Belajar dan berbagi kisah kasih kehidupan yang penuh kehangatan dan kebersahajaan
Wednesday, August 01, 2012
PRAJURIT PEREMPUAN JAWA: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke 18
Oleh: Ann Kumar
Komunitas Bambu, Jakarta 2008
ISBN 979-3731-28-1
200 halaman
Buku ini merupakan hasil riset Ann Kumar yang mempelajari berbagai manuskrip sejarah Jawa yang berasal dari catatan seorang perajurit perempuan Keraton Mangkunegara dan dicross check dengan manuskrip versi VOC.
Buku ini menceritakan kisah pecahnya keraton Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Semula Keraton Mataram diperintah oleh Pakubuwono II pada tahun 1700an. Pemerintahan Pakubuwono disokong oleh VOC. Kehadiran VOC ini tidak menyenangkan hati Raden Mas Said yang kemudian memberontak. Pemberontakan Raden Mas Said ini bisa diredakan oleh Pangeran Mangkubumi. Namun ternyata Pakubuwono II mengingkari janjinya untuk memberikan hadiah kepada Mangkubumi. Mangkubumipun kemudian bersekutu dengan Mangkunegara untuk melawan Pakubuwono dan VOC.Untuk meredakan situasi kemudian diadakan Perjanjian Gianti (1755) yang membagi wilayah keraton mataram menjadi 2 yakni Surakarta yang dipimpin oleh Pakubuwono dan Yogyakarta yang dipimpin Mangkubumi. Mangkunegara yang merasa ditinggalkan, kemudian terus memberontak walaupun akhirnya dia menyetujui diberi wilayah dan membentuk Keraton Mangkunegara. Meski demikian keraton Mangkunegara ini sifatnya hanya “adipati” dan bukan “raja yang berkuasa penuh”.
Intrik politik dan perebutan kekuasaan antara Keraton Surakarta, Yogyakarta dan mangkunegara. Persaingan maupun Persekutuan-persekutuan yang didasari kepentingan jangka pendek sering terjadi antara ketiga pihak tersebut. Di sinilah kepiawaian VOC mengatur konflik dan keseimbangan antar pihak untuk melestarikan kepentingan mereka sendiri.
Dalam buku ini juga dikupas beberapa hal menarik bahwa:
• Di keraton Surakarta dan Mangkunegara, agama Islam mempunyai peran penting sebagai salah satu norma sosial bermasyarakat. Raja mangkunegara sendiri rajin mempelajari agama, menyalin Quran dan rajin menyelenggarakan ritual seperti pengajian. Meski demikian juga ditemukan berbagai penyimpangan keagamaan di keraton seperti masih banyaknya budaya minum alkohol, judi dll.
• Di keraton Surakarta dan mangkunegara ditemukan barisan prajurit-prajurit perempuan yang cukup tangguh.
• Terdapat rangkap fungsi prajurit dengan fungsi sosial lain. Misalnya prajurit perempuan, selain mahir di medan perang juga mahir menari tradisional. Demikian juga prajurit kaum, selain berperang mereka juga mempunyai tugas untuk memakmurkan masjid.
• Dari sisi kesejarahan. Tentara Mangkunegara merupakan tentara yang kuat, profesional, loyal dan semangat korps tinggi. Sehingga legiun Mangkunegaran merupakan barisan yang sangat disegani pada masanya.
• Mangkunegara selain merupakan panglima perang yang tangguh, juga merupakan pemeluk Islam yang relatif taat dan ahli seni budaya khususnya tarian.
• Kebutuhan operasional kerajaan seperti rumah tangga keraton maupun gaji tentara yang cuku besar membuat Mangkunegaran terkadang kesulitan finansial dan akhirnya tergantung ekonominya sama VOC.
Secara umum buku ini agak menarik meski judulnya kurang sesuai dengan isinya. Hal lain adalah penempatan end-note menjadi kurang praktis karena pembaca harus membolak-balik halaman untuk mendapatkan penjelasan . Kelemahan lain adalah buku ini ditulis dengan mengacu pada manuskrip yang ditulis “abdi Mangkunegaran” . Hal ini berpotensi menimbukan bias-bias subyektifitas dalam analisisnya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment