Oleh: Molly Bondan
Yayasan Obor Indonesia
Jakarta, 2008
ISBN; 978-979-461-698-7
424 halaman
Buku ini merupakan biografi Mohamad Bondan yang merupakan
tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Buku ini ditulis Molly Bondan, istri
Mohamad Bondan yang semula berkewarganegaraan Australia dan banyak membantu
Bondan dalam melakukan perjuangan pergerakan kemerdekaan selama Bondan tinggal
di Australia maupun setelah Bondan pulang ke Indonesia.
Tidak ada tanggal pasti tentang kelahiran Bondan,
kemungkinan ia dilahirkan 15 Januari 1910 atau 13 Januari 1911. Bondan
berasal dari keluarga bangsawan kecil keraton Kesepuhan Cirebon. Ayah Bondan
seorang mantri kehutanan di daerah Cirebon
dan kuningan diera Hindia Belanda. Mantri kehutanan saat itu merupakan jabatan
yang cukup dihormati di lingkungannya. Meski sebagai pegawai pemerintah Hindia
Belanda, ayah Bondan sudah berpikiran cukup maju dan pro perjuangan
kemerdekaan. Sehingga anak-anaknya di sekolahkan sejak dini, termasuk
anak-anaknya yang perempuan. Bondan yang dibesarkan di daerah pedesaan dan kota
kecil sangat menikmati masa kecilnya yang hidup di lingkungan yang asri dan
penuh keakraban.
Sewaktu kecil, Bondan mulai disekolahkan di beberapa sekolah
kampong yang tidak dijalaninya secara serius. Dia berpindah-pindah sekolah
mengikuti ayahnya yang sering berpindah tugas. Bondan lulus dari HIS Kuningan
(setingkat sekolah dasar jaman Belanda) pada tahun 1926. Namun saying karena ketiadaan
biaya, Bondan tidak mampu melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dia
akhirnya mendaftarkan dan diterima sebagai pegawai pembantu juru tulis di
Pemerintah Kota Cirebon.
Pada usia 18 tahun, Bondan tertarik ikut rapat-rapat umum
yang diselenggarakan oleh pergerakan kemerdekaan. Dia sangat termotivasi ketika
menghadiri rapat umum yang menampilkan Soekarno sebagai pembicara. Dia kemudian
bergabung dalam Partai Nasional Indonesia Cabang Cirebon. PNI merebut simpati
dari masyarakat sehingga dikuatirkan akan merongrong kewibawaan pemerintah
Hindia Belanda. Oleh karenanya tokoh2 PNI termasuk Bondan kemudian dijebloskan
penjara. Adanya desakan dari berbagai
pihak seperti Dr. Sutomo (PPPKI) dan Perhimpunan Indonesia (yang berada di
Belanda) membuat pemerintah Hindia Belanda melepaskan tokoh-tokoh tersebut.
Namun karena keaktifannya di PNI, Bondan kemudian dipecat dari jabatannya
sebagai pegawai Pemerintah Kota Cirebon.
Pada tahun 1930, bondan pindah kerja ke Jakarta dan terus
bergabung di PNI sampai Soekarno ditangkap dan PNI dibubarkan. Pada saat Bung
Hatta dan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia, Bondang bergabung
dengan PNI Pendidikan. Pada tahun 1934, karena keaktivannya di PNI Pendidikan
membuat Bondan ikut kena ciduk dan
dimasukkan ke penjara Glodok. Tokoh PNI Pendidikan lain yang ditangkap adalah
Bung Hatta, Sjahrir, Maskun, Burhanuddin dll.
Pada bulan Januari 1935, Bondan bersama tokoh-tokoh pergerakan dibuang ke Digul-Papua agar mereka
sulit untuk membangun komunikasi dan jaringan poliutik dengan tokoh pergerakan
lainnya. Digul merupakan suatu kamp interniran (tempat pembuangan tahanan
politik) yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1926. Kondisi alam
yang masih belantara, terpencil, banyak binatang buas dan malaria merupakan
ancaman yang meatikan bagi para tahanan politik yang dikirim ke sana. Istilah
“Digul-is” bermakna sebagai orang-orang tahanan politik yang pernah dibuang ke
Digul.
