Sunday, July 06, 2025

Kuasa Eksklusi, dilema pertanahan di Asia Tenggara

 


Kuasa Eksklusi, dilema pertanahan di Asia Tenggara

karya Derek Hall, Philip Hirsch & Tania Murray Li

(terjemahan Darmanto Simaepa & Achmad Choirudin, ed. Ben White)

Penerbit: INSISTPress, 2020,

ISBN 978-602-0857-90-9

402 halaman

 

Judul asli: Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia (NUS Press, 2011).

 

Buku ini ditulis berdasarkan penelitian proyek ChATSEA (2005–2010) dan studi kasus di tujuh negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Vietnam. Studi agraria ini dilakukan di tahun 2000an, namun dalam analisisnya terkadang juga dikupas sejarah agraria di masing-masing negara. Studi ini mengkaji perubahan-perubahan cara penutupan/pencegahan akses orang atas tanah (eksklusi) baik eksklusi type positif maupun negative (missal penggusuran, penyingkiran). Adanya eksklusi membuat individu atau kelompok tidak memiliki akses yang sama ke sumber daya, kesempatan, atau hak yang dimiliki oleh anggota masyarakat lainnya. Sebuah kata yang berlawanan makna dengan inklusi (pemberian akses).

 Eksklusi bidang agraria bisa dilakukan melalui berbagai cara yakni:

  • Pengaturan (regulation) melalui  aturan formal/birokratis yang mengatur pembatasan penggunaan, klaim, zonasi termasuk yang mengatur siapa dapat memanfaatkan tanah
  • Paksaan (force) melalui pengusiran atau pengamanan paksa oleh negara, milisi, atau pihak swasta menggunakan kekerasan 
  • Pasar (market) yang dipengaruhi oleh dinamika harga, permintaan lahan, dan tekanan komodifikasi tanah yang memaksa pemilik menjual tanahnya.
  • Legitimasi (legitimacy) yakni dasar moral dan sosial seperti klaim adat atau kontribusi finansial yang menguatkan eksklusi dengan citra sah

Keempat cara tersebut di atas bekerja sinergis, menciptakan eksklusi yang kompleks dalam berbagai konteks relasi pertanahan di Asia Tenggara.

Luas tanah di muka ini relative tetap, memang terdapat upaya untuk menambah luasan tanah di muka bumi namun nampaknya jumlahnya tidak terlalu signifikan. Dari waktu ke waktu, jumlah luas tanah yang tetap dihadapkan dengan pertambahan populasi penduduk yang meningkat pesat. Kebutuhan tanah untuk permukiman, industry, kawasan konservasi dan kepentingan lainnya membuat nilai tanah semakin tinggi dan perlu pengaturan yang lebih adil.

 

Eksklusi pertama: program reforma agraria, alokasi tanah dan sertifikasi tanah.

Untuk menjamin keadilan agraria, reforma agraria dalam bentuk pembagian lahan kepada tuna kisma (warga yang tidak punya lahan tanah) menjadi salah satu strategi yang dikembangkan di beberapa negara Asia Tenggara terlebih yang beridiologi komunis.. Strategi lain adalah negara melakukan pengaturan alokasi tanah, sehingga orang tidak bisa bebas seenak hati memanfaatkan lahan tersebut dan harus memperhatikan tata ruang yang ada.

Cara lain yang banyak ditempuh untuk menjamin kepastian hukum atas tanah adalah pemberian sertifikat (hak milik dan atau hak sewa/hak pakai) kepada pemilik/penggarap lahan. Selain memberikan kepastian hukum, seorang pemikir ekonomi Hernando de Soto, berpendapat bahwa sertifikasi tanah merupakan bentuk pemberian akses modal ke petani, karena mereka dapat mengagunkan sertifikat tersebut ke lembaga keuangan.  Namun pendapat de Soto ini mendapat tentangan dari banyak pihak karena sertifikasi tanah akan memudahkan petani menjual asset tanahnya dan kembali miskin. Selain itu sertifikasi yang sifatnya individual akan bisa merusak struktur sosial yang ada di masyarakat.

