Thursday, June 12, 2008

Aussie 2: Belajar kebakaran hutan

Dalam acara konperensi kebakaran di Australia ini juga terdapat pameran dari perusahaan peralatan pemadam kebakaran hutan dan juga pameran dari berbagai lembaga kebakaran hutan dari Australia, amerika, canada, dll. Di situ saya berkesempatan ngumpulin banyak buku dan souvenir seperti pena, pensil, pin, key ring dll. Pin yang kukumpulkan tersebut kupanjang sebagai hiasan dinding di rumahku hingga kini.
Presentasi dalam konperensi biasanya singkat sekitar 10 menit saja. Tapi yang presentasi banyak banget dan dibagi dalam 4 kelas menurut tema-tema spesifik. Di seminar itu aku ketemu beberapa pakar kebakaran hutan yang sudah saya kenal sebelumnya seperti Profesor Goldammer dari Jerman, Peter Moore dan Brett Shields dari Australia. Hadir pula beberapa kawan dari Indonesia dan mantan teman satu proyek seperti Bu Anja dan Pak Brad Sanders.
Dari proses konperensi tersebut saya bisa belajar banyak tentang kegiatan pengendalian kebakaran di berbagai negara. Selain itu kita bisa belajar banyak tentang mengelola suatu event kegiatan. Di Australia sendiri kegiatan konperensi itu sudah direncanakan dengan masak 1 tahun sebelumnya. Mereka sudah menyusun agenda dengan matang....oh....alangkah jauhnya dengan di Kaltim profesionalisme mereka tersebut. Di Kaltim, mau bikin PON saja, satu bulan sebelumnya masih banyak ditemui ketidakpastian tentang fasilitas, dana, perlengkapan dll... sampai kapankah bangsaku bisa benar-benar profesional?

Aussie 1: Duit habis dalam sekejap

Perjalananku ke Australia dilakukan tahun 2003. Saya saat itu menghadiri acara Konperensi Internasional kebakaran Hutan di Sydney - Australia bersama Ibu Sulasih dari Dinas Kehutanan Kaltim.
Perjalanan dari Jakarta - Sydney cukup lancar pake pesawat Qantas yang bersih dan layanannya bagus banget. Sampai di bandara, barang bawaan kami diperiksa dengan teliti. Bahkan sepatu yang berlumpurpun harus dibersihkan dulu karena mungkin dikuatirkan membawa bibit penyakit. Demikian pula barang bawaaan yang berupa makanan, kerajinan kayu dll diperiksa dengan cermat. Untunglah pemeriksaan berjalan lancar walau tadinya kami agak gugup karena kunci koper Ibu Sulasih sempat ketlingsut sehingga perlu waktu beberapa saat untuk bisa membuka kopernya.
Dari bandara kami menuju Hotel Crown Plaza dekat Sidney Harbour. Sewaktu check in, kami disuruh deposit terlebih dulu. Di sinilah mulai timbul masalah karena duit dollar kami (dollar Amerika) setelah ditukar dollar Australia ternyata jumlahnya nggak terlalu banyak karena bank di Australia nggak terlalu menyukai duit dollar Amerika (bahkan pedagang-pedagang di toko-toko juga nggak suka). Duit bekal kami yang kami perkirakan cukup untuk seminggu ternyata tinggal 25 dollar australia setelah dipakai membayar deposit. Cilakanya aku dan Bu Sulasih nggak punya kartu kredit. Akhirnya kami kontak ke kantor Samarinda, dan Mbak Yana (office manager) kami sempat panik mendengar cerita kami kehabisan uang. Uang 25 dollar sementara sekali makan perlu 3-5 dollar...
Untunglah boss saya yakni Pak Helmut juga akan menyusul ke Australia. Jadi mbak Yana menyarankan nanti kami pinjam uang sama Pak Helmut. Sementara menunggu Pak Helmut datang, kami makan menu sederhana yakni hanya indomie yang sebunglusnya seharga sekitar 2 dollar australia.
Seteah hari ke dua, akhirnya Pak Helmut sang dewa penolong datang ke kami dan meminjami kami uang...selamatlah nasib kami di negeri orang...alias tidak perlu jadi gelandangan..he..he...

Jerman 17: Dekatilah petugas perempuan...

