Monday, December 21, 2015

GURU SMA-ku

Berbicara tentang guru SMA, terdapat beberapa ciri-ciri yang melekat erat dengan penampilan beliau secara keseharian.  Beberapapenampilan guru yang kuingat adalah:

Pak Hadi Sutomo yang mengajar Geografi, seingatku penampilannya selalu necis, pakaiannya sangat rapi, rambut klimis. Dengan penampilan seperti itu, mungkin banyak siswi yang sebetulnya mengidolakan atau bahkan menaksirnya hehehe....

Pak Soewardi yang mengajar matematika, menurut mas Priyono penampilannya terskesan cuek dengan celana baggy yang kedodoran, baju tidak dimasukkan, suka merokok dan suka ngeramal togel....

Bu Narti guru matematika, ini terkesan galak dan killer. Tapi saya meyakini bahwa banyak kawan merindukan cara mengajarnya yang tegas....ibarat benci tapi rindu.....

Pak Suwarjo guru Bahasa Indonesia, dengan kumis gatotkaca-nya beliau jarang tersenyum lebar dan kalaupun tersenyum terkesan ditahan-tahan.

Bu Wisnu yang guru Kimia dan Bu Siti Suparsih yang guru BP, ini mempunyai konotasi cantic mempesona. Kayaknya mas Priyono nge-fans sama ibu-ibu ini.

Bu waryati yang guru Bahasa Inggris, beliau berpenampilan anggun dan feminine. Pelajaran yang semula diajarkan ke siswa adalah tentang “gerund” sehingga sering disebut “Bu Gerund”. Mas Nurkholis, mas Hanto dan saya, adalah siswa yang mengidolakan cara mengajar beliau.


Hayo...masih ingatkah ciri-ciri guru yang lain?????

Monday, December 07, 2015

MEMBANGUN CITA-CITA KETIKA MASA SMA

Ketika SMP aku menyukai hampir semua mata pelajaran, kecuali mata pelajaran kesenian (seni lukis, seni suara, dan seni-seni lainnya termasuk seni kriya/prakarya ). Meskipun saya saat ini merupakan penikmat seni namun aku paling merasa sulit kalua disuruh membuat karya seni tadi atau menyanyi. Pelajaran matematika, fisika, biologi, Bahasa Inggris merupakan pelajaran favoritku saat itu. Kesukaanku terhadap mata pelajaran itu muncul karena aku menyukai dengan gaya mengajar para guru yang mengampu mata pelajaran tersebut.

Ketika masuk SMA, aku agak kesulitan adaptasi dengan gaya mengajar para guruku. Sehingga prestasi awal di SMA tidak terlalu menonjol atau biasa-biasa saja. Mata pelajaran matematika, fisika dan kimia agak susah aku kunyah dan aku telan sat itu. Tibalah ketika saat penjurusan, karena mata pelajaran eksaktaku jeblok,maka aku terlempar masuk ke jurusan IPS. Jujur kuakui saat itu, aku agak “down” karena walaupun belum punya cita-cita pasti tapi aku melihat dijurusan IPA kita punya lebih banyak pilihan untuk masuk ke perguruan tinggi. Rasa down ini berlanjut di kelas 1 semester 2, dimana aku sulit berkonsentrasidengan pelajaranku.

Akhirnya waktu jua yang menyembuhkan rasa frustasiku. Perlahan-lahan aku bisa mencerna pelajaran-pelajaran kelas IPS termasuk mata pelajaran inti berupa Tata Buku (akuntansi) dan Hitung dagang yang sedikit banyak memakai persamaan matematika sederhana didalamnya. Semangat belajarku yang tumbuh kembali berkorelasi positif dengan prestasiku yang mulai meningkat. Prestasi belajarku yang meningkat tersebut, berkorelasi negative (berkebalikan) dengan hubunganku soal teman perempuan. Aku saat itu masih “clingus”, pemalu dan tidak kenal atau jarang bertegur sapa dengan teman sekolah perempuan baik klas IPS apalagi klas IPA.

Ketika di SMA ini saya sering berbincang-bincang dengan kawan sebangku Thomas Yudarmoko (Koko). Koko ini merupakan putra Kepala Sekolah  SMP Kanisius Muntilan. Di usia muda, cara pikirnya sudah sangat berbau filsafat dan jauh melebihi pemikiran kawan-kawan sebayanya. Dalam perbincangan dengannya, saya yang sudah melihat berbagai realitas social seperti kemiskinan di sekeliling kita menyatakan bahwa saya kepengin masuk menjadi tenaga sukarela (social worker) di Depnakertrans. Depnakertrans  saat itu memiliki program rekrutmen Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang ditempatkan di berbagai pelosok pedalaman. Pilihan lain adalah saya pengen masuk dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Saya menyadari bahwa menjadi social worker tidak akan membuat kita kaya, tetapi saya ingin saya bisa memberikan darma bakti terbaik untuk mereka yang membutuhkan.

Pilihan hidup saya tersebut membuat saya memilih melanjutkan di jurusan Ilmu Sosiatri (Kesejahteraan Sosial) di FISIPOL UGM. Perjalanan kuliah di FISIPOL berjalan normal walaupun sempat tersendat karena “kisah kasih yang tak sampai”. Setelah saya lulus bekerja di sebuah LSM besar di Jakarta, dan ketika berjalan-jalan di Pecinan Muntilan saya secara kebetulan bertemu Koko. Kami mengobrol sejenak dan ketika saya cerita bahwa saya bekerja diLSM, dia mengingatkan bahwa cita-cita saya ketika SMA  terkabul karena berhasil masuk di dunia LSM. Pengembaraan saya di dunia LSM berlangsung selama 8 tahun dan selanjutnya pindah ke Lembaga Kerjasama Teknis Pemerintah Jerman. Perjalanan di proyek-proyek internasional ini berjalan terus sampai sekarang, dan sehari-hari banyak berinteraksi dengan kawan-kawan LSM, sehingga dunia LSM yang kuimpikan sejak jaman SMA tidak pernah aku tinggalkan....


