yang lapang atau di jalanan yang agak sepi. Pihak yang mengadu merpati biasanya berdiri tidak berjauhan (paling 5 meter). Merpati aduan dilepas bersamaan dan merpati yang duluan hinggap ke merpati betina, dialah yang menjadi pemenang.

Bagiku adu balap ini tidak menarik karena hanya mengandalkan kecepatan terbang. Bagiku yang lebih menarik adalah adu balap merpati jarak jauh karena di adu balap jarak jauh ini ada beberapa faktor dari merpati yang berpengaruh yakni; kecepatan terbang, keberanian menukik ke darat serta kemampuan memisahkan diri. Tapi di lingkungan perkotaan, adu balap jarak pendek ini masih banyak dilakukan sampai sekarang.....

TOMPRANG (2); Balap merpati jarak jauh

Dikala aku kecil (tahun 1970-awal 1980an) adu merpati ini biasanya dilakukan di sore hari musim kemarau oleh antar kampung yang relatif berdekatan (paling berjarak sekitar kurang 1 kilometer). Konsep lomba ini adalah dua ekor merpati diadu terbang untuk jarak sekitar 5 kilometer (tergantung kesepakatan), dan merpati yang sampai duluan di kandang/hinggap di rumahnya, itulah yang menjadi pemenang.

Tahap Persiapan:
(1) Pemilik merpati biasanya akan melatih merpati jantan hingga dia hafal route dan merpati itu ketika dilatih menunjukkan bibit kehebatan missalnya dilihat dari kecepatan terbang dan keberanian untuk menukik dari ketinggian tertentu. Merpati aduan ini ketika musim kawin atau berahi pada si betina biasanya akan mengejar si betina terus dan ketika berada ketinggian tertentu dia berani menukik ke tanah tempat si betina berada. Oleh karenanya merpati yang diadu pada umumnya merpati jantan yang sedang berahi/musim kawin atau istilah Jawanya sedang “giring” atau “ngeket” (nempel seperti ular keket).


(2) Ketika si merpati aduan sudah siap dilombakan, si pemilik merpati akan ajak tetangga atau kawan-kawan untuk jadi “botoh” atau penyumbang untuk taruhan. Kalau nanti menang, botoh tadi juga dapat bagian keuntungan sekitar 2 kali lipat dipotong biaya lomba. Saat akhir 1970-an taruhan antar kampung di tempatku paling sekitar 500-1000 rupiah, sehingga ada botoh yang memberi taruhan 100 perak, 200 perak. Aku sendiri pernah ikut nyumbang taruhan (istilahnya ”nempil”) 25 rupiah. Tapi di kampung tetanggaku lomba dilakukan berulangkali dengan botoh bermodal besar dari kota . Uang taruhan mencapai 100 ribu rupiah (pada saat emas per gram hanya sekitar 2500 rupiah).


(3) Kalau botoh sudah siap dengan uangnya, salah seorang akan mengirimkan ”tantangan” pada kampung tetangga dengan membunyikan kentongan besar (biasanya dibuat dari batang kelapa) dengan irama tertentu...tong-tong..tong-tong...tong..Tantangan ini dilakukan beberapa kali. Biasanya saat jam 02.30 sore ke atas.


(4) Kalau kampung lain itu tidak meladeni tantangan, biasanya mereka akan mendiamkan saja tantangan itu. Tapi kalau kampung lain meladeni tantangan itu, maka kampung lain itu akan menjawab dengan memukul kentongan dengan irama yang sama.


(5) Kalau pihak lawan melayani tantangan, langkah berikutnya adalah si penantang kemudian datang ke tempat kampung lawan untuk bernegosiasi soal besaran taruhan, merpati yang akan diadu, waktu lomba (biasanya sore hari), tempat lokasi yang dijadikan tempat pelepasan merpati aduan serta tempat wakil kedua belah pihak bertemu untuk menjadi saksi guna melihat merpati mana yang turun duluan.


