Saturday, March 31, 2012

JEJAK PANGAN; Sejarah, Silang Budaya dan Masa Depan


Oleh: Andreas Maryoto
Penerbut Buku KOMPAS,
Jakarta 2009
ISBN: 978-979-709-413-3
250 halaman

Buku ini berisi kumpulan artikel ringan tentang pangan yang ditulis oleh Andreas Maryoto yang merupakan jurnalis berpengalaman di bidang pangan dan pertanian. 

Sebagai sebuah kebutuhan dasar, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hal yang melekat dalam proses perjalanan kehidupan manusia.  Sejarah bangsa-bangsa yang melakukan perjalanan keliling dunia untuk tujuan perdagangan maupun penaklukan/penjajahan terlihat dari penyebaran komoditi pangan ataupun jenis makanan yang disebarkan oleh para penjelajah tersebut di wilayah yang mereka lalui atau mereka duduki.  Demikian juga migrasi antar suku di Indonesia terkadang bisa ditelusuri dari jenis makanan yang berkembang di suatu daerah, karena suku yang berpindah juga membawa budaya makanan/kulinernya ke daerah baru.

Sejak zaman kerajaaan dulu, sektor pertanian pangan mempunyai peran yang cukup vital. Kesejahteraan suatu kerajaan diukur dari berlimpahnya produksi pangan lokal. Sebaliknya, minimnya ketersediaan pangan juga akan menjadi potensi timbulnya ketidakstabilan politik. Nusantara  pernah dikenal sebagai daerah yang mempunya pengaruh besar dalam dunia pangan sewaktu Nusantara (khususnya Maluku) merajai produksi rempah-rempah. Dari sisi kesejarahan, banyak bukti bahwa Indonesia merupakan negara agraris. Hal ini ditunjukkan  selain produsen rempah di Maluku , kehidupan masyarakat beberapa kerajaan di Jawa maupun Sumatera juga sangat berorientasi pada pertanian padi. Pada jaman kemerdekaan, Jaman Suharto dengan segala kekurangan dan kelebihannya merupakan era dimana sektor pertanian relatif diberi perhatian memadai.

India juga merupakan suatu contoh negara yang mempunyai perhatian terhadap sektor pertanian. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar maka mereka perlu menjaga ketahanan pangan. India mempunyai 6 pilar pembangunan pertanian yakni: pengelolaan tanah, air, iklim, peralatan, petani dan benih.

Dalam buku ini juga dibahas beberapa kasus manajemen logistik pangan sejak jaman penjelajahan dunia oleh Cheng Ho, penjelajahan oleh Portugis, Strategi perang Mataram, politik pangan jaman Sukarno dan Suharto, manajemen logistik tentara amerika hingga manajemen logistik saat bencana alam dan event besar seperti Olimpiade.

Untuk mengatasi berbagai tantangan untuk sektor pertanian pangan, di buku ini juga dibahas beberapa topik  bersifat solusi seperti:
  • Kearifan masyarakat adat Badui dalam pengelolaan lumbung padi untuk menjaga ketahanan pangan mereka.
  • Kearifan masyarakat Jawa dan beberapa suku lain dalam memanfaatkan pekarangan sebagai salah satu ruang penyangga untuk tanaman pangan.
  • Kearifan masyarakat desa dalam memanfaatkan sumber pangan lokal termasuk serangga sebagai menu harian mereka sehingga mereka tidak tergantung pada sumber pangan dari luar.
  • Perlunya keberanian politik untuk melawan proses pasar bebas yang tidak adil dengan meniru keberanian Korsel menolak impor daging sapi dari amerika.
  • Perlunya pengembangan etika dan pengawasan yang intensif di sektor produksi pangan dan makanan untuk melindungi publik dari bahan makanan yang berbahaya atau berkualitas rendah.
  • Perlunya pengembangan teknologi tanaman pangan untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman.
  • Perlunya pengembangan teknologi alternatif di bidang energi agar sumber pangan yang ada tidak dikonversi untuk kepentingan energi.
Secara umum buku ini enak dibaca dan relatif ringan karena tidak terlalu banyak berteori dan lebih bersifat bertutur. Meski demikian buku ini sangat bermanfaat untuk membuka mata kita bahwa kita kaya dengan sumber pangan beserta  kearifan lokaldi dalamnya. Harusnya kalau kita konsisten dengan kesejarahan kita sebagai negara agraris dan maritim, dua sektor ini perlu didukung dan dikembangkan secara serius di masa depan karena itulah comparative dan competitive advantage kita.... 

