Friday, August 24, 2007

Taman Nasional Wasur, riwayatmu dulu..

Taman Nasional Wasur merupakan sebuah hutan alam yang menyimpan kekayaan alam (flora fauna) yang melimpah seperti ikan, burung, reptile, kanguru, rusa dll. Kawan-kawan WWF Merauke mengatakan bahwa di lokasi itu juga terdapat Danau Biru yang merupakan sebuah danau dengan kepadatan ikan yang termasuk paling tinggi di dunia. Namun dengan semakin terbukanya akses daerah itu, ancaman kepunahan satwa semakin meningkat karena banyaknya perburuan satwa serta penebangan kayu. Untuk perburuan, sebenarnya penduduk asli diperbolehkan berburu dalam jumlah yang dibatasi dan dengan menggunakan peralatan tradisional seperti panah dan tombak. namun saat itu ada indikasi aturan tersebut sering dilanggar karena ada perburuan-perburuan (oleh pendatang) yang menggunakan senapan dan sepeda motor untuk masuk ke lokasi.

Sewaktu kami praktek PRA di lapangan sekitar 10 kilometer dari kota Merauke pada tahun 1997, para peserta menyarankan agar kami cukup membawa beras saja karena lauk mudah dicari. Disana setiap pagi dan sore kami menggunakan jaring seperti net badminton dan kami beramai-ramai masuk ke arah laut sekitar 50 meter dari bibir pantai . Ketika jaring tersebut ditarik ke daratan, berbagai jenis ikan terjaring termasuk ikan kakap, udang, lele laut dll. Ikan kakap sangat mudah didapat. Bahkan ketika kami dapat ikan kakap ukuran besar (panjang 50 cm) dan kemudian agak bau basi karena kami lambat memasaknya, penduduk bilang :’sudahlah pak, buang ikan itu. Nanti kita nangkap lagi yang besar”. Aku yang jarang melihat ikan laut segar tentu sayang untuk membuang ikan itu, apalagi membayangkan harganya di Jakarta pasti selangit. Tapi karena mereka terus mendesakku, akhirnya ikan itu terpaksa di buang.

Suatu saat jaring yang kami tarik ke darat terasa berat sekali. Dikiranya jarring tersebut nyangkut di karang atau tonggak, ternyata yang kami dapatkan adalah seekor ikan pari ukuran diameter sekitar 1 meter yang kemudian kami lepas lagi karena kata penduduk local ikan sebesar itu dagingnya keras kayak ban mobil. Ikan pari yang enak adalah yang seukuran piring. Di sana aku benar-benar merasakan "sorga ikan", ibaratnya kalau mau makan ikan tinggal ngambil dari kolam ikan besar. Sampai suatu saat aku sempat "mabok" pusing-pusing karena kebanyakan makan ikan he..he...he.,..


Di saat lain ketika kami akan pergi ke kampung Sota di perbatasan dengan Papua Nugini, kulihat banyak transmigran dari Jawa atau tempat lain sedang nyemplung ke parit di pinggir jalan. Ternyata mereka sedang mengumpulkan ikan Gator (Gabus Toraja) yang ukurannya mencapai ukuran lengan orang dewasa. Mereka tinggal mengambil ikan di kubangan-kubangan yang airnya tinggal sedikit karena saat itu musim kemarau. Ikan tersebut biasanya terjebak di kubangan lumpur dan tidak susah untuk menangkapnya. Penduduk asli sendiri konon tidak doyan dengan ikan Gabus karena bentuk dan sisiknya seperti ular.


Melihat orang-orang mencari ikan gabus, kami sendiri merencanakan di Sota akan mencari tas plastik kresek untuk tempat ikan. Sewaktu dalam perjalanan pulang dari Sota, kami mampir dan cari ikan di kubangan. Tapi yang kami dapatkan hanya sisa-sisa berupa ikan “bethik” (seperti mujahir). Bandhu (teman dari WWF) menyarankan agar kami ambil ikan bethik itu karena kalau digoreng kering, rasanya enak dan “kemremes”. Kami tiba di rumah sudah agak malam sehingga ikan sebanyak dua plastic kresek itu kami taruh di ember di kamar mandi. Pagi-pagi kami dikejutkan oleh suara Bandhu yang sedang muntah-muntah. Ternyata pagi itu dia masuk ke kamar mandi, dan dia mendapati kamar mandi bau bangkai busuk yang menyengat yang berasal dari ikan bethik yang sebagian mati dan berserakan di lantai karena melompat dari ember. Akhirnya ikan-ikan tersebut kami buang begitu saja karena kami tiada waktu untuk memasaknya…..

Penduduk lokal menceritakan bahwa mereka sering makan ikan arowana yang ada di perairan tawar sekitar daerah itu. Selain itu saat bulan Oktober udang laut harganya jatuh karena panen melimpah sementara tidak ada pemasaran keluar daerah. Yach, itulah potret Indonesia yang kaya raya, namun kita belum mampu mengelolanya secara optimal…

Pengalamanku ke luar negeri yang ke dua kali

Kepergianku ke luar negeri yang kedua kali kulakukan ke Papua Nugini secara ”illegal” dalam arti aku menyeberang ke Papua Nugini tanpa melalui prosedur dan dokumen resmi. Saat itu saya dan Mas Haryo sedang memfasilitasi pelatihan Participatory Rural Appraisal untuk masyarakat di sekitar Taman Nasional Wasur – Merauke. Di saat libur oleh beberapa teman WWF Merauke diajak ke jalan ke Taman Nasional Wasur dengan menggunakan motor. Perjalanan kami kemudian mengarah ke kampung Sota yang merupakan daerah perbatasan. Selain melihat keindahan alam Taman Nasional Wasur, kami juga mampir ke beberapa rumah penduduk setempat. Kampung itu selain dihuni oleh transmigran local juga dihuni oleh militer yang menjaga perbatasan.

Di daerah itu kemudian kami pergi melihat tugu tanda perbatasan dengan Papua Nugini. Kami juga sempat menyeberang sekitar 100 meter ke wilayah PNG, walau dengan sedikit perasaan was-was karena keamanan di sekitar itu masih kurang terjamin (isu tentang Gerakan Papua Merdeka yang sering latihan militer di daerah itu). Di lokasi itu kami juga menemukan banyak "sarang semut" yang bentuknya seperti sebuah tugu berukir dari tanah liat setinggi 2 meter. “Kunjungan” kami ke Papua Nugini ini akhirnya hanya berakhir sekitar 100 meter di wilayah perbatasan, karena kuatir aspek keamanan kami kalau melangkah terlalu dalam ke wilayah PNG. Bagiku nggak penting 100 meter atau kurang atau lebih, yang penting sudah menginjak tanah Papua Nugini he..he…he…

Thursday, August 23, 2007

Pengalamanku pergi ke luar negeri pertama kali

Sekitar tahun 1997 sewaktu aku masih kerja di Bina Swadaya, oleh atasanku yakni Mbak Yuni aku diberi kesempatan mengikuti Workshop Internasional tentang Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Partisipatif di Phillipina selama seminggu. Workshop itu diselenggarakan di kampus International Institute for Rural Reconstruction (IIRR) di Silang Cavite (di luar kota Manila).

Setelah menempuh perjalanan 4 jam dari Jakarta, tibalah aku di Manila dan di bandara disambut seorang gadis cantik yang menjadi panitia dan mengalungiku dengan seuntai bunga untuk ucapan selamat datang.Untunglah urusan imigrasi semua lancar. Aku semula agak kuatir karena ini pengalaman pertama pergi ke luar negeri dan bahasa Inggrisku minim banget.
Di forum itu aku satu-satunya undangan dari Indonesia. Aku sekamar dengan seorang teman dari Nepal yang wajahnya kayak bintang film komedi laga Mandarin (Stephen Chow). Dia orangnya humoris dan ramah banget.
Di workshop itu hadir pakar-pakar pendekatan partisipatif sepertti John Gaventa, Irene Guijt dll. Mereka ternyata orang-orang yang menurutku rendah hati dan tidak pelit bagi pengalaman. Peserta-peserta lain dari Afrika, Eropa, Amrik dan Asia juga ramah-ramah dan simpatik. Sampai-sampai ketika aku mau pulang ke Indonesia dan masih memegang banyak uang pesos (mata uang Phillipina), kawan-kawan dari Phillipina membantuku menjual uang peso-ku ke makelar karena di pagi buta itu money changer belum buka. Selama di Manila, urusan makan juga nggak menjadi masalah bagiku karena menu di Phillipina hampir sama dengan Indonesia (sama-sama makan nasi).

Selain materi workshop yang menarik, ada hal lain yang menarik bagiku dan selalu kukenang yakni: Kampus IIRR yang besar, sederhana dan hijau penuh pepohonan merupakan kampus yang sangat nyaman untuk belajar. Apalagi para fasilitator juga tinggal di dalam kampus sehingga interaksi dengan fasilitator juga berlangsung akrab ketika di luar kelas. Proses pembelajaran di lingkungan yang asri, terasa nikmat nian. Hal menarik lainnya adalah gadis-gadis Filipino itu banyak yang cantik dan modis pakaiannya khususnya gadis yang ada darah Spanyolnya (yah kayak Maribeth yang nyanyi Denpasar Moon itu)...ha...ha...
Setelah menikmati kunjungan wisata ke beberapa obyek wisata di Phillipina, tak terasa sudah seminggu berlalu. Akupun berkemas pulang ke Indonesia sambil terbayang-bayang wajah Maribeth-Maribeth muda yang tertinggal disana he...he...he.......…..