(6) Kalau sudah tercapai kata sepakat, masing-masing pihak akan menyiapkan tim dan merpatinya. Tim yang disiapkan biasanya adalah (a) satu orang untuk membawa merpati ke lokasi pelepasan yang disepakati. Pembawa merpati ini biasanya dilakukan oleh anak muda yang kuat bersepeda atau kuat berlari cepat, karena saat itu belum banyak sepeda motor dan mobil angkot (b) satu orang penabuh kenthongan yang akan dikirim ke kampung lawan. Penabuh kenthongan ini bertugas untuk memukul kenthongan bila merpati aduan telah hinggap dikandang atau rumahnya. Untuk menghindarkan kecurangan, maka penabuh dari kampung A akan menabuh kenthongan di kampung B dan sebaliknya penabuh dari kampung B akan menabuh di kampung A. Penabuh kentongan biasanya diambil dari remaja yang masih tanggung, karena upahnya kecil. Penabuh kenthongan ini biasanya juga dipilih yang bertenaga kuat agar dia mampu memukul kenthongan keras-keras sebagai tanda merpati aduan sudah hinggap. (c) satu orang atau lebih untuk jadi saksi (atau istilahnya ”canguk”) dari masing-masing kampung. Canguk ini biasanya akan bertemu di suatu titik tengah antar dua kampung yang lokasinya terbuka, mempunyai pemandangan luas (misal di tengah persawahan) sehingga bisa melihat bilamana merpati "aduan" sudah datang. Tugas lain Saksi ini adalah membawa uang taruhan dan secara seksama mendengarkan kenthongan kampung mana yang nanti lebih dulu bunyi sebagai indikasi merpati yang lebih dulu hinggap. Untuk Canguk ini biasanya dipilih orang dewasa yang pendengarannya tajam. (4) ”Sedulan” yakni anak-anak yang disuruh untuk berjaga di depan kampung dan mengawasi bila merpati aduan sudah datang. Kalau merpati sudah kedengaran suara peluitnya atau sudah kelihatan, sedulan ini berteriak-teriak agar tim yang didalam kampung bersiaga menyambut si merpati. Sedulan ini biasanya disuruh membawa beberapa merpati untuk memancing dan memandu merpati aduan segera menukik menuju kampungnya. Merpati ini juga yang diterbangkan oleh sedulan ini juga mejadi tanda bagi tim dalam kampung agar waspada karena merpati aduan akan segera datang (5) Tim penyambut merpati dalam kampung. Tim ini biasanya dipimpin pemilik merpati atau botoh yang berpengaruh. Si pemimpin tim nanti bertugas mengelepak-ngelepakkan si merpati betina pasangan merpati aduan. Sedangkan orang yang lain nanti bertugas membantu mengelepakkan merpati lain atau melempar merpati lainnya ke udara, untuk merangsang si merpati aduan segera menukik dan hinggap di kandangnya.
(7) Ketika semua sudah siap, merpati dibawa lokasi pelepasan memakai keranjang merpati dan orang-orang yang lain segera menuju pos-nya sesuai tugasnya masing-masing.

Pelaksanaan lomba


(1) Ketika penabuh kenthongan, sampai ke kampung lawan biasanya akan diberitahu ciri-ciri merpati aduan dari kampung itu sehingga nanti si penabuh kenthongan tidak salah mengidentifikasi merpati aduan ketika menabuh kenthongan.


(2) Ketika canguk sudah sampai lokasi pertemuan dengan canguk kampung lawan, biasanya merka segera mengeluarkan uang taruhan yang disepakati dan ditaruh bersama. Biasanya suasana di lokasi canguk ini santai dan penuh canda karena mereka sudah saling mengenal dan akrab karena kampungnya bertetanggaan.


(3) Orang yang ditugaskan melepas merpati dalam perjalanan menuju lokasi pelepasan burung aduan biasanya melepas beberapa Merpati "jajalan" atau merpati uji coba. Merpati jajalan terakhir ini biasanya dipilih dari merpati yang sudah hafal route terbang daerah itu. Merpati jajalan ini biasanya ada beberapa ekor dan dilepas untuk memberi tahu tim di kampung bahwa si pelepas burung sudah sampai di titik tertentu, misalnya merpati jajalan ke-1 dilepas di kilometer ke 3, merpati jajalan ke-2 dilepas di km 4, merpati jajalan ke-3 dilepas di km 5 (lokasi pelepasan). Dengan pelepasan di beberapa titik ini membuat tim di kampung bisa lebih bersiaga untuk menyambut si merpati aduan nantinya. Untuk tidak membingungkan tim di kampung, biasanya si pelepas burung sebelum berangkat sudah di-briefing terlebih dulu tentang merpati jajalan yang harus dilepas di masing-masing lokasi.