Monday, March 26, 2012

MEMBEDAH HUKUM PROGRESIF


Oleh: Satjipto Rahardjo
Editor: I Gede A.B. Wiranata, Joni Emirzon, Firman Muntaqo
Penerbit  Buku Kompas
Jakarta 2008
ISBN: 978-979-709-263-4
276 hal

Buku ini merupakan rangkaian artikel dari Begawan Hukum Prof. Satjipto Rahardjo. Beliau yang gusar dengan bobroknya dunia hukum di Indonesia, sejak lama sudah menengarai bahwa positivisme yang digunakan di Indoensia menjadi salah satu pemicu kebobrokan tersebut. Oleh karenanya beliau kemudian mendorong munculnya konsep Hukum Progresif yang salah satu prinsipnya adalah Hukum diciptakan untuk Kesejahteraan Masyarakat. Oleh karenanya penegakan hukum harus selalu berorientasi pada kesejahteraan masyarakat dengan mengacu pada nilai2 etika dan moralitas.

Perbedaan antara hukum positivisme (yang hanya mengacu secara sempit terhadap peraturan perundangan yang ada) dengan hukum progresif adalah sebagai berikut:

ASPEK
HUKUM KONVENSIONAL/POSITIVISME
HUKUM PROGRESIF
Ideologi
Individualistis kapitalis (menjunjung tinggi hak individu) dengan unifikasi hukum.
Mengakui pluralisme hukum termasuk living law yang eksis di masyarakat
Tujuan hukum
·      Keadilan berdasar pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundangan
·      Hukum sebagai Tujuan (orang harus taat hukum/peraturan)
·      Kesejahteraan masyarakat dan Keadilan berdasarkan etika, moralitas yang ada
·      Hukum sebagai CARA atau alat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat
Proses pengadilan
Cenderung fokus pada prosedur dan terkadang mengabaikan substansi
Fokus pada Keadilan substantif
Peran penegak hukum
·      Pembaca dan pelaksana peraturan perundangan
·      Mencari kemenangan
·      Menemukan keadilan melalui Interpretasi peraturan perundangan dan pertimbangan moralitas.
·      Membuat terobosan perundangan baru melalui yurisprudensi
Netralitas Hukum
Hukum Bebas Nilai
Hukum tidak bebas nilai karena ada interaksi dengan lingkungan sekitarnya.
Disiplin ilmu
Ilmu hukum yang otonom
Multidisiplinary
Substansi Hukum
Peraturan perundangan merupakan produk jadi.
Peraturan perundangan merupakan proses yang terus berkembang sesuai dinamika yang ada.
Proses pendidikan
Ilmu hukum sebagai teknologi sehingga pembelajaran mengutamakan praktik  aplikasi hukum
Lebih mengutamakan aspek humaniora dan etika, baru kemudian pada aspek  aplikasi ilmu hukum.

Gagasan Hukum Progresif dari Prof Tjip ini merupakan pengobat dahaga bagi korban-korban ketidak adilan di Indonesia selama ini. Namun pertanyaannya adalah masih seberapa  banyakkah penegak hukum yang reformis yang mempunyai hati nurani yang mau memperjuangkan keadilan hakiki buat masyarakatnya pada era materialisme ini? 

Tuesday, March 06, 2012

SIMBOL BUDAYA DAN TELADAN PEMIMPIN (Refleksi Kultural)


Soetjipto Wirosardjono
Penerbit Buku Kompas,
Jakarta 2007
ISBN 978-979-709-299-3
148 halaman

Buku ini merupakan kumpulan artikel Soetjipto Wirosardjono yang telah dimuat di hrian Kompas. Soetjipto Wirosardjono dikenal sebagai mantan Kepala BPS, pengamat sosial budaya dan kolumnis yang sering mengisi harian Kompas, majalah Tempo dan lain-lainpada era Orde Baru.

Dalam buku ini, artikel beliau dikelompokkan dalam 6 kelompok yakni: (1) Etika Politik dan Kekuasaan yang antara lain mengajak kita merefleksikan tentang demokrasi, keterbukaan, kekuasaan, ambisi politik dll (2) Teladan dan Kepemimpinan Elite Politik, yang antara lain berisi tentang keteladanan, kepemimpinan, korupsi, surat sakti dll (3) Simbol Budaya dan Mimpi Rakyat Kecil, yang antara lain berisi refleksi tentang Ibu, wanita, kesejatian, pembebasan budaya (4) Forum Silaturahmi.  Yang antara lain berisi refleksi tentang  profesionalisme, ibadah haji dll.