Mainan anak yang merangsang kreatifitas

Banyak kenangan indah masa kecilku yang terpateri dalam ingatanku. Salah satunya berupa mainan-mainan tradisional yang biasa dibuat sendiri dengan bahan lokal yang seadanya. Refleksiku mengatakan bahwa proses pembuatan mainan oleh anak-anak itu sebenarnya merupakan suatu proses kreatif yang luar biasa karena si anak dituntut untuk mampu berimajinasi dan kemudian menuangkannya dalam design dan karya dengan bahan yang sangat terbatas. Proses kreatif itu selain melatih olah pikiran (imajinasi teknis), juga melibatkan olah rasa (sense of art) dan juga olah fisik karena si anak dituntut untuk mengerjakan sendiri mainan yang diidamkannya. Misalnya ketika aku membuat mobil-mobilan truk dari kayu, aku dituntut mampu membayangkan seperti apa fisik truk yang sesungguhnya, kemudian mencoba mendesign mobil truk yang ingin kubuat agar nantinya indah dan aku juga dituntut kerja fisik seperti memotong papan kayu dengan gergaji untuk membuat mobil truk idamanku. (Wah... ternyata orang-orang tua di kampung yang lugu dan tidak terlalu well educated secara tidak sadar sejak dulu sudah menerapkan metode-metode pendidikan yang sering dikatakan oleh para orang pintar macam metode Montessori, Contextual Teaching Learning, Nabila/Nature based Learning dll).

Beberapa jenis mainan tradisional itu antara lain: Gledhekan atau motor-motoran dari batang pohon pepaya atau dari tong kaleng, mobil-mobilan dari kulit jeruk bali atau kayu, Bedil-bedilan dari bambu atau pelepah daun pisang, tulup (sumpit) dari bambu, Keris-kerisan dari janur kelapa, Seretan (alat penarik dari pelepah pinang), Kincir air dari pelepah daun singkong, Kitiran kertas, pesawat dari kertas, perahu dari kertas, burung-burungan dari kertas, semprotan air dari pelepah daun pepaya, Layangan, Wayang dari pelepah daun singkong, Long bumbung (meriam bambu), kebo-keboan dari pelepah daun kelapa, sepatu dari jantung pisang, jaran kepang dari pelepah daun kelapa dan lain-lain.

Seperti juga permainan tradisional, alat-alat mainan tradisional ini juga sudah semakin memudar karena banyaknya serbuan mainan produksi pabrik yang mudah didapat di pasar atau kaki lima. Sangat disayangkan memang akan memudarnya mainan tradisional itu karena refleksiku mengatakan bahwa mainan produk pabrik seringkali hanya lebih menumbuhkan sifat konsumeristis, egois dan kurang mengembangkan daya kreatifitas anak.

Permainan anak-anak tradisional yang edukatif



Sewaktu kecil, terdapat banyak permainan anak di kampungku. Permainan itu biasanya dilakukan di sore hari setelah shalat Ashar atau bahkan di malam hari khususnya di malam bulan purnama. Kebetulan halaman rumahku dulu cukup luas dan letaknya di tengah kampung, sehingga di sore hari banyak anak-anak yang suka ngumpul di depan rumahku untuk bermain-main.

Kalau kurenungkan, permainan tersebut sangat bermanfaat untuk menumbuhkan fisik yang sehat karena banyak menggunakan olah tenaga/fisik seperti lari. Selain itu permainan-permainan itu juga membantu menumbuhkan sikap sportif dan melatih kerjasama dalam kehidupan sosial karena permainan tersebut dilakukan secara berkelompok.

Beberapa jenis permainan yang terkait dengan olah fisik (utamanya kecepatan lari dan kelincahan), antara lain: Gobak sodor, Gobak Bunder, Jethungan, perang-perangan dan Jilumpet (petak umpet).

Permainan yang terkait dengan ketrampilan dan kecermatan, antara lain; Benthik, Engkling, Egrang, dan Patholan

Pemainan yang ada unsur judi anak-anak, misalnya: Adu wayang, Bantingan karet, Setripan karet, gejlikan (adu kecik sawo) dan Dhir-dhiran (adu kelereng),

Permainan yang terkait dengan adu kekuatan, antara lain Sathakan (adu buku ruas jari) dan Engkol (pancho)

Sayang nian, permainan-permainan yang edukatif tersebut nampaknya sudah mulai ditinggalkan oleh anak kampung karena populasi anak di kampung sudah menjadi semakin sedikit (mungkin karena keberhasilan program KB) dan semakin banyaknya hiburan lain yang lebih modern.

Tuesday, August 21, 2007

Cari Mama Baru yuk...

Suatu ketika saat berkumpul dengan istri dan anakku, sering muncul isengku. Dudi anakku kuprovokasi: "dik, kita jalan-jalan yuk...cari Mama baru yang cantik dan baik hati". Saat itu Dudi sedang berantem dengan mamanya, sehingga dengan semangat Dudi menjawab: "Iya pah...kita cari mama baru saja... nanti mama kita jadikan pembantu kita saja". Mendengar jawaban itu mamanya hanya bisa ngomel:" anak dan suami sama-sama sablengnya. Mosok mama turun derajat jadi pembantu"...ha..ha...ha...

Tapi suatu saat ketika Dudi sedang baikan dengan Mamanya kucoba provokasi Dudi untuk cari mama baru. Eh, Dudinya malah menjawab:" ah nggak mau.. papa nanti kulaporkan sama Mbah uti Jawa biar dimarahi karena meninggalkan mama. Kan kasihan mama." Mamanya biasanya lalu tersenyum bangga penuh kemenangan kalau mendapatkan pembelaan dari anak semata wayangnya.....

Istanaku = Kandang Kambing

Setelah kontrak rumah di Kauman - Bumiayu selesai, saya dan mas Budi cari rumah kontrakan di dusun Kalijurang II untuk mendekatkan diri dengan Kelompok Tani yang menjadi dampingan kami. Setelah tanya sana-sini, mas Budi menemukan sebuah rumah kontrakan sederhana dan kami segera ingin menempatinya.
Saat itu aku memberitahu pacarku bahwa kami ingin ngontrak rumah di dusun. Dia tertarik ikut melihat rumah kontrakanku yang baru. Bahkan ibunya dan tetangga-tetangganya ingin mengantar kami boyongan. Dengan menggunakan sebuah mobil colt tua, kami boyongan ke dusun. Kebetulan barang milik kami nggak banyak karena hanya berupa sebuah meja kayu murahan, lemari plastik kecil, tikar plastik, kasur, pakaian dan buku.
Sampai di dusun Kalijurang II, kami langsung menuju rumah kontrakan kami. tapi alangkah terkejutnya kami karena dalam rumah tersebut masih ada beberapa ekor kambing. Rupanya Mas Budi karena buru-buru, lupa memberi tahu pemilik rumah kontrakan baru tentang rencana boyongan rumah kami. Melihat kontrakanku sangat sederhana dan masih berupa kandang kambing, ibu pacarku bilang dengan nada prihatin: "Oalah..cari kontrakan kok ya kandang kambing. apa nggak ada kontrakan yang lebih baik? Sederhana ya sederhana tapi mbok ya yang bersih dan sehat. Mosok kandang kambing kok mau ditempati". Untunglah beberapa tetangga dengan sigap datang membantu membersihkan rumah yang jadi kandang kambing itu. (Pa) Man Rakup, Man Sadi, Man Tamud dll langsung membersihkan rumah kemudian menyiapkan kamar mandi darurat dengan dinding dari daun kelapa di belakang rumah.
Rumah kontrakanku berukuran 4x6 meter, dengan dinding bambu yang bolong-bolong lapuk dimakan usia, lantai tanah, atap genteng tanpa plafon sehingga sering tempias ketika hujan, dengan sebuah jendela bambu ukuran besar seperti jendela warung tradisional di kampung. (Dinding rumah yang bolong-bolong akhirnya kami tutup dengan koran dan poster sehingga dinding rumah menjadi seperti majalah dinding besar). Kamar mandi darurat terletak di belakang rumah dengan ember sebagai tempat airnya. WC-nya berupa "jumblengan" atau lubang yang digali ukuran 2x2 meter yang diberi palang-palang bambu diatasnya sehingga kalau musim hujan, baunya yang "sedap" menyebar kemana-mana. Rumahku berada di bawah rimbunnya pohon bambu. Di samping rumah, ada sebuah sumur tua yang dijadikan tempat mandi dan cuci bersama. (Aku jadi ingat kalau dulu suka godain gadis-gadis desa yang mandi di tempat itu he..he...he..). Tempat itu sering becek di musim hujan karena tanah daerah itu berupa tanah liat (lempung). Sarana di rumah itu berupa meja kayu tua dengan dua buah kursi kayu yang panjang, sebuah lemari kayu untuk pakaian,
sebuah dipan untuk tidur mas Budi dan sebuah balai-balai bambu tempat tidurku.
Kami tidak kesulitan untuk adaptasi dengan lingkungan, walau pada mulanya kikuk ketika harus buang air besar di atas WC "jumblengan" yang luasnya cukup untuk akrobat itu. WC yang hanya berdindingkan daun kelapa yang dianyam setinggi 1 meter dan tanpa atap membuat kami agak ragu buang air karena was-was diintip orang he..he...he...Demikian pula kalau mandi, kami memilih membawa air ke kamar mandi darurat kami karena rikuh atau sungkan bila mandi di sumur terbuka bareng ibu-ibu atau gadis-gadis kampung. Padahal sih mereka cuek-cuek saja.....
Pilihan kami memilih rumah tersebut sebagai kontrakan sangat tepat, karena masyarakat menjadi mudah berhubungan dengan kami. selain itu mereka yang sebagian besar merupakan petani sederhana tidak sungkan berkunjung ke rumah kami karena rumah kami juga sederhana. Hampir tiap hari ada petani yang datang menghantar makanan seperti jagung muda, pepaya, sirsak, dodol, kelapa muda dll. Kalau ada orang punya hajatan, kami juga memperoleh kiriman makanan. Kami ibarat raja di istana kandang kambing itu. Di kala bulan puasa mereka rajin menghantar makanan untuk berbuka puasa. Bahkan di saat menjelang lebaranpun meja kami penuh dengan toples yang berisi makanan dari para petani. Sebuah ketulusan dan budi baik yang tanpa pamrih dari para petani itu...Sebuah nilai yang sudah semakin susah dijumpai pada jaman yang semakin materialis dan individualis saat ini....

