Oleh Wawan Susetya
Penerbit Imania,
Depok, 2012
ISBN: 978-602-99756-3-5
447 halaman
Buku ini merupakan novel sejarah
sengan seting tahun 1100-1200 Masehi tatkala mendekati runtuhnya Kerajaan
Kediri dan berdirinya Kerajaan Singasari.
Ken Dedes merupakan putri Empu
Parwa yang merupakan brahmana yang mumpuni di sebuah pelosok kampung. Di bawah
bimbingan ayahnya, Ken Dedes tumbuh menjadi brahmani yang mampu melakukan olah
batin melalui meditasi. Sehingga Ken Dedes juga dikenal sebagai symbol
Prajnyaparamita atau orang yang sudah memiliki kemampuan ilmu olah batin yang
cukup tinggi. Ken Dedes mempunyai daerah kewanitaan yang bercahaya yang
dipercaya bahwa dia mempunyai wahyu “nareswari” atau akan melahirkan keturunan
raja-raja besar di Jawa. Secara singkat bisa dikatakan Ken Dedes mempunyai
penampilan fisik jelita dengan inner beauty yang mempesona.
Kejelitaan Ken Dedes telah
mengundang ketertarikan dari Akuwu (Raja Kecil) Kerajaan Tumapel yang bernama
Tunggul Ametung. Tunggul Ametung yang terpesona dan tidak sabar menikahi Ken
Dedes kemudian menculik dan membawanya ke istana Tumapel. Ken Dedes pun hanya
bisa pasrah menerima perlakuan tersebut, walaupun batinnya menderita.
Kerajaan Tumapel yang merupakan
bawahan kerajaan Kediri, menghadapi
rongrongan dari para perampok yang merampok kekayaan Tumapel, merampok para
pedagang dan merampok pengiriman upeti ke kerajaan Kediri. Perampok tersebut
sering membagikan hasil jarahannya kepada masyarakat miskin.
Kesewenang-wenangan Tunggul Ametung yang memeras pajak rakyatnya serta
kesewenang-wenangan Kerajaan Kediri yang menyingkirkan kaum brahmana membuat
munculnya gerakan perampokan tersebut. Salah satu tokoh perampok tersebut
adalah seorang anak muda yang digdaya yang bernama Temu.
Dalam sebuah pertempuran Temu
hampir binasa, namun dia diselamatkan oleh Dewa Wisnu yang kelak akan menitis
ke dalam dirinya. Temu kemudian disuruh berguru kepada Begawan Tantriyana dan
melanjutkan ke Begawan Loh Gawe. Setelah mengalami penggemblengan mental, Temu yang
kemudian berubah nama menjadi Ken Arok, mengikuti sayembara tanding untuk
menjadi pengawal Akuwu Tumapel. Siasat ini dilakukan agar Ken Arok bisa masuk
dan menyelidiki kerajaan Tumapel dari dalam.
Ken Arok yang berhasil menjadi
pengawal Akuwu Tumapel, kemudian menjalankan siasat dengan membangun jaringan
dengan kawan-kawannya yang eks perampok serta membangun hubungan dengan para
brahmana. Ken Dedes sendiri sangat berharap kehadiran Ken Arok akan mampu
membebaskan tekanan batin yang dideritanya. Ken Dedespun terus berusaha
mendekati Ken Arok untuk menumpahkan deritanya.
Di Kerajaan Tumapel sendiri,
kondisi Tunggul Ametung yang sudah tua
dan sakit-sakitan juga mengundang munculnya rencana kudeta dari salah satu
pengawal Tunggul Ametung yang bernama Kebo Ijo. Dia bersekongkol dengan
Belakangka (brahmana penasehat raja) dan Empu Gandring (pembuat senjata). Tunggul Ametung meninggal dalam ontran-ontran kudeta. Dengan
kecerdikannya, Ken Arok bisa melucuti rencana kudeta tersebut. Ken Arok kemudian diangkat menjadi raja
Tumapel menggantikan Tunggul Ametung.
Setelah menduduki tahta Tumapel,
Ken Arok kemudian memperluas wilayahnya dan akhirnya berhasil merebut tahta
Kerajaan Kediri dari Raja Kertajaya. Ken Arok kemudian mendirikan Kerajaan
Singosari, dengan didampingi Ken Umang seorang wanita yang dikenal sejak kecil
dan menjadi teman seperjuanganya. Selain itu, Ken Arok akhirnya juga menyunting
Ken Dedes sebagai istri mudanya yang kelak akan melahirkan keturunan raja-raja
besar di Jawa.
Buku ini ceritanya mengalir sederhana dan tidak
banyak “kagetan” di dalamnya. Dalam novel ini ditemukan istilah dalam bahasa
Jawa/Jawa Kawi/sanskerta. Penggunaan istilah-istilah tersebut nampaknya
dimaksudkan untuk menambah bobot artistic selain beberapa kata tersebut sulit dicari
padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Namun penggunaan istilah tersebut saya
rasakan terkadang agak berlebihan sehingga malah terasa mengganggu. Gangguan
tersebut pasti akan lebih dirasakan bagi para pembaca yang tidak bisa berbahasa
Jawa (meski di tiap bab, disediakan terjemahannya).