Secara umum alur bahasa penyajian dalam buku ini cukup mudah dipahami. Meski demikian ada beberapa catatan terkait buku ini yakni:
Artikel Soetjipto Wirosardjono lebih merupakan arikel yang bersifat reflektif atau kontemplatif, sehingga  beliau tidak memberikan jawaban atas suatu fenomena yang dibahas. Beliau hanya mengajak  kita untuk berpikir dan menggali jawaban berdasar pemahaman kita sendiri.
 Artikel beliau  dalam buku ini ditulis pada jaman Orde Baru sehingga substansi yang ditulis banyak terkait dengan kondisi atau fenomena yang hangat pada saat itu. Selain itu dari sisi bahasapun relatif halus bahkan terkadang memakai kiasan (bhs Jawa: sanepo), untuk menghindari represi yang ketat terhadap pers pada jaman itu.
 Terkait bahasa, Beliau merupakan orang Jawa sehingga gaya bahasa, alur pikir ataupun istilah-istilah yang ada seringkali  (walau tidak terlalu banyak) memakai bahasa Jawa yang mungkin agak sulit dipaham oleh pembaca non Jawa.

Monday, March 05, 2012

SISI-SISI LAIN HUKUM DI INDONESIA


Oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
Penerbit Buku Kompas
Jakarta, 2009
ISBN 978-979-709-112-5
258 halaman

Buku ini merupakan kumpulan artikel Prof Tjip dalam harian Kompas, yang dieditori oleh Karolus Kopong Medan  dan  Frans J. Rengka.
Membaca tulisan Prof. Tjip, kita akan mendapatkan gambaran pemikiran beliau yang bernas, cerdas dan berani melawan arus.  Dalam artikel-artikelnya beliau menyoroti bahwa kita seharusnya menegakkan supremasi moral atauy supremasi keadilan, dan bukan supremasi hukum (yang seringkali disimplifikasi pada kalimat undang-undang).  Hukum harusnya diciptakan untuk kesejahteraan manusia dan bukan sebaliknya.
Dari sisi substansi hukum, hukum merupakan  perilaku dan budaya masyarakat dan tidak bebas nilai sehingga hukum tidak boleh terkungkung dengan apa yang tertulis dalam tekstual regulasi. Aturan hukum itu sendiri harus disusun dengan memperhatikan budaya, sistem sosial dan karakter bangsa dan tidak boleh menjiplak mentah-mentah sistem hukum asing yang tidak sesuai kultur kita. Sebagai sebuah sistem perilaku dan budaya, aturan hukum sendiri perlu dikaji dari berbagai disiplin ilmu dan tidak semata-mata menjadi domain para ahli hukum semata.  Masih dari sisi aturan hukum, Prof. Tjip menekankan bahwa hukum dituntut untuk dinamis . Oleh karena ini prinsip “judge make a law”, perlu dihormati dan dikembangkan. Peran pengadilan khususnya Mahkamah Agung dalam memberikan input untuk pembuatan regulasi perlu didorong lebih aktif walaupun domain MA lebih merupakan aspek yudikatif.

Dari sisi tata laksana hukum,  sisi kualitas dan integritas hakim dan penegak hukum lainnya perlu mendapatkan pembenahan. Aparat hukum idealnya harus berani menegakkan keadilan substanstif  (sekalipun harus mengorbankan prosedur). Namun kondisi saat ini sedang terbalik dimana aparat penegak hukum banyak terjebak pada prosedur dan tekstual hukum  dan seringkali mengabaikan keadilan substantif. Seorang  hakim dituntut untuk mempunyai kepekaan sosial terhadap suara masyarakat untuk menghindarkan adanya kediktatoran pengadilan. Karena perannya sangat sentral, maka muncul istilah “di tangan seorang hakim yang baik, walaupun regulasinya tidak memadai, akan tetap bisa dihasilkan keputusan yang adil”. Selakinya, walaupun regulasinya bagus tapi kalau hakimnya tidak berintegritas dan berkualitas, maka akan dihasilkan keputusan-keputusan  yang tidak adil.  Selain menyoroti soal hakim dan mafia pengadilan yang perlu diberantas, Prof. Tjip juga menyoroti perlunya pembenahan manajemen perkara sehingga perkara di pengadilan tidak menumpuk. Salah satu solusinya adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan dan  pembatasan kasasi untuk penyelesaian perkara secara berjenjang .

