Monday, August 29, 2011

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI

Setelah berpuasa selama sebulan dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Pengampun, saya berharap semangat permaafan juga menetes dalam relung hati rekan-rekan semua. Oleh karenanya untuk membuktikan spirit permaafan tersebut sudah meresap dalam sanubari anda, saya atas nama pribadi dan keluarga mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin atas khilaf dan dosa yang selama ini telah saya perbuat ke rekan-rekan semua...wassalam...

POLITIK EKONOMI KERAKYATAN

POLITIK EKONOMI KERAKYATAN
Prof. Sarbini Sumawinata
PT. Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2004
ISBN 979-22-0829-1
Halaman 316

Buku ini merupakan kumpulan tulisan makalah Prof. Sarbini yang ditulis paska kejatuhan rezim Orde Baru. Dalam buku ini penulis menyoroti krisis moneter sebagai salah satu penyebab jatuhnya rezim Orde Baru .Krisis moneter yang melanda dunia pada tahun 1997/1998 berpengaruh thd kehancuran ekonomi Indonesia yang saat itu cenderung bersifat kapitalistik dan dipenuhi budaya korupsi, nepotisme, kolusi dan juga konspirasi negatif antara penguasa dan pengusaha. Jaman Orde Lama, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga rendah karena instabilitas politik dan masih dipenuhi oleh aroma perjuangan pergerakan melawan Belanda.Skala korupsi di jaman Orde Lama tidak begitu masif dan banyak pejabat masih dipenuhi idealisme perjuangan.

Sebagai upaya untuk memperbaiki keadaan Indonesia, penulis kemudian menyodorkan konsep “Sosialisme Kerakyatan” yang pada tahun 1950-an dipopulerkan oleh Sutan Syahrir melalui Partai Sosialis Indonesia. Konsep sosialisme kerakyatan ini mempunyai pilar: (1) penghormatan terhadap Hak asasi Manusia, (b) demokrasi (c) kemanusiaan (d) kebebasan. Seabagai sebuah idiologi yang humanis, sosislisme kerakyatan memnentang adanya otoritarianisme baik dalam bentuk fasisme maupun komunisme. Sebaliknya sosialisme kerakyatan juga menentang adanya kapitalisme yang akan memungkinkan terjadinya eksploitasi manusia oleh manusia lainnya.

Dari sisi kerangka ekonomi , penulis menyarankan perlunya reorientasi pembangunan yakni: (1) pembangunan diprioritaskan ke pembangunan perdesaan mengingat populasi masyarakat tinggal di desa.(2) pembangunan daerah perkotaan lebih diarahkan untuk mendukung perekonomian perdesaan (3) perlu pemerataan penguasaan alat produksi (c) peningkatan produktivitas masyarakat perdesaan dengan teknologi madya (d) perlu pengembangan kapasitas SDM perdesaan secara intens (5) pengembangan industrailisasi perdesaan yang berorientasi pemenuhan kebutuhan pasar domestik ataupun pasar luar (6) penataan kembali usaha budidaya pertanian agar bisa memenuhi skala ekonomi yang menguntungkan.

Secara umum buku ini relatif mudah dicerna. Hanya saja karena merupakan kumpulan tulisan, terkesan ada pengulangan pembahasan untuk beberapa bagian. Dalam buku ini penulis banyak mengkritik kebijakan Orba yang korup. Namun tanpa dinyana perkembangan Orde Reformasi pasa Orba, ternyata menunjukkanbeberapa sisi yang lebih parah (misalnya kasus korupsi). Maka menarik pula untk ditunggu analisis penulis terhadap perkembangan Orde Reformasi yang makin hari terkesan mkin suram.....



Monday, August 15, 2011

PASPORT

PASPORT

Oleh:Rhenald Kasali

Artikel: Jawapos 8 Agustus 2011

Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.

Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki "surat ijin memasuki dunia global.". Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.

Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
"Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?"
Saya katakan saya tidak tahu. *Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.

Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan,
teknologi, kedewasaan, dan wisdom.

Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.

Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat
teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.


*The Next Convergence*

Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.

Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.

Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.

Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing. Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita,
gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.

Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.

