Oleh: Ditjen Perencanaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan
Jakarta, 2011
49 halaman
Buku ini membahas tentang poensi dan peluang perdagangan karbon, berbagai skema dalam perdagangan karbon itu
sendiri serta arahan pemanfaatan ruang kawasan hutan dalam perdagangan karbon
tersebut.
Kawasan hutan di Indonesia mencapai 130,68 juta hektar yang terdiri dari 26,82 juta hektar hutan
konservasi, 28,86 juta hektar hutan
lindung, 32,60 juta hektar hutan produksi, 24,46 juta hektar hutan produksi
terbatas dan 17,94 juta hektar hutan produksi yang dapat dikonversi. Dari sisi tutupan hutan 41,26 merupakan hutan
primer, 45,55 juta hektar hutan sekunder, 2,82 juta hektar hutan tanaman dan
areal tidak berhutan 41, 05 juta hektar. Dengan luasan tersebut, Indonesia
berpotensi besar untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi di level
internasional.
Dalam kaitan dengan pengurangan emisi, terdapat tiga jenis
kawasan yakni: (1) Kawasan penyimpanan karbon yang diarahkan pada kawasan hutan
yang keadaannya masih baik dan simpanan karbon hutannya tinggi seperti kawasan
konservasi yang masih bagus (2) Kawasan Penyerapan karbon yang diarahkan pada
kawasan hutan dan non hutan yang kondisinya kritis/kurang baik sehingga setalah
dilakukan penanaman atau rehabilitasi akan memiliki potensi penyerapan kabon
yang tingi (3) Kawasan pencegahan emisi yang diarahkan pada kawasan hutan dan
non hutan yang memiliki potensi nilai ekologi atau sosial atau ekonomi tinggi
sehingga jika tetap dipertahankan
sebagai hutan perlu kompensasi.
Dari sisi mekanisme
pola pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim, dalam buku ini disajikan
beberapa jenis skema yakni (1) payment environmental service/PES yaitu sejumlah
pembayaran yang harus diberikan oleh konsumen jasa lingkungan kepada produsen
jasa lingkungan, (2) Liability Rule/LR yaitu pembayaran kompensasi oleh suatu
pihak tertentu yang bertanggungjawab atas kerugian yang timbul dari suatu
kegiatasn misalnya polusi. Sehingga
konsep ini sering disebut polluter pays
principle, (3) Purchasing Development Right/PDR yaitu sejumlah kompensasi yang
harus diberikan kepada pemilik sumberdaya untuk tujuan publik tertentu.
Dalam kaitannya dengan pemanfaatan ruang kehutanan, skema
pendanaan PES hendaknya diterapkan untuk perdagangan karbon untuk
kawasan konservasi dan hutan lindung walau kedua lokasi ini tidak mempunyai
“additionality”, karena lokasi ini menghasilkan oksigen dan menyediakan jasa
penyimpanan karbon. Skema LR, dapat diarahkan untuk lokasi yang penyerapan
karbonnya tinggi seperti di areal hutan atau lahan kritis atau hutan
terdegradasi. Sedangkan PDR bisa diterapkan untuk lokasi kawasan hutan yang memiliki nilai strategis tinggi. Supaya hutan tersebut tidak
ditebang atau dikonversi, diperlukan adanya kompensasi.
Secara umum buku ini bagus untuk meningkatkan pengetahuan
tentang berbagai isu perdagangan karbon. Meski demikian dengan masih belum
jelasnya mekanisme dan komitmen perdaganag karbon di level internasional (seperti hasil Konperensi di Durban), maka
perdagangan karbon ini masih belum bisa direalisasikan dalam waktu dekat ini.
Selain itu, masih menjadi pertanyaan apakah mekanisme2 yang ada di buku ini akan
disetujui oleh pihak pembeli (buyer)? Adalah suatu hal yang jamak bila buyer
akan berusaha cari mekanisme yang selalu menguntungkan mereka sendiri, seperti
diskusi yang selama ini ada memunculkan isu bahwa perdagangan karbon tidak bisa
dilaksanakan di kawasan konservasi karena sudah meruakan mandatory untuk
melindungi kawasan konservasi. Sebuah
spirit yang cukup bagus tercantum dalam buku ini bahwa kita harus membangun
mekanisme sendiri agar tidak mudah disetir atau ditekan oleh buyer. Selain itu harus diingat bahwa ada atau tidak
ada perdagangan karbon kita harus tetap melestarikan hutan kita... Jadikan
perdagangan karbon sebagai cara untuk menggali sumber pendanaan, tapi jangan
jadikan sebagai tujuan...
No comments:
Post a Comment