ATHEIS
Karya:
Achdiat Karta Mihardja
Penerbit
Balai Pustaka
Jakarta
1990 (cetakan sebelas)
ISBN
979-407-185-4
232
halaman
Buku
ini terbit pertama kali tahun 1949, dengan setting masyarakat Indonesia di kota
Bandung awal permulaan abad 20 hingga jaman penjajahan Jepang yang ditandai
dengan pergeseran gaya hidup tradisional ke gaya hidup modern. Buku Atheis yang saya baca, merupakan buku digital yang
tidak terlalu rapi lay-outnya.
Alkisah,
Hasan merupakan seorang pemuda
terpelajar dari keluarga bangsawan Sunda yang relijius. Di saat remaja, Hasan
jatuh hati kepada Rukmini, seorang remaja anak orang biasa. Namun cintanya
tidak berjalan mulus karena keluarga Hasan menginginkan Hasan kelak mendapatkan
istri dari keluarga bangsawan. Sedangkan keluarga Rukmini mengharapkan Rukmini mendapatkan
suami dari kalangan orang biasa. Untuk mengobati kegundahan hatinya dan
mendapatkan ketenangan batin, Hasan tertarik mengikuti ajaran orang tua untuk
mendalami ilmu agama Islam dan tarekat yang merujuk pada amalan dari Syekh
Abdul Qadir Djaelani.
Setelah
lulus Sekolah Menengah, Hasan kemudian bekerja untuk kantor jawatan air di Kota
Bandung (seperti PDAM jaman sekarang). Ketika menjalankan pekerjaannya, Hasan
bertemu dengan Rusli seorang teman SD-nya yang dulu terkenal bandel dan
sekarang sudah menjadi tokoh pergerakan komunis. Melalui Rusli, Hasan berkenalan dengan
Kartini yang merupakan janda muda simpatisan komunis. Kartini bergabung dengan
Rusli karena merasa mendapatkan perlindungan dari mantan suaminya yang feodalis
dan suka melakukan kekerasan terhadapnya.
Pertemuan
Hasan dengan Rusli terus berlanjut dan Hasan sering mengikuti diskusi-diskusi
yang diselenggarakan oleh Rusli dan kelompoknya. Demikian pula pertemuan Hasan
dengan Kartini juga semakin intens dilakukan, karena Hasan terpesona dengan
penampilan Kartini yang mirip dengan Rukmini, cinta pertamanya. Diskusi yang
sering dilakukan, membuat pendirian Hasan lama-kelamaan menjadi goyah. Ajaran
agama mulai ditinggalkan dan lebih banyak mendekatkan diri pada kehidupan duniawi semata. Puncak kegoyahan
iman Hasan terjadi ketika dia berdebat dengan ayahnya tentang ajaran agama.
Hasan merasa ajaran agama tidak mampu memecahkan persoalan-persoalan dunia
sehingga dia menjadi Atheis. Hasan juga nekat menikahi Kartini walaupun
keluarga menolaknya. Akhirnya hubungan Hasan yang tinggal di Bandung dengan
keluarga ayahnya di kampung menjadi
semakin jauh.
Dalam
perjalanan rumah tangganya, Hasan dan Kartini ternyata tidak menemukan kedamaian. Mereka sering cek
cok karena Hasan cemburu dengan Kartini yang lebih mengutamakan kehidupan
kelompok politiknya daripada rumahtangganya. Sampai suatu saat mereka cekcok
hebat dan Kartini kabur dari rumah. Dalam pelariannya, Kartini dibantu oleh
Anwar seorang seniman simpatisan komunis. Namun setelahnya ketahuan bahwa Anwar
hanya ingin menjadikan Kartini sebagai tempat pelampiasan nafsu birahinya.
Hasan
yang menyesal bertengkar dengan Kartini kemudian mencari Kartini namun tak
kunjung bertemu. Muncul berita dari kampung, bahwa ayah Hasan sakit keras
karena memendam rasa sedih yang mendalam karena Hasan telah meninggalkan ajaran
dari agamanya. Hasan yang segera berkunjung ke ayahnya, menemukan ayahnya yang
sakit tak berdaya bahkan dengan halus mengusir Hasan karena telah menyimpang
dari ajaran agaman keluarga. Tak lama kemudian Ayahnya meninggal dunia. Meninggalnya
ayahanda yang sangat disayanginya serta kepergian Kartini, telah membuat kondisi
fisik Hasan menurun dan jatuh sakit terkena penyakit TBC. Hingga suatu saat dia
ditangkap Kempetei (polisi Jepang) karena dia tidak mau bersembunyi ketika
sedang ada serangan udara tentara Sekutu. Penderitaan lahir dan batin selama di penjara
menghantar Hasan menemui ajalnya.
Mninggalnya
Hasan akhirnya sampai ke telinga Kartini. Kartiniun menyesal karena dia
sejatinya masih memendam cinta yang teramat dalm kepada Hasan. Kartini menyesal
tidak bisa menjadi istri yang baik bagi Hasan. Tapi penyesalan hanya tinggal
penyesalan karena nasi telah menjadi bubur….
Buku
roman ini enak dibaca. Saya terpesona dengan gaya bahasa dan kosa kata ejaan
lama di awal abad 20 an. Imajinasi juga terpancing untuk membayangkan situasi
sosial dan budaya yang berkembang saat itu. Achdiat Karta Mihardja selaku
penulis buku juga sangat piawai untuk memberikan ilustrasi contoh perdebatan
kaum agamis dan kaum komunis yang atheis. Saya pikir hal itu hanya bisa
dilakukan oleh orang yang memang memahami konsep dasar politik komunisme maupun
konsep dasar agama. Sebuah kepiawaian yang tidak mengherankan karena selain sosok
yang relijius, Achdiat Karta Mihardja merupakan pembelajar filsafat, ahli
kebudayaan, wartawan dan juga seorang dosen berkualitas.
No comments:
Post a Comment