Oleh: TEMPO
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Jakarta, 2013
178 halaman
ISBN 978-979-91-0636-0
Buku ini merupakan penelusuran Tim Tempo, terhadap
perjalanan hidup tokoh Haji Agus Salim yang mempunyai nama asli Masjhudul Haq
(Pembela Kebenaran) tahun 1884-1954. Sejak kelas 4 SD, saya sendiri sudah
mengidolakan Haji Agus Salim sebagai tokoh nasional, setelah saya membaca kisah
perjuangan beliau yang dimuat dalam sebuah majalah Intisari usang yang dimiliki
keluarga saya.
Haji Agus Salim yang dilahirkan di keluarga ambtenaar di
Koto Gadang (Sumatra Barat), sejak usia sekolah dikenal sebagai anak yang
cerdas dalam ilmu pasti, ilmu social dan bahasa. Beliau semula bercita-cita
jadi dokter, namun nasib membawanya ke dunia pergerakan nasional setelah beliau
gagal memperoleh bea siswa dari Pemerintah Hindia Belanda. Saat itu RA Kartini
yang memperoleh bea siswa, sudah menyampaikan ke Pemerintah Hindia Belanda
bahwa belia merelakan bea siswanya diberikan kepada Haji Agus Salim, namun
tidak ada tanggapan Pemerintah saat itu.
Salah satu kelebihan beliau adalah kecerdasannya dalam
bersilat lidah. Beliau semula mantan anak didik Snock Hourgronje (orang Belanda orientalis) yang membuat
beliau hampir jadi agnostic. Tapi kesempatan tugas Ke Jedah, membuat beliau
menekuni islam kepada berbagai ulama besar disana dan beliau kembali ke
jalan agama. Beliau orang yang rasional
dan logis, sehingga beliaupun mempelajari agama dengan cara-cara yang rasional
(tidak taqlid buta). Dalam pembelajaran di Jedah tersebut beliau juga
berkenalan dengan dua tokoh organisasi Islam terbesar di Indonesia yakni Hasyim
Asy’ari (NU) dan Ahmad Dahlan (Muhammadiyah).
Haji Agus Salim merupakan POLIGLOT atau orang yang mempunyai
kemampuan menguasai beberapa bahasa. Beliau mampu menguasai 9 bahasa asing
seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Jepang, Turki dll. Dengan
kecerdasan dan kemampuan berbahasanya, beliau merupakan tokoih yang multi
talenta. Beliau dikenal sebagai tokoh Pergerakan Sarekat Islam (bersama HOS
Tjokroaminoto), penasehat Jong Islamiten Bond, tokoh pendidikan yang mendirikan
HIS swasta di Sumatera Barat, wartawan surat kabar, penyiar radio, ulama Islam
dan tentu saja sebagai DIPLOMAT yang terlibat dalam berbagai perundingan
seperti Linggarjati, Renville dll. Sebagai
orang yang sangat sayang terhadap keluarga, Haji Agus Salim dan istri yang
sangat dicintainya telah menerapkan home
schooling untuk putra-putrinya yang berjumlah 7 orang, karena beliau tidak
ingin putra-putrinya dicemari pendidikan Belanda yang bersifat kolonialis,
Salah satu pesan moral dari buku ini adalah petuah beliau
bahwa “Leiden is Lijden” atau “Memimpin
adalah menderita”. Beliau yang cerdas dan berpengaruh, sebenarnya akan sangat
mudah untuk memperkaya diri bila beliau mau bekerja untuk Belanda ataupun mau
memanfaatkan jabatan di jaman pergerakan. Namun beliau malah memilih jalan
sebagai tokoh Pergerakan Nasional demi kemerdekaan bangsa. Seorang tokoh
politik Belanda yang jadi juru runding di Perjanjian Linggar Jati menyebutkan
bahwa “Haji Agus Salim merupakan tokoh yang cerdas, berintegritas, dan teguh
pendirian. Salah satu kelemahannya adalah seumur hidup dia miskin dan melarat”.
Semoga kesederhanaan hidup, integritas perjuangan dan
dedikasi Haji Agus Salim memperoleh limpahan pahala di haribaan-Nya…aamiin…….
No comments:
Post a Comment