Oleh: Khrisna
Pabichara
Noura Books,
Jakarta 2012
ISBN:
978-602-9498-24-0
369 halaman
Novel ini disusun
mendasarkan pada true story kehidupan Dahlan Iskan sewaktu remaja yang duduk di
bangku madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah pada sekitar tahun 1960an.
Sebagai sebuah novel, true story tersebut kemudian dikembangkan dan dibumbui
beberapa adegan fiktif. Karena penulisan
yang cukup runtut dan mengalir, saya kesulitan untuk menelaah mana kejadian
yang riil dan mana yang fiktif...
Buku ini mengisahkan
kehidupan Dahlan yang hidup bersama ayah ibunya beserta kakaknya Mbak Atun yang
menjadi guru, Mbak Sofiawati yang kuliah, Dahlan yang mulai masuk madrasah
Tsanawiyah/MTs (setingkat SMP) dan adiknya, Zain. Keluarga Dahlan hidup di desa
miskin di pinggiran perkebunan tebu di daerah Magetan- Jawa Timur. Di kampung
Kebon Adem tersebut, Dahlan tinggal bersama ayah, ibu dan adiknya. Sedangkan
Mbak Atun bekerja dan Mbak Sofiawati kuliah di kota Madiun. Ayah Dahlan seorang
ustadz kampung yang bekerja keras
sebagai buruh serabutan (misal buruh tani dan bertukang), untuk memenuhi
kehidupan keluarganya. Ibunya Dahlan yang
dibesarkan di pesantren, mencari tambahan penghasilan dengan
membatik. Kehidupan yang miskin membuat
Dahlan dan Zain terbiasa dengan kehidupan sederhana seperti makan nasi thiwul (dari gaplek singkong).
Dahlan dan Zain juga dilatih untuk bekerja keras dengan mencari rumput dan
menggembalakan domba mereka yang berjumlah 28 ekor, dan bekerja sebagai kuli di perkebunan tebu yang
ada di lingkungannya.
Saat bersekolah di
MTs pesantren Takeran yang dikelola oleh keluarga ibunya, Dahlan mengalami
ujian dengan meninggalnya ibunda Dahlan yang sangat dicintainya. Meninggalnya
ibunda membawa banyak perubahan dalam keluarga itu karena ayah Dahlan
menjadi “shock” dan semakin banyak
menghabiskan waktu di sawah garapan (termasuk di malam hari) untuk mencangkul
dan mencari nafkah buat kebutuhan keluarga. Dahlan sendiri harus mengambil alih
peran ibundanya untuk menyiapkan makanan buat dirinya sendiri dan adiknya.
Kondisi keluarga yang sangat miskin, membuat Dahlan dan Zain akrab dengan
kelaparan. Sepotong buah pisang ataupun lauk ikan teri plus sambel terasi-pun
sudah merupakan makanan yang mewah bagi mereka. Zain pun sempat beberapa kali
mengalami pingsan karena tidak kuat
menahan kelaparan yang menderanya. Dahlanpun
sempat dihukum oleh mandor perkebunan karena ketahuan mencuri tebu untuk
menolong adiknya yang sedang kelaparan.
Kondisi keluarga
yang miskin dan Dahlan harus menangani urusan masak memasak serta harus
menggembalakan domba, tidak membuat Dahlan minder. Di sekolah dia ikut aktif dalam
kegiatan organisasi Ikatan Santri dan juga aktif dalam kegiatan bola voli.
Dahlan juga rajin belajar sehingga mampu berprestasi di sekolah walaupun
hari-hari dia harus berjalan berkilo-kilo tanpa sepatu (nyeker) untuk
menjangkau sekolah. Sepatu merupakan suatu
benda yang sangat “bernilai” atau mewah bagi Dahlan. Dahlan sangat puas
dengan prestasi di sekolah maupun di ekstra kurikuler karena dengan prestasinya
itu Dahlan bisa membuat ayahnya bangga dan bahagia. Di balik sikap ayahnya yang
pendiam dan penuh disiplin, Dahlan menemukan bahwa ayahnya sangat menyayangi
anak-anaknya.
Di balik kehidupan
di desa yang bergelimang kemiskinan, Dahlan menemukan berkah berupa ketulusan
dan kebersamaan dari teman sepermainanya
seperti kebersamaan saat menggembala kambing, mencari ikan, mandi di kali
dll.Dahlan menjadi semakin kuat dengan adanya dukungan teman2 sekolah dan teman
mainnya.
Sepatu dan sepeda
dari hari ke hari merupakan obsesi Dahlan. Sepatu pertama akhirnya diperoleh
ketika teman-teman kelasnya membelikan sepatu bekas untuk bermain dalam
turnamen bola voli. Walaupun kesempitan dan kakinya lecet-lecet, Dahlan dan
timnya bisa memenangi turnamen voli itu. Turnamen ini membawa berkah karena
Dahlan kemudian diminta menjadi pelatih tim bola voli pabrik gula dengan gaji
yang lumayan. Dengan gaji itu, dia bisa membeli sepeda bekas dan sepatu bekas
untuk dirinya sendiri dan untuk adik yang dikasihinya. Di tempat berlatih voli,
kisah cinta Dahlan dan rekannya bernama Aisha mulai bersemi. Namun cinta
tersebut akhirnya tertunda karena Aisha
dan Dahlan harus berpisah sementara waktu karena Dahlan harus pergi ke
samarinda untuk mencari peluang kuliah di sana, sedangkan Aisha pergi kuliah ke
Jogja.
Beberapa pesan moral yang terkandung dalam novel ini,
antara lain:
- Kemiskinan yang dijalani secara tepat akan mematangkan jiwa. Kemiskinan hendaknya jangan dihadapi dengan dendam. Kemiskinan hendaknya disikapi dengan kerja keras, ulet, tanggung jawab dan sabar agar seseorang mampu keluar dari lingkaran kemiskinan itu sendiri. Dalam jangka panjang, kehidupan masa kecil yang miskin akan dapat menumbuhkan jiwa emphaty terhadap orang miskin, mampu menghargai uang, tidak boros dll ketika orang tersebut dewasa
- Kemiskinan hendaknya jangan sampai membuat seeseorang kehilangan jati diri moralnya. Kemiskinan hendaknya jangan dijadikan alasan untuk melakukan perbuatan yang menghalalkan segala cara.
- Ilmu, Amal dan Takwa, Ilmu merupakan pijakan untuk bertindak dan beribadah, Ilmu yang dimiliki harus diamalkan untuk kemaslahatan umat dan semuanya berujung pada ketakwaan terhadap Allah s.w.t
- Ora kepengin sugih, ora wedi mlarat. Janganlah kau memburu harta/jabatan, dan janganlah kamu takut dengan kemiskinan dan kemelaratan.
- Sumber bening ora golek timbo. Bila dirimu memang mempunyai kualitas yang bagus, kamu tidakperlu memngemis-ngemis jabatan. Jabatan atau amanahlah yang akan datang padamu dan harus kamu tunaikan dengan sebaik-baiknya.
- Pendidikan moral agama dan kasih sayang dalam keluarga menjadi satu pondasi yang sangat penting untuk membangun karakter jiwa yang tangguh, bertanggung jawab, sabar dan kerja keras.
- Dimana ada kemauan, disitu ada jalan...ketika kita mempunya cita-cita dan berupaya keras untuk menggapainya, maka sukses akan menanti.....
Novel ini sangat
inspiratif dan dituturkan dengan mengalir......so, ENAK DIBACA DAN PERLU!!!
No comments:
Post a Comment