Thursday, May 14, 2015

TAFSIR GATOLOTJO

Penafsir: Joko Su’ud Sukahar
Penerbit Narasi
Tangerang 2007
ISBN 979-168-026-4
150 halaman

Buku ini mencoba menafsirkan ulang buku Balsafah Gatolotjo yang diduga kuat merupakan karya Ronggowarsito. Dalam buku ini diungkap tentang tokoh Gatolotjo yang merupakan laki-laki yang cacat fisik dan berpenampilan tidak menarik. Meski demikian Gatolotjo dianggap “lelananging jagad” karena kepintarannya dalam berdebat khususnya debat yang terkait dengan “ilmu kehidupan sejati”.

Dalam perdebatannya, Gatolotjo banyak menekankan tentang ilmu sejati tentang tujuan ibadah untuk menghadap Tuhan. Dia banyak mengkritik tentang ibadah umat Islam yang terkadang terjebak dalam ritual rutin dan melupakan tujuan akhir untuk menyembah dan berjumpa Tuhannya. Gatolotjo banyak menekankan pada “tujuan” dan mengabaikan soal “cara”. Dengan cara pandang yang demikian, semua agama baginya benar karena  yang penting adalah “tujuan akhir” dan bukan “cara”.
Dalam perdebatannya, Gatolotjo sering menggunakan kata-kata yang bagi sebagian orang dianggap kasar dan jorok. Dalam ceritanya, Gatolotjo telah mengalahkan ulama-ulama dalam perdebatan tentang “ilmu kawruh sejati”. Hal-hal tersebut dianggap kontroversial oleh Pemerintah Orde Baru sehingga dikuatirkan menyinggung perasaan umat Islam dan mengganggu “stabilitas nasional” sehingga buku Gatolotjo dilarang beredar saat itu.

Dalam buku ini juga diungkap komentar para pakar filsafat dan budayawan tentang  buku Gatolotjo. Saya sepakat dengan pendapat sebagian pakar, bahwa menyikapi buku Gatolotjo hendaknya dengan kepala dingin dan dikunyah—diresapi-- dengan pelan dan bijak. Ada bagian-bagian tertentu yang berguna untuk diadopsi missal perlunya ibadah yang “khusyuk”. Meski demikian ada bagian-bagian yang mungkin tidak perlu diadopsi karena landasan pijaknya (keyakinannya) sudah berbeda.

Secara umum buku ini menrik, walaupun untuk memahaminya harus dikunyah dengan pelan-pelan mengingat kandungan filsafat yang cukup tinggi dengan kata-kata yang multi tafsir.


Monday, May 11, 2015

PENDIDIKAN KAUM TERTINDAS (PEDAGOGY OF THE OPPRESSED)

Oleh Paulo Freire
Pustaka LP3ES
Jakarta,2008
ISBN 978-979-3330-70-9
221 halaman

Buku ini ditulis oleh Paulo Freire yang merupakan sorang ahli pendidikan dari Brazil yang dilahirkan tahun 1918. Paulo Freire dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana yang harmonis. Krisis ekonomi tahun 1929, membuat keluarganya jatuh miskin. Dalam usia 11 tahun, Freire sudah akrab dengan kelaparan dan penderitaan. Hal inilah yang menimbulkan semangat bagi Freire untuk nantinya melakukan “pengabdian” agar generasi muda ke depan terhindar dari kelaparan seperti yang dialaminya. Setelah dewasa, Freire lulus dari Fakultas Hukum dan bekerja di Dinas Pendidikan. Pekerjaannya tersebut membawa Freire bersinggungan dengan masyarakat miskin. Hal ini membuat Freire tertarik untuk makin menggeluti pendidikan untuk masyarakat miskin termasuk dalam pemberantasan buta aksara.

Freire yang hidup saat di Brazil masih banyak penguasaan lahan perkebunan oleh “tuan tanah” yang kaya raya, melihat banyak mayoritas penduduk yang miskin dan tertindas sebagai buruh perkebunan. Freire melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu cenderung ‘melanggengkan” dan memihak  “kaum kaya”. Pandangan sebagai “orang malas dan  orang bodoh” merupakan stigma yang melekat pada orang miskin. Sehingga mereka perlu “diajari dan disuruh berbuat rajin”. Melihat kondisi ini Freire punya pandangan berbeda. Freire berpendapat bahwa kemiskinan dan kebodohan itu terjadi karena adanya “struktur yang menindas dan tidak adil”, termasuk di dunia pendidikan. Menurut pandangannya, masyarakat bodoh terjadi karena system pendidikan yang cenderung mengintroduksikan atau mengajarkan sesuatu yang tidak banyak sangkut pautnya dengan kebutuhan masyarakat miskin.  Dalam system pendidikan konvensional yang disebutnya “pendidikan gaya bank”, masyarakat dianggap sebagai gelas kosong yang harus diisi oleh guru. Ciri-ciri pendidikan gaya bank ini adalah:
1.  Guru mengajar, murid diajar
2.  Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3.  Guru berpikir, murid dipikirkan
4.  Guru bercerita, murid patuh mendengarkan
5.  Guru menentukan peraturan, murid diatur
6.  Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui
7.  Guru berbuat, murid membayangkan berbuat melalui perbuatan gurunya
8.  Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Freire mengusulkan pendidikan untuk kaum miskin harusnya bersifat “pendidikan hadap-masalah” yang dikaitkan dengan kontekstualitas kehidupan kesehariannya. Pendidikan untuku kaum tertindas harus dibangun “bersama” kaum tertindas dan bukan disusun oleh orang luar yang tidak memahami konteks local. Masyarakat miskin tetap punya potensi pengetahuan yang bisa dikembangkan, sehingga potensi inilah yang perlu dibangkitkan dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang dialogis. Dalam pendidikan dialogis ini, peran guru –murid digantikan dengan “peran saling belajar”. Guru yang sebelumnya dianggap “maha tahu”, dituntut untuk mau belajar mendengarkan pengetahuan dari murid atau masyarakat miskin  yang didampinginya.

Dari sisi psikologi dan gerakan sosial, Freire melihat penindasan terjadi dari sikap otoriter dari “penindas”. Namun disisi lain masyarakat miskin yang selama ini terpinggirkan seringkali tidak mempunyai rasa percaya diri untuk melakukan perubahan. Oleh karenanya perlu upaya “penyadaran” untuk menumbuhkan rasa percaya diri kaum miskin sekaligus perlu upaya “penyadaran” bagi kaum penindas untuk lebih bersikap manusiawi terhadap sesama. Dialog antara penindas dan yang tertindas perlu dibangun untuk menumbuhkan rasa saling kesepahaman, kebersamaan dan solidaritas tersebut.

Secara umum buku ini menarik, saya melihat landasan berpikir yang diungkap Freire seperti dialektika ataupun aksi-refleksi cenderung beraliran kiri. Banyak gagasan menarik dari konsep dialektika dan humanism yang cenderung anti kekerasan yang dikembangkannya.

Dari sisi isi tulisan yang banyak mengandung uraian filsafat membuat buku ini cukup “berat”. Selain itu factor terjemahan Bahasa, mungkin juga berpengaruh terhadap tingkat kesulitan untuk memahami buku ini.