Selama pembuangannya di Digul, Bondan banyak belajar ekonomi kepada Bung
Hatta. Bersama-sama tokoh pergerakan yang lain (khususnya PNI Pendidikan)
mereka mendirikan sekolah informal bagi anak-anak tahanan politik di Digul.
Sepeninggal Bung Hatta dan Sjahrir yang dipindahkan ke Bangka, Bondan pernah
mencoba kabur dari Digul dan sampai di Merauke. Namun tertangkap dan
dikembalikan ke Tanah merah.
Pada tahun 1943, warga Digul (termasuk tahanan politik)
dievakuasi ke Australia karena Perang Dunia II. Pada mulanya Pemerintah Belanda memanipulasi
bahwa tapol dari Digul disebutkan sebagai tawanan perang yang pro-Jepang. Namun
lama-kelamaan hal ini terbongkar dan menimbulkan amarah public di Australia.
Pemerintah Australia sendiri kemudian membebaskan para tapol untuk keluar dari
tangsi tahanan dan memberikan kebebasan buat para tapol untuk mencari pekerjaan
di Australia.
Pada tahun 1945, Bondan mendengar Soekarno Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Bondan dan rekan-rekannya mengorganisir diri membentuk Komite Indonesia Merdeka
(KIM) di Brisbane yang bertugas untuk
member dukungan pada Negara Indonesia yang baru merdeka. Sedangkan para pelaut
Indonesia mendirikan SARPELINDO (Serikat Pelaut Indonesia) yang kemudian
menjalin hubungan baik dengan serikat Buruh Australia untuk melakukan pemogokan
terhadap kapal-kapal Belanda. KIM ini terus berkembang di beberapa kota lain sehingga kemudian
dibentuk CENKIM (Central Komite Indonesia Merdeka) untuk mengorganisirnya.
CENKIM ini kemudian bertugas menjadi corong informasi tentang perkembangan di
Indonesia, membangun hubungan diplomatic informal dengan Australia, membangun
hubungan dagang (walau kurang berkembang karena Indonesia masih bergejolak),
mengatur pemulangan para tapol ke tanah air hingga melakukan penggalanagan
bantuan kemanusiaan korban perang revolusi kemerdekaan. CENKIM mempunyai peran
strategis dalam membangun hubungan baik
Indonesia – Australia. Melalui CENKIM ini, Bondan dan Molly yang saat itu
bekerja sebagai volunteer di CENKIM , dipertemukan dan menikah tahun 1946.
Molly yang sejak semula simpati dengan perjuangan bangsa Indonesia kemudian
ikut pindah ke Indonesia tahun 1947.
Sepulang dari perjuangan di Australia, Bondan kemudian
mengabdikan diri menjadi Pegawai Negeri Sipil di Departemen Perburuhan untuk
urusan pelatihan dan pengembangan kualitas SDM. Walaupun hanya berpendidikan
HIS, namun orang mengakui dedikasi, perjuangan dan pengalaman Bondan. Sedangkan Molly mengabdikan diri menjadi
pegawai Departemen Penerangan. Sisa-sisa penyakit malaria hitam yang diperolehnya di Digul membuat Bondan
beberapa kali jatuh sakit dan mengalami gangguan pendengaran. Bondan akhirnya
meninggal tahun 1990 setelah menderita kanker paru-paru akut. Dia meninggalkan Alit
(anak dari perkawinannya dengan Molly) dan Uwoh (anak dari pernikahannya dengan
istri pertamanya yakni Dedeh yang diceraikannya ketika Bondan berada di tahanan
Digul).
Secara umum buku ini sangat enak dibaca karena bahasanya
luwes dan alurnya mengalir lembut.
Sangat bagus untuk menambah pengetahuan tentang sejarah perjuangan
bangsa pra kemerdekaan. Banyak hal yang bisa diteladani dari seorang Bondan,
seperti: sikap nasionalisme, bersahaja, pantang menyerah, mau belajar,
akuntabel, bertanggung jawab dll dimana sikap-sikap tersebut sudah menjadi
barang langka yang sulit ditemukan saat ini.
No comments:
Post a Comment