(4) Ketika pelepas burung merpati sudah sampai di lokasi pelepasan merpati biasanya akan menunggu pelepas burung dari kampung lawan. Setelah mereka bertemu biasanya secara terpisah mereka akan melepas merpati ”jajalan” terakhir atau merpati uji coba. Merpati jajalan ini dimaksudkan untuk memberi tahu tim di kampung bahwa sekitar 5-10 menit lagi merpati aduan siap dilepas. Untuk memudahkan tim di kampung atau sedulan mengidentifikasi burung merpati yang datang, merpati jajalan dan merpati aduan dipasangi ”sawangan” (peluit yang dipasang dekat brutu atau ekor burung) dengan suara yang khusus. Sawangan ini ada yang bunyinya berdenging, ada yang bunyinya berdengung, ada yang bunyinya uli-uli..uli-uli... dll. Dalam beberapa kasus dijumpai merpati jajalan ini belum hafal route sehingga merpati aduan datang lebih dulu dari merpati jajalan. Hal ini biasanya akan membingungkan sedulan, tim di kampung, canguk dan penabuh kenthongan. Karena mereka belum siap tiba-tiba merpati aduan sudah sampai.


(5) Ketika semua merpati jajalan sudah dilepas, si pelepas burung dersama dengan pelepas burung dari kampung lawan akan melepas burung aduan secara berbarengan. Cara melepasnya adalah burung diambil dari keranjang dan dipegang dengan tangan kemudian dilontarkan ke depan agar merpati itu segera terbang. Setelah melepas merpati aduan, si pelepas burung mengamati beberapa saat sampai merpati itu tidak terlihat lagi dari pandangan mata. Setelah itu selesailah tugas si pelepas burung, dan dia akan beranjak pulang.


(6) Di lokasi sedulan, setelah merpati jajalan terakhir tiba, anak-anak akan konsentrasi untuk mendengarkan suara sawangan untuk mengidentifikasi kedatangan merpati aduan. Selain mendengarkan suara, anak-anak juga akan konsentrasi melihat ke langit untuk mengantisipasi merpati aduan datang sementara suara sawangan-nya kurang nyaring terdengar. Dalam melihat ke arah langit biasanya mata di buka lebar-lebar karena merpati aduan biasanya terbang tinggi sekali dan hanya terlihat seperti titik hitam di angkasa. Dalam situasi tertentu sering dijumpai merpati terbang dibalik awan. Bila anak-anak sudah mengenali kedatangan merpati aduan, sedulan ini biasanya segera melepas merpati sedulan untuk memberi tahu tim di kampung agar siap karena merpati aduan telah hampir tiba. Merpati sedulan ini juga dimaksudkan untuk membantu merpati aduan mengenali kampungnya dan berani segera menukik ke kampungnya.


