Thursday, June 30, 2016

BANDA NEIRA

Oleh Mayon Sutrisno
Penerbit Tara Media
Jakarta, 2001 (cetakan ke dua)
516 halaman

Novel ini ditulis dengan setting akhir abad ke 16,  saat Belanda mulai ikut berlomba untuk mencari koloni baru  mengikuti jejak Portugis dan Spanyol.

Alkisah, Pieter van Hoorn merupakan seorang anak  laki-laki dari Jacobus Groningen  dan Marie du Bois. Walaupun sesungguhnya van Hoorn merupakan anak dari perselingkuhan Marie  dengan pemuda Inggris, James Sinclair. Groningen yang pelaut sangat menyayangi van Hoorn sehingga van Hoorn pun juga sangat menyayangi Groningen yang sesungguhnya ayah tirinya.

Meski sudah menikah dengan Groningen, Marie masih melanjutkan perselingkuhan dengan pria lainnya. Sampai suatu saat Marie dan Jeff kekasihnya, bersekongkol meracuni Groningen hingga tewas. Mengetahui ulah ibu dan pacar gelapnya, van Hoorn marah dan membalas dendam dengan meracuni ibu dan kekasih gelapnya.

Untuk meninggalkan jejak, van Hoorn  kemudian ikut berlayar bersama kakeknya Joseph du Bois. Mereka ikut ekspedisi yang dipimpin Kapten Jenderal Nicolaus Speelman untuk mencari daerah koloni di  wilayah Hindia Timur. Dalam perjalan van Hoorn bertemu dengan Cornelia seorang gadis muda yang disekap untuk jadi pelayan seks Speelman. Kondisi fisik Cornelia yang penuh penuh rasa takut dan  bekas luka, membuka rahasia bahwa Speelman mengidap penyakit jiwa “machoism” dimana kepuasan seksualnya hanya bisa dicapai  melalui jalan kekerasan atau penyiksaan terhadap pasangannya. Perjalanan ekspedisi tersebut mengarah ke Jepang dan dalam perjalanan banyak menemui badai sehingga beberapa kapal pendamping mereka tenggelam dan puluhan awak kapal hilang. Dalam perjalanan ini van Hoorn banyak belajar dari kakeknya untuk menjadi seorang pelaut sejati yang handal. Van Hoorn juga banyak belajar tentang ilmu bintang dan tentang kisah-kisah para pelaut dunia dari Frans Valenntijn yang bertugas mendokumentasikan perjalanan ekspedisi tersebut.

Sesampai di Jepang, ekspedisi Speelman diterima oleh penguasa Jepang Daimyo Matsunaga. Dalam pertemuan awal, wakil Matsunaga didampingi oleh  Antonio Argensola yang bertindak sebagai penterjemah. Argensola merupakan seorang paderi Fransiskan dari Spanyol yang telah lama menetap di Jepang. Ekspedisi Speelman diperbolehkan untuk berdagang disana dan awak kapal banyak turun ke darat untuk menghibur diri. Van Hoorn yang menginjak remaja terpikat dengan Michiko, seorang pelacur muda pelayan geisha. Van Hoorn pun banyak bergaul dengan Argensola untuk belajar tentang agama. Rasa cinta yang begitu dalam kepada Michiko, membuat van Hoorn kemudian menebus Michiko dari induk semangnya dan menikahinya.

Kelakuan anak buah Speelman  yang sering berbuat onar dan perilaku Speelman yang arogan telah membuat ketersinggungan Daimyo Matsunaga. Rombongan Speelman kemudian dibantai dan diusir dari jepang. Paderi Argensola pun ikut terusir karena dianggap bersekongkol dengan Speelman. Bahkan gereja dan pengikut Argensola ikut dibinasakan. Michiko yang sudah mengandung anak van Hoorn, tidak bisa ikut melarikan diri  karena kondisi fisiknya.

Seteah terusir dari Jepang, ekspedisi Speelman berlayar menuju Banda. Dalam perjalanannya mereka dihadang ekspedisi Inggris yang sudah menguasai sebagian wilayah Banda.  Di saat kritis tersebut datanglah bala bantuan dari tentara Belanda yang sudah bercokol di Banda, selamatlah mereka. Di Banda, van Hoorn yang tampan berkenalan dengan Eveline  anak Jan Hasselaer, pejabat belanda untuk wilayah Belanda.  Mereka saling jatuh cinta.

