Tuesday, December 31, 2013

BERJUANG DAN DIBUANG

Buku 2 dari trilogy Untuk Negeriku (sebuah Otobiografi)
Oleh Mohammad Hatta
Penerbit Buku Kompas,
Jakarta 2011
ISBN 978-979-709-540-6
192 halaman

Buku ini merupakan buku ke-2 dari trilogy “Untuk Negeriku” yang merupakan otobiografi salah seorang tokoh proklamator kita yakni Bung Hatta.
Dalam buku ini diceritakan Bung Hatta berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana ekonomi pada tahun 1932. Aktivitas organisasi dan politiknya membuat proses studynya memakan waktu selama 11 tahun. Namun karena aktivitas politiknya yang luas dan kerajinan membaca buku, membuat proses ujiannya terasa mudah karena para professor pengujinya meyakini kemampuan Bung Hatta dalam penguasaan teori dan analisa.

Sekembalinya ke tanah air, Hatta dihadapkan pada kondisi bubarnya Partai Nasional Indonesia dan ditangkapnya Soekarno oleh Belanda. Bung Hatta kemudian mulai aktif dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang dia rintis bersama Sjahrir. PNI Baru ini merupakan partai yang bersikap non cooperative terhadap Belanda, dan menekankan pada pendidikan para kader (partai kader). PNI Baru ini relative selektif memilih anggota kader dan berusaha mendidik anggotanya dengan wawasan kebangsaan maupun pendidikan politik. Selain melalui kursus-kursus pendidikan politik, PNI Baru juga menerbitkan majalah Daulat Rakyat yang menjadi media pendidikan bagi anggotanya. Melalui majalah ini Bung Hatta, Sjahrir dan anggota lainnya membuat tulisan dan berusaha menyebarluaskan gagasan kebangsaan bagi anggotanya.

Aktivitas Bung Hatta di PNI Baru ini membuat Bung Hatta kenal dengan Soekarno dan sempat terlibat polemic dengannya soal pendekatan non cooperative.  Soekarno menuduh Hatta tidak konsisten dengan pendekatan non cooperative, namun Hatta mampu membantah secara elegan. Bagi saya perdebatan tersebut, cukup menarik karena mereka bisa saling menguji konsep/teori, dan perdebatan yang dimuat di media tersebut menjadi pendidikan politik bagi public.

Selama aktif di PNI Baru, Bung Hatta semakin berkilau. Saat melakukan kunjungan dagang bersama pamannya ke Jepang, Bung Hatta sering disebut pihak Jepang sebagai Gandhi from Java, karena pendekatan non cooperative dan anti kekerasan. Jepang yang sudah mengincar Asia, sebenarnya mulai melakukan pendekatan ke Bung Hatta. Namun  Bung Hatta   bersikap menghindar karena beliau konsisten untuk memerdekakan Indonesia, terlepas dari penjajahan siapapun.

Tulisan Bung Hatta yang tajam di majalah Daulat Rakyat membuat Belanda was-was. Muncul berbagai upaya untuk menghambat aktivitas Bung Hatta, dan pada puncaknya tahun 1934 Bung Hatta, Sjahrir dan beberapa aktivis PNI Baru ditangkap untuk kemudian dibuang ke Boven Digul –Papua (tahun 1935), kemudian dipindahkan ke Bandaneira.

Suatu hal yang membuat saya takjub adalah spirit intelektualitas Bung Hatta yang luar biasa. Beliau rajin membaca buku, rajin menulis artikel untuk mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran beliau dan beliau rajin melakukan aktivitas mendidik/mengajari orang. Beliau melakukan hal itu tatkala aktif di organisasi maupun ketika berada di tempat pembuangan yang terpencil…. Nampaknya tidak ada sesuatu yang bisa menghentikan semangat Bung Hatta untuk belajar dan menulis. Spirit untuk menerangi kegelapan nampaknya sudah mendarah daging dalam setiap denyut dan tarikan nafas beliau……


Sunday, December 29, 2013

BUKITTINGGI-ROTERDAM LEWAT BETAWI; sebuah Otobiografi

Buku 1 dari trilogi Untuk Negeriku
Oleh Mohammad Hatta
Penerbit Buku Kompas,
Jakarta 2011
ISBN 978-979-709-540-6
324 halaman

Buku ini merupakan otobiografi salah seorang tokoh proklamator kita yakni Bung Hatta. Bung Hatta yang lahir tahun 1902 menjadi anak yatim dalam usia 8 bulan. Beliau dilahirkan dari keluarga ulama yang alim dan disegani. Maka tidak mengherankan bila Bung Hatta dulunya digadang-gadang untuk mendalami agama Islam dan menjadi ulama.