 Dari sisi budaya hukum, Prof. Tjip menyoroti bahwa pembangunan hukum yang ada di Indonesia harusnya memperhatikan kultur masyarakatnya. Penyelesaian perkara terkadang tidak harus di pengadilan namun bisa dilakukan melalui musyawarah.  Beliau malah menyarankan  untuk pembangunan hukum ke depan, Indonesia bisa belajar dari jepang yang kulturnya lebih dekat dengan kita dibanding sistem hukum Eropa.
Bagi saya yang awam di bidang hukum, tulisan Prof. Tjip ini sangat mencerahkan. Pandangan beliau merupakan antithesis terhadap lawyer-lawyer para pembela koruptor yang marak sekarang ini.  Lawyer-lawyer sekarang banyak yang berprinsip “maju tak gentar membela yang membayar, dan tidak mempedulikan rasa keadilan publik”.  Para lawyer tersebut menegakkan supremasi hukum tapi dengan mengangkangi supremasi moral.   Keluasan cakrawala pemikiran Prof. Tjip yang rendah hati ini,  membuat saya  berpikir bahwa selayaknya beliau  diangkat menjadi salah satu “begawan hukum” Indonesia ....

Sunday, March 04, 2012

KRITERIA ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN KEBIJAKAN MAKRO MITIGASI PERUBAHAN IKLIM KEHUTANAN INDONESIA


Oleh: Ditjen Perencanaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan
Jakarta, 2011
49 halaman

Buku ini membahas tentang poensi  dan peluang perdagangan karbon,  berbagai skema dalam perdagangan karbon itu sendiri serta arahan pemanfaatan ruang kawasan hutan dalam perdagangan karbon tersebut.
Kawasan hutan di Indonesia mencapai 130,68 juta hektar  yang terdiri dari 26,82 juta hektar hutan konservasi, 28,86  juta hektar hutan lindung, 32,60 juta hektar hutan produksi, 24,46 juta hektar hutan produksi terbatas dan 17,94 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi.  Dari sisi tutupan hutan 41,26 merupakan hutan primer, 45,55 juta hektar hutan sekunder, 2,82 juta hektar hutan tanaman dan areal tidak berhutan 41, 05 juta hektar. Dengan luasan tersebut, Indonesia berpotensi besar untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi di level internasional.

Dalam kaitan dengan pengurangan emisi, terdapat tiga jenis kawasan yakni: (1) Kawasan penyimpanan karbon yang diarahkan pada kawasan hutan yang keadaannya masih baik dan simpanan karbon hutannya tinggi seperti kawasan konservasi yang masih bagus (2) Kawasan Penyerapan karbon yang diarahkan pada kawasan hutan dan non hutan yang kondisinya kritis/kurang baik sehingga setalah dilakukan penanaman atau rehabilitasi akan memiliki potensi penyerapan kabon yang tingi (3) Kawasan pencegahan emisi yang diarahkan pada kawasan hutan dan non hutan yang memiliki potensi nilai ekologi atau sosial atau ekonomi tinggi sehingga  jika tetap dipertahankan sebagai hutan perlu kompensasi.

Dari sisi mekanisme  pola pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim, dalam buku ini disajikan beberapa jenis skema yakni (1) payment environmental service/PES yaitu sejumlah pembayaran yang harus diberikan oleh konsumen jasa lingkungan kepada produsen jasa lingkungan, (2) Liability Rule/LR yaitu pembayaran kompensasi oleh suatu pihak tertentu yang bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu kegiatasn misalnya polusi.  Sehingga konsep ini sering disebut polluter  pays principle, (3) Purchasing Development Right/PDR yaitu sejumlah kompensasi yang harus diberikan kepada pemilik sumberdaya untuk tujuan publik tertentu.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang kehutanan, skema pendanaan PES  hendaknya  diterapkan untuk perdagangan karbon untuk kawasan konservasi dan hutan lindung walau kedua lokasi ini tidak mempunyai “additionality”, karena lokasi ini menghasilkan oksigen dan menyediakan jasa penyimpanan karbon.  Skema LR,  dapat diarahkan untuk lokasi yang penyerapan karbonnya tinggi seperti di areal hutan atau lahan kritis atau hutan terdegradasi. Sedangkan PDR bisa diterapkan untuk lokasi  kawasan hutan yang memiliki nilai strategis  tinggi. Supaya hutan tersebut tidak ditebang atau dikonversi, diperlukan adanya kompensasi.

