Sunday, May 15, 2016

gantungan dan ultah perkawinan ke 21


Monday, May 09, 2016

KELUARGA GERILJA ; kisah keluarga manusia dalam tiga hari tiga malam

Oleh: Pramoedija Ananta Toer
Penerbit Pembangunan - Djakarta, 1955
239 halaman

Buku ini berkisah tentang sebuah kehidupan keluarga sederhana di Jakarta yang terombang-ambing oleh revolusi kemerdekaan dengan setting tahun 1949 pada saat aksi polisionil pemerintah colonial Belanda.

Alkisah tinggallah Amilah seorang janda tua dengan anak-anaknya Saaman (Aman), Salamah (Amah), Fatimah (Imah), Salami (Mimi) dan Hasan. Amilah menikah dengan Paidjans seorang kopral tentara Hindia Belanda. Dia selama ini hidup di tangsi, namun perilakunya gemar berselingkuh sehingga dia sering dijuluki Bunga Tangsi Selendang Mayang. Amilah sangat menyayangi Aman yang berusia 24  tahun karena dia merupakan anak dari Benny mantan kekasih sejatinya. Aman sendiri orangnya sangat penyabar, pintar mendidik adik2nya, sangat menghormati dan berbakti pada ibudanya. Amah berusia 19 tahun, berpenampilan cantic dengan hidung mancung. Sejatinya Amah merupakan anak hasil perselingkuhannya dengan Letnan Gedergeder seorang tentara Belanda. Fatimah, merupakan anak perempuan berusia 16 tahun yang cakap dan cerdas. Sedangkan Mimi, merupakan anak perempuan yang agak kurang cerdas. Hasan, anak terkecilnya merupakan anak yang cerdas dan sigap dalam banyak hal. Selain mereka terdapat pula Mimin dan Maman yang sebenarnya anak Amilah pula. Maman yang berambut keriting dan berkulit gelap merupakan anak hasil perselingkuhan Amilah dengan tentara dari Ambon.

Ketika aksi polisionil Hindia Belanda, Kopral Paijan yang semula keluar dari ketentaraan di jaman Jepang, mendaftar kembali menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). Sikap Paidjan yang tidak nasionalis, sombong dan suka mabuk-mabukan mendapat perlawanan dari anak-anaknya yang sudah menjadi pemuda nasionalis. Aman, Tjanimin (Mimin) dan Kartiman (Maman) kemudian membunuh Paidjan di sebuah sungai. Untuk membuang jejak dari tentara KNIL, Mimin dan Maman kemudian ikut bergerilya dengan Divisi Siliwangi dan ikut menumpas pemberontakan komunis di Madiun. Kondisi Amilah yang menjanda dan tidak bisa menerima perubahan di lingkungan hidupnya, membuat Amilah depresi.

Aman sebagai kepala keluarga kemudian bekerja sebagai tukang becak untuk menafkahi keluarganya. Sampai suatu saat  Aman ditangkap oleh Polisi Militer karena Aman diketahui menjadi pimpinan gerilyawan yang sudah membunuh puluhan orang antek Belanda. Selama Aman anak kesayangannya ditahan, kondisi depresi Amilah makin menjadi. Apalagi tidak ada lagi anaknya yang mencari nafkah. Untunglah Darsono tunangan Amah memberikan sebagian gajinya yang kecil untuk menyokong kehidupan keluarga Amilah. Mimin dan Maman yang menjadi gerilyawan, akhirnya terbunuh dalam sebuah peperangan di kantong gerilya.

Di penjara, Aman dijatuhi hukuman mati. Aman tidak takut menghadapi hukuman itu karena dia meyakini apa yang dia  lakukan adalah benar. Kesabaran dan kesetiaan Aman kepada negara, telah membangkitkan kesadaran bagi teman-teman  di penjara. Bahkan Direktur Penjara tempatnya ditahan pun secara ksatria mengakui dan menghormati keteguhan hati Aman. Direktur tersebut menawarkan grasi kepada Aman, namun Aman menolaknya dan hanya meminta pena dan kertas untuk menuangkan pesan-pesan terakhir buat keluarganya. Sebagai bentuk penghormatan kepada Aman, Direktur itu mengantar surat Aman ke keluarganya. Saat itu dia hanya menjumpai Darsono, Imah, Mimi dan Hasan.  Direktur itu jug menawarkan uang untuk membantu biaya pemakaman Aman kelak, namun hal itu ditolak oleh Imah. Tawaran dari Direktur untuk bantuan biaya sekolah bagi Imah dan adik-adiknya juga ditolak mentah-mentah oleh Imah yang tidak sudi menerima uang dari penjajah.

Salamah yang menjadi tunangan Darsono, demi membebaskan Aman bersedia diajak oleh sersan Kasdam untuk menengok Aman di penjara. Namun Sersan Kasdam  yang hidung belang, tidak membawa Amah ke penjara dimana Aman ditahan. Amah malah dibawa ke Bogor untuk dinodai ketika Aman sedang dijatuhi hukuman mati.

Tekanan hidup yang berat, membuat Amilah makin depresi. Dia membakar rumahnya sendiri dan menjalar menjadi kebakaran besar di kampungnya. Amilah akhirnya menemukan penjara tempat Aman ditahan. Namun dia hanya menemukan jazad Aman yang ternyata sudah dieksekusi hukuman mati. Rasa sedih yang begitu mendalam ditinggal anak kesayangannya membuat Amilah tidak mampu menahan diri dan menghembuskan nafas di pusara anak yang baru dikuburkannya.

Akhir cerita, Amah kembali dari Bogor dan Darsono pun tetap menerimanya walau dia sudah tidak perawan lagi.  Darsono sadar bahwa apa yang dilakukan Amah adalah demi kebebasan Aman kakak kesayanganya. Mereka kemudian bersama-sama adik-adiknya kemudian melakukan ziarah kubur ke makam Amilah dan Aman untuk mendoakan kebahagiaan bagi mereka yang telah meninggalkannya.

Seperti buku Pram yang lain, buku ini sarat dengan nilai-nilai nasionalisme. Penderitaan hidup yang pahit, tidak melunturkan semangat nasionalisme bahkan menjadi bahan bakar untuk tumbuh menyalanya api nasionalisme itu sendiri. Alur cerita buku ini sebenarnya sederhana. Namun di tangan Pram sang pujangga, cerita ini menjadi indah dan menarik untuk dibaca.