Namun takdir menentukan lain. Beliau yang tekun dan cerdas, menempuh pendidikan dasar di Bukittinggi dan melanjutkan pendidikan menengah MULO di Padang. Di kota Padang inilah Hatta mulai belajar berorganisasi melalui klub sepakbola Swallow dan kemudian berkenalan dengan organisasi Jong Sumatranen Bond/JSB (Organisasi Pemuda Sumatera) dan mendapat jabatan sebagai Bendahara pada usia 16 tahun.

Pada usia 17 tahun, Hatta melanjutkan pendidikan di sekolah perdagangan Prins Hendrik Schoo/PHSl di Betawi (nama Jakarta tempo dulu). Di Jakarta ini Hatta semakin intensif dalam berorganisasi di JSB.  Di sekolah PHS, bakat kutu buku Hatta makin mencuat sehingga buku-buku text book ekonomi dan social dilalap habis. Di Jakarta ini Hatta berkenalan dengan tokoh nasional seperti Haji Agus Salim yang memberikan inspirasi perlunya membentuk nasionalisme dan menanggalkan ego daerah.

Setelah lulus dari PHS, beliau diiming-imingi  jabatan empuk, namun tekad Hatta untuk belajar sangat tinggi, sehingga beliau memutuskan untuk meneruskan sekolah. Ketertarikannya di bidang ekonomi dan adanya dukungan bea siswa dari  sebuah yayasan di negeri Belanda, menghantar Bung Hatta untuk masuk di Handelshogeschool di Rotterdam Belanda pada usia 19 tahun. Selama sekolah di Belanda, intelektualitas Hatta semakin terasah dengan belajar kepada para profesor ternama dan dukungan buku-buku yang melimpah.

Di samping aktif belajar, Hatta juga terus membangun jaringan dengan sesama pelajar Indonesia di sana dan mendirikan organisasi yang dinamakan Perhimpunan Indonesia (PI). PI ini merupakan organisasi pelajar yang mulai memikirkan  kemerdekaan Indonesia dengan pendekatan non cooperative. Dalam usia 24 tahun, Hatta berhasil tampil sebagai propagandis PI yang terlibat aktif dalam gerakan anti kolonialisme dan imperialism internasional. Hatta mulai tampil dalam level internasional untuk memperkenalkan nama “Indonesia” dan aktivitasnya ini mengantarnya bertemu dengan Nehru dan tokoh2 internasional lainnya. Aktivitas PI lama kelamaan dirasa merongrong pemerintah Belanda sehingga Hatta dan beberapa tokoh PI lainnya ditagkap dan diadili. Di pengadilan inilah Hatta menulis pembelaan yang diberi judul “Indonesia Merdeka”. Beliau juga diback up oleh beberapa pengacara Belanda yang bersimpati kepada PI. Pembelaan Hatta dan para pengacaranya berhasil, dan keberhasilannya tersebut membuat pamor PI menjadi semakin berkibar di level internasional.


Membaca memoir Bung Hatta dalam buku ini, kita dituntun menelusuri jejak sejarah beliau sebagai  tokoh pergerakan nasional. Bahasa yang ringan, membuat isi buku ini mudah dipahami. Saya sangat menaruh rasa hormat kepada beliau dimana dalam usia muda beliau sudah bisa menjadi tokoh organisasi pergerakan nasional yang sangat disegani di level nasional bahkan internasional. Kekaguman yang lain adalah sifat beliau yang haus ilmu membuat beliau rajin melalap buku bacaan untuk memperluas pengetahuan dan wawasannya. Kepintaran Bung Hatta dalam mengatur waktu, juga menjadi sisi lain yang menarik sehingga aktivitas berorganisasinya bisa berjalan seiring dengan aktivitas belajarnya……