Secara umum buku ini bagus untuk meningkatkan pengetahuan tentang berbagai isu perdagangan karbon. Meski demikian dengan masih belum jelasnya mekanisme dan komitmen perdaganag karbon di level internasional  (seperti hasil Konperensi di Durban), maka perdagangan karbon ini masih belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat ini. Selain itu, masih menjadi pertanyaan apakah mekanisme2 yang ada di buku ini akan disetujui oleh pihak pembeli (buyer)? Adalah suatu hal yang jamak bila buyer akan berusaha cari mekanisme yang selalu menguntungkan mereka sendiri, seperti diskusi yang selama ini ada memunculkan isu bahwa perdagangan karbon tidak bisa dilaksanakan di kawasan konservasi karena sudah meruakan mandatory untuk melindungi kawasan konservasi.  Sebuah spirit yang cukup bagus tercantum dalam buku ini bahwa kita harus membangun mekanisme sendiri agar tidak mudah disetir atau ditekan oleh buyer.  Selain itu harus diingat bahwa ada atau tidak ada perdagangan karbon kita harus tetap melestarikan hutan kita... Jadikan perdagangan karbon sebagai cara untuk menggali sumber pendanaan, tapi jangan jadikan sebagai tujuan...

PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA AKSI DAERAH PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA


KEMENTERIAN PPN/BAPPENAS
Jakarta, 2011
40 hal

Buku ini merupakan buku pedoman untuk penyusunan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD GRK) Tingkat Provinsi  seperti yang telah diamanahkan dalam Peraturan Presiden RI Nomor 61 tahun 2011. Ruang Lingkup yang dimuat dalam buku ini meliputi (1) substansi dan struktur RAD GRK, (2) Proses dan Prosedur Penyusunan RAD GRK dan (3) Pengorganisasian berbagai kegiatan dan lembaga yang perlu terlibat dalam penyusunan RAD GRK termasuk jadwal.

Terkait dengan struktur dan substansi, dokumen RAD GRK terdiri dari 7 Bab yang meliputi; (1) Bab I Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang, Tujuan, keluaran, Dasar Hukum dan Kerangka waktu penyusunan, (2) Profil Daerah dan Permasalahan Emisi GRK yang mencakup Profil dan Karakteristik Daerah, Program Prioritas Daerah, Permasalahan Emisi GRK (3) Pembagian Urusan dan Ruang Lingkup yang mencakup Pembagian Urusan/kewenangan Daerah dan Ruang Lingkup Daerah atau sektor sumber emisi, (4) Bab IV Analisis Emisi GRK yang mencakup Penyusunan baseline emisi GRK, usulan aksi mitigasi perkiraan penurunan emisi, skala prioritas (5)Bab V Strategi  Implementasi RAD GRK yang mencakup Pemetaan Kelembagaan dan pembagian peran, Identifikasi sumber pendanaan, penyusunan jadwal implementasi (6) Bab VI Monitoring dan Evaluasi yang berisi rencana pemantauan dan evaluasi terhadap implementasi rencana aksi yang disepakati (7) Bab VI Penutup yang berisi kesimpulan, saran, kaidah pelaksanaan RAD GRK (8) Lampiran yang berisi Rencana Aksi mitigasi daerah per bidang, perkiraan jumlah penurunan emisi GRK, perkiraan waktu, biaya  dll

Tekait dengan proses dan prosedur penyusunan RAD GRK ini,  ada beberapa prinsip yang perlu diacu yakni; (a) RAD GRK merupakan bagian tidak terpisahkan dari Strategi pembangunan Daerah, (b) RAD GRK harus sejalan dengan upaya pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, (c) RAD GRK merupakan cross sektoral dan memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan, (d) RAD GRK merupakan komitmen pemerintah Daerah untuk berkontribusi dalam penurunan emisi GRK nasional, (e) RAD GRK merupakan rencana pembangunan daeraj dengan pendekatan baru yang lebih memperhatikan upaya penurunan emisi GRK, (f) RAD GRK disusun secara partisipatif, (g) pelaksanaan kegiatan dalam RAD GRK  harus dapat dimonitor dan dievaluasi dengan indikator yang terukur.

