Rajah Merah di Ladang Kentang
Penulis: Hery Santoso
Interlude,
Yogyakarta 2019
458
halaman
ISBN
978 602 5873 935
Buku
ini bercerita tentang Desa Puncak Wangi di daerah pegunungan Dieng, Kabupaten
Wonosobo, Jawa Tengah yang berada di ketinggian 2.300 di atas permukaan air
laut. Dengan kondisi yang berada di ketinggian ekstrim, Desa Puncakwangi bersuhu
10-15 derajat Celsius di malam hari bahkan pada bulan kemarau (Juli-Agustus)
shu bisa mencapai 0 derajat di pagi hari. Dari dokumentasi yang ada, desa ini diperkirakan
sudah ada sejak tahun 1880-an. Di tahun 2010 penduduk des aini berjumlah
sekitar 1.200-an jiwa.
Dengan
kondisi yang terisolir di dataran tinggi, infrastruktur jalan dan fasilitas
umum lainnya seperti sekolah di desa Puncakwangi pada awalnya sangat minim. Lingkungan
yang punya ketinggian ekstrim, juga menyebabkan daerah ini kurang cocok untuk
tanaman pangan sehingga kebutuhan pangan terpaksa harus dibeli dari daerah/desa
lain. Dalam beberapa kasus dijumpai masyarakat desa ini pernah mengalami bencana kelaparan. Untuk mensiasati kebutuhan ekonomi di
lingkungan yang kurang bersahabat tersebut, Sebagian masyarakat mengembangkan system
pertanian tumpangsari beberapa komoditi. Alternatif lain adalah mereka
melakukan migrasi dan menjual tenaga menjadi buruh tani di desa-desa
sekitarnya. Dengan keterbatasan tersebut masyarakat desa ini sering
dikonotasikan masyarakat “ngiwa” atau terbelakang (marginal).
Kondisi
prasarana jalan dan sekolah mulai dibangun than 1970an. Dari sisi pertanian,
sejak jaman colonial Belanda sd tahun 1970an, di daerah Dieng banyak
diintroduksikan tanaman tembakau dan jagung. Pada tahun 1970an, kubis (kuban
ekspress) mulai diintroduksi dan tahun
1980an, tanaman kentang Bandung (Granola yang diintroduksi oleh petai dari
Pengalengan Jawa Barat) mulai banyak dikembangkan.
Di
desa Puncakwangi, budidaya tanaman kentang ini membawa perubahan ekonomi yang
signifikan karena tanaman kentang sangat cocok dibudidayakan di desa ini.
Masyarakat berlomba-lomba berinvestasi menanam kentang. Lahan-lahan yang ada
dimaksimalkan untuk budidaya kentang. Lahan pertanian yang semula memakai system
tumpangsari heterokultur, dirombak menjadi monokultur kentang. Mereka berani berinvestasi
menggunakan pupuk dan obat-obatan dari
pabrik karena kentang termasuk rakus hara. Merekapun berani membayar buruh tani
dari desa lain karena kentang membutuhkan pemeiharaan intensif. Keuntungan yang
mengalir deras membuat desa ini lepas
dari cengkeraman kemiskinan, bahkan banyak warga desa lain yang mencoba
berinvestasi kentang di desa ini. Booming kentang di desa ini mengundang masuknya
Lembaga perbankan yang menyediakan jasa permodalan, industry obat-obatan dan pupuk pabrik serta
buruh tani dari luar yang menyediakan jasa tenaga kerja. Masyarakat juga memaksimalkan profit dengan
melakukan budidaya kentang 3 musim panen dalam setahun.
Masyarakat
desa Puncakwagi memanfaatkan surplus pendapatan dari budidaya kentang ini untuk
menaikkan status sosial mereka dengan pergi naik haji, menyekolahkan anak ke pesantren,
pendidikan menengah atau tinggi, membeli perabotan skunder, membangun masjid
yang megah investasi ke sector lain maupun untuk foya-foya seperti pesta kembang api saat
menyambut lebaran. Maraknya anak-anak
yang bersekolah di pesantren membawa perubahan sosial dimana masyarakat desa
Puncakwangi yang semula menganut Islam Kejawen, berangsur-angsur beralih ke
Islam Pesantren. Ritual-ritual adat sedikit demi sedikit ditinggalkan dan bergeser
menjadi ritual agama pesantren seperti pengajian, barzanji dan lain-lain.
Bulan
madu masyarakat Puncakwangi dengan Kentang Bandung ini mulai surut di awal
tahun 2000 an. Serangan jamur, angin dan
babi hutan mengakibatkan gagal panen
atau produktivitas menurun. Hal ini diperparah dengan terkurasnya unsur hara
dan erosi yang tinggi karena masyarakat
menanam kentang tanpa ada terasering. Pemakaian pupuk dan obat-obatan pabrik
yang tidak terkendali, membuat kondisi lahan rusak. Cilakanya sebagian besar masyarakat
malah
memperbanyak pemakaian pupuk dan obat pabrik di luar takaran yang seharusnya untuk
menggenjot produksinya.
Pemakaian
pupuk dan obat pabrik yang banyak mengakibatkan membengkaknya biaya produksi.
