SUTAN SJAHRIR: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang mendahului jamannya
Penulis: Rosihan Anwar
PT Kompas Media Nusantara
Jakarta 2011
ISBN: 978-979-709-569-7
Halaman 191
Sutan Sjahrir lahir 1909 berasal dari Kota Gadang – Sumatera Barat dan ayahnya bekerja sebagai Jaksa Pengadilan Negeri di kota tersebut. Sjahrir menempuh pendidikan di ELS (sekolah dasar berbahasa Belanda ) terus dilanjutkan ke MULO (SMP berbahasa Belanda) di Medan. Pada tahun 1926-1929 Sjahrir menempuh pendidikan AMS (SMA berbahasa Belanda) di Bandung. Setamat dari AMS, Sjahrir mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Leiden namun dia jarang kuliah dan lebih tertarik mempelajari sosialisme. Selama di Leiden, Sjahrir bertemu Moh Hatta dan kemudian bergabung dengan organisasi mahasiswa Perhimpoenan Indonesia.
Pada akhir tahun 1929, Partai Nasional Indonesia yang didirikan Soekarno dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sjahrir kemudian diutus Hatta untuk pulang ke Indonesia melanjutkan perjuangan PNI. Pada tahun 1932, dalam usia 23 tahun Sjahrir terpilih sebagai ketua PNI Pendidikan (PNI Baru). Melaluiu PNI baru, Sjahrir kemudian memmbangun kesadaran politik anggota melalui penerbitan buku pedoman anggota PNI Baru. Pada tahun 1934, Sjahrir dan Hatta dibuang ke Boven Digul – Papua dan 1936 dipindahkan ke Banda. Selama dalam pembuangan, Sjahrir memanfaatkan waktu untuk mempelajari politik internasional dan mengajar anak-anak setempat. Pada tahun 1942 sewaktu pecah perang dunia ke 2, Sjahrir dipindahkan ke tahanan di Sukabumi.
Masuknya Jepang ke Indonesia pada Perang Dunia ke 2, membuat Sjahrir agak menarik diri dari dunia pergerakan karena Sjahrir bersikap anti Jepang yang dipandang fasis dan totaliter. Setelah Indonesia merdeka, Sjahrir kemudian aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat dan tahun 1945 menjadi Perdana Menteri pertama dalam usia 36 tahun. Kepemimpinan Sjahrir, Soekarno dan Hatta kemudian dikenal dengan nama Tiga Serangkai. Dengan perawakannya yang mungil Sjahrir juga dikenal dengan sebutan Bung Kecil. Pada tahun 1946, Sjahrir menandatangani Perjanjian Linggarjati, walaupun sebenarnya memperoleh tentangan dari aliran garis keras (seperti Tan Malaka) dan TNI yang dipimpin Jendral Soedirman. Namun Sjahrir tetap jalan terus dengan pertimbangan perjanjian Linggarjati ini sebagai entry point umtuk memperoleh pengakuan internasional terhadap keberadaan Negara Indonesia.
Pada tahun 1945, Sjahrir memimpin Partai Rakyat Sosialis (Paras) yang kemudian bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (Parsi yang dipimpin Amir Sjarifuddin). Merger dua partai tersebut melahirkan Partai Sosialis. Namun Partai Sosialis ini hanya bertahan 3 tahun dan anggota eks Parsi banyak yang bergabung ke Partai Komunis Indonesia (PKI). Sjahrir kemudian mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PSI ini merupakan partai kader dengan platform “sosialisme kerakyatan/sosialisme demokrat” yang mendasarkan pada persamaam, keadilan serta kerjasama antar manusia. PSI tidak menyukai bentuk fasisme kiri (komunisme) maupun fasisme kanan (dictator), karena fasisme dipandang tidak memberikan penghargaan pada humanisme. PSI membangun militansi melalui proses edukasi dan penyadaran politik internal. PSI mempunyai anggota dan simpatisan kalangan intelektual yang cukup qualified seperti Soedjatmoko, Soemitro Joyohadikusumo, Soebadio Sastrosatomo, Mohtar Lubis, TB Simatupang, dll. Meski didukung kalangan intelektual, PSI hanya mempunyai anggota beberapa ribu orang dan memperoleh suara sedikit (sekitar 2 %) ketika Pemilu 1955. Hal ini mungkin disebabkan strategi rekrutmen anggota yang ketat, jargon partai yang kurang bisa dipahami oleh massa saat itu, dana terbatas sehingga kampanye terbatas didaerah perkotaan dan pinggiran kota.
Walaupun partai kecil, namun PSI tetap berupaya untuk mewarnai perjalanan politik saat itu. Namun tidak jarang PSI dijadikan kambing hitam dalam era demokrasi terpimpin-nya Soekarno. Pemerintahan Soekarno yang mengarah pada dictator dipandang berbahaya oleh Sjahrir. Perlawanan Sjahrir ini kemudian berbuntut pada penahanan Sjahrir di Madiun oleh pemerintahan Soekarno pada tahun 1962. Karena hipertensi pada tahun 1965 dalam status tahanan politik, Sjahrir berobat ke Swiss dan meninggal tahun 1966 dalam usia 57 tahun.
Sjahrir merupakan salah satu potret anak bangsa yang termakan oleh revolusi yang dibidaninya. Sjahrir sebagai manusia mempunyai berbagai kekurangan, meski demikian ada banyak hal yang bisa dipetik sebagai pembelajaran dari seorang Sjahrir yakni:
(1) seorang autodidak dan pembelajar hebat, dimana dia tidak menyelesaikan kuliah namun berpengetahuan luas karena dia mau belajar dari buku-buku dan terjun langsung dalam praktek. Ketika dibuang ke Boven Digul dan Banda, harta utama yang dibawanya adalah buku-buku (2) Pendidik yang humanis, ketika dibuang di Banda terlihat sifat humanismenya dengan mendidik anak-anak setempat, dan dia sangat perhatian terhadap orang kecil. (3) Kehidupan Sjahrir yang diabdikan di dunia politik, lebih didasarkan pada visi untuk menyejahterakan masyarakat dan bukan kesejahteraan pribadi. Bagi Sjahrir berpolitik bukan untuk mencari jabatan tapi lebih merupakan tanggungjawab untuk bangsanya. (4) Pelopor partai kader yang berusaha membangun militansi anggota melalui proses pendidikan internal (5) Politikus yang visioner namun realistis, misalnya keberaniannya menandatangani perjanjian Linggarjati yang oleh aliran garis keras dipandang terlalu memberi konsesi terlalu banyak kepada Belanda, namun dari sisi Sjahrir perjanjian itu perlu ditandatangani untuk mendapatkan dukungan pengakuan internasional terhadap keberadaan negara Indonesia yang baru merdeka.
Secara umum, buku ini cukup baik untuk memberikan pemahaman terhadap sosok Sjahrir sebagai tokoh pejuang pergerakan nasional. Kalaupun ada kekurangan adalah dalam beberapa bagian terjadi pengulangan atau kekurang runtutan alur sehingga terkesan muter-muter. Selain itu, penulis terkesan sangat terpesona oleh pemikiran Sjahrir sehingga dalam beberapa bagian buku ini terkesan muncul kultus individu terhadap Sjahrir. Meski demikian kedua hal tersebut tidak terlalu mengganggu. Semoga di masa depan akan lahir politikus pemikir yang bersahaja, humanis dan berpihak kepada kepentingan masyarakat seperti sosok seorang Sjahrir….
No comments:
Post a Comment