Oleh Paulo Freire
Pustaka LP3ES
Jakarta,2008
ISBN 978-979-3330-70-9
221 halaman
Buku ini ditulis oleh Paulo
Freire yang merupakan sorang ahli pendidikan dari Brazil yang dilahirkan tahun
1918. Paulo Freire dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana yang harmonis.
Krisis ekonomi tahun 1929, membuat keluarganya jatuh miskin. Dalam usia 11
tahun, Freire sudah akrab dengan kelaparan dan penderitaan. Hal inilah yang
menimbulkan semangat bagi Freire untuk nantinya melakukan “pengabdian” agar
generasi muda ke depan terhindar dari kelaparan seperti yang dialaminya. Setelah
dewasa, Freire lulus dari Fakultas Hukum dan bekerja di Dinas Pendidikan. Pekerjaannya
tersebut membawa Freire bersinggungan dengan masyarakat miskin. Hal ini membuat
Freire tertarik untuk makin menggeluti pendidikan untuk masyarakat miskin
termasuk dalam pemberantasan buta aksara.
Freire yang hidup saat di Brazil
masih banyak penguasaan lahan perkebunan oleh “tuan tanah” yang kaya raya,
melihat banyak mayoritas penduduk yang miskin dan tertindas sebagai buruh
perkebunan. Freire melihat bahwa pendidikan yang ada saat itu cenderung ‘melanggengkan”
dan memihak “kaum kaya”. Pandangan sebagai “orang malas
dan orang bodoh” merupakan stigma yang
melekat pada orang miskin. Sehingga mereka perlu “diajari dan disuruh berbuat
rajin”. Melihat kondisi ini Freire punya pandangan berbeda. Freire berpendapat
bahwa kemiskinan dan kebodohan itu terjadi karena adanya “struktur yang
menindas dan tidak adil”, termasuk di dunia pendidikan. Menurut pandangannya, masyarakat
bodoh terjadi karena system pendidikan yang cenderung mengintroduksikan atau
mengajarkan sesuatu yang tidak banyak sangkut pautnya dengan kebutuhan masyarakat
miskin. Dalam system pendidikan
konvensional yang disebutnya “pendidikan gaya bank”, masyarakat dianggap
sebagai gelas kosong yang harus diisi oleh guru. Ciri-ciri pendidikan gaya bank
ini adalah:
1. Guru
mengajar, murid diajar
2. Guru
mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru
berpikir, murid dipikirkan
4. Guru
bercerita, murid patuh mendengarkan
5. Guru
menentukan peraturan, murid diatur
6. Guru
memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui
7. Guru
berbuat, murid membayangkan berbuat melalui perbuatan gurunya
8. Guru
memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan pelajaran itu
9. Guru
mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan jabatannya yang dia
lakukan untuk menghalangi kebebasan murid.
10. Guru
adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Freire
mengusulkan pendidikan untuk kaum miskin harusnya bersifat “pendidikan
hadap-masalah” yang dikaitkan dengan kontekstualitas kehidupan kesehariannya. Pendidikan
untuku kaum tertindas harus dibangun “bersama” kaum tertindas dan bukan disusun
oleh orang luar yang tidak memahami konteks local. Masyarakat miskin tetap
punya potensi pengetahuan yang bisa dikembangkan, sehingga potensi inilah yang
perlu dibangkitkan dan dikembangkan melalui proses pendidikan yang dialogis.
Dalam pendidikan dialogis ini, peran guru –murid digantikan dengan “peran saling
belajar”. Guru yang sebelumnya dianggap “maha tahu”, dituntut untuk mau belajar
mendengarkan pengetahuan dari murid atau masyarakat miskin yang didampinginya.
Dari sisi
psikologi dan gerakan sosial, Freire melihat penindasan terjadi dari sikap otoriter
dari “penindas”. Namun disisi lain masyarakat miskin yang selama ini
terpinggirkan seringkali tidak mempunyai rasa percaya diri untuk melakukan
perubahan. Oleh karenanya perlu upaya “penyadaran” untuk menumbuhkan rasa
percaya diri kaum miskin sekaligus perlu upaya “penyadaran” bagi kaum penindas
untuk lebih bersikap manusiawi terhadap sesama. Dialog antara penindas dan yang
tertindas perlu dibangun untuk menumbuhkan rasa saling kesepahaman, kebersamaan
dan solidaritas tersebut.
Secara umum
buku ini menarik, saya melihat landasan berpikir yang diungkap Freire seperti
dialektika ataupun aksi-refleksi cenderung beraliran kiri. Banyak gagasan
menarik dari konsep dialektika dan humanism yang cenderung anti kekerasan yang dikembangkannya.
Dari sisi isi
tulisan yang banyak mengandung uraian filsafat membuat buku ini cukup “berat”.
Selain itu factor terjemahan Bahasa, mungkin juga berpengaruh terhadap tingkat
kesulitan untuk memahami buku ini.
No comments:
Post a Comment