Wednesday, February 27, 2013

SOEDIRMAN; Seorang Panglima, seorang martir


Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Jakarta 2012,
ISBN: 978-979-91-0524-0
160 halaman

Buku ini merupakan salah satu dari seri buku TEMPO tentang tokoh militer Indonesia. Buku ini bercerita tentang peran dan sepak terjang Penglima Besar Jendral Sudirman dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. 

Soedirman dilahirkan tanggal 24 Januari 1916 di Bodas, Karangjati, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Masa kecilnya dihabiskan untuk belajar di HIS (setara SD) dan MULO (setara SMP jaman Belanda) di Cilacap Jawa Tengah. Soedirman merupakan murid yang tekun, rajin, disiplin, cerdas dan suka menolong temannya. Dia aktif berorganisasi dalam kepanduan Hizbul Wathan dan Pemuda Muhamadiyah. Lulus dari MULO, tahun 1934 Soedirman juga sempat mengenyam pendidikan Kweekschool (Sekolah Guru Bantu) di Solo walaupun tidak tuntas. Meski tidak lulus sekolah Guru, keaktifannya di Muhamadiyah membuat Soedirman berhasil menjadi guru di HIS Muhamadiyah Cilacap. Pada tahun 1936, Soedirman menikahi Alfiah yang juga merupakan aktivis Pemudi Muhamadiyah. Sekolah HIS Muhamadiyah Cilacap ditutup oleh Belanda tahun 1941-1942.

Pada saat jepang mulai masuk Indonesia, Soedirman kemudian mencari ladang pengabdian yang lain dengan mengembangkan koperasi untuk membantu perekonomian masyarakat yang mulai krisis. Soedirman kemudian juga mendirikan Badan Pengurus Makanan Rakyat yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan makanan  bagi warga yang membutuhkannya. Kepemimpinan Soedirman tersebut membuatnya menjadi tokoh yang disegani di Cilacap. Pada tahun 1943 Jepang kemudian mengirimnya ke Bogor untuk mengikuti pendidikan daidancho atau komandan battalion Pasukan Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Soedirman sendiri semula tidak percaya diri masuk ke militer karena kakinya agak cacat (bekas terkilir) dan mata kirinya agak kabur. Setelah pendidikan, pada tahun 1944 Soedirman dilantik jadi daidancho dan ditugaskan di Kroya-Cilacap, Jawa Tengah. Prestasi Soedirman di Cilacap ini antara lain berhasil melucuti tentara Jepang secara damai di wilayah Banyumas, setelah negaranya menyerah kepada Sekutu.

Setelah Indonesia merdeka, lascar-laskar perjuangan dihimpun dalam wadah Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dalam  persidangan Markas Tinggi TKR di Yogyakarta, Soedirman terpilih sebagai Panglima Besar TKR dengan suara terbanyak. Soedirman merupakan salah satu tokoh kharismatik yang berusaha mempersatukan elemen TKR yang berasal dari KNIL (tentara Hindia Belanda), Peta (yang dibentuk jaman Jepang) dan berbagai lascar lainnya. Beberapa prestasi gemilang Soedirman di bidang militer antara lain: (1)  memenangkan pertempuran Palagan Ambarawa melawan tentara Sekutu, (2) menumpas Pemberontakan PKI Madiun 1948 walaupun hal ini menjadi beban pikiran bagi Soedirman yang sedih melihat bangsanya saling berbunuhan, (3) melakukan gerilya sewaktu Aksi Polisionil Belanda Pertama dan Kedua, walaupun kondisinya sedang sakit sehingga perlu ditandu. Keberhasilan Soedirman di bidang militer tersebut, didukung oleh adanya tim yang kuat dibelakangnya seperti TB Simatupang, Oerip Soemohardjo, Tjokropranolo, Latief Hendraningrat, Soepardjo Rustam, Soeprapto dan AH Nasution. TB Simatupang merupakan salah seorang perwira yang mengembangkan system gerilya (Wehkreise). Buku tentang system gerilya yang ditulis AH Nasution bahkan kemudian dijadikan buku pedoman bagi tentara AS sewaktu bertempur di Vietnam.
Soedirman merupakan seorang pejuang sejati yang tanpa kompromi (merdeka 100% atau tidak sama sekali). Sehingga beliau lebih dekat dengan politisi kalangan militant (non kooperasi) seperti Tan Malaka dan kurang dekat dengan politisi lobby seperti Amir Sjarifuddin atau Sjahrir. Meski demikian Soedirman sangat menghormati konstitusi sehingga sebagai panglima militer, beliau tetap tunduk pada keputusan pemerintahan sipil Soekarno – Hatta (walau setelah melalui perdebatan sengit). Beliau tidak mau memanfaatkan kekuatan pasukannya untuk merebut tahta.