"Mama-ku" yang galak tapi baik hati

Sewaktu tugas di daerah Bumiayu, setelah indekos di rumah Masturo di Kalijurang I selama beberapa bulan, saya dan mas Budi dapat kontrakan di Kauman - Bumiayu. Di rumah kontrakan ini kami tidak masak sendiri karena berlangganan makan di sebuah warung di depan Losmen Tenteram - Bumiayu. Warung tersebut milik Ibu Fatimah yang akrab kami panggil dengan sebutan "Mama". Selain kami, juga banyak bujangan lain yang bekerja sebagai Guru atau polisi makan di warung Mama. Kami juga banyak kenal dengan salesman yang sering makan di warung Mama atau nginap di losmen Tenteram.

"Mama" orangnya sudah setengah umur (50 tahunan), perangai keras bahkan terkesan agak galak namun orangnya sebenarnya baik hati dan suka menolong. Beliau sangat melindungiku dan perhatian padaku. Beliau kuanggap sebagai ibuku sendiri. Beliau juga sangat karib dengan ibuku dan saudara-saudaraku. Ketika keluargaku mau melamar pacarku, Mama-lah yang ikut repot menyiapkan perlengkapan sampai menyiapkan tim PKK setempat untuk bantu menghantar mas kawin. Sampai saat ini alhamdulillah hubungan kami dengan Mama tetap baik. Beliau juga sangat sayang pada anakku Dudi, yang kalau kami pas pulang dan mampir ke warungnya langsung disediakan berbagai hidangan untuk Dudi.

Semoga Allah senantiasa melindungi Mama dan keluarganya serta melimpahkan kebahagiaan dunia dan akhirat buat beliau....

Cita-citaku jadi ABRI Desa..

Ketika aku bekerja di Program Perhutanan Sosial - Bina Swadaya, pada tahun 1991-1993 aku ditempatkan sebagai Dokumentator Proses di wilayah Kecamatan Bantarkawung dan Kecamatan Larangan Kab. Brebes. Pekerjaanku saat itu mencatat semua aktivitas pembinaan Kelompok Tani Hutan (KTH) yang didampingi oleh petugas lapang Bina Swadaya (mas PN Budiyono) dan petugas-petugas Perhutani.
Di wilayah Bantarkawung, pada mulanya aku dan Mas Budiyono indekos di rumah Bpk. Masturo di dusun Kalijurang I. Suasana di dusun ini relatif sepi, damai dan sejuk. Istri Masturo masakannya cukup lezat sehingga kami jadi gemuk. Tetangga-tetangga cukup ramah. Dimalam hari ketika tidak ada aktivitas pertemuan kelompok tani, terkadang kami main kartu bersama sambil menunggu listrik padam jam 11 malam. Saat itu listrik yang ada masih listrik diesel sehingga jam 11 malam sudah dipadamkan.
Masturo bekerja sebagai penjahit di kampungnya. Keluarga Masturo merupakan keluarga yang berbahagia dengan 2 anak. Anak sulungnya laki-laki bernama Aris, anak keduanya perempuan bernama Dede. Dede punya cita-cita jadi peragawati (sejak kecil Dede sudah kelihatan bibit kecantikannya). Sedang si Aris ketika kutanya apa cita-citanya menjawab dengan lantang dan tegas plus serius bahwa dia punya cita-cita jadi ABRI Desa (Hansip). Mungkin Aris terpesona oleh Hansip yang jaga Kantor Kelurahan yang kelihatan gagah dengan seragam hijaunya, sehingga dia punya cita-cita jadi ABRI Desa.
Setelah saya bertahun-tahun meninggalkan Bumiayu, saya masih sering silaturahmi ke rumah Masturo. Sayang beberapa bulan lalu ketika saya silaturahmi ke Kalijurang I, saya menerima kabar menyedihkan karena Aris "sang ABRI Desa" telah meninggal dunia karena suatu penyakit. Sehingga punahlah sudah cita-cita sang ABRI Desa.......
Semoga almarhum diampuni segenap dosa, dan keluarga yang ditinggalkan senantiasa diberi ketabahan dan kesabaran.... Amin...

Monday, August 20, 2007

Ceiiiilah Mama....

Dongeng lain yang sering kuceritakan pada anakku Dudi menjelang bobok adalah kisah nostalgia percintaanku dengan mamanya. Sambil berbaring bersama Dudi dan mamanya di tempat tidur, kumulai bercerita:
Alkisah pada 10 tahun lalu ada seorang pemuda desa yang sederhana nan bersahaja memulai bekerja di sebuah kota kecil bernama Bumiayu... (biasanya sampai di sini, anakku sudah mulai menebak jalan ceritanya lalu berdehem ehm..ehm..sambil melirik nakal sama mamanya).
Pemuda desa tersebut tinggal di sebuah rumah kos dekat musholla Baitul Amin - Bumiayu. Di rumah kos tersebut, si pemuda desa rajin membersihkan rumah, halaman dan sekitarnya, sehingga menarik perhatian tetangga-tetangganya karena di daerah itu biasanya membersihkan rumah menjadi pekerjaan ibu-ibu atau gadis-gadis. Banyak tetangga yang memuji sikap rajin si pemuda desa. Di antara para tetangga tersebut terdapat seorang gadis yang tinggal di seberang rumah kos. Si gadis nampaknya terpesona sama si pemuda desa dan untuk menarik perhatian si pemuda, gadis itu kemudian ikut-ikutan setiap pagi membersihkan halaman rumahnya padahal dulunya gadis itu paling malas kalau disuruh menyapu halaman...(biasanya sampai disini anakku mulai ngeledek mamanya...ceilaaaah mama.....!!!)
Suatu saat di kala mentari pagi mulai menampakkan sinarnya nan cerah, si gadis tersebut berpakaian rapi bak sekretaris eksekutif dengan baju blazer putih bergaris hitam, rambutnya yang berombak disisir rapih, bergincu merah dan berbedak tipis. Gadis itu berjalan penuh percaya diri menuju jalan raya. Si gadis tersebut memakai sepatu hitam memakai hak tinggi, dan suara langkahnya terdengar nyaring klothak...klothak...klothak... kayak Hansip dikejar anjing....ha..ha...ha... Si pemuda desa yang melihat gadis itu berjalan tegap namun anggun, hanya bisa terpana dan terpesona...Anggun nan cantik nian, ucap si pemuda desa dalam hati.
Di sore hari si gadis pulang ke rumah, dan mampir ke rumah kos si pemuda. Si Gadis tersebut bercerita bahwa dia ternyata sedang mendaftar kerja di sebuah kantor di kota Tegal. Dia ingin bekerja dan menjadi pegawai, untuk meringankan beban keluarga.
Tapi lama ditunggu tiada kabar berita hasil tes di kantor itu. Si gadis pun tiada bersedih karena sebenarnya tiada peduli lagi dengan hasil tes-nya. Sejatinya si gadis merasa berat meninggalkan kampung halamannya. Dimana di sana tinggal si pemuda desa yang menjadi pujaan hatinya.,....
Mendengar cerita tersebut, si Dudi biasanya langsung meledek mamanya; "ceilaaah mama, diam-diam ngebet sama papa ya....".
Mamanya yang diledek cuma bisa bilang: "ah itu papamu yang menjungkir balikkan fakta. Dulu yang ngejar-ngejar itu papa. Mama hanya kasihan ke papa, maka mama mau jadi pacar papa. Tuh lihat surat-surat cinta papa, disitu kelihatan kalo papa yang ngejar-ngejar mama"
Tapi mendengar mamanya sewot si Dudi malah tambah seneng ngerjain mamanya: "Ceiiilah mama, cantik-cantik kok langkahnya kayak hansip dikejar anjing hi..hi...hi..."
Akhirnya mamanya cuma bisa nyerah dan dengan wajah merona merah dia bilang sambil sewot ke aku: "Pa, kalo cerita mbok jangan memutar balik fakta , aku kan malu walau sama anakku..."
Akupun hanya bisa ngakak ha..ha.,...ha... melihat mamanya Dudi nyerah dikerjain anaknya........

Tuesday, August 14, 2007

Mama dulunya dipungut dari tong sampah?

