Friday, September 28, 2007

Boleh nampar dan mukul asal jangan ngomong nylekit

Ketika saat pacaran dulu, istriku pernah bilang padaku: "Mas, kalo kita sudah jadi suami istri, mas kalau marah padaku boleh memukulku atau menamparku. Tapi tolong jangan ngomong kasar atau nylekit yang menyakiti hatiku".
Dalam perjalanan hidup rumahtanggaku yang sudah lebih dari 12 tahun, seperti wajarnya rumah tangga orang awam, terkadang aku berselisih paham atau marah dengan istriku. Kalau aku pas marah sama istriku, aku hanya bersikap diam (sampai maksimal 3 hari) untuk cooling down dan mencegah suasana makin panas/buruk. Melihat diriku biasanya jahil, banyak canda kemudian berubah jadi diam seribu basa ("seperti kuburan" kata istriku), istriku jadi bingung. Akhirnya dialah yang memulai mencairkan suasana.
Kalau suasana sudah rukun dan mesra kembali biasanya istriku ngomel; "Papa ini nggak ngenaki, kalo marah nggak pernah minta maaf...nggak pernah mau ngomong lagi ". Biasanya aku menjawab: "ma, dulu kamu bilang aku boleh memukulmu tapi aku nggak boleh ngomong kasar. Sekarang aku nggak pernah ngomong kasar padamu dan nggak memukulmu ketika aku marah , berarti dengan diam-ku aku sudah memenuhi permintaanmu kan? berarti aku nggak melanggar janji kan?. Istriku biasanya hanya ngomel: "iya sih, tapi dengan diam-nya papa, suasana menjadi nggak nyaman dan sepi kayak muka kuburan".
Yah begitulah misteri wanita, dituruti kemauanya malah bingung sendiri...he..he...

Anakku sedang pubertas

Anakku saat ini sudah berusia 11 tahun. Ketika suatu saat istriku bilang sama anakku: "dik, kamu kok suaranya serak sih? sakit batuk ya?" Anakku menjawab: "mama...mama... aku ini sedang puber .. jadi suaraku jadi berubah begini ma....."

Ternyata anakku sedang tumbuh dewasa, walau di rumah dia masih bersikap manja dan seringkali masih suka telanjang hanya bercawat saja. Tapi ketika mau sekolah atau kursus bahasa Inggris di English First atau Primagama, dia sudah mulai suka pakai handbody lotion dan parfum untuk menghilangkan bau keringat. Dia juga sudah suka memadu serasikan baju dan celana yang dia pakai, padahal sebelumnya dia sangat cuek dalam berpakaian. Dia juga suka rajin menyisir rambut agar rapi, padahal biasanya hanya jabrik begitu saja.

Tak terasa waktu terus berlalu, menjemput anakku menuju dewasa...

