Oleh: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit Hasta Mitra
Jakarta 1985
418 halaman
Buku ini bercerita tentang kisah
RM. Tirto Adhi Soerja (1890-1918) yang merupakan tokoh Perintis Pers Nasional
Indonesia. Beliau dilahirkan di kalangan bangsawan keturunan Mangkunegara,
Panembahan Madura dan Bupati Blora.
RM Tirto Adhi Soerja merupakan
generasi yang ingin mandiri dan terbebas dari feodalisme keluarganya. Beliau
tidak ingin menjadi amtenar dan lebih memilih hidup sebagai jurnalis. Beberapa
penerbitan yang beliau kembangkan antara lain Chabar Hindia Olanda, Pembrita
Betawi, Pewarta Priangan, Bromartani, Soenda Berita(1903), Staatsblad Melajoe,
dan Medan Prijaji (1908). Soenda Berita yang terbit 1903 merupakan pers
nasional pertama yang dikelola oleh pribumi dan dimodali oleh orang pribumi.
Dalam perjalanannya sebagai
jurnalis, RM Tirto Adhi Soerja bersikap tegas dalam menyuarakan aspirasi
masyarakat saat itu. Hal itu membuatnya sempat diasingkan, namun disisi lain
hal itu juga membuat beliau bisa masuk dan disegani di kalangan amtenar.
Panggilan jiwanya yang ingin menyuarakan
suara masyarakat membuat beliau aktif dalam dunia pergerakan politik dan
mendirikan Sarekat Dagang Islam (meski sejarah versi lain menyebutkan Sarekat
Dagang Islam didirikan oleh Haji Samanhudi). Dalam prakteknya, beliau tidak
selalu menggunakan pendekatan non cooperative. Beliau juga melakukan loby
dengan pejabat Belanda untuk pengembangan politik pribumi dan penegakan
keadilan. Beberapa pemikiran dan aksi RM
Tirto Adhi Soerja yang cemerlang saat itu antara lain:
- Mengembangkan sarikat atau Organisasi untuk memperkuat bargaining position politik masyarakat,
- Melakukan lobby untuk pengembangan politik pribumi dan penegakan keadilan,
- Mengembangkan pers sebagai media artikulasi kepentingan masyarakat dan social control,
- Memberikan bantuan hukum untuk warga masyarakat yang ditindas oleh para amtenar dan bangsawan yang korup,
- Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan melalui kegiatan usaha kelompok (missal pemasaran bersama untuk memotong rantai pemasaran),
- Mendorong pengembangan bank atau lembaga keuangan mikro untuk melayani permodalan masyarakat,
- Mendorong pengembangan emansipasi perempuan di bidang pendidikan, ketenagakerjaan dan kehidupan social lainnya yang saat itu sedang berkembang sejalan dengan “politik etis” yang dicanangkan oleh Van Deventer.
Melihat
pergerakan RM Tirto Adhi Soerjo tersebut, Pramoedya berpendapat bahwa RM Tirto
Adhi Soerjo tidak cukup dihargai sebagai perintis pers nasional karena beliau
sejatinya merupakan salah satu tokoh perintis pergerakan Indonesia. Pram
berpendapat bahwa RM Tirto Adhi Soerjo tidak banyak dikenal sebagai tokoh
pergerakan karena informasi tentang beliau banyak disembunyikan atau
dihilangkan oleh intel penyusup Belanda.
RM Tirto Adhi
Soerjo, selain sebagai jurnalis juga menerbitkan beberapa karangan fiksi yang terkait dengan kehidupan social
saat itu seperti kehidupan pergundikan para nyai yang menjadi simpanan para
pejabat Belanda atau amtenar pribumi. Membaca tulisan non fiksi maupun artikel pers
yang ditulis RM Tirto Adhi Soerjo, kita akan dihadapkan pada tulisan yang cukup
padat, bernas dan mampu memotret kondisi social saat itu dengan cukup jeli.
Salah satu
kekurangan buku ini yakni hilangnya beberapa dokumen-dokumen karya RM Tirto
Adhi Soerjo sehingga ada beberapa kisah yang agak terpenggal. Selain itu gaya
bahasa yang tidak banyak merubah isi artikel atau karangan termasuk beberapa kosa kata dalam Bahasa
Belanda membuat pembaca yang jarang membaca tulisan awal tahun 1900-an mungkin
akan perlu waktu untuk mengunyah dan memahami isi pesan yang disampaikan. Meski
demikianmembaca buku ini akan membuat kita semakin takjub dengan Pramoedya yang
mampu merangkai kisah ini dengan begitu elok. Selain itu buku ini menahbiskan
kemampuan Pram yang luar biasa untuk melakukan riset-riset terhadap
dokumen-dokumen kesejarahan yang telah using ditelan jaman.
Buku ini saya
rekomendasikan dibaca untuk para pemerhati sejarah, maupun generasi muda supaya
tidak tercerabut dari akar kesejarahan bangsa kita sendiri.