Kalo anakku mau bobo, dia biasa minta didongengi. Aku biasanya menemani sambil mendongeng tentang masa kecilku di desa yang menyenangkan, masa sekolahku, sampai pacaran dan berumah tangga. Dudi sangat senang kalau kudongengi dan biasanya dia minta didongengi ketika "papa masih kecil hingga aku lahir".
Salah satu dongeng fiktif yang kuceritakan adalah sebagai berikut:
"Di suatu senja yang berkabut, nan temaram kota Bumiayu diguyur hujan lebat. Semua orang lebih suka tinggal di rumah untuk menghindarkan diri dari sengatan hawa dingin yang menusuk tulang dan guyuran air yang deras. Setelah beberapa lama, di tengah malam hujanpun reda. Di saat yang dingin, gelap nan kelam itu terdengar rengekan suara tangis bayi dari sebuah bak sampah. Sepasang suami istri mendengar tangisan itu dan mencari arah suara itu berasal. Di tumpukan sampah yang lembab nan busuk, terlihat seorang bayi perempuan berselimut kain kumal sedang dirubung ribuan lalat hijau. Pasangan tua itu kemudian segera mengambil dan menggendong bayi yang kurus kering nan bau busuk itu untuk segera di bawa ke rumah. Karena bayi itu dirubung lalat, maka sampai gadis itu besar tahi lalat yang bertebaran di tubuh gadis itu tiada hilang. Gadis itulah yang kemudian dikenal dengan nama Dewi Setiawati."
Kalau mendengar cerita itu Dudi langsung bertanya pada mamanya (karena mamanya juga bernama Dewi Setiawati): "benarkah mama ditemukan di tong sampah dulu? benarkah mama hanya anak nemu atau anak pungut?
Sebelum mamanya menjawab, aku bilang ke Dudi: " Itu benar dik, coba lihat aja badan mama banyak tahi lalatnya. Itu karena waktu kecil dia dirubung lalat hijau di tong sampah. Dulu dia ditemukan di tong sampah oleh mbah kakung dan mbah uti"
Mendengar provokasiku yang menyesatkan itu, mamanya Dudi biasanya complain sambil bersungut-sungut : "Itu bohong dik, papamu aja kok dipercaya untuk dongeng gituan...Dasar papa...nanti kubilangin ke Bapak ibu biar dimarahin."
Tapi dasar Dudi juga suka ngeyel, dia terkadang nanyain terus dan membumbuin agar mamanya makin keki... he..he...he... Tinggal Mamanya yang ngomel-ngomel karena di-diskreditkan oleh cerita bualanku dan ledekan Dudi he..he...he...

Dudiku yang jahil...

Sejak kecil Dudi sudah menunjukkan bakatnya yang jahil. Salah satu tingkah kejahilannya adalah kalau aku sedang enak-enak tidur siang, dia pelan-pelan merangkak di belakangku kemudian merangkulkan tangannya yang gemuk ke leherku dengan gaya seperti pemain smackdown sambil menghitung 1,2,3 dst sampai sepuluh pertanda kalau aku menyerah....Tentu saja aku yang dibekap demikian menjadi gelagepan karena kehabisan nafas. Akhirnya tidur siang jadi batal karena ulahnya he..he..
Kejahilan lain adalah dia masih TK, ketika aku sedang mandi pagi dia kancing pintu kamar mandi dari luar dan dia diam-diam aja ngeloyor pergi ke sekolah. Mamanya sendiri tidak tahu kalo Dudi ngancing pintu, sehingga aku terjebak di kamar mandi dan nggak bisa keluar karena nggak ada yang bukain pintu kamar mandi....Paling-paling mamanya Dudi yang bukain pintu setelah dia pulang dari ngantar Dudi ke sekolah TK yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah....
Terkadang aku jengkel namun juga akhirnya ketawa sendiri melihat kejahilannya karena apa yang dia lakukan merupakan potret kejahilan dan warisan dariku...he...he...

Ehm..ehm....Malam pertamaku....

Acara resepsi pernikahanku dilakukan pada malam hari. Pak De dan Bude Abdulah, Bude Muhtohari, Mas Heru, Mbak Tri, Mbak Marsih, Dik Rin, Mas Sukiyat dll merupakan rombongan kerabat dekat keluargaku yang ikut acara resepsi itu. Setelah acara resepsi yang sampai larut, aku dan keluarga istriku membuka kado-kado pernikahan kami. Bermacam rupa kado yang kami terima dari para undangan seperti gelas, jam dinding, alat dapur dll... cuma belum ada kado yang berupa kunci mobil BMW atau kunci rumah ..he..he...he.... Saat itu kami rame-rame membuka kado di atas ranjang pengantin. Karena kelebihan beban dan sewaktu memasang dipan ada sekrup yang nggak pas maka..gedubrak...dipannya ambrol....

Karena capek seharian resepsi dan banyak tamu, saya dan istri segera tertidur sampai pagi harinya bangun kesiangan jam 8 pagi. Karena kami bangun kesiangan, saya dan istri eyel-eyelan untuk menentukan siapa yang harus keluar kamar duluan karena malu sama mertua dan keluarga he..he..he..

Setelah mandi, kami segera ke Losmen Tentram-Bumiayu, tempat keluargaku menginap. Di sana keluargaku sudah siap-siap benah-benah mau berangkat pulang ke Magelang. Mereka juga complain; hei mengapa telat bangun nih...? Mentang-mentang pengantin baru ha.ha...ha...

Sehabis menghantar keluargaku berangkat pulang ke Magelang, kami mau pulang ke rumah mertua dan dicegat sama serombongan ibu-ibu. Mereka menanyai:" Kudengar semalam dipannya ambrol ya? pakai gaya apa sih kok bisa sampe ambrol gitu?". Mendengar pertanyaan itu, aku dan istriku ketawa ngakak...dan akhirnya kami jelaskan bahwa dipan itu ambrol karena diduduki rame-rame sewaktu membuka kado dan bukan karena gaya smackdown kami yang dahsyat ..he....... he...he...

Monday, August 13, 2007

Mau nikah kok klayapan ke pasar hewan....

Sehari sebelum "hari H" pernikahanku, kawan-kawan kerjaku di Bina Swadaya seperti mas Haryo, Mas Ruruh dkk. datang di Bumiayu untuk menyaksikan pernikahanku. Pagi harinya mereka kuajak jalan-jalan melihat keadaan kota kecil Bumiayu. Kebetulan hari itu hari Wage yang merupakan hari pasaran untuk pasar hewan Bumiayu, sehingga rombongan kuajak ke sana untuk melihat transaksi jual beli hewan, alat pertanian dll...Aku sendiri punya hobby untuk berkunjung ke pasar tradisional. Kemanapun aku pergi ke suatu daerah, aku senang lihat pasar tradisional. Karena bagiku, pasar tradisional itu merupakan potret gamblang kondisi sosio kultural masyarakat di situ...
Sehabis jalan-jalan, Dewi yang saat itu jadi calon istriku ngomel-ngomel karena jam 10 pagi kami mau akad nikah kok masih sempat-sempatnya klayaban ke pasar hewan ha..ha...ha...
Akhirnya akad nikah dilaksanakan tanggal 15 Mei 1995 jam 10 an pagi. Dengan disaksikan keluargaku, keluarganya dan kerabat dekat, akad nikah yang berlangsung di musholla Baitul Amin, Kauman - Bumiayu berjalan lancar karena aku sudah hafal ucapan ijab-qabulnya. Bapak mertuaku sendiri yang bertindak sebagai wali istriku. Terus terang semula aku agak deg-degan karena malu kalau keliru (bukan deg-degan karena hendak memikul tanggungjawab berat sebagai seorang suami lho....). Dengan selesainya acara akad nikah ini, resmilah sudah aku menjadi suami dari Dewi Setiawati dan meninggalkan status bujanganku untuk menyambut statusku yang baru sebagai seorang suami dan kepala keluarga......

Mas kawin, kristalisasi keringatku...

Jauh hari sebelum lamaran ke rumah Dewi, aku diajak ibuku ke pasar Muntilan untuk membeli beberapa barang untuk persiapan mas kawin. Beberapa barang yang kubeli berupa sepasang cincin kawin, seuntai kalung, beberapa bahan kebaya, tas perempuan, sandal, koper dll. Mungkin barang yang kubeli tersebut tiada mahal atau bernilai harganya, karena memang sangat sederhana. Tapi itulah kemampuanku saat itu.... Meski demikian aku bangga karena untuk keperluan pernikahanku, aku tidak banyak merepotkan bapak ibuku. Walau gajiku tidak banyak, dengan bimbingan ibuku aku mampu menabung dan membeli barang-barang itu dengan tetesan keringatku .....

Friday, August 10, 2007

Rumahku ndeso banget lho...

