Oleh Arswendo Atmowiloto
PT. Gramedia Pustaka Utama
ISBN Jilid 1: 978-979-220425-4 dan Jilid 2: 978-979-220426-1
Jumlah halaman: 1.120 (jilid 1)
dan 1.616 (jilid2)
Novel ini mengambil setting akhir
kerajaan Singasari pada zaman pemerintahan raja Kertanegara, berdirinya
kerajaan Majapahit oleh Raden Widjaya hingga generasi ke 2 kerajaan Majapahit di
bawah pemerintahan Jayanegara. Tokoh sentral novel ini berkisar pada 3 orang
yakni ksatria pria sejati Upasara Wulung yang merupakan didikan Ksatrian
Piningit keraton Singosari, kstaria wanita Jagattri (atau Genduk Tri) dan
Halayudha (pejabat kerajaan yang sangat sakti namun ambisius dan penuh kelicikan).
Kisah ini dimulai dengan bertemunya
Upasara Wulung dan Genduk Tri yang masih sangat belia dalam pertempuran melawan
Ugrawe, seorang senopati Kediri. Upasara
dan Genduk Tri akhirnya bisa lolos melalui jalan berbeda di Goa Lawang Sewu. Mereka
sempat kembali ke keraton Singasari, namun tak lama kemudian serbuan Raja
Jayakatwang dari Kediri telah menghancurkan kerajaan Singosari.
Kehancuran Singosari telah
membawa Upasara dan Genduk Tri bertemu dengan Raden Widjaya. Di situ pula,
Upasara bertemu dengan Gayatri, putri bungsu Raja Kertanegara. Pertemuan
pertama telah menimbulkan kesan begitu mendalam untuk keduanya. Kehadiran
pasukan Tiongkok yang ingin menghukum Raja Kertanegara, dengan siasat halus telah
dibelokkan oleh Raden Widjaya ke Kediri. Keraton Kediri hancur oleh serbuan
tersebut. Raden Widjaya sendiri kemudian menyerang balik pasukan Tiongkok yang
sebelumnya bersekutu dengannya, demi kejayaan kerajaan Jawa. Dalam pertempuran melawan
Raja Kediri dan pasukan Tiongkok, Upasara telah menunjukkan kegigihan dan
kepahlawanannya. Sehingga dia dianugerahi sebutan “SENOPATI PAMUNGKAS” yang
berarti senopati yang bisa menyelesaikan
segala persoalan.
Sebagai penghargaan atas jasanya, Upasara ditawari
untuk meminta berbagai macam hadiah, kecuali dia tidak boleh meminta Putri
Gayatri karena menurut ramalan Putri Gayatri telah ditakdirkan menikah dengan Raden
Widjaya dan dari pernikahan tersebut akan melahirkan raja-raja besar di Jawa
kelak. Upasara yang terluka hatinya kemudian kembali ke padepokan Perguruan
Awan untuk menenangkan dirinya. Tawaran jabatan sebagai Mahapatih Majapahitpun
ditolaknya, karena dia tidak mempunyai keinginan menjadi pejabat Negara.
Berdirinya kerajaan Majapahit,
juga telah melahirkan intrik-intrik perebutan jabatan. Halayudha, seorang
pejabat menengah yang menyimpan berbagai kesaktian, mempunyai ambisi tinggi
untuk menjadi orang yang paling sakti sekaligus menduduki jabatan mahapatih
bahkan ambisi untuk jadi raja. Orang-orang
yang berpengaruh, berusaha dia singkirkan. Raden Widjaya sebagai rajapun
disingkirkan dengan cara halus untuk “bertapa”, agar putera mahkota Jayanegara
bisa mengabil alih tahta. Bila Jayanegara yang berkuasa, Halayudha yakin dia
akan bisa menyetirnya. Upasara-pun termasuk dalam daftar yang ingin
disingkirkan karena dia bisa menghalangi cita-cita Halayudha untuk menjadi yang
paling sakti.
Upasara yang berjiwa ksatria,
rajin mendalami langkah prihatin yang
membuat ilmunya makin berkembang. Kedatangan Gayatri yang berpamitan untuk
menjadi pertapa, telah membuatnya ikhlas melepas wanita pujaannya. Di situlah
Upasara menyadari bahwa selama ini di sudut hatinya juga terpateri nama Genduk Tri. Rasa cinta kasih asmara antara
Upasara dan Genduk Tri, dituangkan dalam jurus ilmu kedigdayaan. Dengan ilmu
itulah Upasara akhirnya bisa mengalahkan Halayudha dan mempertegas dirinya
sebaga “ksatria lelananging jagad”.
Pada tahun 1987-an, Novel
Senopati Pamungkas ini pernah dibuat dalam sandiwara radio dan penggemarnya
cukup membludak. Bahasa yang digunakan di novel ini cukup mudah dipahami,
kecuali untuk beberapa istilah dalam ilmu silat dan ilmu kesaktian. Saya
menduga Arswendo sudah melakukan riset tentang babad Mojopahit, sehingga dia
bisa menulis novel yang nyambung/ match dengan kisah sejarah yang selama ini beredar.
Mungkin banyak orang akan awang-awangen
atau ragu membaca buku yang tebalnya lebih dari 2.800 halaman ini. Namun
Arswendo sangat pintar untuk mensiasatinya. Dia menulis buku ini dengan ratusan
bab kecil (satu bab sekitar 5-6 halaman), sehingga pembaca tidak terasa capai membacanya
karena kita tidak dituntut untuk mengingat isi dari puluhan atau ratusan halaman
sebelumnya. Buku jilid 1 dan 2 yang masing-masing
jumlah halamannya lebih dari 1.000 lembar, membuat buku ini tebal dan kurang praktis untuk dibawa-bawa dan untuk
membacanya harus duduk manis di meja. Namun saya lihat saat ini novel ini sudah
ada dalam terbitan lux 5 jilid sehingga masing-masing jilid menjadi lebih
tipis. Buku Jilid 2 saya peroleh di obralan seharga 50 ribu rupiah, dan di
kesempatan lain saya menemukan buku jilid 1 dengan harga yang sama. Untuk buku
edisi lux 5 jilid nampaknya cukup mahal .......
No comments:
Post a Comment