Koko, dimana kamu?????

Saturday, December 05, 2015

MODA TRANSPORTASI JAMAN SMA

Ketika SMA, sepeda motor masih merupakan barang mewah sehingga tidak terlalu banyak yang mengendarai motor untuk bersekolah. Ada beberapa kawan yang biasa bermotor seperti mas Prahanto yang naik Vespa putih atau Honda GL warna hitam, Mas Hanung memakai Vespa Hijau, mas Wahyu pakai Yamaha bebek merah, Gilig pakai Kawasaki hitam, Hery IPS pakai Yamaha jantan Merah, Fajar Piyungan pakai Vespa warna metalik dan kalua naik Vespa pantatnya dimiringkan mirip Valentino Rossi (mungkin Rossi njiplak abis gaya Fajar dalam naik motor nih....). Sebagai layanan untuk mencegah siswa naik motor secara illegal, terkadang dilakukan ujian mendapatkan SIM C di sekolah bekerjasama dengan kantor polisi magelang.

Sebagian teman bersekolah dengan naik sepeda onthel seperti Bambang IPS dari daerah Dukun  yang naik sepeda jengki warna hijau. Bambang yang keriting ini kalau main sepakbola bagus menjadi pemain sayap karena dribblenya bagus. Perawakannya yang mungil membuatnya seperti Dede Sulaiman, pemain sayap legendaris Indonesia di saat itu. Adapula Imam Abidin yang naik sepeda. Imam abidin dulu pinter untuk cuci cetak foto. Adapula Darto Siswoyo yang juga rutin bersepeda. Darto ini facenya agak mirip orang India dengan kulit sedikit gelap.

Untuk yang dari daerah Borobudur, biasanya sebagian kawan-kawan naik bus Ramayana. Bus Ramayana saat itu masih belum mewah seperti Bus Ramayana yang antar propinsi saat ini. Untuk yang dari Blabak dan Muntilan biasanya naik angkot. Adapula sebagian kawan dari Muntilan yang suka menikmati perjalannya memakau andhong sambil menikmati semilirnya angin yang menerpa.


Kalau untuk yang daerahku Sawangan, anak sekolah biasanya naik angkudes yang berupa mobil Colt yang agak besar.Mobil ini agak besar karena banyak penumpang dari Sawangan yang bekerja sebagai pedagang dan petani,  dan mereka pergi ke Muntilan  untuk menjual hasil bumi. Mobil Colt ini pintunya ada di bagian belakang dan penumpang bisa “nggandhul” di gantungan belakang bila kursi di dalam sudah penuh terisi. Memang cukup beresiko nggandul di belakang karena bisa terjatuh bila terlalu banyak orang yang bergelantungan dan berebut pegangan. Tapi itulah potret transportasi murah di saat itu.....

Ibu separuh baya ketika SMA,

Ketika SMA, aku sering berjumpa dengan ibu tua separuh baya itu, walaupun kami hanya sekedar menganggukkan kepala tanpa banyak kata-kata. Ibu itu berpenampilan sangat bersahaja dengan rambut lurus tipis mulai memutih, suara lirih dan perawakan kurus yang seolah-olah menunjukkan beliau sudah agak renta dan fisik kesehatannya  sudah menjelang senja.....
.

Mungkin diantara kita ketika SMA  jarang ada yang berkomunikasi intensif dengannya, karena beliau banyak menangani urusan administrasi di belakang meja. Seingatku beliau dulu tinggal di kampong di daerah sekitar Prumpung (dekat jembatan Pabelan). Aku hanya ingat panggilan namanya adalah Bu Siti.... adakah kau ingat tentang beliau, kawan-kawan?

SANDIWARA RADIO

Sandiwara yang disiarkan melalui stasiun radio, sangat marak pada tahun 1980-an saat saya bersekolah di SMA. Meskipun kalau ditelusur lebih jauh , sandiwara radio tersebut sudah banyak ditayangkan sejak tahun 1970-an atau bahkan jauh sebelumnyaketika radio transistor masih menjadi barang mewah saat itu. Dari sisi jenis materi sandiwara, pada periode tahun 1970-an, sandiwara radio lebih banyak menayangkan topik kehidupan sehari-hari dengan bumbu aroma percintaan. Sedangkan sandiwara radio tahun 1980-an banyak dibumbui dengan cerita action yang dikemas dalam kisah kerajaan tertentu seperti cerita Tutur tinular-nya Brahma Kumbara, Arya Kamandanu, Bende Mataram-nya Sangaji dan Senopati Pamungkas-nya UpasaraWulung. Selain itu ada cerita yang berbumbu mistis seperti Mak Lampir. Sandiwara tersebut sangat ngetop saat itu dan banyak stasiun radio yang menayangkannya. Sehingga untuk sebuah episode dari cerita yang sama, dalam sehari kita bisa mendengarkan 4 atau lima kali dalam sehari karena stasiun-stasiun radio berlomba menayangkannya pada hari yang sama cuma jamnya yang berbeda. Beberapa sandiwara  radio tersebut kemudian diangkat ke film layar lebar, namun nampaknya tidak terlalu sukses karena adegan yang muncul di film tidak “seheboh” adegan yang diimajinasikan oleh pendengar sandiwara radio itu....