Saturday, December 28, 2013

INDONESIA X-FILES

Oleh. dr. Abdul Mun’im Idries, Sp. F
Penerbit Noura Books (PT Mizan Publika)
Jakarta, 2013 (cetakan II)
ISBN 978-602-7816-60-2
334 halaman

Buku ini menguraikan tentang peranan kedokteran forensic dalam menyingkap fakta yang sifatnya scientific based untuk penegakan keadilan (baik dalam tahap penyidikan, penuntuttan dan pemeriksaan di pengadilan). Buku ini ditulis oleh dr. Abdul Mun’im idries yang merupakan pakar forensic yang sangat disegani di tanah air dan punya kredibilitas tinggi. Beliau mempunyai banyak pengalaman dalam melakukan berbagai otopsi dan menjadi saksi ahli dalam kasus Marsinah (aktivis buruh di Mojokerto), kasus Munir (aktivis HAM), dan berbagai kasus pidana yang menghebohkan di tanah air.

Menurut beliau, bedah mayat forensic bertujuan untuk mendapatkan kejelasan tentang (a) siapa jati diri korban yang meninggal, (b) kapan korban diperkirakan tewas, (c) apa yang menjadi penyebab kematian, dan senjata apa yang menjadi penyebab kematian, (d) bagaimana cara kematian korban yang sebenarnya missal pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan dll

Berdasar pengalaman beliau, Keberhasilan pengungkapan suatu kasus akan dipengaruhi oleh : (a) waktu pemeriksaan, semakin segera pemeriksaan dilakukan maka hasilnya semakin baik, (b) keaslian barang bukti, (c) teknik pemeriksaan dan kompetensi dokter yang melakukan pemeriksaan, (d) koordinasi untuk mendapatkan informasi pendukung dari pihak lain seperti penyidik.

Membaca buku ini kita akan diajak menjelajahi dunia forensic dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Beberapa pesan moral yang termuat dalam buku ini adalah: (a) dokter dituntut mempunyai integritas yang tinggi dan berani melawan tekanan dalam mengungkap kebenaran, (b) menjadi dokter forensic adalah panggilan jiwa sehingga harus siap untuk bekerja kapanpun juga, (c) dokter memikul tanggung jawab moral dan sumpah, sehingga harus selalu bekerja dalam koridor profesionalisme dan etika dokter, (d) dokter forensic hanyalah mengungkap sebagian fakta untuk sebuah kasus, sehingga HARUS membatasi diri dan  berhati-hati agar yang diungkap adalah FAKTA HUKUM dan bukan opini berdasarkan perkiraan belaka Karena pendapat dari ahli seperti dokter forensic ini bisa mempengaruhi proses hokum atau menimbulkan konsekwensi hukum.

Thursday, December 26, 2013

AYAH: Kisah Buya Hamka

Oleh: Irfan Hamka
Republika Penerbit
Jakarta 2013
ISBN 978-602-8997-71-3
324 halaman

Buku ini merupakan penuturan Irfan Hamka tentang ayahnya yakni BUYA HAMKA yang merupakan tokoh ulama Islam yng dihormati di Indonesia. Banyak sisi dikupas tentang Buya Hamka seperti sebagai masa kecil, pejuang kemerdekaan, aktivis organisasi, ulamamaupun dalam keseharian sebagai seorang kepala keluarga.

Banyak pesan moral terkandung di buku ini, Antara lain:
  • ·         Buya Hamka merupakan seorang yang autodidak dan tidak pernah berhenti untuk belajar, dan membagikan ilmunya kepada orang lain.
  • ·         Buya Hamka merupakan orang yang taqwa dan teguh pendirian dalam hal aqidah. Beliau tidak pernah menggadaikan keimanan yang dimilikinya untuk tujuan keduniawian karena rasa cintanya kepada Allah melebihi segalanya.
  • ·         Buya Hamka merupakan tokoh yang arif, bijak, positive thinking dan tidak pernah mendendam kepada siapapun termasuk lawan politiknya ataupun orang-orang yang menganiaya-Nya.
  • ·         Buya Hamka merupakan figure kepala keluarga yang arif, berwibawa, sangat menyayangi istri dan anak-anaknya, dan mampu mendidik sesuai dengan perkembangan jiwa si anak.