Ketika aku pacaran sudah semakin serius, suatu saat keluarga Dewi (bapak, ibu, nenek, saudara-saudaranya) gantian silaturahmi ke kampungku. Kubilang jauh hari sebelumnya bahwa rumahku ndeso banget dan harus jalan kaki berkilo-kilo. Rumah orangtuaku hanya gubug reot dan tidak ada WC jadi semua harus nyebur ke kali untuk buang hajat dll. Jadi semua harus persiapan fisik dan mental.
Mereka berangkat dari Bumiayu dan mampir ke tempat kakakku sulung di Wonosobo. Kakakku yang bernama Mas Har inilah yang kemudian jadi pemandu jalan ke rumahku yang di ndeso itu.... Setelah dari Magelang, rombongan kemudian menyewa kendaraan angkutan desa sampai ke rumahku. Di rumahku rombongan Dewi bertanya-tanya kenapa mampir di situ?. Dewi menjawab bahwa mungkin sopirnya perlu istirahat sebentar karena perjalanan masih jauh. Mereka baru sadar telah kubohongi setelah Bapak Ibuku menyambut mereka. Mereka semula masih berpikir rumahku benar-benar jauh di pelosok dan harus jalan kaki berjam-jam.... Memang rumahku ndeso tapi untuk jalan kaki sebenarnya hanya cukup sekilometer saja.
Di rumahku ibuku kemudian sibuk masak-masak, dan rombongan keluarga Dewi jadi agak kikuk karena kalau ibuku menawari makanan, karena makanan itu disodorkan terus sampai si tamu mengambilnya. Itu tradisi di kampungku.
Malam harinya untuk rombongan keluarga si Dewi sudah di siapkan tempat tidur. Tapi yang ibu-ibu lebih suka tidur rame-rame dalam satu dipan...tahu-tahu...gedubrakkk.... dipan tempat tidurnya jebol karena kelebihan beban he..he..he... itulah nostalgia kunjungan keluarga Dewi ke rumahku....

Thursday, August 09, 2007

Serangan kilat keluargaku...

Saat pacaranku dengan Dewi menginjak 3 bulan, kukirim surat ke ibuku yang tinggal di kampung bahwa aku sudah punya pacar. Ibuku kaget dan cemas karena kuatir aku sudah berbuat yang enggak-enggak...ha..ha... Ibuku kemudian bilang kepadaku bahwa sebaiknya keluarga kami segera ke bersilaturahmi ke rumah Dewi untuk menunjukkan keseriusan kami. Ibuku bilang bahwa tidak baik menggantung nasib anak perempuan. Selang sebulan kemudian, bapak dan kakak sulungku bersilaturahmi ke tempat Dewi. Dewi yang saat itu sedang bekerja di BKIA terkejut dengan kedatangan adiknya yang menyusulnya dan memberitahu bahwa bapak dan kakakku berkunjung ke rumah dia. Dia terkejut karena selama ini aku diam tidak pernah ngomongin hal itu. memang ini skenarioku untuk bikin kejutan ha..ha...ha... Dewi ngomel-ngomel padaku tentang kejutan ini, tapi aku yakin bahwa dalam hatinya dia sangat bahagia dengan kedatangan keluargaku he..he....he...
Setelah pacaranku hampir setahun, gantian ibu, bapak dan kakak-kakakku datang kembali kerumahnya. Pada malam harinya Dewi diajak oleh ibuku untuk menemani ibuku tidur di tempat kosku. Di situ Dewi melihat keluargaku bawa banyak koper. Pagi hari sehabis shubuh Dewi cepat-cepat kabur dan memberi tahu bahwa keluargaku mau lamaran sekaligus tunangan. Keluarga Dewi geger karena mereka belum ada persiapan makanan sama sekali. Dikiranya kunjungan keluargaku kami hanya silaturahmi biasa. Akhirnya dengan mendadak, keluarga Dewi segera masak-masak untuk menjamu keluargaku. Setelah jam 10 pagi, keluargaku yang disertai rombongan PKK setempat yang dikerahkan oleh "Mama Fatimah" berangkat ke rumah Dewi sambil membawa serah-serahan (bahan mas kawin). Rombongan PKK setempat dikerahkan karena rombongan keluargaku sedikit dan tidak mencukupi untuk membawa serah-serahan yang terdiri dari beberapa jenis barang.
Pada saat itu juru bicara dalam rombongan keluargaku adalah sepupuku yang bernama Mas Sukiyat. Dia purnawirawan ABRI dan pernah lama tugas di Bumiayu sewaktu jaman DI/TII dan orangnya suka guyon. Oleh Mas Sukiyat, di depan keluargaku, keluarganya dan beberapa kerabat serta tetangga dekat, Dewi ditanya apakah dia mau jadi istriku...ehm..si Dewi hanya senyum-senyum malu sambil pipi merona merah..ha..ha...ha... Walau Dewi tidak menjawab secara verbal tapi diartikan oleh mas Sukiyat bahwa si dewi ho-oh alias setuju banget he..he...
Akhirnya acara itu berlangsung sukses, dan keluarga kami pamitan siang harinya. Tinggalah si Dewi dan keluarganya yang ngomel padaku karena aku tidak memberi tahu rencana lamaran ini...aku hanya cengengesan saja karena aku yakin mereka juga bahagia dan aku telah menunjukkan bahwa keluargaku adalah keluarga yang bertanggungjawab......

Ungkapan hati lewat Surat...

Ketika aku sudah mulai pacaran dengan Dewi, rasanya pengin setiap saat bersamanya... Kalau aku pas tugas selama sekitar seminggu di kecamatan Larangan yang berjarak sekitar 25 kilometer, setiap hari doi kukirimi surat via pos. Aku ingat kertas surat dan amplopnya bergambar romantis Demi Moore, karena saat itu sedang wabah film "Ghost" yang dibintangi Si Demi dengan Patrick Swayzee.
Yang bikin heboh adalah surat itu kukirim ke alamat doi bekerja di BKIA dengan kata-kata "Untuk calon ibunya anak-anak". Wah teman-teman doi akhirnya pada ngeledekin doi terus he..he...he... Tapi surat-suratku tiada pernah doi balas, karena ternyata doi punya kesulitan untuk menulis surat..yah penyakit sulit untuk menulis yang diderita banyak orang Indonesia ternyata juga menghinggapi doi...BTW, nggak apa-apa doi tidak bisa nulis surat, yang penting dia juga sayang padaku ...he..he...he..

Cinta dibalik sebuah novel....

Ketika tahun akhir 1991 aku bekerja di LSM Bina Swadaya dan ditugaskan untuk mendampingi Kelompok Tani Hutan di daerah Bumiayu dan Larangan- Kab. Brebes. Melalui perantaraan Ibu Fatimah yang akrab kami panggil "Mama", aku berhasil mendapatkan sebuah rumah kos-kosan di daerah Kauman - Bumiayu.
Singkat kata, aku pindah ke rumah kos-kosan itu dengan Mas Budi mitra kerjaku. Di Kauman, ternyata banyak gadis-gadis yang lumayan cantik (setidaknya menurut seleraku..). Karena di rumahku ada mesin ketik, di sore hari banyak anak-anak muda yang sering main di kos-kosanku untuk numpang ngetik proposal kegiatan remaja masjid dll. Salah seorang gadis yang sering ikut ngobrol di kos-kosanku bernama Dewi Setiawati. Dia berambut keriting berombak, kulit kuning, ramah, suka guyon dan cantik (setidaknya menurutku lho)... Dia juga aktif di remaja masjid di kampung itu. Dia merupakan anak ketujuh dan ayah ibunya berprofesio sebagai Kepala sekolah SD dan aktif di organisasi Muhammadiyah.
Di kos-kosanku dia lihat aku punya koleksi kaset dan buku novel. Karena dia suka baca maka dia pinjam bukuku dan akupun meminjam koleksi-koleksi miliknya. Kami saat itu sangat menggemari bukunya Sidney Sheldon. "Witing tresno jalaran soko kulino" atau adanya cinta karena dari terbiasa merupakan proses yang tumbuh dalam hatiku. Dari saling meminjam novel dan kaset, tumbuh perasaanku tertarik padanya. (Kayaknya doi juga punya perasaan yang sama sih he...he...). Sampai suatu saat dia kukirimi surat setengah guyon berupa selembar "Surat Pernyataan Cinta yang lengkap dengan materai" (surat ini masih kudokumentasikan sampai sekarang). Walaupun rumah kami hanya berseberangan dengan jarak 20 meter, surat tadi kukirim via pos kilat. Cilakanya, yang menerima surat itu ibundanya yang terkenal agak streng...Surat itu dibuka oleh ibundanya dan ibundanya cuma geleng-geleng kepala melihat kelakuanku sambil mbatin aku ini serius apa nggak sih dengan surat itu...ha..ha...ha...
Untunglah hati ibundanya sudah luluh dulu dengan tingkahku. Akhirnya setelah beberapa lama ibunda dan Bapaknya menyuruh si Dewi untuk memanggilku guna diinterogasi tentang maksud hatiku yang sebenarnya. Wah pucuk dicinta ulam tiba.... Tak sabar menunggu sore menjelang, bada isya aku ke rumahnya. Disana beliau menanyai maksud hatiku....Kujawab semi cengengesan bahwa aku serius ingin pacaran dan merajut kasih dengan Dewi. Insya Allah nanti kami bisa menjadi pasangan suami istri. Akhirnya beliau berdua merestui... yah akhirnya kami jadi pacaran.....dan berakhirlah musim men-jomblo buatku...

Dudi dan Kak Dita

Ketika Dudi berumur sekitar 1 tahun, kami tinggal di Perumahan Pondok Cipta, Kranji-Bekasi Barat. Di tempat itu ada seorang gadis kecil yang lincah bernama Dita. Dita saat itu kelas 3 SD atau berumur sekitar 9 tahun. Dita sangat sayang sama Dudi, sehabis pulang sekolah dia "culik" Dudi ke rumahnya untuk diajak main-main. Saat bobok siang, Dudi dianterin ke rumah dan sorenya diambil lagi. Mamanya Dita yang kami sebut Mama Aang juga sangat sayang sama Dudi. Sehari-hari Mama Aang masak untuk Dudi.
Sayang, ketika Dita menginjak kelas 4 SD, Dita pindah ke kampung halaman mama Aang di Pati. Dan sejak itu Dita dan mama Aang tidak pernah kami jumpai walaupun aku sudah mencari melalui berbagai media. Surat yang kukirim ke alamat mereka di Pati juga tiada berbalas karena konon mereka sudah pindah... Semoga Allah senantiasa melindungi dan melimpahkan hidayah-Nya untuk Dita dan Mama Aang sekeluarga.....Semoga suatu saat kami bisa bersilaturahmi dengan Dita dan Mama Aang sekeluarga, untuk membalas budi baik Mama Aang yang tidak akan pernah kami lupakan....