Kala jaman SMA, sebuah teater sandiwara radio di magelang berhasil membuat sandiwara berbahasa daerah (Jawa)  yang cukup ngetop rating-nya di wilayah magelang dan sekitarnya. Sandiwara yang berbumbu sedikit horror mistis, tersebut berjudul “TRINIL”. Secara garis besar cerita sandiwara Trinil bercerita tentang seorang Bagus Rahmad yang jatuh cinta kepada seorang janda yang mempunyai anak perempuan bernama Trinil. Ketika Trinil beranjak remaja yang jelita, Bagus Rahmad terpesona olehnya dan gayung cintanya bersambut karena Trinil mempunyai perasaan yang sama. Mereka menjalin cinta secara sembunyi-sembunyi, dan bahkan kemudian bersekongkol melakukan pembunuhan terhadap ibunya. Sepeninggal ibunya timbul keanehan-keanehan karena ternyata arwah ibunya bergentayangan untuk membalas dendam kepada Bagus Rahmad dan Trinil.....

Menurutku, sandiwara radio tersebut cukup bagus karena para pemainnya terkesan sangat menjiwai perannya masing-masing. Di kampungku yang di pelosok desa yang sepi dan bertabur gelap karena belum terjangkau listrik saat itu, sandiwara radio itu ditayangkan menjelang senja/magrib sehingga aransemen musiknya yang menyayat hati diselingi lolongan serigala menimbulkan kesan mistis tersendiri.......


Sayang sekali sandiwara radio semacam itu sekarang tergilas oleh kehadiran TV swasta... jadi berbahagialah kita yang tumbuh ditahun 1970-1980 an karena mempunyai banyak kenangan indah yang sekarang sulit ditemukan kembali........ 

Wednesday, December 02, 2015

Teman SMA (3)

SIAPAKAH DIA?

Seingatku, dia pernah satu kelas denganku ketika kelas 1dan kelas 2 IPS. Dia terkadang bersekolah dengan mengendarai Yamaha Bebek warna merah (kalau gak salah loh). Dia berperawakan sedang,  rambut sedikit ikal, berwatak ceria dan berkulit sawo matang. Kawanku ini cukup berotot, mungkin karena factor keturunan dimana ayahnya seorang tentara (seingatku), atau juga mungkin karena dia suka berolahraga. Dia aktif dalam kegiatan ekstra kurikuler pencak silat yang salah satu pelatihnya adalah Mas Agung dari Sedayu. Saya tidak tahu mengapa dia rajin ikut berlatih silat. Mungkin dia tertantang ingin punya body yang kekar. Tapi bisa juga kemungkinan karena dia ingin jadi jawara. Tapi kemungkinan lain adalah dia suka ikut silat karena banyak siswi cantic yang ikut ekstrakurikuler pencak silat  misalnya Mbak Aning yang saat itu dia taksir habis-habisan...hahaha..

Kawanku ini sangat ramah dan akrab kepada siapapun, termasuk kepada kawan-kawan kelas IPA. Terlebih lagi ke kawan-kawan cantic, dia sangat ramah dan matanya berbinar-binar penuh cahaya ketika ngobrol dengan mereka. Seingatku dulu Mbak Aning (utamanya saat kelas 1) dan Mbak Estiari, merupakan dua gadia jelita yang telah mempesonanya dan membuat dia kesengsem serta kasmaran. Cuma saya gak tahu persis apa yang sesungguhnya terjadi dengan mereka, karena yang kutahu hanya apa yang tersurat dan bukan tersirat. Hanya kawanku itu, Mbak Aning atau Mbak Esti dan Tuhan-lah yang tahu dengan semua itu....mungkin juga kawanku itu bertepuk sebelah tangan, maklum saat itu masih cinta monyet dan bukan cinta  gorilla. Tapi yang jelas setahuku kawanku ini tidak pernah terlihat patah hati, dan ini berbeda sekali dengan Hanto yang kelihatan sekali tampangnya shock ketika putus cinta ..hehehhee....

Semenjak lulus SMA aku tidak bertemu dengannya. Tapi alhamdulillah tahun 2011, kami bersua kembali untuk merajut tali silaturahmi. Ada beberapa hal yang membuatku terkesima yakni kami berdua bersaing dalam hal kebotakan (walau botakku lebih luas), dan dia sering memposting status2 yang sangat bijak di FB-nya walaupun ketika kumpul kembali di grup WA SMA Blabak, kejahilannya dan ketengilannya kumat kembali....siapa kah dia?

Catatan:

Cerita di atas dimaksud untuk sekedar menghibur dan tidak ada tendensi untuk memfitnah atau black campaign. Kalaupun ada kesamaan nama (missal mbak aning atau Mbak esti) dan tempat, itu hanya sebuah kebetulan belaka...hehehe  

Thursday, November 26, 2015

Kenakalan ketika SMA

Kebiasaan sekolah jaman dulu, siswi perempuan duduk di barisan depan dan siswa laki-laki di bagian belakang. Saya tidak tahu latar belakang munculnya kebiasaan itu. Mungkin tata letak posisi duduk seperti  itu didasari pertimbangan fisik siswa lebih besar sehingga ketika siswi duduk di depan tidak akan menghalangi pandangan sisw yang duduk di belakangnya. Jaman SMA masih jarang ada siswa yang duduk semeja dengan siswi, mungkin itu didasari pertimbangan untuk menghindarkan adanya kontak fisik senggol-senggolan yang berakibat setrum-setruman yang mengganggu proses pembelajaran karena siswa siswi SMA adalah masih dalam masa awal pubertas ....