Berdasar Perpres No. 61 tahun 2011, penyusunan RAD GRK ini diwajibkan selesai pada bulan September 2012. Tahapan dalam Penyusunan RAD GRK meliputi; (a) Tahap Persiapan selama 1-2 bulan yang mencakup Pembentukan Tim Penyusun RAD GRK,  Identifikasi awal  kegiatan penghasil/penyerap emisi, Persiapan Teknis  seperti metodologi, persiapan survey, penyusunan rencana kerja, dan Konsultasi Publik tentang adanya kegiatan penyusunan RAD GRK, (b) Tahap Pengumpulan Data selama 2-3 bulan yang mencakup Pengumpulan Data  dan Informasi Umum  Daerah, Data dan Informasi Teknis untuk penyusunan baseline, Data Kelembagaan Publik  (termasuk kebijakan, rencana, program) yang terkait penurunan emisi, Data Kelembagaan Masyarakat dan Pelaku Usaha, (c) Tahap Penghitungan selama 2-3 bulan yang mencakup Penghitungan Emisi Baseline, Usulan Aksi Mitigasi (dengan mengidentifikasi usulan yang ada di RAN GRK, RPJMD/Renstra SKPD, usulan baru) dan Pemetaan Kelembagaan Daerah, (d) Tahap Perumusan Rencana Aksi selama 2-3 bulan yang mencakup Konsolidasi Hasil Kelompok kerja per sektor penghasil emisi,  Skala Prioritas Usulan Aksi Mitigasi, Penentuan target penurunan emisi GRK, Formulasi strategi implementasi RAD GRK (e) Tahap Penetapan selama 1 bulan yang mencakup Penyusunan draft Naskah Peraturan Gubernur, Penetapan oleh Gubernur dan Sosialisasi RAD GRK.

Dari sisi pengorganisasian, Penyusunan RAD GRK di tingkat provinsi ditangani oleh (1) Tim Koordinasi yang terdiri dari Kepala Daerah (Penanggung jawab), Sekda (Ketua), Kepala Bappeda (Sekretaris), Kepala SKPD Terkait (anggota) (2) Kelompok kerja yang terdiri Pokja I Bidang Pertanian, Pokja II Bidang kehutanan dan Lahan Gambut, Pokja III Bidang Energi, Pokja IV Bidang Transportasi, Pokja V Bidang Industri dan Pokja VI Pengelolaan Limbah.  Anggota Pokja tersebut bisa  berasal dari unsur instansi pemerintah yang relevan, LSM, perguruan Tinggi, Pelaku usaha, organisasi profesi, lembaga penelitian.  Tugas Tim Koordinasi lebih banyak memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan RAD GRK. Sedangkan Tugas Pokja lebih operasional untuk menyiapkan pengumpulan data, analisis hingga penyusunan dokumen RAD GRK di bidangnya.

Secara umum buku ini mudah dipahami, namun ada beberapa kritik dan input saya yakni:
  1. Penyusunan RAN GRK harusnya bukan hanya dimaksudkan menyusun dokumen rencana kerja semata tetapi sebagai sebuah PROSES MEMBANGUN KOMITMEN BERSAMA dalam upaya penurunan emisi. Oleh karena itu keterlibatan dan peranserta berbagai pihak termasuk Pemerintah Kabupaten/Kota harus optimal. Dalam dokumen ini pelibatan Pemerintah Kabupaten/Kota belum jelas pengaturannya.
  2. Seberapa jauh daya ikat RAD GRK bagi Pemkab/Pemkot dan pelak usaha? Apakah bersifat mandatory ataukah voluntary?
  3.  Penyusunan baseline data membutuhkan data yang lengkap, akurat dan valid, yang faktanya ata tersebut seringkali sulit diperoleh di tingkat propinsi . Untuk itu data management harus dibenahi karena d ata tersebut nanti juga diperlukan untuk monitoring dan evaluasi.
  4. Penyusunan baseline juga menjadi salah satu kesulitan bagi Pemerintah Propinsi karena penghitungan emisimerupakan sesuatu yang baru bagi mereka. Untuk itu training penghitungan emisi dengan metode yang sederhana namun dapat dipertanggungjawabkan hasilnya menjadi sebuah opsi yang harus dilakukan.