Setelah dua minggu di Jerman, tibalah saat bagiku untuk mudik ke tanah air. Di tempat mas Ichin aku packing barang bawaanku yang berupa pakaian, buku dan publikasi yang kuperoleh di workshop plus beberapa oleh-oleh buat keluarga dan teman-teman. Karena harga barang-barang cukup mahal sementara duit cekak terbatas, maka aku beli coklat untuk oleh-oleh karena coklat agak murah harganya.
Ibu Anja memberi saran agar aku datang agak awal di bandara dan cari petugas check in bandara yang perempuan karena kalau yang dilayani adalah lawan jenis biasanya petugas akan ramah. Jadi kalo kita laki-laki maka perlu mendatangi petugas perempuan, kalo kaum perempuan sebaiknya mendatangi petugas laki-laki.
Dari tempat Mas Ichin saya naik kereta api menuju Frankfurt. Setelah tiba di bandara, saya masih agak ragu dengan bawaan saya yang cukup berat (terutama buku). Sebelum masuk ke ruang check in, aku keluarkan sweater dan jaketku dari koper dan langsung kupakai. Jadinya aku pake baju dan rangkap 4 (kaos, baju, sweater dan jaket). Aku pake baju rangkap bukan karena dingin tapi untuk mengurangi beban koperku. Aku berpikir, kalo koperku masih overweight aku akan tunjukkan kartu dari DSE (lembaga pemerintah Jerman yang mengundangku) bahwa aku ini undangan resmi dari pemerintah Jerman. Jadi kalo aku overweight dan harus bayar denda, lebih baik buku-buku dari DSE kutinggal di bandara...
Sesuai saran Bu Anja, aku mendatangi petugas check in yang perempuan. Alhamdulillah semua lancar, dan walaupun sedikit kelebihan beban bawaan hal itu tidak dipersoalkan. Setelah menunggu sekitar 2 jam, akhirnya aku terbang meninggalkan Jerman untuk pulang ke tanah air tercinta....Akhirnya berakhirlah sudah kisah perjalananku ke Jerman yang sangat berkesan di hatiku... sambil berangan-angan semoga upayaku membasuh tangan di selokan Freiburg menjadi kenyataan dimana aku bisa kembali mengunjungi Freiburg dan Jerman di masa mendatang....

Jerman 16: Kampus Rottenburg dan Tubingen

Bersama Mas Ichin, saya sempat mengunjungi mahasiswa Jerman yang pernah magang di kantorku. Kawan tersebut bernama Florian Moeder. Dia masih kuliah di Universitas Rottenburg. Perjalanan kami dilakukan dengan kereta api ke arah Stuttgart melewati Danau Titissee.
Sewaktu kami datang, Florian sudah menyiapkan masakan ala Indonesia berupa nasi dengan sayur kacang panjang. Wah dia sudah pinter masak ala Indonesia rupanya karena rasanya cukup enak....
Oleh Florian kami diajak mengunjungi kampusnya. Karena hari libur, kampusnya terasa sepi. Di salah satu tembok ditunjukkan olehnya relief bekas logo Nazi (swastika) yang sudah dihapus namun bekas-bekasnya masih tersisa di dinding itu. Florian juga mengajak kami untuk mengunjungi kota Tubingen yang merupakan kota tua namun indah. Banyak bangunan tua dengan sungai yang jernih dan taman yang bersih. Di sungai itu banyak wisatawan naik perahu dayung. Ah itulah negara maju, mereka bisa menjual obyek wisata yang sederhana...sayang Indonesiaku belum bisa seperti itu... Kita punya banyak obyek wisata yang indah dan menarik tapi kita belum mampu mengelola dan menjualnya dengan baik....
Setelah puas keliling kota Tubingen, saya dan Mas Ichin kembali lagi ke Freiburg. Florian membelikan kami kebab Turki untuk bekal perjalanan kami pulang... Enak nian kebab tersebut dengan daging domba lunak didalamnya... Terima kasih Florian atas sambutan hangatmu....

