Bagaimana Undang-Undang Dibuat
Oleh: Erni Setyowati, Rival Gulam Ahmad dan Soni Maulana Sikumbang
Diterbitkan atas Kerjasama Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), The Asia Foundation dan USAID.
Jakarta, 2003
105 halaman
ISBN 979-96-494-6-3
Buku ini ditulis pada saat
masih hangatnya reformasi di awal 2000-an. Sesuai kondisi saat itu, buku ini nampaknya
berusaha memberikan sajian pendidikan kewarganegaraan (civic education)
bagi public khususnya terkait dengan penyusunan Undang-undang yang merupakan
salah satu fungsi utama dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penulisan buku ini
nampaknya juga dilatarbelakangi oleh belum optimalnya DPR dalam menjalankan
fungsi pengawasan, sehingga DPR dirasa tidk berkontribusi secara signifikan
dalam memperbaiki kinerja penyelenggaraan pemerintahan. Di bidang pembuatan perundangan
(legislasi), ditengarai terdapat
beberapa gejala umum sebagai berikut: (1) produk Undang-Undang yang dihasilkan DPR
tidak efektif atau berhasil mencapai
tujuan yang diharapkan (2) UU tidak implementatif, (3) UU tidak responsive terhadap
aspirasi masyarakat sehingga ada penolakan (4) UU yang dihasilkan menimbulkan
masalah baru (5) UU tidak sesuai prioritas kebutuhan masyarakat.
Pada jaman Orde Baru,
Pemerintahan Soeharto membatasi ruang
gerak demokrasi bagi public maupun bagi Lembaga Negara seperti DPR. Dengan
bergulirnya reformasi, terjadi euphoria demokrasi yang dikuatirkan bisa
merusak tatanan demokrasi itu sendiri. DPR menjadi kekuatan yang sangat powerful,
sedangkan tidak ada kekuatan penyeimbang yang mampu menjalankan check and
balances. Oleh karena itu, penulis buku ini mendorong perlu adanya pengawasan
public secara proaktif terhadap DPR. Pengawasan
terhadap DPR penting karena: (1) DPR adalah Lembaga perwakilan masyarakat
sehingga masyarakat berhak tahu apa yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat. Masyarakat
yang berhak terlibat tidak hanya dalam proses PEMILU tetapi juga mengawasi wakil-wakil
rakyat yang telah mereka pilih, (2) DPR memegang peranan strategis dalam berbangsa
dan bernegara serta menentukan nasib masyarakat melalui kebijakan yang mereka
buat. (3) DPR perlu diawasi karena DPR yang seharusnya menjalankan fungsi
agregasi dan artikulasi kepentingan dari konstituennya, tidak jarang malah
berbeda kepentingan dengan konstituen yang diwakilinya.
DPR mempunyai tiga fungsi
pokok yang mencakup: (1) fungsi LEGISLASI atau pembuatan Undang-undang muali
dari tahap perencanaan, perancangan, pembahasan, perdebatan persetujuan dan
pengesahan bersama eksekutif, (2) fungsi PENGAWASAN yang berupa control dan
evaluasi terhadap eksekutif dalam penyelenggaraan negara, (3) fungsi
PENGANGGARAN yang berupa persetujuan terhadapa APBN yang diusulkan oleh
eksekutif beserta pengawasan/audit penggunaannya.
Tugas dan wewenang DPR di atur
dalam UUD 1945 pasal 19 sd 22 B. Namun karena dirasa kurang detail, tugas dan
kewenangan tersebut kemudian dijabarkan dalam UU tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR dan DPRD. Untuk internal DPR, tugas dan kewenangan mereka kemudian
dijabarkan dalam Tata Tertib DPR.
Dalam menjalankan Tugas dan
Fungsinya, memiliki alat kelengkapan tetap yang terdiri dari: (1) Pimpinan DPR,
(2) Komisi dan sub Komisi, (3) Badan Musyawarah/Bamus, (4) Badan Urusan Rumah
Tangga/BURT, (5) Badan Legislasi/Baleg, (6) Badan Kerja Sama Antar Parlemen/BKSAP,
(7) Panitia Anggaran/Panggar. Selain itu
terdapat alat kelengkapan yang sifatnya sementara seperti Dewan Kehormatan, Panitia
Kerja/Panja, dan Panitia Khusus/Pansus.