Saat di kelas 1 B, ruanganku di sebelah selatan kelas 1 A. Ruangan itu di pojokan sekolah, dan satu komplek bangunan dengan  rumah dinas Kepala Sekolah yang saat itu dijabat oleh Pak Parnadi. Di ruangan klas 1B dan 1 A, para siswa/siswi  duduk menghadap ke selatan ke arah papan tulis. Papan tulisnya berwarna hitam (blackboard) dan guru menulis diatasnya memakai kapur tulis. Ruangan kelas 1A dan 1 B dipisahkan oleh dinding tembok dan ada pintu penghubung di sisi barat. Supaya tidak saling mengganggu ketika pembelajaran berlangsung, pintu penghubung tersebut selalu di kunci.

Karena siswa-siswi kelas 1A menghadap ke selatan, maka siswa kelas 1B khususnya yang duduk di belakang sering kali melakukan tindakan iseng untuk mengintip siswi-siswi kelas 1A yang berada di belakang ruang kelasnya. Siswa klas 1 B suka mengintip siswi klas 1A yang duduk di bagian depan, dimana saat itu siswi bersekolah memakai rok.

Pernah suatu kali saat istirahat muncul keisengan siswa-siswa kelas1 B untuk ngintip kela s1A.Timbul kegaduhan karena banyak siswa rebutan ingin dapat posisi mengintip yang paling nyaman. Kegaduhan tersebut terdengar ke kelas 1 A, dan siswi-siswi klas 1 A yang duduk di deretan depan baru sadar kalua mereka selama ini jadi sasaran kelakuan iseng siswa kelas 1B..dari kasus itu seingatku lobang kunci pintu penghubungnya lalu ditutup sehingga tidak terjadi lagi kasus iseng mengintip tadi....


Hayo mantan siswa kelas 1B....siapa yang dulu ikutan mengintip? Atau mantan siswi kelas 1A, siapa yang dulu pernah merasa diintip? hehehehe 

Teman SMA (2)

Aku seorang laki-laki dan ketika SMA badanku tipe pendekar alias pendek dan kekar, Rambut agak keriting berombak berpembawaan ceria, suara agak nge-bass. Ayahku dulu seorang sopir bis. Aku sering bermain-main nyobain nyetir bis itu, ternyata sangat berat untuk megang setir karena jaman itu belum musim mobil dengan power steering.

Aku dikaruniai Tuhan dengan bakat melukis (bukan meluk dan kiss loh...). Bakat melukisku membuat lukisanku jauh melebihi lukisan kawan yang lain terutama Edy. Edy melukis bendera  yang berkibar dengan begitu kaku tanpa liukan sehingga secara guyonan Agus Setiawan mengomentari:” Ed, benderamu itu dari blek/seng ya?” hahaha... Mungkin karena bakat melukiskuitu, pak guru kesenian yang mengajar seni lukis memberi perhatian khusus buatku. Beliau suka berlama-lama di dekatku, yang membuat aku sedikit jengah dan risih....

Aku menyukai pelajaran Bahasa Inggris dan suka materi conversation (percakapan). Aku suka menggunakan kata “then” (kemudian) untuk menyambung kalimat satu dengan kalimat lain ketika aku conversation dalam Bahasa Inggris... bla bla la....then...bla..bla.....then ......bla..bla..bla...

Aku pernah dimarahi guru ekonomi yang tinggi besar, berkulit agak gelap dan perutnya buncit. Kalau gak salah namanya Pak Praptomo. Aku lupa asal muasalnya, tapi yang jelas dia sempat marah besar dan aku diusir ke luar kelas...untung aku gak diajar lagi dengan beliau karena aku kemudian masuk kelas IPA.


Siapakah aku?????

Wednesday, November 25, 2015

Teman SMA (1)

Dia agak tinggi, ramping (tidak atletis karena ceking), berambut berombak agak kemerahan, serta berpembawaan ceria. Kalau sekolah sering mengendarai Vespa cat putih atau Honda GL warna hitam. Dia adalah satu diantara sedikit kawan yang bersekolah mengenakan sepatu yang branded. Sepatunya merk Nike warna putih keabu-abuan. Dia suka olah raga sepakbola, dribble bolanya boleh juga walaupun belum seelok Ronaldo CR7.  Dia juga olehraga volley karena postur jangkungnya.
Tuhan mempertemukan kami menjadi karib di SMA. Sejak kelas 2 dan 3, kami selalu satu kelas dan tempat duduknya berdekatan. Sambil guyonan,kami suka belajar bersama berbahasa Inggris dengan menggunakan kata-kata yang agak “nakal”.  Kelas kami letaknya dekat gerbang ke lapangan olah raga di belakang sekolah, sehingga banyak siswa-siswi kelas lain yang lewat di samping kelas kami untuk berolahraga dengan celana pendek (saat itu istilahnya celana “short”). Pada saat itu kejahilan kami muncul dengan diam-diam melakukan  “penjurian” siswi yang bentuk betis kakinya paling indah hahaha...

Sewaktu kelas 3 SMA, dia mulai pacaran dengan adik kelasnya. Dia sangat mencintai kekasih  dengan segenap jiwa raga dan balung sumsumnya. Mungkin itu cinta pertamanya, sehingga dia begitu “total” dalam menumpahkan perasaan cintanya.... Dia sering bercerita tentang hatinya yang berbunga-bunga ketika habis membocengkan kekasihnya.  Seingatku Jurang Jero yang saat itu ngetop sebagai tempat pacaran menjadi salah satu destinasi pacaran yang disukainya ...:)

Dia belajar mencinta, tapi Tuhan pula yang menentukan takdirnya. Suatu saat dengan wajah penuh muram durja, dia bercerita bahwa kisa cintanya kandas di tengah jalan. Sebgaia pria  sejati, dia berusaha menahan tangis, walau aku tahu cintanya  yang kandas telah membuat remuk redam perasaannya. Apalagi orang yang dicintai masih sering dijumpai dan berlalu lalang di depan mata. Aku lupa tentang sebab musababnya, tapi kuingat persis dia begitu “shock” dengan tragedy cintanya. Untunglah, perlahan-lahan dia bangkit dan bisa menata hidupnya kembali, walau kuyakin cintanya itu tidak akan pernah terlupa...unforgetable.....karena cintanya begitu mbalung sumsum dan mengendap lekat di relung kalbunya....