Di sisi lain penurunan produktivitas mengakibatkan pendapatan turun. Tidak
seimbangnya biaya produksi dan pendapatan mengakibatkan investasi merugi. Dalam
kondisi seperti ini sebagian masyarakat menjadi terlilit hutang ke bank yang
bunganya sangat tinggi. Kegagalan panen kentang yang berulang, mengakibatkan mereka
semakin tenggelam dalam lobang hutang yang mereka gali. Sebagian dari mereka terjebak
dalam romantisme kejayaan kentang, sehingga mereka ingin segera dapat
penghasilan besar dari kentang dan bisa membayar lunas hutang-hutangnya. Namun
kenyataan berkata lain, jebakan hutang semakin dalam sehingga mereka terpaksa
harus menjual asset-asetnya (bahkan termasuk lahan) untuk menutup hutangnya. Jual
beli ini dilakukan kepada petani kaya di desa Puncakwangi sendiri, karena ada aturan
di desa yang berisi larangan jual beli tanah kepada orang dari desa lain (orang
luar). Kondisi ini berakibat munculnya fenomena
tuan tanah – tuan tanah di desa yang menguasai asset lahan, dan munculnya
petani tuna kisma (tidak punya lahan). Para petani yang tidak punya lahan biasanya
menempuh beberapa alternatif untuk bertahan hidup, antara lain: (1) bertahan di
desa sendiri dengan menjadi buruh tani, (2) melakukan migrasi ke luar desa atau
keluar daerah/ke luar Jawa dengan bekerja sebagai buruh tani/buruh kelapa
sawit, (3) bekerja di sector informal seperti tukang parkir dan lain-lain.
Dari
pengalaman di desa Puncakwangi ini, ada beberapa orang yang bisa bertahan bahkan
berhasil melakukan akumulasi kekayaan dengan budidaya kentang, yakni: (1) orang
yang memiliki lahan luas sehingga dia bisa melakukan subsidi silang ketika
gagal panen di satu petak, dengan mengkompensasi dari petak lain yang berhasil,
(2) orang yang mempunyai akses modal memadai sehingga bisa membayar sarana
produksi dan tenaga yang diperlukan, (3) orang yang tekun dan giat di lapangan karena
kentang perlu penanganan intensif (4) orang yang mampu dan disiplin mengelola
sumberdaya secara efisien/hemat (5) orang yang mampu berhitung cost-benefit secara
jernih missal berani melawan arus dengan melakukan penanaman 2 kali karena
secara kalkulasi ekonomi penanaman 2 kali setahun hasilnya hampir sama dengan penanaman
yang 3 kali setahun. Di sisi lain penanaman 2 kali setahun malah memberikan
manfaat agar lahan bisa bernafas dan memutus siklus hama atau jamur.
Pesan
yang bisa ditarik dalam buku ini antara lain program-program pembangunan yang
berniat mulia ketika diserahkan ke mekanisme pasar, terkadang dalam jangka panjang
hasilnya berkebalikan dari apa yang diharapkan. Monokulturisasi kentang selain
menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat massif, juga telah mereproduksi
kemiskinan di desa Puncakwangi. Kegagalan budidaya kentang ini telah
menimbulkan trauma tersendiri bagi masyarakat sehingga banyak yang berharap
anak keturunannya kelak tidak menjadi petani ( “deagrarianisasi”) dan beralih
ke mata pencaharian lain. Keputusasaan masyarakat juga tercermin dengan cara
mencari pemecahan masalah secara supranatural seperti pemasangan jimat rajah
merah untuk mengusir hama dan penyakit tanaman kentang.
Dalam
buku ini penulis menggambarkan bahwa tesis konflik antar kelas dari Marx tidak sepenuhnya terbukti dalam kasus di desa Puncakwangi ini. Sebaliknya pula, asumsi kaum
kapitalis bahwa pasar akan mensejahterakan
masyarakat juga tidak terbukti secara signifikan. (CMIIW…)
Mas
Hery dalam buku ini sangat piawai dalam bertutur. Membaca buku ini seperti
membaca sebuah kisah yang terangkai dalam kata-kata yang mudah dikunyah. Saya
menyandingkan buku ini dengan buku Perubahan
Sosial di Yogyakarta karya Prof. Selo Soemardjan, yang ditulis dengan cara
bertutur pula.
Dari
sisi isi, buku ini cukup komprehensif mengupas berbagai aspek kehidupan. Saya
pikir pemikiran Mas Hery ini sangat bermanfaat untuk merekonstruksi pengetahuan
kita tentang pola perilaku orang gunung (dataran tinggi). Bahwa mereka bukan
orang terbelakang dan hanya berorientasi subsisten belaka, tetapi banyak
perilaku mereka didasari perhitungan rasionalitas ekonomi. Dalam konteks ini saya menyandingkan
Mas Hery dengan Michael Dove yang ahli perladangan di Indonesia.
Secara
umum buku ini sangat bagus dan well recommended. Meski demikian pepatah
mengatakan “tak ada gading yang tak retak”. Input saya untuk buku ini adalah saya merasa ada beberapa
bagian yang terkesan mengulang-ulang. Pengulangan ini tidak terlalu mengganggu,
tapi kalau bisa pengulangan ini diperbaiki agar keruntutan alur bacaan menjadi
lebih mengalir.
No comments:
Post a Comment