Siddhartha
Hermann Hesse
Penerbit Jejak,
Yogyakarta Oktober 2007
224 halaman
Herman Hesse merupakan peraih Nobel sastra tahun 1946 dari Jerman. Beliau aktif menyuarakan perdamaian dan anti perang.
Dalam novel yang bersetting agama Buddha ini diceritakan Siddharta yang muda dan tampan rela meninggalkan keluarga, sahabat, status sosial dan sang Buddha demi memperoleh pencerahan diri. Dia rela menanggalkan status brahmin (kasta yang tinggi) untuk bergabung dengan kaum “samana”. Kaum ini berusaha untuk mematikan nafsu duniawi dengan hanya berpakaian minim seadanya, makan dari hasil meminta-minta dan tidur didalam dekapan alam beratapkan bintang rembulan. Setelah bergabung dengan kaum Samana, Siddhartha kemudian berjumpa dengan sang Gotama (Buddha), Namun perjumpaan tersebut belum mampu menjawab pertanyaan batin Siddhartha sehingga dia terus mencari dan mencari. Dalam perjalanannya dia kemudian terus belajar menemukan pencerahan dengan berguru dan bercinta dengan Kamala yang merupakan seorang pelacur kelas tinggi. Siddhartha juga kemudian belajar menjadi kaum pedagang yang berorirentasi pada kehidupan duniawi. Siddharta belajar mengeruk harta sebanyak-banyaknya, belajar berjudi, mabok dan lain sebagainya.
Semua proses belajar itu ternyata belum berhasil menjawab pertanyaan batinnya, sampai akhirnya dia bertemu seorang tukang sampan yang hidup di pinggir sungai dan bekerja sehari-hari untuk melayani orang yang mau menyeberangi sungai itu. Dari persahabatan yang tulus inilah kemudian Siddharta belajar menemukan dirinya. Dia akhirnya belajar dari alam (“sungai”) tentang makna dan tujuan hidup... mau menunggu, mau mendengarkan, bersabar, melayani dan senantiasa bergerak berpikir dari hulu ke hilir dengan dinamika yang ada.....
Secara umum novel ini cukup menarik dari sisi alur cerita dan bahasa yang indah. Salah satu kekurangannya adalah dalam novel yang bersetting agama Buddha ini terdapat beberapa istilah yang belum diterjemahkan sehingga mungkin akan menyulitkan pembaca yang tidak memiliki banyak pengetahuan tentang agama Buddha.
No comments:
Post a Comment