St Takdir Alisyahbana
Balai Pustaka,
Jakarta 1993 (cetakan 23)
ISBN 979-107-065-3
139 halaman
Buku ini bercerita tentang
kakak beradik Tuti dan Maria, yang merupakan putri wedana Raden
Wiriaatmaja, dengan setting sekitar 1930-an.
Tuti sang kakak merupakan seorang guru HIS dan juga aktivis organisasi
Perempuan Sedar yang memperjuangkan emansipasi perempuan (ata cenderung
feminisme?). Maria, si adik merupakan
siswi HBS. Dari sisi karakter, Tuti terkesan serius dan formal. Sedangkan Maria lebih bersifat jenaka, informal dan aktif.
Suatu saat Maria berkenalan dengan Yusuf seorang mahasiswa Sekolah Tinggi
Tabib (Ilmu Kedokteran). Perkenalan itu akhirnya bermuara pada tumbuhnya rasa saling cinta. Percintaan
tersebut berjalan lancar dan mendapatkan dukungan keluarga.
Di sisi lain, Tuti dengan kesibukan
organisasinya dan obsesi “perempuan mandiri-nya” mengalami kegagalan cinta
ketika tunangannya (Hambali) dirasa banyak mengekangnya. Tuti rela memutus
cinta daripada hidupnya terkekang. Dia ingin wanita harus mempunyai kemerdekaan
untuk mengembangkan diri seluas-luasnya
dan bisa berdiri sederajat dengan pria.
Ketika melihat kemesraan Yusuf dan Maria, Tuti
yang bersikap sangat rasional dan kaku merasa tertampar. Dia menyadari bahwa
kesuksesan duniawi dan karir tidak akan bisa mengisi kekosongan jiwanya yang
haus cinta kasih. Tuti yang mulai dimakan usia yang saat itu menginjak 27 tahun
mulai merasa galau ketika dia menyadari bahwa ada sesuatu yang hampa dalam
hidupnya.
Maria yang sudah lulus HBS dan mulai bekerja
sebagai guru, mendapati dirinya mengidap TBC. Walaupun pengobatan untuknya
sudah dilakukan, namun jiwanya tidak tertolong jua. Di saat akhir hidupnya dia
berusaha membahagiakan dua orang yang sangat dicintainya dengan cara menjodohkan
Yusuf kekasihnya dengan Tuti kakaknya.
Roman Layar Terkembang yang merupakan salah
satu karya klasik era Balai Pustaka, merupakan roman yang sederhana. Buku ini
merupakan salah satu buku sastra yang
dianjurkan dibaca ketika saya masih duduk di SMP-SMA. Bahasa yang digunakan
merupakan bahasa Melayu sehingga agak sedikit berbeda dengan Bahasa Indonesia
baku yang ada saat ini. Perbedaan tersebutmencakup sisi tata bahasa maupun dari
sisi pemaknaan kosa kata. Penggunaan
bahasa Melayu dalam roman ini sangat saya sukai karena saya bisa menikmati kosa kata “bahasa lama” yang sudah jarang
saya dengarkan saat ini, meski saya akui dalam beberapa hal saya agak kesulitan
menangkap maknanya. Selain itu dalam roman ini diungkap berbagai tempat di
Jakarta tempo dulu, sehingga saya juga berimajinasi tentang Jakarta di waktu
lalu....
No comments:
Post a Comment