Takdir membawaku kembali bersamanya. Kami kuliah di kampus yang sama di FISIPOL UGM. Dia di jurusan Sosiologi, aku di jurusan Ilmu Sosiatri (Ilmu Kesejahteraan Sosial). Persahabatan kami makin marak karena teman SMA yang lain yakni mas Heni Asmara juga masuk satu  kelas denganku, dan kemudian disusul Mohtar di jurusan Administrasi Negara (walaupun kemudian tidak tuntas). Ketika pulang dari Jogja ke Muntilan bareng, kami biasa mampir di warung pojok Pak Dul di njero pasar Muntilan untuk menikmati soto babat yang maknyuss dan cetar membahana....

Menjelang aku lulus tahun 1990, aku jarang bertemu dengannya. Kesibukanku riset dan menulis skripsi membuatku jarang ke kampus dan bersua. Aku sempat kuatir dia drop di tengah jalan. Sampai aku lulus dan kerja, aku tak mendengar kabar beritanya. Aku cari alamat dia, aku hunting namanya lewat internet tapi tiada kutemukan. Dia menghilang bagai di telan bumi.


Tapi Tuhan Maha Mendengar dan mendengarkan doa hambanya, di tahun 2011 aku mendapatkan informasi keberadaannya yang ada di kota kecil di sumatera. Pada akhir tahun 2011 kami bisa bertemu setelah 20 tahun lebih tak jumpa. Tidak ada yang heboh dengan pertemuan itu, kecuali kami sama-sama menyadari sudah botak walaupun botakku lebih kinclong darinya. Aku bersyukur bisa bertemu dengan teman lama yang kelakuannya tidak banyak berbeda dari dulu...Aku bersyukur bisa bersilaturahmi kembali dengannya, semoga persahabatan kami abadi.... Siapakah “Dia”?

Sunday, November 15, 2015

KISAH KEARIFAN PARA IDIOT

Kisah Kearifan Para Idiot (Wisdom of the Idiots)
Ole: Idries Shah
Penerbit  Syafaat
Surabaya, 2004
ISBN 979 556 149 9
308 halaman

Buku ini merupakan kumpulan cerita tentang kearifan para sufi. Kaum sufi sering digambarkan sebagai orang yang penalarannya sederhana, alamiah dan terkadang secara sepintas tidak logis sehingga terkesan seperti orang idiot (dungu). Padahal ketika dirunut lebih dalam, penalaran mereka seringkali sangat logis dan melampaui pemikiran orang awam.

Membaca buku cerita ini membutuhkan perenungan untuk memahami makna di dalamnya, sehingga seringkali tidak bisa sekali kunyah langsung ditelan artinya. Namun dibalik kesulitan memahami makna-makna didalamnya, kita akan bisa menemukan hikmah-hikmah pembelajaran kehidupan yang sangat berguna.



Friday, June 19, 2015

SENOPATI PAMUNGKAS

Oleh Arswendo Atmowiloto
PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN Jilid 1: 978-979-220425-4  dan Jilid 2: 978-979-220426-1
Jumlah halaman: 1.120 (jilid 1) dan 1.616 (jilid2)

Novel ini mengambil setting akhir kerajaan Singasari pada zaman pemerintahan raja Kertanegara, berdirinya kerajaan Majapahit oleh Raden Widjaya hingga generasi ke 2 kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Jayanegara. Tokoh sentral novel ini berkisar pada 3 orang yakni ksatria pria sejati Upasara Wulung yang merupakan didikan Ksatrian Piningit keraton Singosari, kstaria wanita Jagattri (atau Genduk Tri) dan Halayudha (pejabat kerajaan yang sangat sakti  namun ambisius dan penuh kelicikan).

Kisah ini dimulai dengan bertemunya Upasara Wulung dan Genduk Tri yang masih sangat belia dalam pertempuran melawan Ugrawe, seorang senopati Kediri.  Upasara dan Genduk Tri akhirnya bisa lolos melalui jalan berbeda di Goa Lawang Sewu. Mereka sempat kembali ke keraton Singasari, namun tak lama kemudian serbuan Raja Jayakatwang dari Kediri telah menghancurkan kerajaan Singosari.

Kehancuran Singosari telah membawa Upasara dan Genduk Tri bertemu dengan Raden Widjaya. Di situ pula, Upasara bertemu dengan Gayatri, putri bungsu Raja Kertanegara. Pertemuan pertama telah menimbulkan kesan begitu mendalam untuk keduanya. Kehadiran pasukan Tiongkok yang ingin menghukum Raja Kertanegara, dengan siasat halus telah dibelokkan oleh Raden Widjaya ke Kediri. Keraton Kediri hancur oleh serbuan tersebut. Raden Widjaya sendiri kemudian menyerang balik pasukan Tiongkok yang sebelumnya bersekutu dengannya, demi kejayaan kerajaan Jawa. Dalam pertempuran melawan Raja Kediri dan pasukan Tiongkok, Upasara telah menunjukkan kegigihan dan kepahlawanannya. Sehingga dia dianugerahi sebutan “SENOPATI PAMUNGKAS” yang berarti senopati yang bisa  menyelesaikan segala persoalan.

