Oleh: Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH.
Penerbit Buku Kompas
Jakarta, 2009
ISBN 978-979-709-112-5
258 halaman
Buku ini merupakan kumpulan artikel Prof Tjip dalam harian
Kompas, yang dieditori oleh Karolus Kopong Medan dan
Frans J. Rengka.
Membaca tulisan Prof. Tjip, kita akan mendapatkan gambaran
pemikiran beliau yang bernas, cerdas dan berani melawan arus. Dalam artikel-artikelnya beliau menyoroti
bahwa kita seharusnya menegakkan supremasi moral atauy supremasi keadilan, dan
bukan supremasi hukum (yang seringkali disimplifikasi pada kalimat
undang-undang). Hukum harusnya
diciptakan untuk kesejahteraan manusia dan bukan sebaliknya.
Dari sisi substansi hukum, hukum merupakan perilaku dan budaya masyarakat dan tidak bebas
nilai sehingga hukum tidak boleh terkungkung dengan apa yang tertulis dalam
tekstual regulasi. Aturan hukum itu sendiri harus disusun dengan memperhatikan
budaya, sistem sosial dan karakter bangsa dan tidak boleh menjiplak
mentah-mentah sistem hukum asing yang tidak sesuai kultur kita. Sebagai sebuah
sistem perilaku dan budaya, aturan hukum sendiri perlu dikaji dari berbagai
disiplin ilmu dan tidak semata-mata menjadi domain para ahli hukum semata. Masih dari sisi aturan hukum, Prof. Tjip
menekankan bahwa hukum dituntut untuk dinamis . Oleh karena ini prinsip “judge
make a law”, perlu dihormati dan dikembangkan. Peran pengadilan khususnya
Mahkamah Agung dalam memberikan input untuk pembuatan regulasi perlu didorong
lebih aktif walaupun domain MA lebih merupakan aspek yudikatif.
Dari sisi tata laksana hukum, sisi kualitas dan integritas hakim dan
penegak hukum lainnya perlu mendapatkan pembenahan. Aparat hukum idealnya harus
berani menegakkan keadilan substanstif (sekalipun
harus mengorbankan prosedur). Namun kondisi saat ini sedang terbalik dimana
aparat penegak hukum banyak terjebak pada prosedur dan tekstual hukum dan seringkali mengabaikan keadilan
substantif. Seorang hakim dituntut untuk
mempunyai kepekaan sosial terhadap suara masyarakat untuk menghindarkan adanya
kediktatoran pengadilan. Karena perannya sangat sentral, maka muncul istilah
“di tangan seorang hakim yang baik, walaupun regulasinya tidak memadai, akan
tetap bisa dihasilkan keputusan yang adil”. Selakinya, walaupun regulasinya
bagus tapi kalau hakimnya tidak berintegritas dan berkualitas, maka akan
dihasilkan keputusan-keputusan yang
tidak adil. Selain menyoroti soal hakim
dan mafia pengadilan yang perlu diberantas, Prof. Tjip juga menyoroti perlunya
pembenahan manajemen perkara sehingga perkara di pengadilan tidak menumpuk.
Salah satu solusinya adalah penyelesaian perkara di luar pengadilan dan pembatasan kasasi untuk penyelesaian perkara
secara berjenjang .
Dari sisi budaya
hukum, Prof. Tjip menyoroti bahwa pembangunan hukum yang ada di Indonesia
harusnya memperhatikan kultur masyarakatnya. Penyelesaian perkara terkadang
tidak harus di pengadilan namun bisa dilakukan melalui musyawarah. Beliau malah menyarankan untuk pembangunan hukum ke depan, Indonesia
bisa belajar dari jepang yang kulturnya lebih dekat dengan kita dibanding
sistem hukum Eropa.
Bagi saya yang awam di bidang hukum, tulisan Prof. Tjip ini
sangat mencerahkan. Pandangan beliau merupakan antithesis terhadap
lawyer-lawyer para pembela koruptor yang marak sekarang ini. Lawyer-lawyer sekarang banyak yang berprinsip
“maju tak gentar membela yang membayar, dan tidak mempedulikan rasa keadilan
publik”. Para lawyer tersebut menegakkan
supremasi hukum tapi dengan mengangkangi supremasi moral. Keluasan cakrawala pemikiran Prof. Tjip yang
rendah hati ini, membuat saya berpikir bahwa selayaknya beliau diangkat menjadi salah satu “begawan hukum”
Indonesia ....
No comments:
Post a Comment