Oleh: Pramoedija Ananta Toer
Penerbit Pembangunan - Djakarta, 1955
239 halaman
Buku ini berkisah tentang sebuah kehidupan keluarga
sederhana di Jakarta yang terombang-ambing oleh revolusi kemerdekaan dengan
setting tahun 1949 pada saat aksi polisionil pemerintah colonial Belanda.
Alkisah tinggallah Amilah seorang janda tua dengan
anak-anaknya Saaman (Aman), Salamah (Amah), Fatimah (Imah), Salami (Mimi) dan
Hasan. Amilah menikah dengan Paidjans seorang kopral tentara Hindia Belanda.
Dia selama ini hidup di tangsi, namun perilakunya gemar berselingkuh sehingga dia
sering dijuluki Bunga Tangsi Selendang Mayang. Amilah sangat menyayangi Aman
yang berusia 24 tahun karena dia
merupakan anak dari Benny mantan kekasih sejatinya. Aman sendiri orangnya
sangat penyabar, pintar mendidik adik2nya, sangat menghormati dan berbakti pada
ibudanya. Amah berusia 19 tahun, berpenampilan cantic dengan hidung mancung.
Sejatinya Amah merupakan anak hasil perselingkuhannya dengan Letnan Gedergeder
seorang tentara Belanda. Fatimah, merupakan anak perempuan berusia 16 tahun yang
cakap dan cerdas. Sedangkan Mimi, merupakan anak perempuan yang agak kurang
cerdas. Hasan, anak terkecilnya merupakan anak yang cerdas dan sigap dalam
banyak hal. Selain mereka terdapat pula Mimin dan Maman yang sebenarnya anak Amilah
pula. Maman yang berambut keriting dan berkulit gelap merupakan anak hasil
perselingkuhan Amilah dengan tentara dari Ambon.
Ketika aksi polisionil Hindia Belanda, Kopral Paijan yang
semula keluar dari ketentaraan di jaman Jepang, mendaftar kembali menjadi
tentara Hindia Belanda (KNIL). Sikap Paidjan yang tidak nasionalis, sombong dan
suka mabuk-mabukan mendapat perlawanan dari anak-anaknya yang sudah menjadi pemuda
nasionalis. Aman, Tjanimin (Mimin) dan Kartiman (Maman) kemudian membunuh
Paidjan di sebuah sungai. Untuk membuang jejak dari tentara KNIL, Mimin dan
Maman kemudian ikut bergerilya dengan Divisi Siliwangi dan ikut menumpas
pemberontakan komunis di Madiun. Kondisi Amilah yang menjanda dan tidak bisa
menerima perubahan di lingkungan hidupnya, membuat Amilah depresi.
Aman sebagai kepala keluarga kemudian bekerja sebagai tukang becak
untuk menafkahi keluarganya. Sampai suatu saat
Aman ditangkap oleh Polisi Militer karena Aman diketahui menjadi
pimpinan gerilyawan yang sudah membunuh puluhan orang antek Belanda. Selama Aman
anak kesayangannya ditahan, kondisi depresi Amilah makin menjadi. Apalagi tidak
ada lagi anaknya yang mencari nafkah. Untunglah Darsono tunangan Amah
memberikan sebagian gajinya yang kecil untuk menyokong kehidupan keluarga
Amilah. Mimin dan Maman yang menjadi gerilyawan, akhirnya terbunuh dalam sebuah
peperangan di kantong gerilya.
Di penjara, Aman dijatuhi hukuman mati. Aman tidak takut
menghadapi hukuman itu karena dia meyakini apa yang dia lakukan adalah benar. Kesabaran dan kesetiaan
Aman kepada negara, telah membangkitkan kesadaran bagi teman-teman di penjara. Bahkan Direktur Penjara tempatnya
ditahan pun secara ksatria mengakui dan menghormati keteguhan hati Aman. Direktur
tersebut menawarkan grasi kepada Aman, namun Aman menolaknya dan hanya meminta
pena dan kertas untuk menuangkan pesan-pesan terakhir buat keluarganya. Sebagai
bentuk penghormatan kepada Aman, Direktur itu mengantar surat Aman ke
keluarganya. Saat itu dia hanya menjumpai Darsono, Imah, Mimi dan Hasan. Direktur itu jug menawarkan uang untuk
membantu biaya pemakaman Aman kelak, namun hal itu ditolak oleh Imah. Tawaran
dari Direktur untuk bantuan biaya sekolah bagi Imah dan adik-adiknya juga
ditolak mentah-mentah oleh Imah yang tidak sudi menerima uang dari penjajah.
Salamah yang menjadi tunangan Darsono, demi membebaskan Aman
bersedia diajak oleh sersan Kasdam untuk menengok Aman di penjara. Namun Sersan
Kasdam yang hidung belang, tidak membawa
Amah ke penjara dimana Aman ditahan. Amah malah dibawa ke Bogor untuk dinodai
ketika Aman sedang dijatuhi hukuman mati.
Tekanan hidup yang berat, membuat Amilah makin depresi. Dia membakar
rumahnya sendiri dan menjalar menjadi kebakaran besar di kampungnya. Amilah akhirnya
menemukan penjara tempat Aman ditahan. Namun dia hanya menemukan jazad Aman yang
ternyata sudah dieksekusi hukuman mati. Rasa sedih yang begitu mendalam
ditinggal anak kesayangannya membuat Amilah tidak mampu menahan diri dan
menghembuskan nafas di pusara anak yang baru dikuburkannya.
Akhir cerita, Amah kembali dari Bogor dan Darsono pun tetap
menerimanya walau dia sudah tidak perawan lagi. Darsono sadar bahwa apa yang dilakukan Amah
adalah demi kebebasan Aman kakak kesayanganya. Mereka kemudian bersama-sama
adik-adiknya kemudian melakukan ziarah kubur ke makam Amilah dan Aman untuk
mendoakan kebahagiaan bagi mereka yang telah meninggalkannya.
Seperti buku Pram yang lain, buku ini sarat dengan
nilai-nilai nasionalisme. Penderitaan hidup yang pahit, tidak melunturkan
semangat nasionalisme bahkan menjadi bahan bakar untuk tumbuh menyalanya api
nasionalisme itu sendiri. Alur cerita buku ini sebenarnya sederhana. Namun di tangan
Pram sang pujangga, cerita ini menjadi indah dan menarik untuk dibaca.
No comments:
Post a Comment