Di Banda, Speelman kemudian melakukan penaklukan terhadap benteng Portugis dan Spanyol.  Van Hoorn yang bertindak heroic dalam pertempuran tersebut mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Kapten. Namun perjalan karirnya yang mulud tidak berjalan seiring dengan perjalanan cintanya. Ayah Eveline tidak menyetujui perintaan Eveline dengan van Hoorn. Dia menjodohkan Eveline dengan Speelman yang jabatannya jauh lebih tinggi disbanding van Hoorn. Evelinepun tidak bisa menolak kehendak ayahnya karena dia tidak tega melukai perasaan  ayah yang disayanginya.

Speelman yang arogan dan ambisius berusaha menguasai Banda dengan tangan besinya. Hal itu membangkitkan perlawanan penduduk local yang kemudian membantai Jan Hasselaer, Josep du Bois (kakek van Hoorn), Eveline  dan  sebagian pasukannya. Speelman kemudian melakukan pembersihan dan pembantaian termasuk di gereja Argensola. Kekejaman Speelman membuat van Hoorn muak dan melarikan diri untuk bergabung dengan tentara Inggris. Mereka kemudian bersekutu dengan penduduk local untuk melawan Speelman. Perlawanan ini berjalan sukses dan membuat Speelman melarikan diri ke Jacatra dan meninggalkan Cornelia di Banda. Cornelia kemudian diasuh oleh Paderi Argensola dan diminta membantu di gereja.

Untuk memperkuat posisi Inggris  di Banda, van Hoorn diutus untuk meminta bantuan ke benteng Inggris di Malaka. Van Hoorn diterima oleh Lord Aragon dan jatuh cinta dengan Elizabeth, putri semata wayang Lord Aragon. Ketika di Malaka, van Horn bertemu kembali dengan Michiko, istrinya yang dulu ditinggalkan di Jepang. Michiko dihadiahkan sebagai pelayan  oleh  Damyo Matsunaga kepada Lord Aragon karena nala tentara inggris mempunyai hubungan yang sangat baik dengan Jepang. Perjumpaan yang tidak terduga tersebut membuat Michiko bersedih melihat van Hoorn mau menikah dengan Eliabeth. Ketika van Hoorn merayakan pernikahan dengan Elizabeth, Michiko melakukan seppuku (bunuh diri ala Jepang). Michiko berpesan bahwa anak buah cintanya dengan van Hoorn  tinggal di Jepang dan diberi nama Pieter Argensola untuk menghormati dua orang yang berpengaruh terhadap jalan hidup Michiko.

Dalam perbincangan dengan lord of Aragon, van Hoorn akhirnya tahu bahwa Lord Aragon adalah james Sinclair yang sejatinya ayah kandungnya. Perasaan bersalah karena menikahi adik tiri dan marah  pada Lord Aragon yang meninggalkan ibunya,  membuat van Hoorn marah dan meninggalkan Malaka tanpa pesan.

Speelman yang merasa dendam dengan Inggris, mengetahui bahwa sebagian armada Inggris di Banda sedang pergi ke Malaka. Speelman bersekutu dengan Pangeran jacatra kemudianmenyerbu Banda dan membumi hanguskan tentara Inggris dan penduduk lokalnya.  Paderi Argensola pun terpaksa melarikan diri dari satu pulau ke pulau lainnya.  Van Hoorn yang tiba kembali di Banda bersama Argensola dan bala tentara yang masih tersisa di Banda kemudian mengatur strategi untuk menghadapi Speelman.  Suatu ketika Lord Aragon tiba dari Malaka untuk menuntut balas pada van Hoorn yang meninggalkan Elizabeh hingga Elizabeth merana dan bunuh diri. Setelah melalui duel pedang, akhirnya Lord Aragon tahu bahwa van Hoorn adalah anak kandungnya. Keduanya kemudian saling menerima.