Thursday, March 01, 2012

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2011


Perpres  No. 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), merupakan regulasi yang menetapkan  dokumen rencana kerja  RAN GRK, mengatur implementasi RAN GRK termasuk tindak lanjut yang perlu dilakukan di daerah. Perpres ini ditetapkan sebagai salah satu langkah untuk mewujudkan komitmen Pemerintah Indonesia dalam penurunan emisi sebesar 26 % (secara swadaya) atau 41% (dengan dukungan internasional) pada tahun 2020.

Dalam lampiran Perpres No. 61 tahun 2011 ini dirinci berbagai KEGIATAN INTI dan KEGIATAN PENDUKUNG dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah kaca. Kegiatan Inti dan Pendukung tersebut mencakup bidang
  1.  Bidang Pertanian ( 6 Rencana Aksi Inti, 4 Rencana Aksi Pendukung)
  2. Bidang Kehutanan dan Lahan gambut (13 Rencana Aksi Inti, 17 Rencana Aksi Pendukung)
  3.  Bidang Energi dan Transportasi (26 Rencana Aksi Inti, 17 Rencana Aksi Pendukung)
  4. Bidang Industri (3 Rencan Aksi Inti, 9 Rencana Aksi Pendukung)
  5. Bidang Pengelolaan Limbah (2 Rencana Aksi Inti, , 4 Rencana Aksi Pendukung)


Selain 5 bidang utama tersebut, terdapat Kegiatan Pendukung yang dilaksanakan oleh beberapa lembaga yakni:
  • Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (4 Rencana Aksi Pendukung)
  • Kementerian Lingkungan Hidup (4 Rencana Aksi Pendukung)
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (8 Rencana Aksi Pendukung)
  •  Lintas Bidang  (8 Rencana Aksi Pendukung)


Sebagai orang awam yang tidak terlibat dalam proses penyusunan Perpres No. 61 tahun 2001, terdapat beberapa komentar terhadap Perpres ini yakni:
  • Dalam Lampiran Perpres sudah diidentifikasi Rencana Aksi yang akan dilakukan beserta lokasi program. Pertanyaannya adalah: dasar pertimbangan apakah yang digunakan dalam penentuan lokasi program? Apakah penentuan ini dilakukan sepihak oleh pemerintah pusat? Ataukah penentuan lokasi sudah dilakukan melalui konsultasi dan dialog dengan Pemerintah Daerah?  Idealnya penentuan lokasi dilakukan melalui dialog Pemerintah Pusat dengan Pemda karena penyusunan RAN GRK harusnya bukan hanya dimaksudkan menyusun dokumen rencana kerja tetapi sebagai sebuah PROSES MEMBANGUN KOMITMEN BERSAMA dalam upaya penurunan emisi.
  • Dalam Lampiran Perpres sudah diidentifikasi Rencana Aksi yang akan dilakukan beserta perkiraan penurunan emisi yang diperkirakan bisa dicapai melalui intervensi rencana aksi tersebut. Pertanyaannya adalah proyeksi penurunan emisi tersebut apakah sudah dihitung dengan menggunakan standar yang disepakati di level nasional (atau internasional), apakah data dasar yang digunakan untuk analisis proyeksi benar-benar didasarkan data yang valid?
  • Dalam Lampiran Perpres sudah diidentifikasi Rencana Aksi yang akan dilakukan beserta perkiraan penurunan emisi yang diperkirakan bisa dicapai melalui intervensi rencana aksi tersebut. Yang menjadi persoalan adalah  ditemukan kekurang logisan antara beberapa Rencana Aksi yang akan dilakukan dengan proyeksi penurunan emisi . Sebagai contoh untuk sektor kehutanan, pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebanyak 120 unit akan menurunkan emisi sebesar 31,15 juta ton CO2. Dalam RAN tersebut  tidak dijelaskan secara jelas indikator  pembentukan KPH. Apakah pembentukan KPH hanya sebatas membentuk organisasi? Ataukah sekedar membagi wilayah hutan dalam unit KPH? Ataukah membentuk organisasi KPH yang mampu beroperasional secara efektif? Kalau yang dimaksud membentuk 120 KPH hanya sekedar membentuk organisasi semata tanpa tindak lanjut program yang jelas, target penurunan emisi 31,15 juta ton CO2 perlu diragukan untuk bisa dicapai.