Ke luar negeri yang ketiga kali

Pada awal tahun 1998, saya berkesempatan mengikuti Training Conflict Resolution selama 10 hari di RECOFTC - Bangkok. di training tersebu ada beberapa kawan dari Indonesia yang akhirnya menjadi karib bagiku Mbak Diah alias Mboke Kendil, Pak Ilya Mulyono dari Studio Drya Media Bandung, Pak Simon Devung dan Pak Ketut Gunawan dari CSF Unmul Samarinda. Peserta lain berasal dari Kamboja, Vietnam, China, Mongolia dll.
Saat pelatihan tersebut bertepatan bulan Ramadhan, jadi kami agak kalang kabut cari makanan untuk sahur. Untunglah disana ada supermarket yang jual mie instant. Cilakanya merk mie intant tersebut sebagian besar dalam bahasa Thailand yang hurufnya kayak huruf Jawa Kawi. Akhirnya saya main feeling aja dengan melihat warna bungkusnya, kalau indomie itu warna bungkusnya dominan merah putih misalnya, kalau mie sedap warnanya ada kecoklatan dll.. Mie intant dan telur ayam saya beli untuk dimasak di asrama ...
Kalau malam hari, saya dan teman2 cari makan di luar. Untuk menemukan makanan muslim agak susah disana, akhirnya saya dan mbak Diah ketemu makanan favorit yakni kerang yang digoreng pake telur (omelette kerang). Walau aku sebenarnya sih nggak yakin makanan itu halal 100 % karena mungkin minyaknya tidak halal. tapi apa boleh buat kondisi sedang darurat...
Kami juga sempat menikmati tom yam (sup Thailand). Kami semua semula agak bingung cara memasaknya karena di restoran terbuka itu kami diberi tungku dan kuali di atas meja, sayuran dan daging mentah yang diiris tipis. Akhirnya sambil ngawur, sayuran dan daging kami masukkan ke kuali yang sudah ada kuahnya itu. Setelah dirasa masak, sayuran di kuali tersebut kami sendok ke piring kami beserta kuahnya. Tapi nasi kami di piring belum habis ternyata supnya sudah habis. Akhirnya kami minta tambahan kuah dan oleh pelayan diberi tahu bahwa cara makannya cukup sayuran dan daging diceplungkan kemudian disendok sedikit demi sedikit ke piring atau kalau perlu pake sumpit. Jadi bukan dengan cara kuahnya dituangkan ke piring semua........kami semua ketawa mentertawakan diri sendiri yang tidak tahu adat makan di negeri orang he..he..he...
Di Thailand, saya juga sempat jalan-jalan ke pasar Chattuchak untuk beli oleh-oleh semacam kaos, gantungan kunci dll. Harga di pasar ini agak murah dan beberapa penjual bisa berbahasa Melayu khususnya pedagang yang berasal dari Thailand selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Sewaktu jalan-jalan dengan Mboke Kendil di dekat kampus pelatihan, aku juga sempat mendapatkan majalah Playboy bergambar Pamela Anderson yang aduhai... ha..ha..ha.. (wah majalah itu akhirnya hilang karena dipinjam sana sini he....he...)
Di pelatihan itu ada suatu kejadian lucu karena ada seorang peserta dari Afrika yang di hari ketiga sempat semalaman tidur di depan gerbang pintu asrama. Ceritanya saat malam itu dia jalan-jalan ke Patpong distrik, yang terkenal sebagai daerah lokalisasi dan sex shop, dan pulang kemalaman karena keasyikan disana. Akibatnya pintu gerbang sudah dikuci dan dia nggak bisa masuk asrama, akhirnya semalaman dia tidur di depan pintu gerbang. Dia sendiri nggak kapok bahkan atur strategi dengan kejadian itu. Konon pada malam berikutnya, dia membawa dua gadis Thailand yang cantik-cantik ke kamarnya di asrama sampai pagi...ha...ha...ha...
Suatu malam, aku juga sempat jalan-jalan di kampus Universitas Kasetsart yang tidak jauh dari asrama. Di lapangan kulihat banyak anak muda (mungkin mahasiswa) sedang ketawa-ketawa nonton film yang sangat sederhana yang dibuat dari slide foto dan diputar pake slide projector (karena saat itu belum ada multi media projector macam Infocus). Mereka menayangkan sejumlah adegan secara berurutan (seperti slideshow) yang diberi narasi dialog. Sederhana tapi sangat kreatif dan menarik ide mereka itu. Narasi film itu pakai bahasa Thai, jadi aku nggak tahu artinya. Tapi dari gambar yang ditayangkan aku menangkap pesan film itu yang bercerita seorang anak kampung dari keluarga sederhana berangkat ke kota untuk kuliah. Di bangku kuliah, anak tersebut kenal seorang gadis dan lalu pacaran. Karena si cowok bukan orang kaya, ketika pacaran mereka memakai sepeda onthel, jalan di pematang sawah sampai jatuh di selokan dll pokoknya lucu, menghibur dan sekaligus romantis.... Luar biasa kreatifitas anak-anak mahasiswa itu....
Menjelang kepulangan kami, di Jakarta krisis moneter terus berlangsung dan rupiah anjlok sampai Rp. 16.500 per dollar. Makanya banyak kawan yang meledek:" wah kamu pulang jadi orang kaya karena kamu bawa uang saku dalam bentuk dollar". Dari kepergianku ke Thailand ini aku sempat menyisihkan uang 150 dollar. Ketika rupiah makin menguat, uang ini kutukar ke rupiah dan aku mendapatkan rupiah sekitar 1,5 juta yang kujadikan uang muka sebuah kapling siap bangun yang berukuran kecil 12 x 8 meter di pinggiran kota Bumiayu (tempat istriku).

Merauke, tanah tanpa batu

Tatkala berkunjung ke Merauke - Papua, sepuluh tahun lalu, aku memerlukan waktu hampir dua hari untuk menempuh perjalanan udara dari Jakarta ke Merauke. Pagi setelah subuh saya dan Mas Haryo (teman sekantorku) berangkat dari Jakarta ke Ujungpandang. Setelah nunggu beberapa jam, kami ganti pesawat dan meneruskan perjalanan ke Jayapura dan transit di Ambon, Sorong dan Biak. Sampai di Jayapura sudah jam 19.00 sehingga kami terpaksa menginap di Jayapura. Untunglah disana ada Mas Istiyoso yang merupakan saudara sepupuku, sehingga kami sempat mampir dan muter-muter sedikit lihat daerah Sentani. Pagi hari kami baru melanjutkan perjalanan via udara dari Jayapura ke Merauke.