Sebagai penghargaan atas jasanya, Upasara ditawari untuk meminta berbagai macam hadiah, kecuali dia tidak boleh meminta Putri Gayatri karena menurut ramalan Putri Gayatri telah ditakdirkan menikah dengan Raden Widjaya dan dari pernikahan tersebut akan melahirkan raja-raja besar di Jawa kelak. Upasara yang terluka hatinya kemudian kembali ke padepokan Perguruan Awan untuk menenangkan dirinya. Tawaran jabatan sebagai Mahapatih Majapahitpun ditolaknya, karena dia tidak mempunyai keinginan menjadi pejabat Negara.

Berdirinya kerajaan Majapahit, juga telah melahirkan intrik-intrik perebutan jabatan. Halayudha, seorang pejabat menengah yang menyimpan berbagai kesaktian, mempunyai ambisi tinggi untuk menjadi orang yang paling sakti sekaligus menduduki jabatan mahapatih bahkan ambisi untuk jadi raja.  Orang-orang yang berpengaruh, berusaha dia singkirkan. Raden Widjaya sebagai rajapun disingkirkan dengan cara halus untuk “bertapa”, agar putera mahkota Jayanegara bisa mengabil alih tahta. Bila Jayanegara yang berkuasa, Halayudha yakin dia akan bisa menyetirnya. Upasara-pun termasuk dalam daftar yang ingin disingkirkan karena dia bisa menghalangi cita-cita Halayudha untuk menjadi yang paling sakti.

Upasara yang berjiwa ksatria, rajin mendalami langkah prihatin  yang membuat ilmunya makin berkembang. Kedatangan Gayatri yang berpamitan untuk menjadi pertapa, telah membuatnya ikhlas melepas wanita pujaannya. Di situlah Upasara menyadari bahwa selama ini di sudut hatinya juga terpateri  nama Genduk Tri. Rasa cinta kasih asmara antara Upasara dan Genduk Tri, dituangkan dalam jurus ilmu kedigdayaan. Dengan ilmu itulah Upasara akhirnya bisa mengalahkan Halayudha dan mempertegas dirinya sebaga “ksatria lelananging jagad”.

Pada tahun 1987-an, Novel Senopati Pamungkas ini pernah dibuat dalam sandiwara radio dan penggemarnya cukup membludak. Bahasa yang digunakan di novel ini cukup mudah dipahami, kecuali untuk beberapa istilah dalam ilmu silat dan ilmu kesaktian. Saya menduga Arswendo sudah melakukan riset tentang babad Mojopahit, sehingga dia bisa menulis novel yang nyambung/ match dengan  kisah sejarah yang selama ini beredar.


Mungkin banyak orang akan awang-awangen atau ragu membaca buku yang tebalnya lebih dari 2.800 halaman ini. Namun Arswendo sangat pintar untuk mensiasatinya. Dia menulis buku ini dengan ratusan bab kecil (satu bab sekitar 5-6 halaman), sehingga pembaca tidak terasa capai membacanya karena kita tidak dituntut untuk mengingat isi dari puluhan atau ratusan halaman sebelumnya.  Buku jilid 1 dan 2 yang masing-masing jumlah halamannya lebih dari 1.000 lembar, membuat buku ini tebal dan  kurang praktis untuk dibawa-bawa dan untuk membacanya harus duduk manis di meja. Namun saya lihat saat ini novel ini sudah ada dalam terbitan lux 5 jilid sehingga masing-masing jilid menjadi lebih tipis. Buku Jilid 2 saya peroleh di obralan seharga 50 ribu rupiah, dan di kesempatan lain saya menemukan buku jilid 1 dengan harga yang sama. Untuk buku edisi lux 5 jilid nampaknya cukup mahal .......

Thursday, May 14, 2015

TAFSIR GATOLOTJO

Penafsir: Joko Su’ud Sukahar
Penerbit Narasi
Tangerang 2007
ISBN 979-168-026-4
150 halaman

Buku ini mencoba menafsirkan ulang buku Balsafah Gatolotjo yang diduga kuat merupakan karya Ronggowarsito. Dalam buku ini diungkap tentang tokoh Gatolotjo yang merupakan laki-laki yang cacat fisik dan berpenampilan tidak menarik. Meski demikian Gatolotjo dianggap “lelananging jagad” karena kepintarannya dalam berdebat khususnya debat yang terkait dengan “ilmu kehidupan sejati”.

Dalam perdebatannya, Gatolotjo banyak menekankan tentang ilmu sejati tentang tujuan ibadah untuk menghadap Tuhan. Dia banyak mengkritik tentang ibadah umat Islam yang terkadang terjebak dalam ritual rutin dan melupakan tujuan akhir untuk menyembah dan berjumpa Tuhannya. Gatolotjo banyak menekankan pada “tujuan” dan mengabaikan soal “cara”. Dengan cara pandang yang demikian, semua agama baginya benar karena  yang penting adalah “tujuan akhir” dan bukan “cara”.
Dalam perdebatannya, Gatolotjo sering menggunakan kata-kata yang bagi sebagian orang dianggap kasar dan jorok. Dalam ceritanya, Gatolotjo telah mengalahkan ulama-ulama dalam perdebatan tentang “ilmu kawruh sejati”. Hal-hal tersebut dianggap kontroversial oleh Pemerintah Orde Baru sehingga dikuatirkan menyinggung perasaan umat Islam dan mengganggu “stabilitas nasional” sehingga buku Gatolotjo dilarang beredar saat itu.