Wednesday, June 11, 2008

Jerman 15; Indomie makanan mewah dan sepatu Caterpillar

Di Freiburg aku menginap di asrama Mas Ichin. Kamarnya sekitar 3 x 4meter dengan ongkos sewa sekitar 200 Euro per bulan seingatku...wah kalo di Indonesia sudah bisa buat ngontrak rumah he..he...
Di sana Mas Ichin masak sendiri, terkadang menu ala Indonesia. Dia bilang Indomie baginya bukan menu anak kos tapi menu mewah karena sebungkus Indomi harganya di atas 1 euro (12 ribu). Padahal dia sekali makan nggak cukup kalo makan sebungkus he..he... Tapi untunglah, harga komoditi buah-buahan agak murah khususnya apel dan anggur karena banyak produksi lokal.
Di Freiburg aku diajak keliling ke kota untuk lihat mall dan katedral. Di tengah jalan kota itu ada selokan kecil yang airnya jernih. Mas Ichin cerita bahwa kepercayaan orang sana adalah barangsiapa membasuh tangan di selokan itu maka suatu saat akan kembali lagi ke sana. Mendengar cerita itu maka akupun cepat-cepat membasuh tanganku dengan harapan nanti bisa ke sana lagi dengan gratis he..he...
Transportasi dalam kota banyak memakai trem (kereta listrik dalam kota). Banyak pula orang pake sepeda. Bahkan konon di sana yang ada adalah maling sepeda dan bukan maling motor. Seorang kawan yakni Mas Agung di negeri Belanda juga beli sepeda tua model sepeda unta seharga 200 euro.. eh ternyata sepeda tua yang kalo di Indonesia tidak dilirik orang, di negeri belanda masih diembat maling juga...memang sepeda onthel agak mahal disana..Bu Anja bikin sepeda onthel (dengan beli sparepart sedikit-demi sedikit), ternyata habis sekitar 2000 euro (seingatku)... wah sudah seharga motor bagus di negeri kita.....Memang agak cocok pake sepeda di sana karena medan banyak yang datar, jalan mulus, udara tidak panas dan bebas polusi. Mas Ichinpun juga biasa pake sepeda untuk ke kampus.... Kereta apipun juga menyediakan gerbong untuk sepeda bagi orang-orang yang bepergian antar kota dengan membawa sepeda....
Di depan katedral Freiburg, banyak orang menjual bunga. Mas Ichin juga menjelaskan bahwa di dekat sana sering ada pasar loak namun tidak buka secara rutin. Di depan katedral kami berfoto. tiba-tiba ada ibu yang agak tua mendatangi kami dan marah-marah dan menyuruh kami membuang film di kamera kami. Dia marah dalam bahasa Jerman dan mas Ichin yang menjawabnya. Ibu tua itu mengira kami semacam agen spionase karena bawa kamera jepang merek Sony. Dia mengira kami mengambil gambarnya sehingga dia marah besar. Setelah debat dengan Mas Ichin, ibu tua tersebut kemudian pergi. Orang-orang yang mengerubungi kami sewaktu debat tadi kemudian bilang ke kami bahwa mungkin ibu tua tadi orang yang stress atau gile......ha..ha...ha...
Di mall, aku sempatkan beli oleh-oleh baju untuk istri dan anakku. Mahal nian...karena baju-baju sebagian di impor dari negara lain seperti India. Baju hangat sweater yang di Indonesia sekitar 100 ribu rupiah disana menjadi 3 kali lipat...tapi demi istri dan anak, baju-baju itu kubeli juga.... Aku sebenarnya juga naksir sepatu boot Caterpillar seharga 125 euro...tapi duitku tinggal 200 euro, sedangkan aku kuatir aku masih harus bayar ini itu di bandara ...apalagi Bu Anja mengingatkan bahwa denda kelebihan beban (overweight) bawaan di pesawat cukup mahal, maka aku terpaksa menahan impianku untuk beli sepatu Caterpillar yang kutaksir habis itu....
Seusai berjalan-jalan, Mas Ichin mengajakku cari makan di stasiun Freiburg. Di stasiun itu terdapat rumah makan Cina yang menyajikan menu "nasi goreng" (seperti di kota Shinseim). Kamipun menikmati menu nasi goreng yang cukup enak menurut lidahku. Luar biasa... ternyata menu nasi goreng kita sudah merambah sampai ke Jerman sana.....

Jerman 14; Bendera Indonesia di Universitas Freiburg

Setelah menginap semalam di rumah Ibu Anja, aku melanjutkan perjalanan bersama Bu Anja ke kota Freiburg yang berada di daerah selatan Jerman. Aku juga sudah janjian sama Mas Solichin (Ichin) ketemu di kampusnya di universitas Freiburg.
Di kampus, kami langsung menuju gedungnya Profesor Goldammer yang merupakan pakar kebakaran level internasional. Pak Goldammer ini merupakan dosen senior pembimbingnya Ibu Anja, Mas Ichin dan Boris (mahasiswa Jerman yang pernah magang di proyekku di samarinda). Dari kejauhan aku melihat bendera Merah Putih berkibar di jendela Profesor Goldammer. Kata Mas Ichin, begitulah cara Pak Goldammer menyambut tamu dari Indonesia. Bahkan dia juga pernah mengibarkan bendera bir "Bintang" kesukaannya ketika menyambut Mas Ichin.
Pak Goldammer menggeluti kebakaran hutan sejak tahun 1975 dan banyak melakukan riset kebakaran. Saat di Indonesia belum marak kebakaran hutanpun, beliau sudah membuat langkah antisipasi untuk Asia Tenggara...sayangnya negara kita dan asia tenggara lainnya kurang merespon ide-ide beliau yang sebenarnya menurutku cukup cemerlang dan visioner...
Beliau orangnya serius tapi ramah. Di sana aku disuguhi dengan presentasi riset beliau terbaru tentang kebakaran hutan di wilayah Rusia. Aku juga ditunjukan hasil riset kecilbeliau tentang perubahan tegakan hutan menjadi savana (padang alang-alang) yang kasusnya adalah di Bkit Suharto Kaltim. Riset beliau ini hanya menggunakan foto di sebuah lokasi Bukit Suharto, yang sering terbakar. Dari foto sederhana itu beliau bisa bercerita tentang perubahan ekosistem.. Luar Biasa !!! Data yang simpel ternyata bisa menjadi sebuah cerita dan kajian yang menarik di tangan orang yang ahli..... Di situlah aku bersedih karena teringat bangsaku punya segudang data dan pengalaman tapi sangat sedikit ahli dan orang yang mau melakukan riset secara sistematis dan visioner....Dunia pendidikan kita hanya menciptakan robot-robot yang tidak punya visi,...............

