Thursday, October 09, 2008

Perkawanan sesaat

Melihat proses Pilkada Gubernur di Kaltim, semakin tertanam dalam benakku bahwa dalam dunia politik itu tidak ada kawan sejati. Yang mengemuka adalah kawan karena kesamaan kepentingan sesaat saja. Hal itu mengingatkanku pada doktrin Monroe yang terkenal itu bahwa: "Kawan hari ini adalah musuh di hari esok, musuh hari ini adalah kawan di hari esok".

Sebagai contoh, Achmad Amin yang konon kader Golkar, eh maju menjadi calon gubernur malah bermitra dengan Hadi Mulyadi dari PKS. Padahal PKS sendiri adalah rival Achmad Amin ketika pilihan Walikota Samarinda. Golkar sendiri pada putaran I mencalonkan kader lain yakni Yusuf SK dan di putaran II masih tarik ulur mau mendukung Amin atau rivalnya yakni Awang Farouk.

PDIP saat putara pertama mendukung kadernya yakni Nosyirwan Ismail dan di putaran II akan mendukung Amin. Padahal sewaktu Pilkada Walikota Samarinda, PDIP malah mendukung anaknya Awang Farouk.

Melihat kondisi tersebut aku berpikir, parpol-parpol itu kok hanya jadi kendaraan politik saja karena penumpangnya ganti-ganti terus. Ini menunjukkan bahwa pendidikan politik di dalam tubuh parpol tersebut SANGAT JELEK karena mereka tidak mampu melahirkan kader-kader yang militan yang mampu mengemban amanah partai dan mewarisi nilai-nilai/platform sebuah partai. Akhirnya ketka ada calon penumpang non kader yang bisa diajak kompromi, ya mereka terima begitu saja... orang begitu mudah ganti partai semudah ganti baju... apa yang bisa diharap dari parpol-parpol oportunis semacam ini? mereka hanya berjuang untuk kelompok dan partainya saja... Saya TIDAK YAKIN bahwa mereka mempunyai keberpihakan dan visi yang kokoh untuk mensejahterakan masyarakat...Semoga laknat bagimu wahai para politisi yang mengingkari amanah masyarakat.......

Sungkeman di hari lebaran

Sungkeman merupakan acara bersalaman khususnya dari yang muda ke yang tua. Caranya adalah yang tua duduk di kursi atau bale-bale (amben), trus yang muda jongkok di lantai sambil menyalami setengah menyembah kepada pihak yang tua. Adapun kalau usianya sebaya, biasanya cukup bersalaman biasa saja. Acara sungkeman ini mungkin dipengaruhi budaya di daerah kami masih relatif paternalistik..

Ketika sungkeman tersebut, biasanya memakai bahasa Jawa halus (kromo inggil) seperti yang ada di dalam kethoprak. Pihak yang muda biasanya akan mengucapkan maaf lahir batin dengan bahasa halus misalnya: "Dalem ngaturaken sembah pangabektos kulo dumateng ibu, mbok bilih wonten klenta klentunipun atur dalem lan tingkah solah ingkang kirang mranani ing penggalih ibu, dalem nyuwun lumebering samudro pangaksami". (saya menghaturkan sembah bakti kepada ibu, bila selama ini ada kata dan perbuatan yang kurang berkenan di hati, saya mohon limpahan ampun dan maaf).

Pihak yang tua sendiri kemudian akan menjawab dengan saling memaafkan dan mendoakan agar keluarga yang muda tadi bisa bahagia, atau bisa momong anak dengan baik atau si anak bisa lancar sekolahnya dll. Ucapan orang yang lebih tua biasanya dalam bentuk bahasa jawa sedang, misalnya: "Semono ugo yo nak, wong tuwo sok akeh klera-klerune, sliramu sing enom sing akeh pangapurane. Ing dino bodo syawal iki, aku ndedonga mugo-mugo sliramu tansah pinaring raharjo, pinter momong putro lan tata tentrem sakabehe" (Demikian pula saya sebagai orang tua sering khilaf sehingga kamu yang muda diharap mau memberi maaf. Di hari lebaran ini saya berdoa semoga kamu bisa membimbing anak-anakmu sehingga bisa mewujudkan keluarga yang bahagia sejahtera).

Acara sungkeman itu sebagian masih berlangsung sampai sekarang. Namun dengan banyaknya sanak keluarga yang merantau ke luar daerah dan generasi sekarang kesulitan berbahasa jawa halus, maka bahasa yang digunakanpun sekarang sudah banyak yang bergeser ke bahasa Indonesia.

Kondisi yang berbeda, kujumpai di kampung istriku di daerah Brebes. walau masih sama-sama masuk wilayah Jawa Tengah tradisi di tempat istriku berbeda. Ketika lebaran, orang bersalaman begitu saja bahkan pake bahasa Jawa ngoko (kasar). Hal ini saya pikir dipengaruhi budaya di daerah istriku sudah relatif egaliter, seperti juga budaya masyarakat Banyumas.

Teh di saat lebaran

Di kampungku, minuman teh merupakan menu minuman utama dalam kehidupan sehari-hari. Teh tersebut biasanya diminum dalam bentuk teh tawar. Sewaktu aku kecil, keluargaku jarang sarapan pagi dengan makan nasi. Menu sarapan pagi hanya berupa teh tawar dengan secuil gula kelapa. Teh manis biasanya dihidangkan kalau ada tamu. Biasanya teh yang dihidangkan harus berupa teh nasgithel (panas, legi/manis, kental). Biasanya kami akan malu bila menyuguh tamu dengan minuman teh yang sudah bening (tidak pekat) dan dingin atau istilahnya "teh komboran".

Kebiasaan itu juga berlaku ketika hari raya. Bisa dibayangkan betapa sibuknya kami di dapur karena kami harus siap sedia minuman teh untuk para tamu yang dalam sehari bisa mencapai puluhan bahkan ratusan orang. Selain sibuk memasak air, meramu minuman teh, menyajikan trus mencuci gelas bekas minuman. Karena kakak perempuanku sudah berumah tangga sendiri, maka aku dan kakak laki-lakiku biasa membantu ibu untuk menyiapkan minuman teh tersebut dan mencuci gelas-gelasnya.

Ketika sirup dan soft drink sudah mulai masuk kampung, minuman teh agak sedikit tergusur. Minuman teh biasanya dihidangkan untuk orang-orang tua saja. Kesibukan didapur menjadi sedikit berkurang karena soft drink dan sirup lebih simpel cara membuatnya. Tapi aku masih disibukkan dengan urusan cuci gelas yang numpuk banyak.

Karena ibuku sudah mulai renta dan kami tidak punya pembantu rumah tangga, keluarga kami merubah sajian minuman teh dengan aqua gelas. Teh hanya dihidangkan untuk orang tua saja. Dengan aqua gelas, segala sesuatunya menjadi praktis dan kami tidak perlu cuci gelas lagi. Tapi sayang juga sih karena aqua gelas ini polusi plastik menjadi semakin meningkat....Mungkin memang sudah mulai harus dipikirkan adanya kemasan aqua yang mudah hancur sehingga mengurangi polusi dan sekaligus harganya murah sehingga terjangkau oleh khalayak,......