Soedirman merupakan sosok kharismatik yang dihormati dan dicintai oleh pasukkannya dan masyarakatnya. Perjuangan gerilya yang dilakukannya sukses karena memperoleh dukungan dari masyarakat di sekitarnya. Soedirman merupakan sosok sederhana, teguh dan penuh pengabdian kepada Negara. Beliau meninggal tanggal 29 Januari 1950 dalam usia 34 tahun karena penyakit TBC. Semoga amal perjuangan beliau menjadi bernilai ibadah. Semoga nilai-nilai luhur yang beliau ajarkan senantiasa tertanam kuat di dalam dada TNI di masa kini dan masa mendatang…. 

Buku ini secara umum mudah dicerna atau dipahami. Meski demikian saya rasa terdapat pengulangan isi dan keruntutan alurnya kurang terjag, walaupun hal itu tidak terlalu mengganggu…


Monday, February 25, 2013

CAHAYA DI ATAS CAHAYA



Oleh: Oki Setiana Dewi
Penerbit Mizania
Bandung, 2012 (edisi III)
ISBN 978-602-9255-22-5
341 halaman

Buku ini berisi cerita perjalanan Oki Setiana Dewi sewaktu melakukan perjalanan umrah ke tanah suci beserta ibundanya dan uwak-nya selama satu bulan pada tahun 2012.

Perjalanan umrah ke tanah suci merupakan salah satu mimpi Oki. Perjalanan ke tanah suci tersebut semula tidak berjalan mulus. Kendala pertama adalah uang tabungan Oki yang terbatas. Setelah tabungan mulai ngumpul, muncul kendala bahwa Oki dan ibundanya perlu didampingi muhrim karena ayah Oki sedang berhalangan. Untunglah ada uwak Bandi yang kemudian bersedia mendampingi mereka. Muncul kendala lain berupa visa, karena kunjungan mereka dilakukan sebelum musim umrah dimulai untuk warga asing. Namun Alhamdulillah berkat keteguhan dan doa Oki dan ibundanya, mereka akhirnya bisa berangkat juga.

Di tanah suci, Oki tidak hanya berumrah. Di sana dia memanfaatkan waktu untuk beribadah sebanyak mungkin sambil menggapai mimpinya untuk belajar menghafalkan Quran. Untunglah Oki mempunyai teman-teman Indonesia yang tinggak dan kuliah disana, sehingga proses belajarnya berjalan lancar. Bahkan melalui silaturahmi dengan teman-temannya, Oki akhirnya bisa masuk kuliah “sebulan”ke Ummul Qura University.  Di kampus itu Oki banyak bergaul dengan mahasiswi dari berbagai belahan dunia dan itu meningkatkan ukhuwah mereka. Oki juga aktif mengunjungi sekolah atau madrasah-madrasah penghafal Quran yang banyak bertebaran di sana.