Jerman 13; Rokok Gudang Garam dan nasi goreng paling enak di dunia

Setelah ketemu Bu Anja, aku ikut beliau untuk berkunjung ke rumahnya di kota Sinsheim dekat Karlsruhe. Kami melewati Kota Mannheim dan Heidelberg yang menjadi salah satu markas NATO. Kota Heidelberg indah banget, dengan bunga-bunga yang saat itu bersemi menawan. Di stasiun Mnnheim Bu Anja membeli sebuah rokok Indonesia Gudang Garam Surya 14 untukku. Seingatku harganya sekitar 8 euro (90 ribuan) sebungkus...wah di Indonesia bisa dapat 10 bungkus.... Enak benar rokok kita itu, karena udara dingin dan stok rokok kretekku habis....
Ibu Anja tinggal di rumah ortunya. Bu Anja tinggal di lantai bawah, dan ortu di lantai 2. Mereka ramah banget. Di kota Bu Anja aku diajak keliling kota pake mobil Mercedes Bens milik ortunya. Kami mengunjungi mall dan onyek wisata kastil tua di pinggir kota. Dalam perjalanan pulangnya Bu Anja mengajak saya mampir ke restoran cina di kota itu. Di situ daftar menu tertulis menu "Nasi Goreng" (tulisannya memang "nasi goreng" bukan "fried rice" atau judul lain). Lihat judul itu aku langsung pesan nasi goreng itu.... Wah...Maknyuuuuuuuuuuussss banget rasanya...Setelah 10 hari nggak makan nasi, trus nemu nasi goreng yang rasanya lumayan... Perasaanku mengatakan bahwa itulah nasi goreng paling enak sedunia yang pernah kurasakan he..he...he....
Makasih Bu Anja, yang sudah mengajakku menikmati nasi goreng ala Jerman yang paling enak sedunia..he..he...

Jerman 12: Gagap teknologi di negeri orang

Sesudah mampir kantor GTZ di Escborn - Frankfurt, aku melanjutkan perjalanan ke stasiun dan sudah janjian untuk bertemu dengan Ibu Anja di sana. Saat aku pesan tiket kereta, aku kagum dengan layanan yang serba mesin otomat. Karena gaptek, aku agak kesulitan untuk menggunakan mesin itu. Kupencet tomboil-tombol mengikuti petunjuk yang ada tapi tiket tidak kunjung ke luar juga...Untunglah ada orang Jerman yang kemudian membantuku untuk pesen tiket otomat itu...
Gaptek yang kedua kutemui sewaktu di toilet. Di toilet, kita membayar ongkos buang hajat (pipis), tarifnya sekitar 50 sen euro. Kalo dirupiahkan sekitar 6 ribuan rupiah sekali kencing. Wah ini rekor ongkos numpang kencing paling mahal bagiku he..he... karena ongkos kencing di Indonesia hanya berkisar 500 - 1000 rupiah saja.... Nah di toilet itu kita juga harus memasukkan koin ke kotak. namun karena gaptek, aku nggak bisa memasukkan uang itu. Untunglah ada orang sana yang kemudian membantuku sehingga aku bisa melepas pipis yang sudah di-ampet sekian lama he..he.......
Acara gaptek belum selesai sampai di situ, di toilet itu setelah selesai pipis aku mau membasuh tangan di wastafel. Kran sudah kupencet-pencet tapi nggak keluar airnya. Akhirnya ada orang sana yang memberi tahu kalo aku harus berdiri tepat didepan wastafel karena wastafel itu pake sensor gerak. Jadi walau ditepuk-tepuk sampai jebol, air nggak akan keluar bila kita tidak berdiri di depan wastafel itu.... Dasar ndeso aku ini, aku menertawakan diriku sendiri....
Konon di Jerman, mereka banyak menggunakan perangkat otomatis bukan karena untuk "sok" atau bergaya. Tapi karena ongkos tenaga kerja sangat mahal (sekitar 5 euro per jam)... ooiii pantaslah bila semuanya jadi serba otomat...