*Rhenald Kasali
Guru Besar Universitas Indonesia *

Sunday, August 14, 2011

KELEMBAGAAN DAN PERANSERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN

KELEMBAGAAN DAN PERANSERTA MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN; Analisis terhadap PP No. 6 tahun 2007
Rikardo Simarmata
Institut Hukum Sumberdaya Alam (IHSA)
Jakarta, 2007
ISBN 978-979-96770-1-3
162 halaman

Dalam buku ini penulis menganalisis PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Perencanaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. PP No. 6 tahun 2007 yang dimaksudkan untuk mendorong iklim investasi dan meningkatkan keamanan hutan, berisikan tentang; (1) Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH (2) Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan (3) Pemanfaatan Hutan (4) Hutan Hak (6) Industri Primer Hasil Hutan (7) Peredaran dan Pemasaran Hasil Hutan (8) Pembinaan dan Pengendalian (9) Sanksi Administratif terhadap Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dan Ijin Usaha Industri Primer Hasil Hutan (10) Peralihan.

Beberapa poin analisis terhadap PP tersebut adalah:
1. Kelembagaan KPH sudah mengarah pada paradigma forest ecosystem management, namun pelibatan masyarakat dalam kelembagaan KPH masih sangat terbatas.
2. Perhatian terhadap masyarakat setempat dalam PP ini cukup banyak seperti dalam proses penyusunan rencana pengelolaan hutan maupun tahapan pemanfaatan hutan. Namun perhatian terhadap masyarakat terkesan masih setengah hati karena yang diberikan ke masyarakat “hanya” Ijin Pemungutan Hasil Hutan. Mengapa masyarakat tidak diberi ijin yang lebih luas/kokoh? Hal ini menunjukkan semangat “pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat” dalam PP ini masih lemah.
3. Skema pemberdayaan masyarakat (Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Kemitraan) cenderung terkendala soal: (a) lokasi yang belum dibebani hak yang susah dicari khususnya di areal hutan produksi, (b) proses pemberian ijin yang berbelit dan double karena pemegang ijin HKm harus memiliki Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan (3) perhatian dan komitmen Pemda untuk pendampingan dalam program pemberdayaan masyarakat masih rendah.
4. Program pemberdayaan masyarakat melalui skema diatas, perlu diwaspadai supaya tidak menjadi alat legitimasi untuk melemahkan posisi masyarakat dalam pengelolaan hutan.
5. PP 6 tahun 2007 ini berpotensi mengalami overlap dengan UU Sumberdaya Air khususnya terkait izin hak guna air atau hak guna air yang berada dalam kawasan hutan.

Beberapa rekomendasi dari penulis adalah:
1. Perlu pemunculan kembali penghormatan dan pemberian perhatian kepada masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat dalam peraturan pelaksanaan dan implementasinya (termasuk dalam pengembangan kelembagaan KPH)
2. Percepatan pengembangan program pemberdayaan masyarakat dengan langkah kongkrit .
3. Pemberian ijin kepada masyarakat dalam rangka pemungutan hasil hutan harus diberikan dalam skema perlakuan khusus yang mudah, terjangkau, dan tidak berbelit-belit.
4. Lembaga KPH yang dibentuk harus mampu mempercepat proses aksi pemberdayaan masyarakat.
5. Perlu ada keseriusan penegakan hukum.

Secara umum buku ini mudah dipahami karena penulis juga menyajikan analisis dalam bentuk tabel sederhana. Hal yang sedikit mengganggu adalah pada bab-bab awal terkesan ada pengulangan-pengulangan kalimat.

Buku ini ditulis pada tahun 2007, sampai saat ini beberapa analisis masih cukup relevan khususnya aspek pemberdayaan masyarakat. Meski demikian dengan dikeluarkannya beberapa peraturan pelaksanaan khususnya terkait KPH pada beberapa tahun terakhir ini, telah mampu memperjelas beberapa pertanyaan kritis dari penulis tentang kelembagaan KPH.

Saturday, August 06, 2011

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA

SERTIFIKASI HUTAN RAKYAT DI INDONESIA
Alecxander Hinrichs, Dwi R. Muhtaman & Nawa Irianto
GTZ
Jakarta 2008
ISBN 978-979-18-5951-6
133 Halaman

Buku ini dituliskan berdasar rangkaian pengalaman penyelenggaraan sertifikasi ekolabel pengelolaan hutan (tanaman) rakyat di beberapa desa di Kabupaten Gunung Kidul (DIY), Kabupaten Wonogiri dan Kabupaten Sukoharjo (Jawa Tengah) dan Kabupaten Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara). Secara umum hutan yang disertifikasi adalah hutan tanaman jati. Proses sertifikasinya sendiri dilakukan dengan Skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang dikembangkan oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (PHBM-LEI) dan Small and Low Intensive Managed Forest dari Forest Stewardship Council (SLIMF-FSC).