Dukungan bala tentara Lord Aragon dan dukungan penduduk local kemudian dimanfaatkan untuk mengatur strategi melawan Speelman. Van Hoorn sangat mengagumi kejeniusan paderi Argensola dalam mengatur strategi peran. Dikemudian hari baru diketahui bahwa Argensola merupakan panglima ekspedisi Spanyol yang kemudian memilih masuk menjadi paderi karena tidak tahan menyaksikan kekejaman kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Eropa.  Strategi jitu Argensola berhasil melumpuhkan bala tentara Speelman. Speelman yang terluka akhirnya tewas mengenaskan ditangan Cornelia yang mendendamnya. Van Hoorn yang sudah lama memendam cinta akhirnya menikahi Cornelia...

Buku ini sangat menarik untuk dibaca. Kita seperti di lemparkan ke sejarah masa lampau ketika kolonialisme bangsa Eropa mulai mengoyak kemerdekaan bangsa di belahan dunia lainnya. Kekejaman dan kebiadaban  menjadi senjata untuk memupuk kekuasaan. Alur plot buku ini sebenarnya sederhana, namun kepandaian pengarang dalam memberikan bumbu cerita dan memilih kata membuat buku ini sangat enak dibaca. Saya menduga pengarang melakukan riset sebelum menulis atau setidaknya membaca banyak referensi sebelum menulis. Hal ini tercermin dari kemampuan pengarang merajut cerita berdasar sejarah secara runut dan memberikan deskripsi budaya secara detail. Selain itu banyak pelajaran moral yang bisa dipetik dari buku ini. Salutttt...





Saturday, June 25, 2016

Janji Saijah dan Adinda


LEBAK, DULU DAN KINI


Dalam buku Max Havelaar yang dituliskan tahun 1859, dikisahkan Lebak merupakan daerah kantong kemiskinan dan prasarana transportasinya buruk. Kondisi tersebut antara lain disebabkan oleh  adanya perampasan harta masyarakat oleh pejabat local dan mobilisasi tenaga masyarakat untuk kepentingan pribadi pejabat daerah. Dari sisi birokrasi, pejabat local yang diangkat menjadi kepala distrik biasanya berasal dari bangsawan local dan saling terikat hubungan kekerabatan dengan kepala distrik lain atau jabatan lain.

Pada saat saya duduk di bangku SD, Lebak juga masih terkenal sebagai kantong kemiskinan. Demikian pula saat ini, dibandingkan dengan daerah kabupaten lainnya, Kabupaten Lebak nampaknya masih memiliki banyak penduduk miskin. Dari sisi birokrasi, ternyata birokrasi di wilayah Banten  yang saat ini membawahi Lebak nampaknya juga tidak banyak berubah. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus korupsi yang melibatkan Ratu Atut (mantan Gubernur Banten) dan Wawan (adiknya). Hubungan kekerabatan antar pejabat juga masih marak dengan adanya “politik dinasti” di wilayah Propinsi Banten.

Ternyata sudah seratus lima puluh tahun lebih , kondisi di Banten - Lebak belum cukup menggembirakan. Semoga Allah s.w.t mengirimkan pemimpin yang amanah, berintegritas dan benar2 mau dan mampu berjuang menghantar masyarakat Lebak dan banten ke pintu kesejahteraan dan kemakmuran.


SAIJAH DAN ADINDA (Kisah kasih tak sampai ala Sunda)

Oleh Multatuli

Crita ini meruakan bagian dari novel Max Havelaar yang ditulis Multatuli 1859.

Saijah merupakan seorang anak laki-laki yang berasal dari keluarga petani sederhana di wilayah Lebak. Suatu ketika kerbau milik ayah Saijah, dirampas oleh Kepala Distrik Parangkujang. Sebagai orang desa, ayah saijah tidak kuasa dan tidak berani melawan kehendak pemimpinnya.
Hilangnya kerbau, membuat ayah saijah kuatir dia tidak bisa menggarap sawahnya dan tidak bisa mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Dia kemudian menjual keris harta pusakanya untuk kemudian dibelikan kerbau. Kerbau baru dirawat penuh kasih oleh Saijah, dan kerbau itu menjadi penurut ditangan Saijah dan sangat giat bekerja.

Tak berapa lama, saat usia Saijah sembilan tahun, kerbau tersebut dirampas lagi oleh kepala Distrik Parangkujang. Ayah saijah tak kuasa melawan, dan hanya bisa merelakan kerbaunya berpindahtangan. Ayah saijah kemudian menjual harta pusaka laiinya untuk membeli kerbau lagi. Walau kerbau barunya lebih kecl, saijah berusaha merawatnya sebaik mungkin. Kerbau tersebut juga tahu diri dengan majikannya dan membantu menyelamatkan Saijah ketika Saijah akan diterkam harimau.

