Ketika SMP aku menyukai hampir semua
mata pelajaran, kecuali mata pelajaran kesenian (seni lukis, seni suara, dan
seni-seni lainnya termasuk seni kriya/prakarya ). Meskipun saya saat ini
merupakan penikmat seni namun aku paling merasa sulit kalua disuruh membuat karya
seni tadi atau menyanyi. Pelajaran matematika, fisika, biologi, Bahasa Inggris
merupakan pelajaran favoritku saat itu. Kesukaanku terhadap mata pelajaran itu muncul karena
aku menyukai dengan gaya mengajar para guru yang mengampu mata pelajaran
tersebut.
Ketika masuk SMA, aku agak
kesulitan adaptasi dengan gaya mengajar para guruku. Sehingga prestasi awal di
SMA tidak terlalu menonjol atau biasa-biasa saja. Mata pelajaran matematika,
fisika dan kimia agak susah aku kunyah dan aku telan sat itu. Tibalah ketika
saat penjurusan, karena mata pelajaran eksaktaku jeblok,maka aku terlempar masuk
ke jurusan IPS. Jujur kuakui saat itu, aku agak “down” karena walaupun belum
punya cita-cita pasti tapi aku melihat dijurusan IPA kita punya lebih banyak
pilihan untuk masuk ke perguruan tinggi. Rasa down ini berlanjut di kelas 1
semester 2, dimana aku sulit berkonsentrasidengan pelajaranku.
Akhirnya waktu jua yang
menyembuhkan rasa frustasiku. Perlahan-lahan aku bisa mencerna
pelajaran-pelajaran kelas IPS termasuk mata pelajaran inti berupa Tata Buku
(akuntansi) dan Hitung dagang yang sedikit banyak memakai persamaan matematika
sederhana didalamnya. Semangat belajarku yang tumbuh kembali berkorelasi
positif dengan prestasiku yang mulai meningkat. Prestasi belajarku yang
meningkat tersebut, berkorelasi negative (berkebalikan) dengan hubunganku soal
teman perempuan. Aku saat itu masih “clingus”, pemalu dan tidak kenal atau
jarang bertegur sapa dengan teman sekolah perempuan baik klas IPS apalagi klas
IPA.
Ketika di SMA ini saya sering
berbincang-bincang dengan kawan sebangku Thomas Yudarmoko (Koko). Koko ini
merupakan putra Kepala Sekolah SMP
Kanisius Muntilan. Di usia muda, cara pikirnya sudah sangat berbau filsafat dan
jauh melebihi pemikiran kawan-kawan sebayanya. Dalam perbincangan dengannya,
saya yang sudah melihat berbagai realitas social seperti kemiskinan di
sekeliling kita menyatakan bahwa saya kepengin masuk menjadi tenaga sukarela
(social worker) di Depnakertrans. Depnakertrans saat itu memiliki program rekrutmen Tenaga
Kerja Sukarela (TKS) yang ditempatkan di berbagai pelosok pedalaman. Pilihan
lain adalah saya pengen masuk dunia Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Saya menyadari
bahwa menjadi social worker tidak akan membuat kita kaya, tetapi saya ingin
saya bisa memberikan darma bakti terbaik untuk mereka yang membutuhkan.
Pilihan hidup saya tersebut
membuat saya memilih melanjutkan di jurusan Ilmu Sosiatri (Kesejahteraan
Sosial) di FISIPOL UGM. Perjalanan kuliah di FISIPOL berjalan normal walaupun sempat
tersendat karena “kisah kasih yang tak sampai”. Setelah saya lulus bekerja di
sebuah LSM besar di Jakarta, dan ketika berjalan-jalan di Pecinan Muntilan saya
secara kebetulan bertemu Koko. Kami mengobrol sejenak dan ketika saya cerita
bahwa saya bekerja diLSM, dia mengingatkan bahwa cita-cita saya ketika SMA terkabul karena berhasil masuk di dunia LSM.
Pengembaraan saya di dunia LSM berlangsung selama 8 tahun dan selanjutnya
pindah ke Lembaga Kerjasama Teknis Pemerintah Jerman. Perjalanan di
proyek-proyek internasional ini berjalan terus sampai sekarang, dan sehari-hari
banyak berinteraksi dengan kawan-kawan LSM, sehingga dunia LSM yang kuimpikan
sejak jaman SMA tidak pernah aku tinggalkan....
Koko, dimana kamu?????
No comments:
Post a Comment