Pembelajaran yang diperoleh dari penyelenggaraan di beberapa lokasi studi di atas antara lain:
1. Sertifikasi PHBM merupakan konsep yang efektif untuk mengakui pengelolaan hutan oleh masyarakat.
2. Motivasi masyarakat terlibat dalam sertifikasi karena dipicu oleh harapan atas keuntungan pemasaran produk sertifikasi (green premium).
3. Pembukaan akses pasar produk yang disertifikasi sebaiknya menjadi bagian proses persiapan sertifikasi hutan
4. Pentingnya skala ekonomis, pemasaran bersama (bundling) dan perbaikan pengelolaan di area PHBM bersertifikat diperlukan untuk bisa menembus pasar yang kompetitif.
5. Dukungan eksternal (promotor; LSM, Universitas, swasta, Pemda) dan kepemimpinan desa yang kuat sangat dibutuhkan untuk mengadopsi sepenuhnya konsep sertifikasi.
6. Konsep sertifikasi PHBM perlu mempertimbangkan konsep berpikir petani yang menjadikan tanaman kayu sebagai tabungan sehingga mereka hanya menebang bila membutuhkan cash money (tebang butuh).
7. Pendekatan berbeda mungkin diperlukan untuk mendirikan asosiasi payung (tidak harus koperasi, tapi bisa berupa asosiasi petani)
8. Proses sertifikasi membutuhkan kesiapan kelembagaan di tingkat masyarakat yang cukup solid, sehingga capacity building bagi lembaga pengelola hutan sangat diperlukan
9. Proyek sertifikasi PHBM memerlukan pendanaan eksternal yang berperspektif jangka panjang dan rencana bisnis untuk periode selanjutnya karena biaya sertifikasi dan audit ulang tidak murah.
10. Asosiasi payung petani perlu dana awal untuk bisa operasional (termasuk membeli kayu dari anggotanya) dan kemampuan manajerial yang handal.
11. Penentuan jatah tebang tahunan dan rencana tebang menjadi tantangan pokok bagi para pengelola hutan kemasyarakatan yang bertanggungjawab karena penentuan jatah tebang seringkali rawan konflik.
12. Proses persiapan sertifikasi patut diperhatikan selayaknya guna memperbaiki teknik-teknik budidaya hutan
13. Sistem sertifikasi perlu dilengkapi dengan sistem lacak balak agar dapat menjamin legalitas asal usul kayu rakyat
14. Pemerintah daerah dapat memainkan peran penting dalam sertifikasi PHBM dan patut dilibatkan selama proses persiapannya
15. Lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan satu sertifikat PHBM mungkin bisa dipersingkat (perlu diupayakan 1 tahun persiapan sudah mencukupi).
16. Pengalaman melakukan sertifikasi PHBM di hutan alam masih terbatas
17. Sertifikasi dapat dijadikan instrumen untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sumberdaya hutan dan memotivasi reboisasi/penghijauan yang lebih banyak lagi (karena insentif harga yang menarik).
18. Dengan merebaknya isu REDD, sertifikasi PHBM bisa dicoba untuk dikembangkan dengan program REDD

Pengelolaan hutan berbasis masyarakat sebenarnya telah teruji bisa dikembangkan dengan baik di berbagai daerah. Bermodalkan kearifan lokal, masyarakat adat/lokal di berbagai tempat mampu mengelola hutannya dengan baik. Membangun hutan adalah perbuatan mulia karena hasilnya (fungsi ekologis) bisa dinikmati oleh publik luas dan tidak hanya individu yang menanam. Peran pemerintah sebagai fasilitator hendaknya terus dikembangkan, seperti apa yang dilakukan oleh Pemkab. Gunung Kidul atau Pemkab. Wonogiri. Disinsentif pengembangan hutan oleh masyarakat seperti yang dilakukan Pemkab. Konawe Selatan yang membebankan pajak cukup mahal untuk pengangkutan kayu rakyat, hendaknya harus dihindarkan.

Secara umum buku ini mudah dicerna dan dipahami karena bahasanya relatif sederhana. Selain itu hal yang dikupaspun cukup lengkap.