(7) Sama di lokasi sedulan, di lokasi canguk biasanya para canguk segera waspada untuk menanti kedatangan merpati aduan dengan menggunakan mata dan telinga mereka. Para canguk juga berkonsentrasi untuk mendengar suara kenthongan kampung mana yang lebih dulu terdengar sebagi tanda merpati aduan sudah hinggap.Saya sendiri sangat menyukai untuk ikut di lokasi canguk karena di lokasi ini kita akan melihat dua ekor merpati aduan yang terbang bareng sangat tinggi kemudian saling memisahkan diri dan berlomba untuk mencapai kampungnya. Namun seringkali ditemukan ada merpati aduan yang susah misah ("methil") dengan lawannya. Terkadang merpati ini malah ikut ke kampung lawannya. Yang mengasyikkan dan sekaligus menegangkan adalah ketika melihat merpati aduan dalam saat bersamaan mencoba menghunjam atau menukik ke kampungnya. Ada merpati yang gaya menukiknya ”ngampat” yakni dari ke jauhan sudah menukik cepat dengan cara landai, ada cara ”ngeclap” yakni cara menukik landai sambil sesekali mengibaskan sayap untuk menambah kecepatan tukik, dan ada cara yang ”nenggel” yakni merpati turun menukik hampir 90 drajat dan cara "ngongkong" yaitu turun perlahan sambil sayap dibuka lebar kayak bukung elang di udara (cara ngongkong ini biasanya sangat dibenci orang karena turunnya lambat dan tidak enak dilihat). Terkadang pula merpati yang ”nenggel” seringkali tidak kuat sehingga ”njepat” artinya ketika dia sedang menukik kemudian dia terbang berputar terlebih dulu sebelum melanjutkan tukikannya (ini juga kadang menyebalkan karena hitungan sepersekian detik sangat berharga ketika sedang lomba merpati). Burung merpati ini tukikannya sangat luar biasa. Mungkin kecepatan tukikannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Tidak jarang di lingkungan perkotaan ditemukan merpati aduan mati karena saat menukik laju, dia menabrak kabel kawat listrik, sehingga sayap atau lehernya patah.


(8) Di dalam kampung, ketika mereka sudah mendengar aba-aba dari sedulan atau mendengar suara sawangan merpati aduan, mereka segera memegang merpati betina dan mengelepakkan sayap-sayapnya ke udara. Biasanya ada beberapa merpati betina yang dikelepakkan,. Selain itu ada beberapa merpati yang dilempar ke udara untuk merangsang agar merpati aduan segera menukik ke darat. Tidak jarang ada yang menghamburkan air ke udara untuk merangsang merpati aduan turun, karena mungkin merpati itu haus setelah terbang beberapa lama. Dalam menyambut merpati aduan ini, biasanya orang juga ramai berteriak-teriak dengan memanggil nama burung aduan itu. Misalnya burung aduan itu diberi nama "kancil" maka dia dipanggil cil..cil...cil....cil...dst.


(9) Bila burung merpati aduan sudah hinggap maka si penabuh kenthongan akan segera memukul kenthongan sekuat tenaga. Biasanya selama merpati hinggap di sekitar lokasi halaman ”markas” merpati aduan, itu sudah dianggap sah dan kenthongan dipukul, tidak perduli apakah hinggap langsung di betina, hinggap di atas genting di halaman itu, hinggap di tanah atau langsung hinggap di kandang. Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa bila si penabuh kenthongan belum dewasa (masih anak-anak), dia sering dibujuk atau disuap oleh orang-orang disitu (pihak lawan) untuk memukul kenthongan padahal merpati belum hinggap.


(10) Di lokasi canguk, para canguk secara seksama akan mendengarkan suara kenthongan. Dalam hal ini yang paling sulit adalah ketika merpati aduan punya kualitas yang sama sehingga datang dan turun hampir bersamaan (hitungan sepersekian detik). Sehingga kejelian pendengaran para canguk menjadi sangat penting. Pihak canguk yang kalah kemudian akan menyerahkan uang taruhannya pada yang menang dan biasanya langsung negosiasi apakah lomba ini masih disusul lomba tahap 2 atau tidak.


(11) Canguk yang menang pulang ke kampung dan membagi-bagikan hasil kemenangannya kepada para botoh. Biasanya ada sedikit uang yang disisihkan untuk upah si pelepas burung dan penabuh kenthongan (saat tahun akhir 1970an, upahnya sekitar 15-25 rupiah saja). Canguk biasanya juga akan merundingkan apakah lomba ini akan dilanjutkan ataukah tidak. Kalau dilanjutkan, biasanya mereka akan mengirimkan tantangan lewat nada kenthongan...thong-thong...thong-thong...thong...Biasanya dalam satu hari lomba hanya satu kali atau maksimum 2 kali, karena acaranya biasanya dimulai ketika hari sudah sore dan saat itu belum banyak angkot atau motor. Jadi untuk menempuh jarak 5 kilometer dengan sepeda dan jalan menanjak, si pelepas burung tidak akan punya banyak waktu...


