Monday, June 06, 2011

Toto-Chan’s Children; A Goodwill Journey to the children of the World

Toto-Chan’s Children;
A Goodwill Journey to the children of the World
Tetsuko Kuroyanagi
PT Gramedian Pustaka Utama, Jakarta 2010
ISBN 978-979-22-5998-8
328 halaman

Buku ini merupakan “true story” atau pengalaman nyata dari Tetsuko Kuroyanagi (Toto Chan) ketika sudah dewasa sewaktu menjadi duta kemanusiaan UNICEF. Buku ini merupakan buku kedua Toto Chan, setelah buku pertamanya “Gadis dibalik Jendela” yang isinya sangat mempesona.

Dalam buku ini Toto Chan menceritakan pengalaman dan empathynya terhadap penderitaan anak-anak di berbagai negara yang mengalami bencana alam, wabah penyakit dan perang. Diceritakan bagaimana bencana alam kekeringan di Tanzania, Nigeria, Ethiopia telah mengakibatkan banyaknya anak yang terkena kasus kurang gizi dan kesulitan air bersih. Kasus bencana lain adalah banjir di Bangladesh yang menimbulkan kerugian ekonomi dan munculnya berbagai penyakit seperti TBC, polio, tetanus dan juga eksploitasi tenaga kerja anak. Kondisi kemiskinan juga memaksa masyarakat tinggal dalam situasi yang kurang higienis dan anak-anak rentan terkena berbagai penyakit (kasus India), kurang gizi, maraknya anak jalanan dan pelacuran anak (Haiti).

Dari berbagai kejadian bencana, salah satu dampak yang paling mengerikan adalah bencana perang baik perang saudara, genocide maupun agresi pihak luar.(kasus Mozambique, Angola, Kamboja, Vietnam, Irak, Sudan, Rwanda, Bosnia Herzegovina). Selain kurang gizi dan tidak ada akses terhadap pendidikan yang memadai, anak-anak korban perang seringkali mengalami kematian, cacat fisik, diperkosa dan trauma psikologis yang berkepanjangan akibat aksi kekerasan yang terjadi di depan matanya. Suatu hal yang sangat tidak adil bagi anak-anak yang seharusnya menikmati masa bermain dan jauh dari hingar bingar pertikaian.

Secara umum buku ini menarik untuk membangkitkan empathy terhadap anak2 korban bencana. Di sisi lain buku ini juga bisa menjadirefleksi bagi kita untuk mensyukuri akan kondisi Indonesia yang relatif cukup aman (walau ada beberapa kasus konflik kekerasan terjadi di negara kita). Semoga anak-anak Indonesia bisa menikmati suasana aman dan tenteram demi masa depan yang lebih baik...amin....

Saturday, June 04, 2011

DEFORESTASI DAN KONSTRUKSI PENGETAHUAN PEMBANGUNAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

DEFORESTASI DAN KONSTRUKSI PENGETAHUAN PEMBANGUNAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT

San Afri Awang
Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA)
ISBN 978-979-3339-38-2
Jakarta, 2009
34 halaman

Buku ini merupakan dokumen pidato pengukuhan Prof.Dr.Ir. San Afri Awang, M.Sc. sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hutan Kemasyarakatan (Social Forestry) – Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dalam buku ini San Afri Awang menyoroti kondisi deforestasi dan degradasi hutan yang antara lain disebabkan oleh eksploitas berlebihan guna mendukung pertumbuhan ekonomi pada era Orde Baru, yang diperparah oleh rejim neo liberalisme pada Orde Reformasi. Paradigma pengelolaan hutan yang menekankan pada dominasi Negara dan capital, terbukti telah menimbulkan kerusakan hutan yang cukup parah. Desentralisasi yang berkembang pada era Orde Reformasi nampaknya juga tidak berkorelasi secara signifikan untuk mewujudkan sustainable forest management, karena desentralisasi juga diikuti oleh maraknya korupsi dalam pengelolaan SDA di tingkat local.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut, San Afri menyarankan perlu dilakukannya:
1. Perlu rekonstruksi ilmu pengetahuan (epistemology) dan reorientasi ontology (hakikat ilmu pengetahuan) kehutanan kearah yang memandang hutan tidak hanya fungsi flora, fauna dan ekosistem. Aspek MANUSIA/masyarakat perlu dijadikan bagian konstruksi ilmu pengetahuan kehutanan. Karena ontology yang ada selama ini didominasi pengetahuan negara yang hanya menekankan aspek flora, fauna dan ekosistem, maka tidak mengherankan bila aspek social merpakan salah satu titik lemah pengelolaan hutan di Indonesia.
2. Pengembangan Eco Friendly Forest Management (EFFM) yang mendudukan manusia sebagai salah satu subsistem penting dlam pengelolaan hutan lestari. Dengan demikian program2 pemberdayaan masyarakat dan akses terhadap sumberdaya merupakan salah satu unsur yang harus terintegrasi secara utuh dalam pengelolaan hutan dan bukan sekedar kewajiban social belaka.
3. Pengembangan EFFM perlu didukung oleh adanya Good Forestry Governance.

Dalam akhir tulisannya San Afri mengajak kita semua untuk mau berendah hati mengakui bahwa masyarakat local banyak mempunyai kearifan local dalam pengelolaan hutan secara lestari. Pengalaman local yang tertempa oleh perjalanan waktu di banyak tempat terbukti mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan sekaligus menjaga kelestarian hutan itu sendiri. Sudah saatnya dunia akademik yang selama ini sering menjadi menara gading, perlu lebih bersikap lebih hormat terhadap karya dan dedikasi “rimbawan sejati tanpa ijazah” dari berbagai pelosok desa dan pedalaman itu….

