Orang Asli Papua (Kondisi Demografi dan perubahannya)
Oleh: Haning Romdiyati, GustiAyu Ketut Surtiari, Luh Kitty Katherina, Dwiyanti Kusumaningrum, Ari Purwanto Sarwo Prasojo
Yayasan
Pustaka Obor Indonesia bekerjasama
dengan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI
Jakarta,
2019
ISBN
978 602 433 878 7
238
halaman
Buku
ini bercerita tentang Orang Asli Papua (OAP) di Provinsi Papua Barat dengan
mengambil kasus di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamberauw . Orang Asli Papua
dalam konteks ini adalah mereka yang memiliki nama dengan marga/suku bangsa asli suku-suku
Papua. Analisis data kuantitatif dalam buku ini ditulis antara lain dengan
mengacu pada data Sensus Penduduk (SP) 2010 dan Suplemen SP 2010.
Jumlah
penduduk Propinsi Papua Barat berdasar Sensus Penduduk 2010 berjumlah 760.442
jiwa atau 0,32% dari jumlah penduduk Indonesia. Di tahun 2015, jumlah penduduk
meningkat menjadi 868.819 jiwa dengan
laju pertambahan penduduk sekitar 2,7% per tahun. Laju pertambahan penduduk
tersebut utamanya disebabkan adanya migrasi penduduk khususnya di daerah perkotaan
seperti Kota Sorong dan Kabupaten Sorong. Daerah Sorong sendiri sejak tahun
1970 merupakan daerah transmigrasi dengan transmigrant dari Jawa. Saat ini sudah banyak pendatang lain seperti
dari Bali, Sumatra Utara, Menado, Buton dan Ambon.
Masuknya
migran (baik transmigrasi dan migran spontan) telah mengubah komposisi penduduk.
Di tahun 2010 OAP berjumlah 381.933 jiwa (atau 52,1% dari jumlah penduduk Papua
Barat ), namun di tahun 2015 prosentasi jumlah OAP berkurang menjadi 50,3%
walaupun secara absolut jumlah OAP meningkat menjadi 436.869 jiwa. Di derah Sorong,
masuknya migran ini mengakibatkan OAP terdesak
ke daerah pinggiran atau pedalaman. Jumlah OAP saat ini sekitar
sepertiga dari jumlah penduduk Kabupaten Sorong. Selain itu dengan tingkat Pendidikan yang rendah,
mengakibatkan OAP tidak bisa bersaing dengan pendatang di pasar tenaga kerja sector
formal dan pemerintahan. Keterdesakan OAP ini juga semakin menjadi dengan
adanya pelepasan wilayah ulayat mereka untuk kepentingan pembangunan, di sewa
pendatang maupun dibeli investor tambang dan perkebunan. Di daerah Kabupaten Tamberauw
yang belum terlalu terbuka¸ arus migrasi belum terlalu besar walaupun cenderung
meningkat dari waktu ke waktu. Sehingga di daerah perkotaan Kabupaten
Tamberauw, proporsi penduduk OAP masih
cukup tinggi.
Dari
sisi pertumbuhan alami, jumlah kelahiran di keluarga OAP berkisar 5-6 orang.
Kondisi Kabupaten Sorong yang relative lebih baik dalam penyediaan fasilitas kesehatan,
informasi dan komunikasi membuat situasi kelahiran keluarga OAP di Sorong lebih
baik dibanding di Tamberauw.
Di
Papua, seorang anak mempunyai milai secara kultural maupun ekonomi. Anak
laki-laki merupakan penerus marga dan penerus hak waris atas ulayat. Sehingga semakin banyak anak laki-laki maka peluang untuk mempertahankan
tanah ulayat semakin besar. Sedangkan anak perempuan merupakan sumber tenaga kerja di kebun,
sekaligus asset ekonomi untuk mendapatkan pembayaran mahar (mas kawin). Adaya
motif kultural dan ekonomi tersebut mengakibatkan upaya penurunan angka
kelahiran menjadi terkendala. Meski demikian semakin terbukanya akses informasi
dan lapangan kerja bagi kaum perempuan telah membuat banyak keluarga OAP di
perkotaan melakukan penjarangan waktu melahirkan. OAP sendiri sebenarnya mempunyai
kearifan local untuk melakukan penjarangan kelahiran dengan menggunakan ramuan
tradisional. Penjarangan kelahiran tersebut terbukti mampu meningkatkan
kualitas hidup keluarga OAP misalnya anak-anak bisa memperoleh pendidikan yang
lebih baik dan Kesehatan ibu lebih terjamin.
Melihat
kondisi terdesaknya OAP, penulis buku ini menyarankan beberapa hal sebagai
berikut:
1.
Kualitas
SDM OAP ditingkatkan melalui layanan Pendidikan dan Kesehatan agar mereka nanti
mampu bersaing dengan pendatang di dunia pasar tenaga kerja.
2.
Pemberdayaan
masyarakat dalam sector primer pertanian lahan kebun.
3.
Perlindungan
hak ulayat agar tidak mudah dipindahtangankan ke pihak ketiga termasuk pendatang.
4.
Pembangunan
infrastruktur harus mengakomodir kepentingan OAP.
Secara
umum buku ini cukup mudah dipahami
isinya, karena analisanya tidak terlalu rumit dan bahasanya mudah dipahami.
Direkomendasikan untuk dibaca oleh rekan-rekan yang ingin memahami kondisi makro
OAP di Tanah Papua khususnya di Papua Barat, yang saat ini telah dimekarkan
menjadi Papua Barat dan Papua Barat Daya.
Lokus studi ini Kabupaten Sorong dan Kabupaten Tamerauw nampaknya masuk ke
Provinsi baru yakni Provinsi Papua Barat Daya.
No comments:
Post a Comment