Thursday, November 28, 2024

Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah

 



Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah

Penulis; Hamsad Rangkuti

Penerbit Senja, Yogyakarta 2016

ISBN 978 602 391 174 5

224 halaman

 

Buku ini merupakan kumpulan 15 cerita pendek  yang ditulis oleh Hamsad Rangkuti. Cerpen tersebut pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Harian Kompas, Majalah Kartini dan Majalah Horizon periode 1979-1999.

Hamsad Rangkuti merupakan seorang penulis cerpen yang mumpuni. Dalam banyak cerpennya dia banyak bercerita tentang kaum miskin dengan cara yang satire (ironi, sindiran) dan muram. Demikian pula dalam buku ini, cerita tentang kaum miskin mendominasi karya-karyanya. Kaum miskin seringkali digambarkan sebagai kaum yang lugu dan sering jadi korban sistem yang ada. Namun terkadang kaum miskin juga sering melakukan tindakan yang tidak terduga karena tekanan kemiskinan yang dideritanya.

Cerpen Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah yang menjadi judul buku ini, berkisah tentang seorang remaja 16 tahun yang rela menjual keperawanannya demi mendapatkan uang untuk pengobatan ibunya yang sakit. Sebuah pengorbanan yang sangat besar di tengah ketidakberdayaan… tapi ketika dia mengorbankan diri seperti itu, masih ada pihak-pihak yang mencoba mengais untung dari si gadis lugu. Si Gadis nekat menjual kesuciannya, karena sadar plus putus asa bahwa dunia sekarang adalah dunia penjual dan pembeli. Kita terkadang tidak bisa berpegang pada hal suci dan sacral dalam dunia yang materialis ini…

Dalam buku ini terdapat dua cerpen tentang kehidupan politik yang relevan dengan saat in dimana Indonesia sedang hajatan Pilkada. Satu cerpen bercerita tentang seorang gelandangan yang sukses berkarir jadi politisi bermodal penampilan dan teriakan. Cerpen politik yang lain bercerita bahwa para politisi dimanapun selalu mementingkan jumlah suara dari pendukungnya, dan bukan mengutamakan aspirasi dari pendukungnya. Suatu ironi yang kongkrit di saat ini, di saat dunia politik kita dikuasai oleh orang-orang rakus, tidak bermoral dan tidak punya cukup kompetensi.

Wednesday, November 13, 2024

Sagu Papua untuk Dunia

 


Sagu Papua untuk Dunia

Penulis Ahmad Arif

Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 2019

ISBN  978-602-481-199-0

208 halaman

Buku ini ditulis oleh Ahmad Arif seorang jurnalis harian Kompas yang melakukan penelusuran terhadap tanaman sagu sebagai potensi sumber karbohidrat di masa depan.

Sagu merupakan tanaman yang bisa tumbuh di lahan gambut dan rawa-rawa. Selain di Indonesia, sagu ini juga ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Papua Nugini. Di Indonesia sendiri tanaman sagu banyak dijumpai di Tanah Papua dan Maluku seperti yang dituliskan oleh Alfred Wallace. Meski demikian dari berbagai tulisan dalam ekspedisi Marco Polo, sagu juga pernah jadi makanan bagi masyarakat di Sumatra.  Sedangkan di Jawa terdapat lukisan pohon sagu di relief candi dan terdapat nama-nama makanan yang berbahan baku sagu. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya sagu juga pernah tersebar ke Jawa dan Sumatra walau mungkin saat ini populasi pohon sagu di daerah Jawa dan Sumatra tinggal sedikit.

Di saat terjadi peralihan makanan pokok ke beras di berbagai daerah termasuk Papua, kebutuhan beras nasional melambung sangat tinggi dan tidak mampu dipenuhi dari produksi beras domestik sehingga kebijakan impor beras menjadi kejadian yang selalu berulang hampir setiap tahun. Selain beras, Indonesia juga mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap impor gandum. Semakin maraknya budaya makan roti, mie instan dan sejenisnya Selama 30 tahun terakhir impor gandum meningkat 500% atau lima kali lipat. Di tahun 2017/2018 impor gandum Indonesia mencapai 12,5 juta ton. Adanya ketergantungan terhadap beras dan gandum sebagai sumber karbohidrat ini, berkorelasi dengan munculnya penyakit seperti diabetes karena beras mempunyai kandungan glikemik tinggi dan mudah dicerna menjadi glukosa dalam darah.Dari sisi sosial, ketergantungan terhadap beras yang didatangkan dari luar daerah berpotensi menimbulkan kerawanan pangan ketika supply beras dari luar terganggu. Selain itu masyarakat yang dulu bisa menghasilkan pangan sagu secara swasembada, sekarang sering haruis menukarkannya ke beras supaya anak-anaknya mau makan.

Di balik kesalahan kebijakan yang mendorong beras-isasi (termasuk bantuan Raskin/Beras untuk Keluarga miskin), Indonesia sebenarnya menyimpan potensi sumber karbohidrat   yang sangat besar dalam bentuk sagu. Diperkirakan terdapat 5,5 juta hektar lahan sagu di Indonesia dan 5,2 juta hektar berada di tanah Papua. Namun pemanfaatan sagu di Papua  masih kurang dari 1% dan hanya untuk pemenuhan kebutuhan local.

Di level internasional, sagu dengan kandungan gizinya yang bagus (seperti glikemik rendah, bebas gluten dan memperlancar pencernaan) sebenarnya mempunyai potensi pasar yang cukup tinggi namun Indonesia belum bisa memanfaatkan dengan optimal. Pada tahun 2016 Indonesia bisa mengekspor pati sagu 7.700 ton per tahun. Hal ini sangat kontras dengan Malaysia yang bisa mengekspor 47.000 ton pertahun. Padahal luas lahan sagu di Malaysia hanya kurang dari 1% lahan sagu milik Indonesia.



Di saat dunia dilanda isu perubahan iklim, tanaman sagu sendiri sebenarnya punya beberapa kelebihan untuk dibudidayakan secara lebih intensif, yakni: (1) mampu beradaptasi dengan iklim dan musim, (2) bisa dipanen saat musim kemarau maupun musim hujan, (3) tahan penyakit, tidak memerlukan pupuk kimia dan pestisida kimia, (4) sistem perakaran mampu menangkap logam berat dan polutan, (5) dapat tumbuh di rawa payau, (6) dapat menahan abrasi Pantai, (7) produktivitas tinggi Dimana satu pohon sagu diperkirakan bisa menghasilkan 200-400 kg pati basah, (8) bisa menyerap karbon, (9) bisa dibudidayakan tanpa harus monokulturisasi (10) bisa menjadi sumber income bagi masyarakat

Melihat benefit sosial ekonomi dan ekologi dari pengembangan sagu, maka pada sekitar 2014 muncul bebetrapa inisiatif pengembangan industry sagu seperti di Kabupaten Meranti – Riau. Di Tanah Papua terdapat tiga Perusahaan yang menjajaki pengembangan sagu  yakni National Sago Prima (NSP) di Jayapura, Perhutani (konsesi 20.000 hektar) dan PT ANJAP (konsesi 40.000 hektar) di Sorong Selatan. Dari 3 perusahaan tersebut hanya PT ANJAP yang beroperasi dengan produksi tahun 2018 sekitar 1.894 ton.

Meskipun prospek industry sagu cukup tinggi namun bisnis sagu tidak selamanya mulus. Dari perkiraan 7 tahun balik modal, investasi PT ANJAP sebesar 77 juta US$ hingga tahun ke-8 masih merugi. Beberapa tantangan dalam pengembangan industry sagu ini antara lain: (1) minimnya infrastruktur pengangkutan batang sagu, (2) terbatasnya supply energi, (3) kondisi sagu alam yang membutuhkan modifikasi mesin, (4) konflik tenurial dengan Masyarakat adat sehingga perlu biaya tambahan.

Sdr Ahmad Arif sebagai penulis menyebutkan bahwa pengelolaan industry sagu alam oleh PT ANJAP memang masih menyisakan banyak kritik seperti perlindungan hak Masyarakat adat, dampak pergeseran budaya masyarakat yang semakin tergantung produk luar, dampak perubahan pola konsumsi masyarakat local dan gizi buruk. Meski demikian PT ANJAP telah berhasil menciptakan lapangan kerja untuk Sebagian Masyarakat, dan berhasil memanfaatkan tanaman sagu secara lebih produktif. Sehingga inisiatif industry sagu seperti PT ANJAP bisa dikembangkan dan terus disempurnakan sebagai alternatif untuk peningkatan kesejahteraan Masyarakat di Tanah Papua.

Bagi saya pribadi selaku pembaca, selain isu perlindungan masyarakat adat dari sisi tenurial dan budaya, isu lain yang perlu dipecahkan adalah strategi untuk menjaga kelestarian ekologis dan ekonomi dari ekstraksi  industry  sagu ini. Berapa potensi tegakan sagu yang ada? Berapa kecepatan tumbuhnya? Berapa jatah tebangan maksimum supaya tidak over eksploitasi? Kasus penggunaan teknologi pembalakan kayu dari alat konvensional menjadi mesin alat berat di era HPH tahun 1970-1990-an yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan secara masif, hendaknya menjadi yang pembelajaran agar pemanfaatan sagu perlu berhati-hati agar tidak menimbulkan kehancuran hutan sagu yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan dan budaya masyarakat asli Papua.

Secara garis besar, beberapa temuan kritis yang ditulis di buku ini senada dengan tulisan tentang kasus Perusahaan sagu PT ANJ yang dimuat dalam  Jurnal Wacana edisi tahun 2020.