Fair play

Walau terkadang ada kecurangan-kecurangan kecil, secara umum saya melihat lomba merpati di kampungku berlangsung dengan asas fair play. Contohnya ketika para canguk sulit mengidentifikasi suara kentongan yang hampir bersamaan, biasanya diputuskan pertandingan berlangsung "bedho" atau seri/imbang.

Asas fair play ini mungkin dipengaruhi oleh kondisi mereka yang saling bertetanggaan dan saling mengenal akrab serta kehidupan desa yang guyub. Jadi menang kalah adalah hal biasa, apalagi lomba semacam ini hanya untuk iseng (istilahnya Prof.Umar Kayam disebut ”kesukan”). Di kampungku sendiri jarang ada lomba yang nilainya besar, sehingga pihak yang kalah juga tidak merasakan kerugian terlalu berat. Ibaratnya hanya membuang uang receh, sehingga tidak terlalu mengganggu ekonomi rumah tangga mereka... Jadi ada sisi fungsionalitas dari tomprang ini juga karena tidak mengganggu ekonomi rumah tangga tapi bisa untuk meningkatkan silaturahmi dengan kampung tetangga.

Wednesday, June 27, 2007

SDN SAWANGAN III; sekolah gedek bambu kebanggaanku

Sewaktu usiaku kurang dari 5 tahun, aku mulai dimasukkan ke Sekolah Dasar. Saat itu di daerahku belum ada Taman Kanak-kanak (TK) apalagi playgroup. Aku disekolahkan karena SD itu numpang di pendopo rumah pakdeku yang mantan Kepala Desa (Lurah) dan letaknya di depan rumahku. SD itu yakni SD Negeri Sawangan III masih relatif baru dibentuk, jadi belum punya bangunan sendiri. Ruang pendopo rumah pakdeku disekat pake papan menjadi tiga buah kelas. Kelas 1,2,3 masuk pagi dan kelas 4,5,6, kayaknya masuk siang. Aku ingat ketika saat istirahat sekolah, aku berlari pulang untuk makan atau minum karena sekolahnya hanya berjarak 20 meter dari rumah dan saat itu jarang jajan karena memang tidak ada tukang jualan jajanan di situ. Terkadang sekolah menjadi hiruk pikuk ketika ada orang peminta-minta atau orang yang agak gila datang untuk minta makan di rumah pakdeku. Saat itu kemiskinan masih merajalela sehingga rumah pakdeku yang mantan pejabat desa sering jadi tujuan mereka untuk minta makan.

Tatkala kelas 2, sekolahku dipindah ke bangunan sekolah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat dengan dukungan pemerintah. Sekolahku masih di kampungku hanya saja jaraknya sekitar 100 meter dari rumah. Di lingkungan sekolah ini sudah mulai ada tukang jualan jajan seperti permen, bubur nasi ala ndeso, kue tradisional dll.

Bangunan sekolahku berupa bangunan sederhana dengan lantai tanah dan dinding gedek bambu yang dianyam. Sekolah itu ada 6 kelas dengan satu ruang guru yang agak sempit. Jangan tanya soal WC, karena tidak tersedia, sehingga murid laki dan perempuan biasa pipis (buang air kecil) di kebun kelapa di belakang sekolah yang memang masih luas. Tidak jarang anak-anak laki-laki suka ngintip anak perempuan yang sedang pipis..he...he..

Fasilitas sekolah yang tersedia adalah halaman sekolah sekitar 10 x 50 meter yang digunakan untuk upacara hari senin oleh para murid. Dulu upacara dilakukan setiap hari senin pagi dipimpin oleh Kepala Sekolah atau Guru yang ditunjuk. Sejak kelas 4, aku sudah sering ditunjuk jadi komandan upacara. Upacara diikuti seluruh murid dan pada umumnya berlangsung khidmad, walaupun tanpa pengeras suara dan hanya sekedar tiang bambu yang menjadi tiang bendera. Guru-guruku begitu pandai untuk menanamkan rasa cinta dan hormat kepada tanah air, walau belakangan ini baru kutahu bahwa gaji guru saat itu sebenarnya masih sangat minim... Hal inilah yang membuatku menjadi semakin hormat pada guru-guruku.....