Dalam menjalankan tugasnya, DPR ditopang
oleh Sekretariat Jendral (Setjen) DPR yang menjalankan fungsi-fungsi kesekretariatan
dan administrasi.
Di DPR terdapat 6 jenis rapat yang mencakup (1)
Rapat Paripurna, (2) Rapat Paripurna Luar Biasa, (3) Rapat Kerja, (4) Rapat
Dengar Pendapat/RDP, (5) Rapat Dengar Pendapat Umum/RDPU, (6) Rapat tingkat
alat kelengkapan DPR seperti rapat Komisi, Rapat Baleg dll. Rapat-rapat
tersebut secara umum bersifat terbuka. Meski demikian dalam situasi tertentu
bisa dilakukan secara tertutup. Proses pengambilan keputusan dalam rapat
dilakukan dengan memperhatikan “kuorum”. Proses pengambilan keputusannya
bisa dilakukan secara musyawarah mufakat ataupun voting suara terbanyak.
Berkaitan dengan Penyusunan Undang-Undang di DPR, tahap yang harus dilalui adalah:
- PERENCANAAN. Dalam tahap ini disusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang berisi daftar Undang-undang yang akan disusun selama 5 tahun mendatang. Daftar tersebut kemudian dibahas oleh eksekutif dan DPR untuk penentuan prioritas UU yang perlu disusun setiap tahunnya.
- Perancangan dan PENGUSULAN. UU bisa diusulkan oleh pihak Pemerintah maupun diusulkan oleh DPR. Pihak ketiga seperti LSM bisa juga mengajukan Rancangan UU kepada DPR seperti yang dilakukan oleh ICEL yang mengusulkan RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi.
- PEMBAHASAN TINGKAT PERTAMA antara DPR dengan Pemerintah yang berisi (1) Pemandangan Umum Fraksi terhadap RUU yang diajukan Pemerintah atau Tanggapan Pemerintah terhadap RUU yang diusulkan DPR, (2) Jawaban Pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi atau Jawaban pimpinan Komisi atau Pimpinan Baleg terhadap tanggapan Pemerintah, (3) Pembahasan dan Persetujuan bersama atas RUU antara Pemerintah dan DPR dalam Panitia Kerja/Panja dengan mengacu pada Daftar Inventarisasi Masalah. Pada tahap ini, masyarakat bisa berpartisipasi dalam memberikan masukan terhadap draft RUU yang sedang disusun.
- PEMBAHASAN TINGKAT KEDUA yang berupa pengambilan kepurusan dalam Rapat Paripurna berupa persetujuan pimpinan DPR untuk pengesahan RUU yang dibahas.
Dalam buku ini penulis juga
menyampaikan bahwa ada beberapa pihak penting yang bisa dihubungi ketika
masyarakat ingin berpartisipasi dalam memberikan masukan untuk penyusunan UU,
yakni: (1) anggota DPR dari Komisi/Pansus yang membahas, (2) Badan Legislasi
DPR, (3) Asisten 1 Setjen DPR Bidang Perundang-undangan, (4) Pusat Pengkajian dan
Pelayanan Informasi/P3I, (5) Fraksi-fraksi. Penyampaian usulan tersebut bisa
dilakukan melalui Rapat dengar Pendapat Umum/RDPU, Diskusi/hearing dengan
Fraksi-fraksi, Rapat Konsultasi Publik maupun hearing dengan Badan
Legislasi DPR.
Buku ini ditulis dengan bahasa
sederhana sehingga mudah dipahami oleh orang awam. Dari sisi isi tulisan, buku
ini masih bersifat umum (generic) dan baru bersifat pengenalan umum tentang
proses penyusunan UU sehingga belum bisa memandu pembaca yang ingin praktik menyalurkan
aspirasinya dalam penyusunan UU melalui jalur DPR. Secara proporsi tulisan,
buku ini mungkin lebih cocok diberi judul “Pengenalan Tugas dan Fungsi DPR
dalam penyusunan UU” karena 60 halaman dari 90 halaman yang ada lebih
banyak bercerita tentang tugas dan fungsi DPR. Adapun tulisan tentang proses
penyusunan UU hanya sekitar 30 halaman saja. Terlepas dari kekurangan yang ada,
buku ini sangat bermanfaat untuk menambah pengetahuan ketatanegaraan. Saya
rekomendasikan dibaca untuk kawan-kawan pemerhati atau pegiat advokasi
kebijakan.
No comments:
Post a Comment