Sampai di Merauke, rekan-rekan WWF menyambut kedatangan kami. Aku merasakan udara yang agak kering dan panas. Selama disana saya sempat keliling kota dan terpana melihat bahwa sangat sulit untuk mencari batu. Sehingga untuk membangun rumah, orang menggunakan batu karang. Demikian pula untuk pasir, mereka menggunakan pasir yang diambil dari pantai...jadi pasirnya warna cokelat karena mungkin berasal dari cangkang binatang laut atau karang yang mati kemudian hancur.... Kondisi Merauke ini hampir sama dengan beberapa daerah di Kaltim, dimana orang agak sulit cari batu. Sehingga tidak mengherankan bila untuk membangun jalan atau rumah tembok biayanya cukup mahal karena semen harus didatangkan dari luar daerah (dan terkadang harus pake pesawat), demikian pula batu serta material lainnya juga didatangkan dari jauh...Kupikir inilah tantangan bagi Pemerintah untuk bisa mengembangkan dan mengaplikasikan konsep pembangunan yang adil dan merata.

Monday, September 17, 2007

Kaya tapi tertinggal

Kalau kuingat kunjunganku untuk pelatihan Perencanaan Partisipatif ke Taman Nasional Wasur tahun 1997 lalu, terkadang aku terkenang-kenang kepengin berkunjung ke sahabat-sahabat lama di ujung Timur Papua itu. Pada saat itu peserta pelatihan berjumlah sekitar 30 orang antara lain berasal dari suku Kanum, Marind dan Moyo. Secara umum mereka sangat ramah, lugu, sederhana dan bersahabat. Bahkan beberapa peserta pelatihan dari suku Moyo (atau Muyu) cara berpikirnya cukup kritis.

Dengan lingkungan yang masih alami, sumberdaya alam (termasuk flora fauna) mereka cukup melimpah. Bahkan pada sekitar bulan Oktober, udang harganya sangat murah karena panen laut yang berlimpah ruah dan akses pemasaran yang masih terbatas. Hal itulah yang ironis karena SDA yang melimpah ruah, tidak diimbangi dengan sentuhan pembangunan yang memadai. Dengan kondisi geografis yang terpencil di ujung Timur Indonesia, membuat pembangunan prasarana transportasi, kesehatan dan pendidikan masih minim walaupun kita sudah lebih dari 50 tahun merdeka. Dengan kondisi seperti itu, aku sangat memahami kalau saudara2 kita di ujung Papua kepengin memisahkan diri dari Indonesia. Kemerdekaan yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan mereka, ternyata tiada membuahkan kenyataan indah. Sumberdaya alam mereka dikeruk, alam diperkosa dan kemanusiaan dinistakan atas nama pembangunan. Harkat martabat mereka tersisih oleh sebuah persaingan kehidupan yang tidak adil. Cita-cita luhur Negara Republik Indonesia yang bertujuan “melindungi segenap tumpah darah Indonesia” hanya menjadi slogan tak berarti di tangan birokrasi yang tidak tahu diri.

Kalau kita renungkan kembali, kondisi ketertinggalan, penindasan dan ketimpangan itu terjadi di banyak tempat khususnya daerah terpencil. Semoga segenap komponen pemerintahan yang memimpikan lestarinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) nantinya bisa lebih mampu melihat secara jernih dan mampu menyadari akar persoalan ini. Sehingga mereka tidak asal main tembak dan menggunakan pendekatan represif untuk menumpas separatisme yang disebabkan oleh ketimpangan semacam ini. Selain itu pemerintah juga dituntut untuk mau dan mampu memperbaiki paradigma pembangunan di masa mendatang. Kalau selama ini pembangunan terkonsentrasi di Jawa, hendaknya di masa depan Luar Jawa perlu dikembangkan. Kalau selama ini perkotaan menjadi pusat pembangunan, semoga nanti desa bisa menjadi sentra pembangunan. Kalau selama ini industry jadi idola, semoga nanti pertanian jadi primadona. Kalau selama ini pemodal besar jadi tumpuan, semoga nanti wong cilik, pengusaha mikro dan sector informal bisa jadi andalan. Semoga perubahan terus bergulir agar sanak saudaraku di Papua, Kalimantan, Sulawesi, NTT dan berbagai belahan wilayah lainnya benar-benar bisa menikmati kue pembangunan. Semoga…semoga….