Dalam buku ini juga diungkap komentar para pakar filsafat dan budayawan tentang  buku Gatolotjo. Saya sepakat dengan pendapat sebagian pakar, bahwa menyikapi buku Gatolotjo hendaknya dengan kepala dingin dan dikunyah—diresapi-- dengan pelan dan bijak. Ada bagian-bagian tertentu yang berguna untuk diadopsi missal perlunya ibadah yang “khusyuk”. Meski demikian ada bagian-bagian yang mungkin tidak perlu diadopsi karena landasan pijaknya (keyakinannya) sudah berbeda.

Secara umum buku ini menrik, walaupun untuk memahaminya harus dikunyah dengan pelan-pelan mengingat kandungan filsafat yang cukup tinggi dengan kata-kata yang multi tafsir.


Monday, May 11, 2015

PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS (PEDAGOGY OF THE OPPRESSED)

Oleh Paulo Freire
Pustaka LP3ES
Jakarta,2008
ISBN 978-979-3330-70-9
221 halaman

Buku ini ditulis oleh Paulo Freire yang merupakan sorang ahli pendidikan dari Brazil yang dilahirkan tahun 1918. Paulo Freire dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana yang harmonis. Krisis ekonomi tahun 1929, membuat keluarganya jatuh miskin. Dalam usia 11 tahun, Freire sudah akrab dengan kelaparan dan penderitaan. Hal inilah yang menimbulkan semangat bagi Freire untuk nantinya melakukan “pengabdian” agar generasi muda ke depan terhindar dari kelaparan seperti yang dialaminya. Setelah dewasa, Freire lulus dari Fakultas Hukum dan bekerja di Dinas Pendidikan. Pekerjaannya tersebut membawa Freire bersinggungan dengan masyarakat miskin. Hal ini membuat Freire tertarik untuk makin menggeluti pendidikan untuk masyarakat miskin termasuk dalam pemberantasan buta aksara.

Freire yang hidup saat di Brazil masih banyak penguasaan lahan perkebunan oleh “tuan tanah” yang kaya raya, melihat banyak mayoritas penduduk yang miskin dan tertindas sebagai buruh perkebunan. Freire melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu cenderung ‘melanggengkan” dan memihak  “kaum kaya”. Pandangan sebagai “orang malas dan  orang bodoh” merupakan stigma yang melekat pada orang miskin. Sehingga mereka perlu “diajari dan disuruh berbuat rajin”. Melihat kondisi ini Freire punya pandangan berbeda. Freire berpendapat bahwa kemiskinan dan kebodohan itu terjadi karena adanya “struktur yang menindas dan tidak adil”, termasuk di dunia pendidikan. Menurut pandangannya, masyarakat bodoh terjadi karena system pendidikan yang cenderung mengintroduksikan atau mengajarkan sesuatu yang tidak banyak sangkut pautnya dengan kebutuhan masyarakat miskin.  Dalam system pendidikan konvensional yang disebutnya “pendidikan gaya bank”, masyarakat dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi oleh guru. Ciri-ciri pendidikan gaya bank ini adalah:
1.  Guru mengajar, murid diajar
2.  Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3.  Guru berpikir, murid dipikirkan
4.  Guru bercerita, murid patuh mendengarkan
5.  Guru menentukan peraturan, murid diatur
6.  Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui
7.  Guru berbuat, murid membayangkan berbuat melalui perbuatan gurunya
8.  Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Freire mengusulkan pendidikan untuk kaum miskin harusnya bersifat “pendidikan hadap-masalah” yang dikaitkan dengan kontekstualitas kehidupan kesehariannya. Pendidikan untuku kaum tertindas harus dibangun “bersama” kaum tertindas dan bukan disusun oleh orang luar yang tidak memahami konteks local. Masyarakat miskin tetap punya potensi pengetahuan yang bisa dikembangkan, sehingga potensi inilah yang perlu dibangkitkan dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang dialogis. Dalam pendidikan dialogis ini, peran guru –murid digantikan dengan “peran saling belajar”. Guru yang sebelumnya dianggap “maha tahu”, dituntut untuk mau belajar mendengarkan pengetahuan dari murid atau masyarakat miskin  yang didampinginya.

Dari sisi psikologi dan gerakan sosial, Freire melihat penindasan terjadi dari sikap otoriter dari “penindas”. Namun disisi lain masyarakat miskin yang selama ini terpinggirkan seringkali tidak mempunyai rasa percaya diri untuk melakukan perubahan. Oleh karenanya perlu upaya “penyadaran” untuk menumbuhkan rasa percaya diri kaum miskin sekaligus perlu upaya “penyadaran” bagi kaum penindas untuk lebih bersikap manusiawi terhadap sesama. Dialog antara penindas dan yang tertindas perlu dibangun untuk menumbuhkan rasa saling kesepahaman, kebersamaan dan solidaritas tersebut.

Secara umum buku ini menarik, saya melihat landasan berpikir yang diungkap Freire seperti dialektika ataupun aksi-refleksi cenderung beraliran kiri. Banyak gagasan menarik dari konsep dialektika dan humanism yang cenderung anti kekerasan yang dikembangkannya.

Dari sisi isi tulisan yang banyak mengandung uraian filsafat membuat buku ini cukup “berat”. Selain itu factor terjemahan Bahasa, mungkin juga berpengaruh terhadap tingkat kesulitan untuk memahami buku ini.

Saturday, April 25, 2015

The Oldman and The Sea

Oleh Ernest Hemingway
Penerbit Narasi
Yogyakarta, 2015
ISBN 978-979-168-435-4
164 halaman

Buku ini merupakan karya sastrawan Amerika peraih Nobel, Ernest Hemingway. 
Novel ini mengisahkan seorang nelayan tua di daerah Havana – Kuba bernama Santiago . Dia sudah melewatkan 84 hari tanpa menangkap seekor ikanpun. Ketidak beruntungannya membuat dia dijauhi dari lingkungannya.