Pembagian lahan garapan, alokasi tanah  dan sertifikasi tanah yang diinisiasi negara ini, membuat orang lain ter-eksklusi dan tidak bisa memanfaatkan lahan tersebut dengan bebas. Hal ini menunjukkan bahwa eksklusi merupakan keniscayaan yang harus dihadapi. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana agar strategi tersebut dijalankan secara adil??

 Menurut pendapat saya, untuk eksklusi melalui reforma agraria, alokasi tanah dan sertifikasi tanah, nampaknya eksklusi dengan cara “pengaturan” yang lebih dominan.

 

Eksklusi Kedua: Menguatnya Kepedulian Lingkungan dan konservasi alam

Tumbuhnya kesadaran global terkait pelestarian hutan dan lingkungan membuat pemerintah di berbagai negara Asia Tenggara kemudian menggencarkan program pembangunan Kehutanan yang salah satunya melalui penataan dan penetapan batas hutan serta pengembangan Taman Nasional. Upaya pelestarian hutan ini banyak didukung oleh donor dan ornop yang peduli lingkungan.  Persoalannya penataan dan penetapan hutan yang dilakukan oleh negara seringkali kurang mempertimbangkan kepentingan masyarakat adat/local yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan tersebut. Maraknya kasus konflik masyarakat dengan Taman Nasional atau instansi kehutanan merupakan bukti nyata dualisme hukum formal yang diacu pemerintah dengan hukum adat yang diacu oleh masyarakat ada/local. Masyaraat adat/local yang telah hidup turun temurun dalam hutan dan bebas mengembangkan kegiatan penghidupan  seringkali terusir dari kampungnya karena kebijakan ini.

Menurut pendapat saya, seperti eksklusi melalui reforma agraria, alokasi tanah dan sertifikasi tanah, nampaknya eksklusi untuk kepentingan pelestarian lingkungan juga banyak dilakukan dengan cara “pengaturan”. Namun dalam banyak kasus, cara “pemaksaan” juga sering terjadi dalam penetapan hutan khususnya kawasan konservasi..

 

Ekslusi Ketiga: “Demam” komoditas budidaya (monokultur/perkebunan)

Ketika demam (booming) komoditi budidaya seperti kopi, kakao, kelapa sawit, tambak udang dan komoditi lainnya seringkali membuat banyak orang tertarik berinvestasi pada komoditi tersebut. Hal ini mengakibatkan tanah di lokasi yang sesuai dengan agroklimat tanaman tersebut menjadi jadi incaran banyak pihak. Dalam kasus di Indonesia, booming kelapa sawit membuat banyak perusahaan berinvestasi sehingga lahan kosong jadi incaran. Demikian pula dengan komoditi coklat di Sulawesi Tengah membuat banyak pengusaha dari Sulawesi Selatan berinvestasi ke kakao.

Persoalan muncul ketika investor tersebut menggunakan  pendekatan “pasar” dengan membeli lahan-lahan produktif petani. Banyak petani yang kemudian tergiur menjualnya, sehingga mereka beralih menjadi tuna kisma karena mereka sudah kesulitan mencari tanah kosong/hutan untuk dibuka kembali.

Petani kecil yang melakukan budidaya tanaman komersil secara monokultur juga sering terancam ketika harga komoditi turun drastis, atau gagal panen sehingga mereka kesulitan untuk membayar kredit atau kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berakibat mereka mencari jalan pintas dengan menjual tanahnya guna menutup hutang dan kebutuhan hidupnya.