Tuesday, August 07, 2007

Dudiku yang penuh pengertian...

Sewaktu aku bekerja di LSM Bina Swadaya, gaji yang kuterima tidak terlalu besar sehingga aku sekeluarga dituntut untuk hidup hemat dan pintar mengelola uang. Alhamdulillah dengan cara tersebut, gaji yang kuperoleh bisa mencukupi kebutuhan keluarga untuk hidup sederhana. Aku, Istriku dan Dudi anak semata wayangku alhamdulillah masih bisa berteduh, makan kenyang dan berpakaian pantas walau tidak mewah...
Ketika Dudi masih berusia 2 tahunan dan saat itu sedang musim sinetron Panji Milenium dan Saras 008, Dudi pengin banget punya kaos bergambar Saras 008. Dengan berbekal uang 30 ribu di kantong, kuajak dia ke pasar tradisional dekat tempat tinggalku yakni di Pasar Kranji - Bekasi Barat untuk membeli kaos idamannya. Saat masuk ke pasar matanya tertarik melihat 5 buah robot Power Ranger ukuran kecil yang ada lampu didadanya. Walau dia tidak ngomong padaku kulihat dia naksir berat dan tatapan matanya menyiratkan keinginannya yang amat dalam untuk memiliki mainan robot itu.... Robot itu kuperiksa dan ternyata harganya 50 ribu, padahal uang di kantongku hanya ada 30 ribu....
Akhirnya dengan lembut kurayu Dudi; "Dudi pengin mainan robot itukah?"
Dudi matanya berbinar dan mengangguk pasti sambil menjawab; "Ya pa..bagus banget robot itu"
Dengan perlahan kubilang; "Papa juga pengin banget beliin mainan robot untuk Dudi. Tapi papa lagi nggak bawa uang nih...karena tadi kita kan hanya ingin beli kaos. Jadi papa hanya bawa uang sedikit. Nanti kalau papa sudah gajian, nanti kita kembali ke sini dan beli robot itu ya? sekarang kita beli kaos Saras dulu ya dik....? Papa janji nanti kalau gajian kita beli robot itu"
Alhamdulillah Dudi dengan penuh pengertian Dudi mengangguk ikhlas dan menjawab: "bener ya pa nanti kita beli robot itu kalau papa sudah gajian ya.. kita sekarang beli kaos aja...."... Plong rasanya mendengar jawaban Dudi yang penuh keikhlasan itu....
Setelah 2-3 mingguan ketika aku mempunyai sejumlah uang yang cukup untuk membeli robot itu, aku bilang kepada Dudi;"Dik, kita jalan-jalan ke pasar Kranji yuk...kita beli robot Power Ranger yang dulu adik suka itu". Apa jawaban Dudi?
Dudi menjawab dengan nada sabar namun penuh gembira dan mata berbinar:"Emangnya papa sudah punya uang untuk beli robot itu? kalau belum punya nanti aja nggak apa-apa kok, nanti belinya kalau papa sudah punya uang".
Mendengar jawaban itu, hatiku menjadi trenyuh, terharu bercampur bahagia sampai mataku berkaca-kaca karena anakku yang masih kecilpun sudah mampu dan mau untuk memahami keadaan orang tuanya yang hidup sederhana. Akhirnya kami pergi ke Pasar Kranji dan Dudi mendapatkan robot Power Ranger idamannya. Sampai saat ini robot itu masih terawat baik walaupun robot itu dibeli sekitar sepuluh tahun lalu.
Pesan moral dari pengalaman ini adalah: (1) Sejak dini kepada anak perlu ditanamkan sikap hidup bersahaja dan mau memahami keadaan dan kesulitan orangtuanya sehingga dia tidak tumbuh menjadi anak manja (2) Orang tua juga harus konsisten dan amanah. Kalau orangtua berjanji juga harus ditepati agar tumbuh rasa percaya dari anak kepada orangtua. (3) adanya rasa saling percaya ini akan membantu menumbuhkan sikap saling pengertian menuju terciptanya keluarga yang harmonis.

Monday, August 06, 2007

Dudi: singa pejuang kecilku

Tahun 1996, waktu istriku hamil mendekati delapan bulan, dia kukirim ke kampung halamanku di Magelang dengan pertimbangan agar irit saat melahirkan, karena biaya melahirkan di Magelang lebih murah daripada biaya melahirkan di Jakarta. Selain itu di kampungku ada ibuku yang bisa membantu menjaga istriku bila mau melahirkan sewaktu-waktu…

Di kampungku, ibu selalu rutin mengajak istriku kontrol ke bidan atau dokter. Alhamdulillah saat itu istriku juga nggak ngidam yang aneh-aneh. Dari USG oleh dokter, diperkirakan anakku sangat sehat karena detak jantungnya kuat dan diperkirakan akan lahir 16 September 1996. Istriku saat itu kemudian menelponku dan bilang sangat bahagia, karena kalau anakku lahir tanggal itu maka itu akan jadi hadiah ulang tahun yang paling berharga buat dia. Istriku sendiri lahir pada tanggal yang sama tahun 1972. Mendengar telpon istriku, aku merencanakan pulang pada hari Jumat tanggal 13 September 1996 agar bisa menunggui istriku melahirkan. Mbak Yuni yang menjadi bosku di kantor LSM Bina Swadaya juga merekomendasikan aku agar ambil tugas luar di Jateng saja selama seminggu agar bisa dekat keluarga…

Tanggal 13 September sewaktu aku pulang dari shalat Jumat, teman-temanku menyalami aku dan mengucapkan selamat. Aku bingung dan teman-temanku menjelaskan bahwa ketika aku shalat jumat ada telpon dari keluargaku yang menginformasikan anakku sudah lahir selamat dan sehat tanggal 13 September pagi di rumah sakit Gladiol Magelang. Sore harinya dengan menumpang bus aku pulang ke Magelang. Perjalanan ke Magelang yang 12 jam terasa amat lambat bagiku yang sudah kangen istri dan kepengin melihat anakku.
Keesokan hari, sampailah aku disana dan langsung menuju ke rumah sakit menengok anak istriku. Di pagi yang cerah itu, istriku kemudian bercerita tentang pengalamannya melahirkan. Sejak jam 1 malam tanggal 13 September, dia sudah merasa mulas dan berulangkali ke kamar kecil. Dia tidak berani membangunkan ibuku karena kuatir mengganggu. Untunglah setiap subuh ibuku selalu menengok istriku. Melihat pagi itu istriku sudah bangun maka ibuku terkejut dan menanyakan apakah istriku merasa mulas? Ibuku juga langsung membangunkan kakakku dan saudara-saudaraku untuk berkemas-kemas ke rumah sakit untuk mengantar istriku. Jam 7 pagi mereka berangkat ke Rumah Sakit. Di rumah sakit dia langsung dimasukan ke ruang bersalin dan langsung ditunggui dokter spesialis kandungan. Eh …mungkin karena ditunggui dokter, bayinya malu ke luar maka setelah menyuntik terlebih dahulu dokter kemudian meninggalkan istriku ke luar kamar. Walaupun mulas-mulas istriku mencoba sabar dan tawakal. Kakak sepupuku yang menungguinya juga menawarkanpada istriku untuk makan telur ayam kampong mentah agar persalinan lancar, tapi istriku menolak karena tidak biasa makan telor mentah. Kakak sepupuku sangat memuji ketabahan istriku yang tetap tenang meski menahan sakit mulas. Tidak sedikit orang perempuan sering meraung-raung kesakitan karena tidak kuat menahan sakit ketika melahirkan. Alhamdulillah sekitar jam 9 pagi bayinya lahir. …

Ibuku yang mengetahui kedatanganku pagi itu kemudian membawaku menengok bayiku ke ruang karantina bayi. Disana kulihat bayiku yang masih merah sedang memejamkan mata sambil sesekali menggeliatkan badan. Mungil, imut dan lucu bayi itu... Ibuku cerita bahwa bayiku mudah dikenali karena kalau menangis suaranya kencang. Bayiku suka menangis terutama kalau lapar atau haus. Dia juga suka kentut ...duuuut...bunyinya keras juga...

Sehabis menengok bayiku, aku tertidur di kamar istriku karena semalaman sulit tidur di bus. Aku terbangun sewaktu ada suara celoteh dari perawat-perawat yang akan memeriksa dan memandikan istriku. Kalau ingat peristiwa saat itu, istriku sering protes karena aku bukan seorang suami yang romantis. Alasannya selain dia harus bertaruh nyawa sendirian ketika melahirkan tanpa ditunggui suami, eh...suami datang nggak ngucapin selamat sambil membelai istri tercinta malah ngorok di lantai di bawah kolong tidurnya he.,..he...he...