Di tengah merebaknya budaya kooptasi saat ini dimana ulama sering diperalat oleh “umara”, kehadiran sosok seperti Buya Hamka senantiasa dirindukan. Semoga Allah memberikan surga bagi beliau di alam baka…. 

Sunday, December 22, 2013

DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH

Oleh HAMKA
PT Balai Pustaka,
Jakarta,  2011
ISBN 979-690-854-9
76 halaman

Buku ini bercerita tentang kasih tak sampai yang cukup mengharukan. Hamid seorang anak yatim yang miskin, diangkat anak angkat oleh sebuah keluarga kaya yang mempunyai anak perempuan bernama Zainab. Usia dan kedewasaan yang semakin bertambah membuat Hamd tak bisa mengingkari kata hatinya bahwa dia mencintai Zainab. Namun dia pendam perasaan itu karena tahu dia miskin dan Zainab sudah dijodohkan dengan salah seorang anak keluarga kaya.

Hamid yang tidak bisa menanggung perasaan, kemudian merantau ke tanah Arab untuk menenangkan diri. Perlahan dia mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan Zainab, sampai suatu ketika dia mendapatkan kabar Zainab menderita sakit karena memendam rindu terhadap Hamid. Di situlah Hamid tahu bahwa Zainab ternyata juga mencintanya. Namun nasib berkata lain, Zainab yang sakit kemudian meninggal dunia. Hamid sendiri yang kondisinya juga tidak sehat akhirnya menyusul Zainab ke alam baka sewaktu menunaikan ibadah haji.

Secara umum cerita ini mengalir dengan Bahasa yang santun dan indah, meski tidak banyak kejutan di dalamnya…..

Tuesday, December 17, 2013

Rantau 1 Muara

Oleh Ahmad Fuadi
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jakarta, 2013
ISBN 978-979-22-9473-6
497 halaman

Buku ini merupakan seri ketiga dari Trilogi Negeri 5 Menara.  Dalam buku ini diceritakan Alif Fikri setelah menempuh pertukaran pelajar di Kanada, terus melanjutkan kuliah di Unpad dan berhasil menyelesaikan studinya dengan baik.

Krisis moneter tahun 1998, membuat Alif agak kesulitan ekonomi karena Koran-koran turun oplahnya dan tulisan Alif jarang dimuat. Beruntunglah dia kemudian diterima masuk di majalah ternama yakni majalah Derap. Alif belajar banyak tentang dunia kewartawanan di majalah Derap tersebut, dan disana dia bertemu rekan kerja yang akrab bernama Dinara.

Meski Alif kerasan bekerja di majalah Derap, dia tetap berusaha mencari peluang study di Amerika, hingga dia berhasil mendapatkan beasiswa Fullbright. Setelah melalui perjuangan panjang dia diterima di George Washington University (GWU). Alif kemudian pergi ke amerika dan bertemu Mas Garuda, orang perantauan Indonesia yang sudah beberapa lama tinggal di sana. Mas Garudalah yang kemudian memberikan tumpangan pondokan sampai alif mempunyai tempat kos sendiri. Mas Garuda juga yang membantu Alif bertemu dengan orang2 Indonesia di sana dan banyak membantu Alif  dalam mengatasi persoalan-persoalan pribadinya.
Selama tinggal di Amerika, Alif tetap berhubungan dengan Dinara dan mereka kemudian bersepakat untuk menikah. Walaupun orangtua Dinara semula agak ragu, tapi akhirnya mereka menerima dan merestui hubungan itu. Setelah menikah, Alif kemudian memboyong Dinara ke amerika. Di sanalah pertualangan mereka berdua dimulai, dengan hidup yang sederhana sampai kemudian mereka berhasil memperoleh pekerjaan yang mapan sebagai wartawan di amerika. Mereka berdua juga meliput tragedy pemboman World Trade Center, yang juga diduga membawa korban yakni tewasnya Mas Garuda yang sampai sekarang belum ditemukan jazadnya.