Selain melalui mekanisme pasar, eksklusi untuk pengembangan perkebunan ini juga banyak dilakukan melalui cara “pengaturan” bahkan “pemaksaan”

  

Eksklusi keempat:  Alih fungsi lahan pertanian,

Berkembangnya kota, suatu saat akan menemui titik jenuh karena lahan terbatas sementara kebutuhan terus perkembang. Oleh karenanya pemanfaatan daerah-daerah periferi pinggiran kota besar menjadi salah satu pilihan seperti Jakarta dengan daerah penyangganya seperti Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Banyak lahan pertanian yang beralih fngsi untuk permukiman maupun industri.  Selain itu berkembangnya penduduk juga membawa konsekwensi berupa kebutuhan fasilitas wisata atau rekreasi. Hal ini juga menimbulkan eksklusi.

Cara yang banyak ditempuh untuk konversi lahan pertanian untuk industri, wisata, permukiman dll antara lain melalui “pasar (jual beli)”, pengaturan oleh pemerintah dan tidak jarang dibumbui dengan aksi pemaksaan.

 

Eksklusi kelima:  Pencegahan akses oleh “orang dekat”.

Kehidupan masyarakat desa mengalami dinamika.  Masyarakat yang dulu digambarkan guyub, saling menolong,, saling berbagi, harmonis dan seterusnya seperti yang digambarkan oleh Cliffort Geertz, tidak sepenuhnya terjadi saat ini. Kehidupan individualisme makin kentara dan hubungan makin formal.

Dalam masyarakat sendiri juga terdapat struktur sosial yang sering terkait erat dengan struktur ekonomi. Dalam masyarakat desa yang belum banyak berhubungan dengan lembaga keuangan, keluarga yang mampu biasanya akan jadi tempat tujuan utama bila seseorang membutuhkan uang. Namun peminjaman ini seringkali disertai dengan “bunga“ yang nilainya seringkali cukup tinggi. Apabila si peminjam tidak mampu membayar pinjamannya, lahan tanahnya akan disita menjadi milik pemberi pinjaman. Dengan cara ini orang yang mampu bisa melakukan akumulasi modal dengan cara meminjamkan uang.

 

Eksklusi keenam: Klaim berbasis identitas & keterikatan tempat

Eksklusi ini terjadi ketika sebuah komunitas adat/kedaerahan meng-klaim tanah yang telah dikuasai pihak lain dengan menggunakan argumentasi bahwa masyarakat adat/lokal lebih berhak atas tanah tersebut dibandingkan pendatang karena masyarakat adat tersebut telah turun temurun tinggal di daerah tersebut.  Kasus klaim ini antara lain terjadi di beberapa daerah transmigrasi di Indonesia, di mana masyarakat adat meng-klaim lahan tranmigran sebagai tanah leluhurnya. Kasus yang hampir mirip adalah kasus pengusiran orang Madura sebagai imbas kerusuhan di Sanggau (Kalbar) dan Sampit (Kalteng).

Hal ini terasa menyesakkan bagi para transmigran karena mereka semata-mata mengikuti program yang diselenggarakan pemerintah, namun ternyata tidak ada jaminan hukum atas lahan yang mereka kuasai.

 

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa dilema pertanahan yakni setiap intervensi produktif atau perubahan terhadap tanah selalu mengandung ‘harga’—karena eksklusi terhadap pengguna lain adalah konsekuensi yang tak terhindarkan. Bahkan sering kali eksklusi muncul dalam bentuk ganda yakni melindungi sebagian pihak sekaligus menciptakan ketidakamanan bagi pihak lain.

 Dari buku ini, sebuah pertanyaan yang tersisa di benak saya adalah seperti apakah strategi yang adil yang bisa mengakomodir kepentingan pembangunan sekaligus juga menghormati hak kepemilikan pribadi, penghormatan terhadap masyarakat adat/tradisi, produksi yang berorientasi subsisten?

 

Rekomendasi

Buku ini dikemas dalam alur yang runtut dan bahasa yang mudah dicerna oleh orang awam.Saya merekomendasikan buku ini untuk pembaca yang tertarik pada studi agraria & kebijakan pertanahan, konflik sosial-politik atas sumber daya tanah, dan pegiat advokasi masyarakat  adat dan pedesaan.