Kunjungan umrah selama sebulan ini banyak memberikan pembelajaran spiritual bagi Oki untuk mengenal dan mendekatkan diri ke Tuhan-nya.  Bahkan di perjalanan ini, Oki juga menemukan cintanya yang pertama…Ada beberapa hikmah dari perjalanan spiritual dalam buku ini:

1.       Barangsiapa rajin mengulurkan tali silaturahmi, maka akan senantiasa diberi kemudahan dan kelapangan rejeki.
2.       Berbuat baik dan niat mulia terkadang tidak selamanya langsung berjalan mulus. Terkadang Allah akan menguji kesungguhan hati umat-Nya. Barangsiapa teguh berpegang pada niat mulia maka kemudahan akan segera menghampirinya. Sesungguhnya dibalik kesulitan akan ada kemudahan….
3.       Sesuatu kegiatan yang didasari niat mulia, akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang berlipat ganda baik dunia dan akherat. Pengalaman Oki selama berumrah, ternyata tabungan dia tidak banyak berkurang karena ada banyak pihak yang memberikan bantuan keuangan (secara sembunyi maupun terang-terangan) seperti dalam membayar sewa taksi, membayar kamar hotel dan lain-lain.
Bahasa yang digunakan dalm buku ini mudah dipahami, dengan alur cerita yang runtut. Oki berhasil menguras emosi dan rasa haru ketika menceritakan refleksi spiritualnya. Saya sewaktu baca buku ini di bandara dan di pesawat harus menyiapkan sapu tangan untuk menghapus airmataku yang menggenang di pelupuk mata. Maha Besar Allah…semoga Oki senantiasa diberi kecemerlangan untuk menangkap makna hidup dan dilimpahi keikhlasan untuk membagikannya kepada sesamanya…semoga kesediaan berbagi hikmah yang sudah Oki lakukan, akan menjadi pahala yang senantiasa mengalir abadi bagi dirinya  …..amin…..





Sunday, February 17, 2013

ETIKA



Oleh: K. Bertens
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2011 (cetakan ke sebelas)
ISBN: 978-979-22-7705-0
328 halaman

Prof. Dr. K. Bertens merupakan seorang pakar filsafat kelahiran Belanda. Beliau kelahiran tahun 1936 dan sejak 1968 telah aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi filsafat dan teologi di Indonesia.

Buku ini antara lain membahas pengertian etika. Definisi etika dibedakan menjadi tiga, yakni: (1) nilai dan norma moral yang jadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kumpulan asas atau nilai moral atau kode etik, (3) ilmu yang mempelajari baik atau buruk. Seperti akal, moralitas merupakan salah satu pembeda antara manusia dengan mahluk lainnya.

Dalam kaitannya dengan agama, moralitas akan lebih kokoh bila memperoleh dukungan dari agama. Dukungan agama akan cenderung bersifat sebagai dogma (given) sedangkan pemikiran filsafat lebih merupakan sebuah jawaban hasil pemikiran. Dalam bidang hukum, moralitas memegang peranan yang sangat penting karena setiap keputusan legal harusnya didukung oleh spirit moralitas yang adil.