Friday, June 03, 2011

LAGU CAPING GUNUNG DAN TEGURAN BUAT PEJABAT, POLITISI DAN PARPOL...

Di siang bolong yang penuh kantuk, kudengarkan suara kenes Mbakyu Waldjinah yang menyanyikan lagu Caping Gunung. Ketika kucermati, lagu tersebut sangat jumbuh (nyambung) dengan kondisi politik saat ini. Terjemahan dan tafsir bebas lagu tersebut adalah sebagai berikut:

CAPING GUNUNG

Dek jaman berjuang,
Njur kelingan anak lanang,
Biyen tak openi,
Ning saiki ono ngendi,

Jare wis menang,
Keturutan sing digadang,
Mbiyen ninggal janji,
Ning saiki opo lali,

Neng nggunung,
Tak cadhongi sego jagung,
Yen mendung,
Tak silihi caping gunung,

Sokur bisa nyawang
Gunung deso dadi rejo
Dene ora ilang
Nggone podho lara lapa…


Terjemahan bebas:

CAPING GUNUNG

Teringat jaman berjuang,
Lalu teringat anak laki-laki
Dulu saya rawat,
Tapi sekarang tidak tahu kemana,

Katanya sekarang sudah menang,
Sudah tercapai apa yang dicita-citakan,
Dulu dia meninggalkan janji,
Tapi sekarang apakah dia sudah lupa?

Di daerah gunung,
Saya suguh dia dengan nasi jagung,
Kalau mendung,
Saya pinjami caping gunung (caping = topi bambu petani)

Saya bersyukur seandainya bisa melihat
Daerah pegunungan bisa jadi makmur
Dan kita tidak melupakan
Saat kita bersama bersakit-sakit dan berprihatin…


TAFSIRAN BEBAS:

Lagu caping gunung tersebut menyiratkan kerinduan warna “nggunung” atau pelosok perdesaan/pedalaman yang dulu dijadikan basis perjuangan oleh suatu pihak (bisa diterjemahkan pejabat daerah, politisi atau parpol). Masyarakat desa dulu menerima dengan tulus dan membantu pihak luar tersebut. Tapi setelah pihak luar tersebut “berhasil” berjuang dan memperoleh kedudukan, pihak luar tersebut lalu melupakan janji-janji yang pernah dilontarkan. Padahal dulu ketika di desa, masyarakat desa rela menyisihkan nasi jagung makanan pokoknya untuk pihak luar itu dan menyediakan perlindungan bagi mereka ketika diperlukan. Masyarakat desa tidak berharap banyak, mereka hanya ingin melihat kampungnya tenteram dan sejahtera. Setidaknya masyarakat ingin pihak luar tersebut tidak melupakan saat indah ketika mereka sedang berjuang dan bersakit-sakit bersama………

Sebuah lagu yang perlu dijadikan renungan oleh presiden, pejabat daerah, anggota dewan, parpol dll agar tidak hanya pandai mengobral janji. Diharapkan ketika sudah memperoleh kedudukan mereka tetap ingat akan konstituen yang sudah mendukung perjuangannya……….

Thursday, June 02, 2011

REKOMENDASI KEBIJAKAN: INSTRUMEN FREE, PRIOR, INFORMED CONSENT (FPIC) BAGI MASYARAKAT ADAT DAN ATAU MASYARAKAT LOKAL YANG AKAN TERKENA DAMPAK DALAM AK

REKOMENDASI KEBIJAKAN: INSTRUMEN FREE, PRIOR, INFORMED CONSENT (FPIC) BAGI MASYARAKAT ADAT DAN ATAU MASYARAKAT LOKAL YANG AKAN TERKENA DAMPAK DALAM AKTIVITAS REDD+ DI INDONESIA
DEWAN KEHUTANAN NASIONAL dan UN-REDD PROGRAMME INDONESIA
Jakarta 2011
8 halaman

Buku ini merupakan rangkuman dari serangkaian Workshop Nasional Pengembangan Konsep FPIC dalam aktivitas REDD+. Konsep FPIC itu sendiri merupakan sebuat konsep dimana sebelum suatu implementasi sebuah proyek, masyarakat yang potensial terimbas dampak proyek tersebut harus memperoleh informasi yang memadai terkait manfaat, dampak dan resiko proyek itu sendiri. Dengan informasi tersebut dan tanpa ada tekanan pihak lain, masyarakat harus boleh menentukan keputusannya untuk menerima atau menolak proyek yang akan dikembangkan. Konsep FPIC ini merupakan sebuah perlawanan terhadap kondisi yang ada selama ini dimana hak-hak konstitusional masyarakat sering dilanggar atau diabaikan demi untuk “pembangunan”.

Untuk implementasi FPIC ini ada beberapa tahapan yang perlu ditempuh yakni: (1) Pra kondisi dimana dalam tahapan ini dilakukan proses penyebaran informasi yang obyektif dan memadai terkait proyek yang akan dibangun kepada seluruh pemangku kepentingan, (2) Tahap Pengambilan Keputusan oleh pemangku kepentingan (3) Tahap Verifikasi untuk menilai apakah konsep FPIC sudah diimplementasikan secara utuh (4) Tahap Sosialisasi Hasil, yaitu tahap mensosialisasikan hasil keputusan kepada semua komponen masyarakat.

Konsep FPIC ini sebenarnya telah diwadahi dalam berbagai regulasi di Indonesia seperti AMDAL, namun implementasinya selama ini tidak konsisten. Meski demikian masih terdapat beberapa regulasi yang perlu direvisi agar spirit konsep FPIC ini bisa tergambar secara jelas didalamnya. Input lain yang mengemuka adalah perlu dibangunnya sebuah mekanisme resolusi konflik dan mekanisme pengaduan, agar sengketa yang ada nantinya bisa dipecahkan secara adil.