Namun kerbau inipun dirampas kembali oleh Kepala Distrik Parang Kujang. Ibu Saijah kemudian sakit-sakitan karena hartanya selalu dirampas pemimpin daerahnya. Ayah Saijah pun ikut frustasi dan lari ke daerah lain di Bogor. Namun nasib malang menimpanya karena dia tertangkap kembali dan dihukum cambuk karena meninggalkan kampong halamannya tanpa ijin. Ayah Saijah kemudian dijebloskan ke penjara dan meninggal disana.

Saijah yang yatim piatu, kemudian bertekad merantau ke Batavia untuk mengumpulkan modal guna membeli kerbau. Sebelum berangkat merantau, Saijah berpamitan kepada Adinda. Adinda merupakan seorang gadis tetangganya dan sudah dijodohkan dengan Saijah oleh orangtuanya. Adindapun ternyata juga menaruh hati kepada Saijah.Mereka saling berjanji setia untuk bertemu di bawah pohon ketapang di pinggir desa setelah 3 tahun ke depan.

Saijah yang anak kampong terheran-heran melihat majunya kota Pandeglang, Serang, Tangerang dan Batavia. Keluguan dan tekadnya untuk bekerja keras telah mengantarnya untuk bekerja pada sebuah keluarga. Sikapnya yang rajin membuat saijah disukai oleh keluarga itu dan mendapatkan gaji yang memadai. Sampai tahun ke tiga, Saijah merasa tabungannya sudah cukup untuk membeli kerbau untuk modal berumahtangga dengan Adinda. Saijah kemudian mengundurkan diri untuk pulang ke kampong halamannya dan bertemu Adinda kekasih hatinya.

Rasa rindunya kepada Adinda, membuat Saijah tak sabar ingin segera sampai di kampungnya. Ditunggunya Adinda di bawah pohon ketapang di batas desa. Namun dari fajar hingga mentari tenggelam, Adindanya tidak menampakkan batang hidungnya.  Saijah memasuki kampungnya dan dia terkejut rumahnya dan rumah Adinda-nya telah musnah dan hanya tonggak-tonggak yang tersisa. Dari penuturan tetangga, diketahui ayah Adinda melarikan diri beserta anak-anaknya setelah kerbaunya dirampas kepala Distrik Parangkujang 2 tahun setelah kepergian Saijah untuk merantau. Ditengarai, ayah Adinda kabur dengan perahu ke wilayah Lampung.

Demi cintanya, Saijah kemudian memburu ke Lampung. Di sana dia mendapatkan ayah dan adik-adik Adinda sudah menjadi jazad di bawah tikaman bayonet tentara Belanda. Dia juga mendapati jenazah Adinda yang tanpa busana dan telah dianiaya dengan penuh kebiadaban. Saijah menjadi beringas dan menuntut balas. Dibunuhnya tentara Belanda dan dia sendiripun akhirnya tewas dalam upaya menuntut balas nyawa kekasihnya......



MAX HAVELAAR

Oleh Multatuli
Penerbit Narasi
Yogyakarta, 2014
396 halaman
ISBN 979-168-088-4 atau 978-979-168-088-2

Buku ini ditulis oleh Multatuli di Belgia tahun 1859. Multatuli adalah nama samaran Eduard Douwes Dekker. Dia adalah anggota Dewan Pengawas Keuangan Pemerintah Belanda yang ditempatkan di Batavia tahun 1840. Tahun 1842, dia dipindahkan ke Sumatera Barat terus ke Sumatera Utara. Setelah itu dia ditempatkan di Lebak - Banten sebagai Asisten Residen. Cerita ini merupakan novel tetapi didalamnya banyak cerita yang berawal dari kisah nyata yang dibuat fiksi.