Dalam Bab II, buku ini menekankan hati nurani merupakan salah satu pintu terakhir untuk memfilter perilaku dan moralitas kita. Hati nurani dalam hal ini diartikan sebagai sebuah “instansi” dalam diri kita yang menilai moralitas perbuatan kita secara langsung . Perbuatan yang melawan hati nurani pribadi biasanya akan menumbuhkan kegelisahan (bad conscience) dan sebaliknya. Hati nurani merupakan suatu hal yang bersifat personal dan hak azazi. Meski demikian, hati nurani juga merupakan sebuah aspek yang bisa dididik dan dikembangkan, walaupun proses pendidikan hati nurani akan lebih kompleks disbanding pendidikan untuk pengembangan akal budi. Terkait dengan hati nurani ini, dalam sebuah masyarakat perlu dikembangkan adanya “guilt culture” atau budaya merasa bersalah dari dalam nurani. Hal ini berbeda dengan shame culture (budaya malu) yang mana rasa malu akan muncul bila perilaku buruknya diketahui orang lain.
Bab III membahas tentang Kebebasan dan Tanggung Jawab. Beberapa anatomi kebebasan Individu al antara lain: (1) kesewenang-wenangan/bebas untuk semau gue, (2) kebebasan fisik, (3) kebebasan yuridis, (4) kebebasan psikologis, (5) kebebasan moral, (6) kebebasan eksistensial/seutuhnya. Kebebasan manusia mempunyai pembatas yakni (1) faktor dari dalam seperti fisik/non fisik, (2) lingkungan, (3) kebebasan orang lain, (4) generasi mendatang. Berkaitan dengan tanggung jawab, seseorang bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan olehnya. Tanggung jawab ini bisa dilakukan secara individu ataupun secara kolektif.
Bab IV membahas nilai dan norma. Nilai disini diartikan sebagai “sesuatu yang baik”. Nilai moral mempunyai ciri; (1) nilai moral berkaitan dengan tanggung  jawab pribadi atas apa yang kita lakukan, (2) berkaitan dengan hati nurani, (3) mewajibkan/keharusan bagi siapapun, (4) bersifat formal atau melekat dalam berbagai bidang kehidupan. Norma moral bersifat obyektif dan universal, sehingga bukan merupakan sesuatu yang relative. Salah satu yang menjadi dasar dalam menilai norma moral adalah “martabat manusia”. Seberapa jauh martabat manusia itu dihargai?
Bab V membahas tentang Hak dan Kewajiban. Hak merupakan sebuah klaim yang sah/dapat dibenarkan  yang dibuat oleh seseorang atau kelompok yang satu terhadap  yang lain atau masyarakat. Tidak  semua hak bersifat sungguh-sungguh absolute karena kebanyakan hak bersifat hak prima facie atau hak itu berlaku sampai dikalahkan oleh hak lain yang lebih kuat. Berbicara tentang hak, masih terdapat perdebatan hangat tentang siapakah yang dinilai mempunyai hak? Apakah janin yang mau digugurkan punya hak? Apakah binatang dan lingkungan punya hak? Apakah generasi mendatang punya hak?
Bab VI membahas Etika Kewajiban dan Keutamaan. Etika Kewajiban disini berarti melakukan (doing) hal-hal yang sudah seharusnya. Sedangkan Etika Keutamaan adalah melakukan sesuatu yang seharusnya secara lebih baik lagi dan berorientasi pada diri manusia (being). Saya harus melakukan apa (pertanyaan etika kewajiban). Saya harus menjadui manusia yang bagaimana (pertanyaan etika keutamaan). Etika keutamaan ini yang biasanya akan menjadi penilaian bagi orang-orang yang disebut pahlawan.
Bab VII membahas beberapa system filsafat moral yang meliputi: (1) hedonism yakni suatu suatu aliran filsafat yang dikembangkan oleh Aristippos dari Yunani  yang mendudukan kesenangan sebagai tujuan akhir bagi kehidupan manusia (2) Eudemonisme, yaitu aliran filsafat yang dikembangkan Aristoteles yang mendudukan  kebahagiaan sebagai tujuan tertinggi kehidupan manusia, (3) Utilitarianisme, dikembangkan oleh Jeremy Bentham dari Inggris, yang mendudukan kebahagiaan dan kesenangan sebagian besar warga masyarakat sebagai tujuan akhir kehidupan manusia, (4) Deontologi yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, yaitu system etika yang mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Konsep Kant tersebut disempurnakan oleh WD Ross yang menekankan bahwa konsep prima facie juga diperlukan dalam menjalankan kewajiban. Misalnya jujur merupakan sebuah keharusan. Tapi dalam situasi tertentu yang sangat darurat, kita bisa diperbolehkan berbohong.
Bab VIII membahas Etika Terapan. Dalam bab ini dibahas bahwa. Perkembangan ilmu dan teknologi serta ekonomi telah menghantar manusia pada kehidupan yang bergelimang materi namun terkadang susah untuk menemukan kebahagiaan diri. Oleh karenanya dalam kehidupan yang sekuleristik saat ini, Etika menjadi sangat penting untuk menuntun manusia ke arah yang lebih baik. Bidang hokum, pemerintahan, ekonomi, kedokteran, lingkungan dll membutuhkan orang-orang yang mampu memberikan pencerahan moral, agar pengembangannya tidak salah sasaran.
Secara umum buku ini relative mudah dicerna dan dipahami oleh seorang pemula di bidang etika. Alur pembahasan cukup runtut dan enak dinikmati.Sangat cocok dibaca oleh para pengambil keputusan dan ahli hukum...