Santiago bersahabat dengan Manolin seorang anak kecil yang sering membantunya. Namun melihat ketidakberuntungan Santiago, orangtua Manolin keberatan anaknya bersahabat dengan Santiago. Manolin akhirnya disuruh bekerja dengan nelayan lain yang lebih beruntung.

Pada hari ke delapan puluh lima, Santiago sendirian pergi memancing dan umpannya dimakan ikan marlin berukuran besar. Dia selama berhari-hari berusaha menaklukkan ikan itu, namun ternyata tidak mudah bahkan perahu kecilnyalah yang terseret-seret menjauh dari pantai oleh tarikan ikan marlin besar tersebut. Sampai suatu saat di hari ketiga, ketika ikan tersebut kelelahan, Santiago berhasil membunuhnya.

Girang hati Santiago membayangkan keuntungan besar dari hasil tangkapannya. Dibawanya ikan besar hasil tangkapan pulang ke kampungnya, dengan diikat disamping perahunya. Cobaan belum berhenti, dalam perjalanan pulang, ikan-ikan hiu menghadang dan merampok ikan marlin yang diikat disamping perahu. Santiago berusaha melawan hiu-hiu itu dengan segenap senjata dan peralatan yang dimiliki. Gerombolan hiu yang ckup banyak membuat Santiago kewalahan sampai kehabisan seluruh peralatan yang dimilikinya.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Santiago sampai di kampungnya. Namun ikan marlin besar hasil tangkapannya sudah habis dikoyak-koyak gerombolan hiu yang tadi menyerangnya. Meski demikian Santiago masih bisa berbangga diri karena dia telah menunjukkan keberanian melawan hiu dan telah menunjukkan keberuntungan dengan menangkapikan marlin besar.

Secara umum, alur cerita novel ini sederhana. Namun disitulah terletak kepiawaian Hemingway yang bisa mengemas menjadi karya menarik. Keterasingan, perjuangan pantang menyerah, persahabatan, putus asa dan drama-drama lain dikemas menarik dengan dialog-dialog imajiner Santiago di tengah laut...

Tuesday, April 21, 2015

PEREMPUAN DI TITIK NOL

Oleh Nawal el- Saadawi
Yayasan Obor Indonesia
Jakarta, 1983
160 halaman

Novel ini merupakan karya Nawal el Saadawi, seorang sastrawan dari Mesir. Novel ini berkisah tentang seorang perempuan bernama Firdaus yang dipidana hukuman mati karena membunuh seorang pria yang berprofesi sebagai germo atau mucikari. Firdaus yang misterius dan tertutup, tidak gentar menghadapi hukuman mati. Hal inilah yang menarik perhatian seorang dokter untuk menyelidiki latar belakang kehidupan Firdaus.

Firdaus yang dilahirkan di tengah keluarga yang miskin, sejak kecil sudah terbiasa dengan didikan keluarga yang meletakkan kaum perempuan sebagai pekerja keras untuk mengurus rumah tangga. Kemiskinan yang dideritanya, membuat dia tidak bisa makan cukup kenyang karena dia harus berbagi dengan adik-adiknya. Selain itu budaya patriarchal membuat peran ayah menjadi sangat sentral dan  dominan dalam pengambilan keputusan maupun dalam jatah makanan. Masa kanak-kanaknya yang polos, telah membuatnya menikmati percintaan seksual anak-anak  termasuk sentuhan birahi dari pamannya.

Beranjak dewasa, Firdaus  ikut pamannya untuk bersekolah di kota dan bisa menyelesaikan sekolah menengah dengan gemilang karena Firdaus rajin membaca. Dalam masa sekolah ini Firdaus sempat jatuh cinta sesame jenis kepada seorang gurunya. Namun percintaan tersebut tidak berlanjut.

Kehidupan pamannya yang tidak cukup kaya, membuat Firdaus dianggap sebagai beban keluarga. Akhirnya Firdaus dinikahkan dengan seorang duda tua yang kaya namun kikir. Firdaus sering mengalami kekerasan dalam rumah tangga, sampai akhirnya melarikan diri dari suaminya. Pengembaraan Firdaus berujung di jalanan. Kepolosannya membuat dia diperdaya menjadi pelacur tanpa imbalan oleh para mucikari. Dia sempat jatuh cinta kepada seorang pria, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan karena pria itu hanya menginginkan kehangatan tubuhnya secara percuma.

Tempaan hidup membuat Firdaus menjadi mandiri dan menjajakan cinta dengan tariff yang tinggi. Kalangan elite pejabat banyak yang terpesona dan ingin mencicipi kehangatan tubuhnya. Kemakmuran duniawi membuat seorang mucikari memaksa Firdaus masuk dalam genggamannya. Firdaus yang merasa dunia penuh ketidakadilan terhadap dirinya dan kaum perempuan lainnya, memberontak dan membunuh mucikari tersebut. Dendam Firdaus begitu meluap terhadap para penguasa dan kaum pria yang telah membuat hidupnya menderita. Firdaus menganggap bahwa pembunuhan yang dilakukannya adalah “jalan kebenaran” untuk menghindarkan diri dari penindasan kaum pria. Hal itulah yang membuat dirinya tidak takut menghadapi hukuman mati karena kebenaran ada di pihaknya.


Novel ini secara umum cukup menarik, walaupun banyak sisi psikologis yang ditampilkan. Menarik pula untuk melihat sisi-sisi kelam budaya patriarchal yang secara sadar atau tidak sadar sering meminggirkan atau bahkan menindas kaum perempuan.