Akhisnya setelah 3 hari di rumah, bayiku kubawa pulang. Sudah kusiapkan sebuah nama untuknya yakni Muhammad Azaduddin Hazazi yang artinya Singa Pembela Agama yang rajin dan gagah berani. Hazazi juga kupilih untuk mengingat tahun tersebut terdapat pelanggaran hak azazi yang serius dimana kantor PDI di Jakarta yang dikuasai kelompok Megawati diserbu oleh pihak lain dan korban meninggal maupun luka berjatuhan walau tidak ada angka pasti tentang jumlah korban yang bisa dijadikan rujukan.. aku duga korban yang jatuh sebagian besar adalah wong cilik yang saat itu simpati kepada Megawati karena Megawati didzolimi oleh pihak lain. Melalui nama Mohammad Azaduddin Hazazi atau biasa kupanggil Dudi itu, kuberdoa semoga anakku nantinya mampu menjadi singa pejuang kebenaran azazi yang gagah berani....khususnya pembela bagi masyarakat yang tertindas....Semoga Tuhan mengabulkan doaku........Amin....

Impotensi (pelajaran 1)

Suatu siang sehabis sekolah, anakku yang semata wayang bernama Dudi dijemput oleh Mama-nya (yang notabene istriku) dari sekolah dengan naik sepeda motor Honda yang agak reyot dan tua (10 tahun). Tatkala melewati perempatan Air Hitam, dimana terpasang sebuah spanduk iklan rokok, terjadi perbincangan antara Dudi dengan Mamanya.
Dudi: Ma, apakah artinya impotensi?
Mamanya agak terkejut dengan pertanyaan itu karena tidak pernah menduga pertanyaan itu muncul dari Dudi. Akhirnya mamanya sadar bahwa Dudi tanya tentang impotensi karena baca iklan layanan rokok yang mengatakan bahwa "merokok bisa mengakibatkan impotensi dst..."
Akhirnya setelah beberapa saat berpikir, mama Dudi menjawab: "Impotensi adalah suatu penyakit yang menyebabkan orang laki-laki tidak bisa punya anak".
Dudi: "kalo begitu papa itu impotensi ya? karena aku minta adik kok nggak dikasih-kasih?"
Mama-nya Dudi tercengang mendengar tanggapan Dudi yang tak dinyana itu. Mamanya hanya ternganga dan geli mendengar jawaban Dudi.
Akhirnya Dudi melanjutkan kata-katanya bahwa: "Kalo gitu ma, nanti kalau aku sudah punya anak 2, aku mau impotensi aja ah biar tidak punya anak...."
Mama: ??????????
Pelajaran moral yang kupetik dari kasus nyata dialog Dudi dan mamanya, adalah memberikan pemahaman kepada anak tentang sesuatu hal seperti sex education adalah tidak mudah dan perlu berhati-hati (disiapkan dengan baik), sehingga tidak menimbulkan salah pengertian dari si anak.

Pak Susetiawan, peletak pondasi berpikir sistematik

Sewaktu aku kuliah di Jurusan Ilmu Sosiatri – FISIPOL UGM, saat mata pelajaran Perencanaan Sosial aku diajar oleh Pak Susetiawan. Seingatku beliau berperawakan sedang, dengan rambut lurus yang disisir belah tengah, berkacamata, dan disela gigi terdapat noda kecoklatan karena sisa nikotin rokok. Penampilan beliau bersahaja, namun ketika mengajar dia sangat kusuka karena sistematis dan jelas. Beliaulah yang mengajari tentang bagaimana membaca buku secara utuh yang lebih menekankan pada pemahaman kerangka pikir (framework) sebuha tulisan, dan bukannya pemahaman bab per bab. Beliau juga yang memberikan pemahaman yang cukup sistematis tentang cara melakukan sebuah penelitian mulai menyusun proposal, riset lapangan, analisis sampai penulisan yang baik. Yang lebih utama lagi beliau juga menekankan etika seorang peneliti yang harus jujur, berintegritas dan memperhatikan orisinalitas. Sayang beliau, tidak sempat mengajarku cukup lama karena beliau saat itu harus menempuh studi di Jerman. Meski demikian bagiku beliau sangat berjasa dalam meletakkan dasar pemikiran dan etika menjadi intelektual bagiku.

Bu Waryati, guru bahasa Inggris idolaku…

Tahun 1982-1985, ketika SMA aku bersekolah di SMA Negeri Blabak yang berlokasi di Kelurahan Ngadiretno dekat Muntilan – Kab. Magelang. Ada salah satu guru yang menjadi idolaku, karena cara mengajarnya yang sangat kusuka. Bu Waryati namanya. Beliau berperawakan sedang, berkulit kuning, keibuan dengan rambut lurus yang selalu digelung rapi. Beliau tidak galak, lembut, sabar namun sangat berwibawa. Bagiku penampilan beliau bak Dewi Yull yang cantik, lembut, dewasa dan tidak mudah emosi. Murid-murid sangat hormat kepadanya termasuk anak yang paling bandel sekalipun. Beliau mengajar bahasa Inggris. Dengan cara mengajar yang demikian lembut dan jelas, aku makin menyukai pelajaran bahasa Inggris yang memang sejak SMP sudah sangat kusukai. Pada sekitar tahun 1993 ketika aku sudah bekerja kubaca di sebuah Koran ternyata beliau menjadi guru teladan di level propinsi Jawa Tengah. Suatu penghargaan yang sangat pantas untuk seorang guru yang berdedikasi dan telah mengabdikan diri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Friday, August 03, 2007

Ibu Guru SMP-ku...

Di tahun 1979-1982, aku bersekolah di SMP Negeri Sawangan. Untuk ngirit uang, setiap pagi aku jalan kaki sejauh hampir 2 km menuju sekolahku. Kalau pulang sekolah di siang hari, aku naik angkutan desa yang berupa kendaraan colt untuk menghindarkan dari terik matahari. Meski aku nanti masih harus jalan kaki sekitar 700 meter karena rumahku agak jauh dari jalan besar yang dilalui angkutan desa. Saat SMP, naik colt semacam itu anak sekolah paling hanya bayar 15-25 rupiah saja. Uang sakuku sendiri perhari paling 50 rupiah dengan rincian 25 rupiah untuk naik angkot dan 25 rupiah sisanya untuk beli jajan sebiji tempe goreng dan sebiji arem-arem (lontong yang didalamnya ada bumbunya).
DI SMP, aku mempunyai beberapa guru favorit yang kebetulan perempuan. Guru perempuan yang sangat kusukai dan kuhormati adalah Ibu Siti Maodah (seingatku nama beliau seperti itu).Beliau sudah berkeluarga saat itu. Beliau berperawakan sedang, rambut keriting, suara keras menggelegar, tegas dan agak keras terhadap anak yang malas belajar. Beliau mengajar biologi, dan banyak murid yang menyukai cara beliau mengajar. Aku sendiri sangat suka terhadap pelajaran biologi yang beliau ajarkan. Sayang beliau kemudian pindah mengajar ketika aku menginjak kelas 2 SMP, dan sejak itu saya tidak pernah bertemu dengan beliau lagi....
Guru lain yang kuidolakan adalah ibu Siti Muzayanah. Beliau tinggi, semampai, berkulit kuning, cantik, lembut, sabar dan sangat anggun dengan rambut panjang yang digelung. Beliau sudah berkeluarga pada saat mengajarku. Beliau mengajar sejarah dan aku sangat suka dengan pelajaran ini karena khayalku bisa menjelajah ke zaman purba, masa lalu maupun lintas negara. Aku sangat suka memandang wajah dan mata beliau yang teduh, terkadang beliau jadi salah tingkah dan tersipu-sipu ketika aku dengan penuh kagum terpesona memandangi setiap gerak-gerik beliau itu..he..he... he... Beliau ini salah satu guru yang kan selalu kuingat. Saat ini saya kadang-kadang ketemu beliau di jalan karena beliau masih mengajar di SMPku dulu dan beliau masih ingat aku....
Guru lain yang ada dalam kenanganku adalah Ibu Dianawati atau dipanggil Ibu Diana. Beliau mengajar seni musik. Beliau ini berperawakan sedang dengan paras mungil, rambut agak berombak, berkacamata, dan cantik bangeeeet. Beliau ini primadona guru di sekolahku (setidaknya menurut versiku), apalagi saat itu beliau masih gadis. Banyak murid cowok yang sedang tumbuh akil balig membayangkan alangkah bahagianya bila mempunyai kekasih secantik ibu Diana ini he..he....he...
Itulah beberapa guru SMPku yang ada dalam kenanganku, tentu tanpa mengurangi jasa-jasa bapak dan ibu guru SMPku yang lain yang sudah membimbingku selama ku menuntut ilmu. Karakter dan fisik dari tiga orang guru itu begitu membekas sehingga aku mudah ingat pada beliau bertiga. Doaku untuk guru-guruku slalu...

Wednesday, August 01, 2007

Guru Kampungku, ndeso tapi pejuang sejati ...