Pada saat penjajahan Belanda, pemerintahan Belanda di Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jendral. Gubernur Jenderal dibantu oleh Residen (seperti kepala provinsi). Dan di bawah Kabupaten terdapat Asisten Residen (Pengawas Tingkat Divisi/Kabupaten). Jabatan Gubernur Jendral, Residen dan Asisten Residen diisi oleh orang-orang Belanda. Di tingkat divisi, Asisten Residen lebih merupakan pengawas karena pimpinan daerahnya biasanya berasal dari bangsawan local  yang bergelar adipati atau sering disebut “Regen”. Di sinilah kecerdikan pemerintah Belanda yang menyadari masyarakat Hindia Belanda adalah paternalistic maka mereka menggunakan pemimpin local sebagai pimpinan daerah dan mereka mengendalikan pemimpin local dengan menggunakan pengawas (Asisten Residen).

Tokoh utama cerita ini yakni Max Havelaar merupakan seorang tokoh idealis, cerdas dan mempunyai empati tinggi terhadap masyarakat di wilayah tugasnya. Sikap empatinya tercermn dengan kehidupannya yang sederhana dan punya banyak hutang demi membantu sahabat atau warga di lingkungannya. Namun sikap idealismenya dirasa mengganggu kedamaian “atasannya” sehingga dia dibuang ke daerah-daerah yang minus dan bergolak seperti Natal – Sumatera Utara dan Lebak – Banten.

Sebagai Asisten Residen di Lebak,  Max Havelaar bertugas untuk mendongkrak pendapatan daerah dari pajak dan hasil bumi, memobilisasi sumberdaya tenaga masyarakat untuk kepentingan penjajah, melindungi masyarakat local dari pemerasan yang dilakukan pejabat local (adipati dan keluarganya) serta mencegah dan mengendalikan pemberontakan di wilayahnya. Selama sebulan bekerja di Lebak, Max dihadapkan pada fakta bahwa kemiskinan penduduk Lebak masih tinggi sehingga pendapatan daerah dari pajak relative kurang memadai.  Fakta lain yang dijumpai adalah penduduk usia produktif di Lebak relative sedikit disbanding divisi lainnya. Dari penyelidikan yang dilakukan, Max menemukan bahwa  adipati dan kroninya seringkali merampas ternak penduduk (missal kerbau) sehingga penduduk tidak bisa mengolah lahannya secara optimal.  Perbuatan lain dari adipati adalah mengerahkan tenaga penduduk untuk mengolah lahan sang adipati, sehingga penduduk tidak cukup punya waktu mengelola lahan pertanian miliknya sendiri.  Tidak adanya ternak untuk mengelola lahan pertanian dan terbatasanya waktu untuk mengelola lahannya sendiri berakibat produksi pertanian mereka rendah produktivitasnya.  Untuk menggenjot pendapatan dari pajak, sang adipati memberikan pajak yang tinggi dan tidak jarang disertai hukuman bagi yang menunggaknya.  Hal inilah yang memicu banyak warga Lebak pindah ke daerah lain yang pemimpin daerahnya relative lebih akomodatif.  Dengan kondisi jumlah warga yang terbatas yang bisa dimobilisasi untuk gotong royong, tidak mengherankan pembangunan infrastruktur seperti jalan menjadi terabaikan.

Menghadapi situasi tersebut, Max melaporkan kepada Residen Banten selaku atasannya.  Namun Residen Banten merasa terusik ketenangan dan prestasinya dengan laporan itu. Residen Banten malah memojokkan Max. Max tidak putus asa  dan melaporkan kasusnya kepada Gubernur Jenderal di Batavia. Namun Gubernur Jenderal yang berada di ambang pension malah mengacuhkan Max karena laporan Max dianggap berpotensi merusak reputasinya. Max kemudian “dibuang” dan  akan dipindahkan ke Ngawi Jawa Timur. Max yang merasa diperlakukan tidak adil karena tidak diberi kesempatan membeberkan kasus dan melakukan pembelaan diri secara terbuka, secara ksatria kemudian minta dipecat dengan hormat dari jabatannya.

Max yang diberhentikan dengan hormat kemudian melanjutkan perjuanganya melalui tulisan. Dia sadar bahwa selama ini banyak kebohongan yang dilakukan pemerintah Belanda di Hindia Belanda. Warga Belanda di Eropa, saat itu hanya mendengar cerita manis tentang perlakuan pemerintah Belanda untuk membuat warga Hindia Belanda supaya lebih beradab.  Padahal kenyataannya jauh berbeda  karena pemerintah Belanda di Hindia Belanda  banyak melakukan pembiaran terhadap ulah pejabat pribumi yang menyalahgunakan jabatan untuk merampas harta masyarakat dan menguras tenaga rakyat untuk kepentingan pribadinya.  Tulisan dari Max kemudian memperoleh sambutan yang luar biasa yang menggugah kesadaran warga Belanda di Eropa terhadap sikap perilaku pemerintahnya di negara jajahan.