Meskipun mereka hidup mapan di Amerika, kerinduan terhadap tanah air membuat mereka ingin kembali ke Indonesia. Mereka bersikukuh untuk pulang ke tanah air walaupun berbagai perusahaan disana menahan dan mengiming-imingi gaji yang sangat tinggi. Mereka ingin pulang ke tanah air untuk memberikan bakti bagi keluarga dan bagi bangsa yang dicintainya.

Buku ini sangat menarik dengan banyak pesan moral yang terkandung didalamnya. Bahasa yang mengalir, ringan membuat pesan moral tadi mudah dicerna dan tidak terkesan menggurui. Saya merekomendasikan buku ini dibaca untuk kalangan generasi muda dan remaja. Mereka harus berani berjuang keras dan bersabar untuk meraih cita-cita yang diimpikannya.

Sunday, December 15, 2013

HOEGENG; Polisi dan Menteri Teladan

Oleh: Suhartono
Penerbit PT Kompas Media Nusantara
Jakarta, 2013 (edisi 4)
142 halaman
ISBN 978-979-709-769-1

Buku ini menceritakan pengalaman Soedharto Martopoespito yang pernah menjadi Sekretaris Pak Hoegeng sewaktu Pak Hoegeng menjabat sebagai Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet (tahun 1966).
Di tengah kecaman berbagai pihak terhadap institusi POLRI yang dipandang sebagai salah satu institusi yang paling korup di Indonesia, buku ini menegaskan bahwa di lingkungan POLRI terdapat orang-orang yang mempunyai dedikasi dan integritas tinggi seperti Pak Hoegeng. Sampai Gus Dur menyebutkan bahwa ada 3 polisi yang tidak bisa disuap yakni: Patung polisi, Polisi tidur dan Hoegeng.

Dalam buku ini diungkap tentang berbagai kisah integritas Pak Hoegeng yang tidak mau memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadinya. Beliau mempunyai empathy yang sangat tinggi terhadap masyarakat sehingga dalam memanfaatkan fasilitas dinaspun dilakukan secara hati-hati dan penuh pertimbangan agar tunjangan yang beliau peroleh tidak membebani anggaran Negara. Beliau sendiri sebagai pimpinan POLRI tidak segan terjun ke lapangan mengatur lalu lintas ketika terjadi sebuah kemacetan. Itu semua dilandasi prinsip bahwa sebagai Polisi beliau harus bisa menciptakan ketertiban dan keamanan dimanapun beliau berada.

Saya sendiri pernah membacar artikel tentang sosok unik Pak Hoegeng ini dari sumber lain. Dan saya langsung “jatuh cinta” dengan sosok yang sederhana ini. Integritas, disiplin, dedikasi, profesionalisme dan kesederhanaan merupakan ciri khusus yang melekat kuat pada sosok Pak Hoegeng.  Semoga POLRI kelak mampu menelorkan sosok-sosok mudah yang berkarakter seperti Pak Hoegeng…. Teriring doa semoga Pak Hoegeng memperoleh limpahan ampunan dan dimasukkan ke surge-Nya….aamiin…….


 


Agus Salim (Diplomat Jenaka Penopang Republik)

Oleh: TEMPO
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Jakarta, 2013
178 halaman
ISBN 978-979-91-0636-0

Buku ini merupakan penelusuran Tim Tempo, terhadap perjalanan hidup tokoh Haji Agus Salim yang mempunyai nama asli Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran) tahun 1884-1954. Sejak kelas 4 SD, saya sendiri sudah mengidolakan Haji Agus Salim sebagai tokoh nasional, setelah saya membaca kisah perjuangan beliau yang dimuat dalam sebuah majalah Intisari usang yang dimiliki keluarga saya.
Haji Agus Salim yang dilahirkan di keluarga ambtenaar di Koto Gadang (Sumatra Barat), sejak usia sekolah dikenal sebagai anak yang cerdas dalam ilmu pasti, ilmu social dan bahasa. Beliau semula bercita-cita jadi dokter, namun nasib membawanya ke dunia pergerakan nasional setelah beliau gagal memperoleh bea siswa dari Pemerintah Hindia Belanda. Saat itu RA Kartini yang memperoleh bea siswa, sudah menyampaikan ke Pemerintah Hindia Belanda bahwa belia merelakan bea siswanya diberikan kepada Haji Agus Salim, namun tidak ada tanggapan Pemerintah saat itu.