Ketika banyak orangtua menjerit karena biaya sekolah yang semakin mahal saat ini, seolah-olah membenarkan bahwa sekolah itu hanya HAK untuk si kaya. Sedangkan si miskin, harus minggir karena tidak punya daya dan harta guna menyokong pendidikannya.
Aku teringat masa kecilku di kampung. Sekolahku sederhana dengan diding dari anyaman gedek bambu, lantai tanah tiada berpondasi, tiada langit-langit, tiada berjendela. Sekolahku yang sederhana ini juga merupakan cerminan masyarakat di sekelilingku yang sebagian besar masih miskin.
Menghadapi kemiskinan seperti itu, tidak membuat semangat guru-guruku untuk memajukan pendidikan di kampungku menjadi surut. Mereka berkreasi membangun sekolah tanpa terlalu membebani orang tua murid yang memang miskin. Ada beberapa contoh yang dilakukan guru untuk menggalang dana pembangunan dan perawatan sekolah, misalnya:
  • Setiap hari Jumat, anak-anak disuruh berolah raga. untuk pemanasan para murid diajak berjalan ke sebuah sungai dan pulangnya membawa sebongkah batu sesuai kekuatannya masing-masing. Lama-lama batu tersebut terkumpul banyak dan bisa digunakan untuk bikin pondasi sekolah.
  • Untuk membuat pondasi atau perbaikan sekolah, biasanya guru musyawarah dengan orang tua murid. Biasanya banyak orang tua murid yang mampunya nyumbang tenaga atau kayu, bambu dll bahan bangunan sekolah. Sumbangan tenaga dan material bangunan tadi diterima dengan senang hati oleh sekolah dan dikelola dengan baik sehingga pembangunan sekolah tidak membebani orang tua murid terlalu berat.
  • Setiap hari Selasa dan Jumat, sebelum senam pagi murid-murid diwajibkan membawa sebatang kayu pakar jenis apapun. Anak-anak sangat mudah mencari sepotong kayu bakar di jalan atau di kenun. Kayu bakar ini dikumpulkan dan setelah banyak diikat dan dijual. Uang hasil penjualan kayu bakar siswa ini dibelikan kapur tohor untuk mengecat dinding gedek sekolah. Tenaga yang mengecat dinding sekolah ini diambil dari siswa kelas 5 atau 6, sehingga sekolah tidak perlu mengeluarkan biaya tukang cat.
  • Saat perayaan sekolah seperti lebaran, siswa hanya disuruh membawa kue dari rumahnya masing-masing dan saling ditukarkan dengan temannya. Dengan cara ini suasana sekolah tetap seperti pesta yang meriah tapi tidak perlu keluar biaya.
  • Untuk membuat lapangan lompat jauh atau loncat tinggi, murid-murid biasanya disuruh mengumpulkan pasir dikali dan diangkut ke halaman sekolah oleh para siswa. Dengan gotong royong semacam ini sekolah bisa mempunyai lapangan lompat jauh dengan biaya yang murah.
Itulah beberapa contoh kreatifitas guruku dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat sekitarku yang miskin. Tidak ada korupsi karena memang tidak ada yang bisa dikorupsi. Tapi yang lebih utama, jiwa pengabdian para guru, pemahaman dan empathy guru terhadap kondisi orangtua siswa begitu dalam. Guru tidak mau membebani orangtua murid dengan setumpuk biaya, bahkan kalau biaya itu bisa dipermudah/dihilangkan, beliau-beliau guru pasti akan membebaskannya. Luar biasa pengabdianku wahai guruku...engkaulah pahlawan tanpa tanda jasa yang sejati... semoga pengabdianmu menjadi bekal yang mencukupi untuk menempuh kehidupanmu yang abadi...

Guru SD-ku tersayang

Di SD Sawangan III yang ada di tengah tegalan (ladang) kampungku, ada beberapa guru yang kurasa berkesan di hatiku dan berjasa dalam membekali dan menghantarku kekehidupanku kini. Beliau-beliau itu antara lain:

Pak Sutamto atau Pak Tamto yang ganteng, berkulit kuning, berpakaian rapi dengan rambut berombak. Beliau kalau ke sekolah naik sepeda atau naik motor Honda CB 100. Beliau penyabar dan penyayang murid. Beliau mengajar aku di kelas 1. Aku ingat nilai pertamaku ketika SD adalah nilai ”B” yang kuperoleh ketika aku berhasil menulis beberapa huruf dengan benar.

Pak Sumar yang berperawakan tegap, kulit hitam seperti layaknya guru yang nyambi bertani, berkumis, rambut keriting. Beliau mengajar aku kelas 6 dan beliau sangat pandai memotivasi murid untuk belajar dengan menceritakan pengetahuan-pengetahuan umum yang diambil dari berbagai sumber. Beliau secara umum sangat terbuka, walau sesekali marah kalau ada murid yang malas belajar. Beliau kalau ke sekolah naik sepeda jengki berwarna hijau tua yang terawat baik dengan spion yang terawat bersih.

Ibu Sumiati atau Bu Sum panggilannya, beliau tinggi dan gemuk perawakannya, berkacamata, rambut lurus yang digelung lipat. Seperti Pak Sumar beliau juga banyak mendorong siswa untuk rajin membaca dan belajar pengetahuan umum. Aku diajar beliau di kelas 4 dan aku sangat senang dengan cara beliau mengajar sehingga aku mengimbangi saran beliau dengan membaca apapun yang kutemukan. Ketika sedang berjalan dimanapun dan aku menemukan sesobek kertas koran, maka kertas itu kubaca dulu baru kubuang. Beliau sesekali mengadakan cerdas cermat dan pemenangnya dikasih hadiah permen atau kue. Aku sering mendapatkan permen ini karena jawabanku sering benar.

Pak Jaslan, beliau guru kelas 3 seingatku. Beliau ramah, perawakan agak kecil, rambut keriting dan agak botak. Beliau sangat sayang padaku dan sering menyuruhku membelikan rokok di warung dan nanti aku diberi upah he..he...beliau ke sekolah naik sepeda kumbang DKW atau terkadang Honda CB 100.

Bu Is, dulu sewaktu mulai mengajar di sekolahku beliau masih gadis. Cantik, semampai, rambut lurus digelung dan harum sehingga murid-murid laki-laki suka sekali menyambut kedatanban beliau di pagi hari dan berebutan bersalaman dengan beliau karena tangannya harum bau bedak. Setelah bersalaman biasanya murid-murid saling pamer, memamerkan keharuman tangannya masing-masing yang terkena bedak Ibu Lis...he..he... Beliau penyabar terhadap siswa. Beliau akhirnya cinlok (cinta lokasi) dan menikah dengan Pak Jaslan.

Bu Inul lengkapnya Ibu Zainul Inayah yang mengajarku di kelas 5. Beliau tipikal guru kampung, sabar, ulet dan penampilan sederhana. Beliau berperawakan kecil dan rambut lurus digelung. Hal yang masih kuingat adalah beliau selalu menyentuhkan telunjukknya di ujung lidah ketika akan membuka halaman buku...

Bu Siti Rahayu, beliau adalah guru kelas 1-2, beliau berperawakan tinggi, berkacamata, penampilan sederhana dan sangat sabar terhadap murid. Beliau tipikal guru yang mengayomi murid. Ketika murid tidak masuk sekolah, beliau buru-buru menengok karena kuatir muridnya sedang sakit...luar biasa pengabdian dan perhatian beliau terhadap siswa....

Pak Daryanto, beliau ngganteng, rapih, perawakan sedang. Beliau Kepala Sekolah. Beliau pintar memotivasi siswa untuk berani tampil ke depan dan berani mengutarakan pendapat.

Pak Ashari, berperawakan ceking, tinggi, rambut lurus dan bersepeda ke sekolah. Beliau guru agama. Murid-murid senang diajar karena beliau pintar bercerita khususnya bercerita tentang tarikh atau sejarah Islam.

Itu beberapa guru SDku yang kuingat pernah mengajarku... Saya sangat hormat pada beliau karena sumbangsihnya yang luar biasa dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Walau gaji guru kecil, tapi beliau-beliau tersebut tidak mata duitan dan bekerja penuh pengabdian. Suatu hal yang semakin langka di negeri ini. Semoga amal beliau-beliau tersebut akan menjadi mata air yang senantiasa mengalirkan sungai pahala sepanjang masa. Amin....

Ongol-ongol, jadah dan bubur Mbok Sugeng

Hunkwe merupakan kue seperti agar-agar yang dibuat dari terigu, rasanya manis dan biasanya berwarna merah jambu. Kue hunkwe semacam itu merupakan makanan mewah bagi orang di kampungku dulu. Untunglah di kampongku ada Mbok Sugeng yang kreatif membuat hunkwe tiruan yang dibuat dari tepung aci pohon aren atau sagu. Hunkwe tiruan ini biasa disebut ongol-ongol dimakan dengan dikasih parutan kelapa. Walaupun tidak seenak hunkwe, ongol-ongol ini cukup laris. Di tahun 70-an, sepotong kue ongol-ongol ukuran3x4x 1cm dijual seharga 5 rupiah.

Selain ongol-ongol di warung mbok Sugeng juga dijual jadah. Jadah ini merupakan ketan yang diberi parutan kelapa lalu dikukus kemudian ditumbuk halus. Jadah ini enak dimakan dengan teh pahit (tawar) yang kenthal. Jadah ini akan lebih enak bila digoreng atau dipanggang pakai kuali…ehmmm nyamleng dan ueeenaaak tenan…..

Menu lain tempat Mbok Sugeng adalah bubur nasi ala ndeso yang gurih dan ditambah sayuran tahu atau tempe. Sepincuk bubur Mbok Sugeng seharga 10 rupiah saat itu. Walaupun tidak pakai daging seperti bubur ayam, dan tempatnya sederhana tapi bubur mbok Sugeng terkadang ngangeni. Menu lain adalah nasi dengan lauk tahu atau tempe besengek atau bumbu santan kuning. Sepiring nasi paling harganya 15-20 rupiah.

Sayang seiring merambatnya usia mbok Sugeng, sekarang beliau sudah tidak jualan lagi karena sudah tua. Namun menu jajanan warung Mbok Sugeng yang sederhana, murah dan ndesani kan selalu kukenang….