Secara umum, cerita dalam buku ini cukup menarik walau terkadang ada beberapa bagian yang susah dipahami. Mungkin ini disebabkan factor penterjemahan karya yang sudah seabad lebih sehingga Bahasa Belanda  yang digunakan saat itu berbeda dengan Bahasa Belanda saat ini, selain itu context cerita saat itu juga sudah berbeda sehingga sulit untuk membayangkan context yang ada saat itu.



Tuesday, June 21, 2016

TUKANG BATU YANG TIDAK PERNAH PUAS

Ada seorang pemahat batu yang rajin namun berupah kecil. Dia tidak puas dengan  upahnya, sehingga dia berteriak: “oh seandainya aku kaya, aku bisa istirahat di atas bale-bale dengan kelambu sutera”. Teriakannya terdengar oleh malaikat yang turun dari langit, dan dikabulkannya.
Ketika dia beristirahat di atas bale-bale , lewatlah seorang raja yang mengendarai kereta kencana dipayungi payung emas. Pemahat batu berkeluh kesah: “alangkah enaknya bila aku jadi raja kemana-mana bisa berkereta dan diiring pasukan.”. Malaikat di langit mendengarkan keluhnya dan mengabulkannya menjadi raja.
Suatu ketika musim kemarau yang terik melanda kerajaannya. Sinar mentari membuat tanaman di kerajaannya menjadi layu dan gersang. Sang raja berkeluh kesah; “ seandainya aku jadi matahari, aku akan menjadi terkuat di dunia.” Malaikatpun berbaik hati mengabulkan permintaannya menjadi matahari.
Matahari berlaku seenaknya dan membakar bumi. Suatu ketika awan datang dan menghalangi sinar teriknya. Mataharipun kecewa karena ada  lawan yang lebih kuat darinya. Mataharipun berkata; “aku ingin jadi awan yang sangat kuat”. Malaikatpun mengujinya dengan menjadikannya sebagai awan.
Awan kemudian memamerkan kekuatannya. Dihimpunnya uap air dan diturunkan menjadi hujan deras yang menyebabkan banjir bandang. Bangunan, pohon, jembatan dan semua diterjang. Namun awan terkesima ketika melihat sebuah batu yang tegak kokoh berdiri tak bergeming dari banjir. Awan berpikir, batu lebih kuat darinya. “jadikanlah aku menjadi batu” teriaknya.  Malaikatpun menuruti kehendaknya menjadi batu.
Batu menikmati keberadaannya yang kokoh, tapi suatu ketika dia merasa kesakitan ketika ada seorang pemahat datang dan membelahnya. Batu tersadar bahwa ada pihak lain yang lebih kuat darinya. “Jadikanlah aku seorang pemahat”, jeritnya. Malaikatpun kembali menyetujui pintanya menjadi pemahat batu.
Sejak saat itu si pemahat batu tersadar bahwa keinginan manusia tidak akan pernah ada putusnya. Kebahagiaan hanya akan bisa dicapainya bila dia bisa mengelola rasa cukup dan syukurnya.  Sejak sata itu di menjadi pemahat yang rajn bekerja, tapi dia merasa puas dengan hasil kerjanya walau upahnya tetap kecil dan tiada jauh berbeda dengan awalnya.  (Dikutip dari buku Max Havelaar karya Multatuli , 1859 yang edisi bahasa Indonesia terbit tahun 2014)

Sudahkah puasa Ramadhan kali ini membuat kita menjadi seorang pemahat batu yang sudah mengalami pencerahan  sehingga bisa lebih bersyukur dan merasa cukup atas rejeki yang kita peroleh?