Salah satu kelebihan beliau adalah kecerdasannya dalam bersilat lidah. Beliau semula mantan anak didik Snock Hourgronje  (orang Belanda orientalis) yang membuat beliau hampir jadi agnostic. Tapi kesempatan tugas Ke Jedah, membuat beliau menekuni islam kepada berbagai ulama besar disana dan beliau kembali ke jalan  agama. Beliau orang yang rasional dan logis, sehingga beliaupun mempelajari agama dengan cara-cara yang rasional (tidak taqlid buta). Dalam pembelajaran di Jedah tersebut beliau juga berkenalan dengan dua tokoh organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Hasyim Asy’ari (NU) dan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).

Haji Agus Salim merupakan POLIGLOT atau orang yang mempunyai kemampuan menguasai beberapa bahasa. Beliau mampu menguasai 9 bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Jepang, Turki dll. Dengan kecerdasan dan kemampuan berbahasanya, beliau merupakan tokoih yang multi talenta. Beliau dikenal sebagai tokoh Pergerakan Sarekat Islam (bersama HOS Tjokroaminoto), penasehat Jong Islamiten Bond, tokoh pendidikan yang mendirikan HIS swasta di Sumatera Barat, wartawan surat kabar, penyiar radio, ulama Islam dan tentu saja sebagai DIPLOMAT yang terlibat dalam berbagai perundingan seperti Linggarjati, Renville dll.  Sebagai orang yang sangat sayang terhadap keluarga, Haji Agus Salim dan istri yang sangat dicintainya  telah menerapkan home schooling untuk putra-putrinya yang berjumlah 7 orang, karena beliau tidak ingin putra-putrinya dicemari pendidikan Belanda yang bersifat kolonialis,

Salah satu pesan moral dari buku ini adalah petuah beliau bahwa “Leiden is Lijden” atau  “Memimpin adalah menderita”. Beliau yang cerdas dan berpengaruh, sebenarnya akan sangat mudah untuk memperkaya diri bila beliau mau bekerja untuk Belanda ataupun mau memanfaatkan jabatan di jaman pergerakan. Namun beliau malah memilih jalan sebagai tokoh Pergerakan Nasional demi kemerdekaan bangsa. Seorang tokoh politik Belanda yang jadi juru runding di Perjanjian Linggar Jati menyebutkan bahwa “Haji Agus Salim merupakan tokoh yang cerdas, berintegritas, dan teguh pendirian. Salah satu kelemahannya adalah seumur hidup dia miskin dan melarat”.

Semoga kesederhanaan hidup, integritas perjuangan dan dedikasi Haji Agus Salim memperoleh limpahan pahala di haribaan-Nya…aamiin…….



Dari Ave Maria ke jalan lain ke Roma


Oleh: IDRUS
Penerbit PT Balai Pustaka
Jakarta, 2010 (cetakan 27)
176 halaman
ISBN 979-407-218-4

Kalau Chairil Anwar disebut sebagai “Raja Puisi” angkatan 45, maka Idrus disebut orang sebagai “Raja Prosa” angkatan 45.

Buku ini merupakan kumpulan cerpen Idrus dengan setting tahun 1942-1945 ketika Jepang berkuasa di Indonesia.  Dalam cerpen-cerpennya tersingkap makna bahwa Jepang pada awal mulanya dianggap sebagai “saudara tua” yang akan membebaskan cengkeraman penjajahan Belanda. Namun dalam perkembangannya Jepang sendiri melakukan penjajahan yang tidak kalah keji di Indonesia. Penderitaan dan kemelaratan seperti kelaparan, penyakit, dan penyiksaan merupakan menu harian yang mudah didapatkan di kala itu.

Terdapat beberapa pesan moral seperti keteguhan dalam memperjuangkan Indonesia merdeka, pengorbanan demi cinta dan ketangguhan dalam menghadapi kemiskinan, yang dimuat dalam cerita yang mengalir runtut dan bahasa yang sangat mudah untuk dinikmati.