Halaman sekolah itu juga yang dipakai sebagai lapangan olah raga. Setiap Selasa dan Kamis diadakan SPI alias Senam Pagi Indonesia. Karena saat itu sekolahku yang miskin dan guru-guruku belum punya tape recorder, maka senam pagi dilakukan oleh guru dengan cara memberi aba-aba hitungan satu...dua...tiga....empat secara berirama dibantu dengan menggunakan ketukan dari sebuah kayu penghapus papan tulis yang dipukulkan secara berirama pada pintu sekolah yang terbuat dari papan jati. Saat itu saya juga sering diserahi untuk memberikan aba-aba ini pada siswa yang lain.

Di halaman itu pula anak-anak juga bermain kasti atau sepakbola atau kejar-kejaran. Terdapat pula ada bak pasir sederhana untuk olahraga lompat jauh atau loncat tinggi, yang biasanya disiapkan ketika anak kelas 6 mau ujian sekolah.

Fasilitas dalam kelas hanya papan tulis hitam (blackboard) dimana guru menulis di papan tulis pake kapur tulis. Terkadang ketika tulisan itu dihapus, debunya berhamburan dan wajah pak guru atau bu guru jadi belepotan kapur. Fasilitas yang agak lumayan adalah bangku dan meja murid yang bagus karena terbuat dari kayu jati yang memang sudah tua dan berkualitas tinggi. Bangku yang memakai sandaran dan meja biasanya dirangkai menjadi satu dan terbuat dari kayu jati yang tebal sehingga berat untuk digeser-geser oleh murid-murid yang masih anak-anak. Satu meja biasanya untuk tempat duduk 2 orang siswa, kecuali kalo siswanya banyak satu meja bisa dipakai untuk 3 orang. Permukaan meja siswa dibuat miring menghadap siswa sehingga siswa ketika nulis tidak perlu menunduk terus dan siswa bisa duduk dengan posisi tegap... (saat ini baru kupikir bahwa konsep meja itu sebenarnya sangat sesuai dengan sisi kesehatan karena menghindarkan anak duduk dalam posisi yang salah yang bisa mengakibatkan sakit punggung).. Sayang sekali karena meja itu bahannya berkualitas tinggi, ketika beberapa tahun setelah aku lulus SD, bangku-bangku dan meja itu tidak ketahuan kemana rimbanya... Yang pasti, kalau dijual sebagai perabot bekas pasti harganya lumayan karena kualitas kayunya bagus sekali....

Sekolahku saat itu tidak mempunyai jendela, tapi terdapat ventilasi dari bilah bambu yang letaknya memanjang diseputar dinding sekolah. Ventilasi ini tingginya sekitar 1 meter, dengan demikian udara mengalir segar dan cahaya bisa masuk ke ruang kelas. Sekolahku juga tidak punya langit-langit sehingga air hujan sering tempias ke dalam kelas. Karena letaknya di tengah kebun kelapa, tidak ada WC, dan ruangan banyak terbuka maka nyamuk sering menyerang. Apalagi saat itu kami bersekolah hanya ”nyeker” telanjang kaki tidak pakai sepatu. Biasanya kaki kami bentol-bentol digigit nyamuk atau kakinya jadi ”mbesisik” bersisik karena kulit kering dan banyak digaruk-garuk. Untuk mengatasi kulit mbesisik tadi, di kampung belum ada hand body lotion dan sejenisnya, sehingga kami biasa pakai embun pagi yang nempel di dedaunan atau terkadang pakai minyak kelapa yang dioleskan sedikit ke betis kaki. Seringkali anak kampung tidak peduli minyak kelapa ini masih bersih atau minyak kelapa bekas goreng ikan asin...yang penting kaki jadi kelihatan mulus....Cilakanya, kalau ngolesin minyaknya terlalu banyak, kaki menjadi mengkilat kayak ikan goreng yang baru diangkat dari wajan he...he....

Yah begitulah SDku tempatku menuntut ilmu.... sangat sederhana, tapi disitulah banyak kenangan yang bagiku sangat berharga dan membuatku bangga karena di balik bangunan yang sederhana, terdapat para guru yang penuh dedikasi menjalankan amanah sebagai pahlawan tanpa tanda jasa...