TRIPLE FILTER TEST STORY DARI SOCRATES

Filsuf Yunani Kuno, Socrates, terkenal memiliki pengetahuan yang tinggi dan sangat terhormat lagi bijaksana. Suatu hari seorang kenalannya bertemu dengan filsuf besar itu dan berkata; “Tahukah Anda, apa yang saya dengar tentang teman Anda?”  “Tunggu sebentar,” jawab Socrates.  “Sebelum Anda menceritakan apapun pada saya, saya akan memberikan suatu test sederhana. Ini disebut triple filter test.” “Triple filter test?” tanya temannya. “Benar,” kata Socrates.  “Sebelum kita bicara tentang teman saya, kita perlu menyaring apa yang akan Anda katakan. Itulah sebabnya saya menyebutnya triple filter test.”

Filter pertama adalah: KEBENARAN
“Apakah Anda yakin sepenuhnya bahwa yang akan Anda katakan pada saya BENAR?” tanya Socrates. “Tidak,” jawab orang itu, “Sebetulnya saya hanya mendengar tentang itu.” “Baik,” kata Socrates. “Jadi Anda tidak yakin bila itu benar. Sekarang saya berikan filter yang kedua.”

Filter kedua: KEBAIKAN
Apakah yang akan Anda katakan tentang teman saya itu sesuatu yang BAIK?” lanjut Socrates. “Tidak, malah sebaliknya.. .” jawab temannya. “Jadi,” Socrates melanjutkan, “Anda akan berbicara tentang sesuatu yang buruk tentang dia, tetapi Anda tidak yakin apakah itu benar. Anda masih memiliki satu kesempatan lagi karena masih ada satu filter lagi.”

Filter ketiga:  MANFAAT
Apakah yang akan Anda katakan tentang teman saya itu bermanfaat bagiku?” tanya Socrates. “Tidak, sama sekali tidak.” temannya menjawab.  “Jadi,” Socrates menyimpulkannya, “Bila Anda ingin mengatakan sesuatu yang belum tentu benar, buruk dan bahkan tidak bermanfaat, mengapa Anda harus mengatakannya kepada saya?”

Itulah mengapa Socrates adalah filsuf besar dan sangat terhormat. Dalam percakapan sehari-hari, sering kali kita terjebak dalam kegiatan memulai gosip. Mulai saat ini, setiap datang godaan untuk menyampaikan cerita mengenai orang lain, pastikan terlebih dahulu informasi tersebut telah berhasil melalui triple filter test Socrates. Apabila yang hendak kita katakan belum tentu benar, buruk, dan tidak bermanfaat, maka lebih baik kita jangan membuka mulut.


Demikian pula dengan maraknya media social saat ini, sangat mudah bagi kita untuk memforward, copy paste dan menyebarluaskan berita. Marilah kita belajar untuk bisa berpikir lebih jernih, bijak dan sabar sehingga tidak asal forward informasi yang kita terima yang belum tentu jelas kebenarannya...

Sunday, June 05, 2016

AGROFORESTRI KARET: Benarkah kaya akan Imbalan Jasa Lingkungan?

Oleh: Pye-Smith C.
Penerbit World Agroforestry Center (ICRAF)
Nairobi – Kenya, 2013
ISBN 978-92-9059-352-2
32  halaman

Buku ini berisi pengalaman ICRAF dalam pengembangan agroforestry karet di Sumatera dan Kalimantan.

Masyarakat local di Jambi dan Kalimantan di Sumatera dan Kalimantan, selama ini sudah mengembangkan budidaya tanaman karet secara tradisional. Pengelolaan karet tradisional yang ditandai dengan pemakaian bibit cabutan dari anakan liar dan pemeliharaan yang sekedarnya serta minim pemupukan, mengakibatkan produktifitas pohon karet tradisional cenderung rendah. Di sisi lain, banyak introduksi kebun karet intensif oleh perusahaan besar yang menggunakan bibit unggul, pemupukan intensif, system monokultur dan membutuhkan modal besar. System monokultur perkebunan besar tersebut dikuatirkan akan menggusur kebun karet tradisional yang kaya akan keanekaragaman hayati. 

Oleh karena itu ICRAF mencoba melakukan penelitian tentang tumpangsari (agroforestry) di kebun karet untuk mencari win-win solution yang bisa menjembatani aspek ekonomi dan aspek ekologi budidaya karet.  Beberapa hal yang diintroduksi dalam penelitian ini antara lain pemakaian bibit karet unggul, pola tanam, jenis tanaman tumpangsari, dan pemupukan.

