Friday, June 19, 2015

SENOPATI PAMUNGKAS

Oleh Arswendo Atmowiloto
PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN Jilid 1: 978-979-220425-4  dan Jilid 2: 978-979-220426-1
Jumlah halaman: 1.120 (jilid 1) dan 1.616 (jilid2)

Novel ini mengambil setting akhir kerajaan Singasari pada zaman pemerintahan raja Kertanegara, berdirinya kerajaan Majapahit oleh Raden Widjaya hingga generasi ke 2 kerajaan Majapahit di bawah pemerintahan Jayanegara. Tokoh sentral novel ini berkisar pada 3 orang yakni ksatria pria sejati Upasara Wulung yang merupakan didikan Ksatrian Piningit keraton Singosari, kstaria wanita Jagattri (atau Genduk Tri) dan Halayudha (pejabat kerajaan yang sangat sakti  namun ambisius dan penuh kelicikan).

Kisah ini dimulai dengan bertemunya Upasara Wulung dan Genduk Tri yang masih sangat belia dalam pertempuran melawan Ugrawe, seorang senopati Kediri.  Upasara dan Genduk Tri akhirnya bisa lolos melalui jalan berbeda di Goa Lawang Sewu. Mereka sempat kembali ke keraton Singasari, namun tak lama kemudian serbuan Raja Jayakatwang dari Kediri telah menghancurkan kerajaan Singosari.

Kehancuran Singosari telah membawa Upasara dan Genduk Tri bertemu dengan Raden Widjaya. Di situ pula, Upasara bertemu dengan Gayatri, putri bungsu Raja Kertanegara. Pertemuan pertama telah menimbulkan kesan begitu mendalam untuk keduanya. Kehadiran pasukan Tiongkok yang ingin menghukum Raja Kertanegara, dengan siasat halus telah dibelokkan oleh Raden Widjaya ke Kediri. Keraton Kediri hancur oleh serbuan tersebut. Raden Widjaya sendiri kemudian menyerang balik pasukan Tiongkok yang sebelumnya bersekutu dengannya, demi kejayaan kerajaan Jawa. Dalam pertempuran melawan Raja Kediri dan pasukan Tiongkok, Upasara telah menunjukkan kegigihan dan kepahlawanannya. Sehingga dia dianugerahi sebutan “SENOPATI PAMUNGKAS” yang berarti senopati yang bisa  menyelesaikan segala persoalan.

Sebagai penghargaan atas jasanya, Upasara ditawari untuk meminta berbagai macam hadiah, kecuali dia tidak boleh meminta Putri Gayatri karena menurut ramalan Putri Gayatri telah ditakdirkan menikah dengan Raden Widjaya dan dari pernikahan tersebut akan melahirkan raja-raja besar di Jawa kelak. Upasara yang terluka hatinya kemudian kembali ke padepokan Perguruan Awan untuk menenangkan dirinya. Tawaran jabatan sebagai Mahapatih Majapahitpun ditolaknya, karena dia tidak mempunyai keinginan menjadi pejabat Negara.

Berdirinya kerajaan Majapahit, juga telah melahirkan intrik-intrik perebutan jabatan. Halayudha, seorang pejabat menengah yang menyimpan berbagai kesaktian, mempunyai ambisi tinggi untuk menjadi orang yang paling sakti sekaligus menduduki jabatan mahapatih bahkan ambisi untuk jadi raja.  Orang-orang yang berpengaruh, berusaha dia singkirkan. Raden Widjaya sebagai rajapun disingkirkan dengan cara halus untuk “bertapa”, agar putera mahkota Jayanegara bisa mengabil alih tahta. Bila Jayanegara yang berkuasa, Halayudha yakin dia akan bisa menyetirnya. Upasara-pun termasuk dalam daftar yang ingin disingkirkan karena dia bisa menghalangi cita-cita Halayudha untuk menjadi yang paling sakti.

Upasara yang berjiwa ksatria, rajin mendalami langkah prihatin  yang membuat ilmunya makin berkembang. Kedatangan Gayatri yang berpamitan untuk menjadi pertapa, telah membuatnya ikhlas melepas wanita pujaannya. Di situlah Upasara menyadari bahwa selama ini di sudut hatinya juga terpateri  nama Genduk Tri. Rasa cinta kasih asmara antara Upasara dan Genduk Tri, dituangkan dalam jurus ilmu kedigdayaan. Dengan ilmu itulah Upasara akhirnya bisa mengalahkan Halayudha dan mempertegas dirinya sebaga “ksatria lelananging jagad”.

Pada tahun 1987-an, Novel Senopati Pamungkas ini pernah dibuat dalam sandiwara radio dan penggemarnya cukup membludak. Bahasa yang digunakan di novel ini cukup mudah dipahami, kecuali untuk beberapa istilah dalam ilmu silat dan ilmu kesaktian. Saya menduga Arswendo sudah melakukan riset tentang babad Mojopahit, sehingga dia bisa menulis novel yang nyambung/ match dengan  kisah sejarah yang selama ini beredar.


Mungkin banyak orang akan awang-awangen atau ragu membaca buku yang tebalnya lebih dari 2.800 halaman ini. Namun Arswendo sangat pintar untuk mensiasatinya. Dia menulis buku ini dengan ratusan bab kecil (satu bab sekitar 5-6 halaman), sehingga pembaca tidak terasa capai membacanya karena kita tidak dituntut untuk mengingat isi dari puluhan atau ratusan halaman sebelumnya.  Buku jilid 1 dan 2 yang masing-masing jumlah halamannya lebih dari 1.000 lembar, membuat buku ini tebal dan  kurang praktis untuk dibawa-bawa dan untuk membacanya harus duduk manis di meja. Namun saya lihat saat ini novel ini sudah ada dalam terbitan lux 5 jilid sehingga masing-masing jilid menjadi lebih tipis. Buku Jilid 2 saya peroleh di obralan seharga 50 ribu rupiah, dan di kesempatan lain saya menemukan buku jilid 1 dengan harga yang sama. Untuk buku edisi lux 5 jilid nampaknya cukup mahal .......