Thursday, February 07, 2013

SAPNNING A REVOLUTION (Kisah Mohamad Bondan, eks-Digulis, dan Pergerakan Nasional Indonesia)



Oleh: Molly Bondan
Yayasan Obor Indonesia
Jakarta, 2008
ISBN; 978-979-461-698-7
424 halaman

Buku ini merupakan biografi Mohamad Bondan yang merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Buku ini ditulis Molly Bondan, istri Mohamad Bondan yang semula berkewarganegaraan Australia dan banyak membantu Bondan dalam melakukan perjuangan pergerakan kemerdekaan selama Bondan tinggal di Australia maupun setelah Bondan pulang ke Indonesia.

Tidak ada tanggal pasti tentang kelahiran Bondan, kemungkinan ia  dilahirkan  15 Januari 1910 atau 13 Januari 1911. Bondan berasal dari keluarga bangsawan kecil keraton Kesepuhan Cirebon. Ayah Bondan seorang mantri  kehutanan di daerah Cirebon dan kuningan diera Hindia Belanda. Mantri kehutanan saat itu merupakan jabatan yang cukup dihormati di lingkungannya. Meski sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, ayah Bondan sudah berpikiran cukup maju dan pro perjuangan kemerdekaan. Sehingga anak-anaknya di sekolahkan sejak dini, termasuk anak-anaknya yang perempuan. Bondan yang dibesarkan di daerah pedesaan dan kota kecil sangat menikmati masa kecilnya yang hidup di lingkungan yang asri dan penuh keakraban.

Sewaktu kecil, Bondan mulai disekolahkan di beberapa sekolah kampong yang tidak dijalaninya secara serius. Dia berpindah-pindah sekolah mengikuti ayahnya yang sering berpindah tugas. Bondan lulus dari HIS Kuningan (setingkat sekolah dasar jaman Belanda) pada tahun 1926. Namun saying karena ketiadaan biaya, Bondan tidak mampu melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dia akhirnya mendaftarkan dan diterima sebagai pegawai pembantu juru tulis di Pemerintah Kota Cirebon.

Pada usia 18 tahun, Bondan tertarik ikut rapat-rapat umum yang diselenggarakan oleh pergerakan kemerdekaan. Dia sangat termotivasi ketika menghadiri rapat umum yang menampilkan Soekarno sebagai pembicara. Dia kemudian bergabung dalam Partai Nasional Indonesia Cabang Cirebon. PNI merebut simpati dari masyarakat sehingga dikuatirkan akan merongrong kewibawaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya tokoh2 PNI termasuk Bondan kemudian dijebloskan penjara.  Adanya desakan dari berbagai pihak seperti Dr. Sutomo (PPPKI) dan Perhimpunan Indonesia (yang berada di Belanda) membuat pemerintah Hindia Belanda melepaskan tokoh-tokoh tersebut. Namun karena keaktifannya di PNI, Bondan kemudian dipecat dari jabatannya sebagai pegawai Pemerintah Kota Cirebon.

Pada tahun 1930, bondan pindah kerja ke Jakarta dan terus bergabung di PNI sampai Soekarno ditangkap dan PNI dibubarkan. Pada saat Bung Hatta dan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, Bondang bergabung dengan PNI Pendidikan. Pada tahun 1934, karena keaktivannya di PNI Pendidikan membuat Bondan ikut kena ciduk  dan dimasukkan ke penjara Glodok. Tokoh PNI Pendidikan lain yang ditangkap adalah Bung Hatta, Sjahrir, Maskun, Burhanuddin dll.

Pada bulan Januari 1935, Bondan bersama tokoh-tokoh  pergerakan dibuang ke Digul-Papua agar mereka sulit untuk membangun komunikasi dan jaringan poliutik dengan tokoh pergerakan lainnya. Digul merupakan suatu kamp interniran (tempat pembuangan tahanan politik) yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1926. Kondisi alam yang masih belantara, terpencil, banyak binatang buas dan malaria merupakan ancaman yang meatikan bagi para tahanan politik yang dikirim ke sana. Istilah “Digul-is” bermakna sebagai orang-orang tahanan politik yang pernah dibuang ke Digul. 