Hasil penelitian ICRAF menunjukkan hal sebagai berikut:
  1. Kebun karet agroforestry yang menggunakan bibit unggul dan pemupukan memberikan hasil pendapatan 3 kali lipat dibandingkan kebun karet tradisional.
  2. Dibandingkan  kebun karet intensif monokultur, kebun karet  agroforestry yang menggunakan bibit unggul dan pemupukan memberikan hasil pendapatan yang lebih rendah. Meski demikian investasi modal untuk kebun karet monokultur sangat tinggi. Dengan memperhitungkan modal, pendapatan dari kebun karet agroforestry memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibanding kebun karet monokultur.
  3. Kebun karet agroforestry memberikan berbagai pilihan komoditi sebagai sumber pendapatan sehingga ketahanan pendapatan keluarga lebih kokoh karena tidak tergantung satu produk saja.
  4. Kebun karet agroforesty memberikan peluang bagi tumbuh berkembang keaneka ragaman hayati di tingkat local dan perbaikan unsur hara.
  5. Kebun karet agroforestry memberikan kesempatan kepada warga local dalam proses inovasi seperti pengembangan kebun bibit rakyat karet unggul.
  6. Kebun karet agroforestry bisa berkembang menjadi kebun tua yang mirip hutan sekunder. Hal ini berpeluang untuk didorong menjadi jasa lingkungan melalui skema REDD atau skema lain yang relevan. Meski untuk itu masih diperlukan advokasi yang lebih intensif.



Secara umum buku ini ringan dibaca dan mengalir narasinya. Meski demikian, perlu disayangkan data-data numerik seperti penghasilan keluarga, investasi modal yang diperlukan tidak dimunculkan dalam buku ini. Bagi saya, data numerik perlu ditampilkan untuk memberikan gambaran deskriptif yang lebih kongkrit.

Thursday, June 02, 2016

MENGGELINDING 1; Tulisan awal Pramoedya Ananta Toer

Oleh Pramoedya Anata Toer
Penerbit Lentera Dipantara
Jakarta 2004
576 halaman
ISBN 979-97312-2-4

Buku ini berisi tulisan-tulisan awal  Pramoedya Ananta Toer yang dimuat di bulletin Mimbar Penyiaran DUTA,  dan berbagai majalah  seperti Mimbar Indonesia, majalah Pemuda, majalah sadar dan lain-lain. Tulisan yang dimuat berasal dari tulisan tahun 1947-1957. Tulisan yang dimuat dalam buku ini sebagian berupa opini, cerpen, reportase  dan sajak.

Pram dalam beberapa cerpen menyoroti berbagai perubahan social pada saat revolusi 1945 seperti maraknya tukang catut, pelacuran, pengkhianatan terhadap pergerakan, boss yang korup, dan lain-lain. Sedangkan dalam tulisan opini, Pram banyak mengkritisi peran kesusasteraan dalam menyokong pergerakan dan pembentukan karakter bangsa. Dia mengkritisi tulisan Buya Hamka yang terkesan mengekor Hemingway, mengkritisi HB Jassin yang kritikus sastra, dia mengkritisi dukungan pemerintah yang rendah terhadap kesenian. Pram juga mengkritisi tentang nasib para pengarang yang tidak memperoleh imbalan memadai yang membuat mereka sulit menghasilkan karya sastra yang menawan. Pram berpendapat bahwa kesusasteraan dan kesenian adalah media untuk membangun karakter bangsa dan mengobarkan semangat juang, oleh karenanya kesusasteraan tidak boleh lembek dan mengikuti selera pasar.


Membaca buku Pram ini, saya dibuat kagum oleh keluasan pengetahuan beliau. Ternyata pengetahuan beliau yang sangat luas ditopang oleh kerajinan membaca karya-karya sastra maestro dunia maupun buku pengetahuan lainnya. 

Seperti buku Pram yang lain, membaca buku ini kita dihadapkan pada karya yang padat dan cerdas dalam memilih kata-kata. Meski demikian kita terkadang dituntut untuk mengetahui latar belakang sejarah saat tulisan dimuat, karena artikel opini yang ditulis Pram terkadang merupakan sebuah reaksi terhadap suatu kejadian atau reaksi terhadap opini dari orang lain. Buku ini saya pikir sangat cocok untuk kawan2 yang menyukai belajar tentang filsafat kesusasteraan....