Selama pembuangannya di Digul,  Bondan banyak belajar ekonomi kepada Bung Hatta. Bersama-sama tokoh pergerakan yang lain (khususnya PNI Pendidikan) mereka mendirikan sekolah informal bagi anak-anak tahanan politik di Digul. Sepeninggal Bung Hatta dan Sjahrir yang dipindahkan ke Bangka, Bondan pernah mencoba kabur dari Digul dan sampai di Merauke. Namun tertangkap dan dikembalikan ke Tanah merah.

Pada tahun 1943, warga Digul (termasuk tahanan politik) dievakuasi ke Australia karena Perang Dunia II.  Pada mulanya Pemerintah Belanda memanipulasi bahwa tapol dari Digul disebutkan sebagai tawanan perang yang pro-Jepang. Namun lama-kelamaan hal ini terbongkar dan menimbulkan amarah public di Australia. Pemerintah Australia sendiri kemudian membebaskan para tapol untuk keluar dari tangsi tahanan dan memberikan kebebasan buat para tapol untuk mencari pekerjaan di Australia.

Pada tahun 1945, Bondan mendengar Soekarno Hatta  memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Bondan dan rekan-rekannya mengorganisir diri membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM)  di Brisbane yang bertugas untuk member dukungan pada Negara Indonesia yang baru merdeka. Sedangkan para pelaut Indonesia mendirikan SARPELINDO (Serikat Pelaut Indonesia) yang kemudian menjalin hubungan baik dengan serikat Buruh Australia untuk melakukan pemogokan terhadap kapal-kapal Belanda. KIM ini terus berkembang  di beberapa kota lain sehingga kemudian dibentuk CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka) untuk mengorganisirnya. CENKIM ini kemudian bertugas menjadi corong informasi tentang perkembangan di Indonesia, membangun hubungan diplomatic informal dengan Australia, membangun hubungan dagang (walau kurang berkembang karena Indonesia masih bergejolak), mengatur pemulangan para tapol ke tanah air hingga melakukan penggalanagan bantuan kemanusiaan korban perang revolusi kemerdekaan. CENKIM mempunyai peran strategis dalam  membangun hubungan baik Indonesia – Australia. Melalui CENKIM ini, Bondan dan Molly yang saat itu bekerja sebagai volunteer di CENKIM , dipertemukan dan menikah tahun 1946. Molly yang sejak semula simpati dengan perjuangan bangsa Indonesia kemudian ikut pindah ke Indonesia tahun 1947.

Sepulang dari perjuangan di Australia, Bondan kemudian mengabdikan diri menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perburuhan untuk urusan pelatihan dan pengembangan kualitas SDM. Walaupun hanya berpendidikan HIS, namun orang mengakui dedikasi, perjuangan dan pengalaman Bondan.  Sedangkan Molly mengabdikan diri menjadi pegawai Departemen Penerangan. Sisa-sisa penyakit malaria hitam  yang diperolehnya di Digul membuat Bondan beberapa kali jatuh sakit dan mengalami gangguan pendengaran. Bondan akhirnya meninggal tahun 1990 setelah menderita kanker paru-paru akut. Dia meninggalkan Alit (anak dari perkawinannya dengan Molly) dan Uwoh (anak dari pernikahannya dengan istri pertamanya yakni Dedeh yang diceraikannya ketika Bondan berada di tahanan Digul).

Secara umum buku ini sangat enak dibaca karena bahasanya luwes dan alurnya mengalir lembut.  Sangat bagus untuk menambah pengetahuan tentang sejarah perjuangan bangsa pra kemerdekaan. Banyak hal yang bisa diteladani dari seorang Bondan, seperti: sikap nasionalisme, bersahaja, pantang menyerah, mau belajar, akuntabel, bertanggung jawab dll dimana sikap-sikap tersebut sudah menjadi barang langka yang sulit ditemukan saat ini.