Perlawanan di Simpang jalan;
Kontes harian orang-orang sekitar hutan
Penulis Hery Santoso
Penerbit Interlude, Yogyakarta
September 2020 (terbitan ke-2)
442 halaman
ISBN 978-623-7676-00-3
Dinamika pengelolaan hutan di Jawa
Buku ini bercerita tentang hubungan
masyarakat dengan hutan dan pengelola hutan di Jawa sejak jaman VOC hingga saat
ini. Sebuah riset intensif di sebuah masyarakat pinggiran hutan jati di
Jawa Tengah, telah dilakukan untuk menghasilkan buku ini.
Di jaman VOC (kongsi Dagang
Belanda), kayu jati sudah menjadi komoditi bernilai tinggi untuk mendukung industry
perkapalan dan kebutuhan pembangunan lain. VOC dengan dukungan kekuatan
militernya, berhasil menguasai dan memonopoli perdagangan kayu jati dan
melakukan “penambangan kayu jati” (timber extraction) di berbagai wilayah
dengan memanfaatkan tenaga buruh blandong yang sangat murah/gratis. Penambangan
kayu dalam hal ini dimaksudkan sebagai upaya menebang atau memanfaatkan kayu tanpa melakukan rehabilitasi atau penanaman kembali.
Di jaman VOC ini juga terdapat praktek pemberian konsesi kepada pihak
swasta/penguasa local untuk mengelola kawasan hutan tertentu dengan imbalan
upeti berupa kayu, beras, tenaga kerja dan perahu.
Eksplotasi tenaga kerja tukang
blandong yang berlebihan, telah menimbulkan aksi mogok kerja dan pemberontakan
Kalang pada tahun 1770. Orang Kalang ini merupakan suatu komunitas masyarakat di
Jawa Tengah bagian utara yang berkeahlian tinggi untuk menebang kayu
(blandong). Pemberontakan orang Kalang ini berhasil dipadamkan walau memakan
korban puluhan orang meninggal. Orang Kalang sendiri kemudian diisolasi di
daerah Juana – Pati (Jawa Tengah).
Pada tahun 1796, VOC bangkrut dan
kekuasaan di Hindia Belanda kemudian diambil alih oleh Daendels (1808-1811) selaku
wakil Pemerintah Belanda. Daendels melihat bahwa penambangan kayu oleh VOC
telah mengakibatkan keruskan hutan yang cukup massif. Melihat kondisi tersebut
Daendels mendorong perbaikan tata Kelola hutan di Jawa melalui: (1) penetapan
bahwa hutan adalah milik negara sehingga harus dikelola untuk kepentingan
negara, (2) membentuk Lembaga yang menangani penyelenggaraan kehutanan berupa
Inpektur Jenderal, (3) pengelolaan hutan melalui rotasi penebangan dan
penanaman, (4) Masyarakat dilarang mengambil kayu kecuali ranting, kayu non
komersil atau kayu mati, (5) mengenalkan lembaga peradilan perkara kehutanan,
(6) menghapus konsesi hutan pihak swasta dan mengembalikan ke monopoli negara.
Adanya monopoli kayu oleh negara (pemerintah pusat) mengakibatkan harga kayu sangat
mahal dan banyak industry perkapalan dan industry perkayuan bangkrut terkena
imbasnya. Salah satu sisi positif dari kebijakan Daendels ini adalah adanya perbaikan
upah bagi para blandong (buruh penebang kayu) dengan pembayaran natura dan
tunai.
Pemerintahan Daendels hanya
bertahan sekitar 4 tahun dan digantikan oleh Raffles (1811-1816) perwakilan pemerintah
Inggris. Beberapa kebijakan Raffles antara lain: (1) meningkatkan efisiensi
penyelenggaraan Kehutanan melalui desentralisasi. Hanya hutan yang berkualitas
tinggi yang dikelola Pemerintah Pusat. Sedangkan hutan yang lainnya dikeloa
pemerintah daerah untuk disewakan pada konsesi swasta, (2) Pembatasan jumlah
tebangan untuk mengurangi laju kerusakan hutan. Berkurangnya control pemerintah
pusat terhadap penyelenggaraan hutan ini berakibat maraknya penyelewengan dan
korupsi di sector Kehutanan. Untuk pengupahan para blandong (buruh tebang) diberlakukan
system pembayaran tunai sekaligus adanya pemotongan pajak untuk upah para
blandong.
Pemerintahan Rafles kemudian
digantikan oleh Pemerintahan Belanda.
Pada pemerintahan ini mereka
mengembalikan tata Kelola Kehutanan seperti era Daendels. Walaupun kemudian
penyelenggaraan Kehutanan kemudian diserahkan pada pemerintah daerah (residen)
demi menghemat keuangan negara. Pada era ini juga diperkenalkan system “persil”
untuk mengatur mekanisme penebangan dan penanaman kembali. Pada periode ini system
tanam paksa untuk komoditi perkebunan (tembakau, tebu, nila, karet dll). Hal
ini berdampak pada meningkatnya kebutuhan kayu untuk konstruksi bangunan dan bahan
bakar industry. Sehingga penambangan kayu terjadi lagi. Walaupun dilakukan
upaya penanaman kembali, namun hasilnya tidak signifikan karena pemeliharaan
tanaman masih kurang intensif.
Pada tahun 1847, penguasa Hindia
Belanda yakni Gubernur Jenderal Rochussen (yang berkuasa 1845-1851) mengirim
surat ke Pemerintah Belanda untuk meminta dukungan tenaga ahli Kehutanan untuk
menghindari kerusakan hutan yang lebih parah. Pada tahun 1849, Bennich dan
Moller (ahli Kehutanan Jerman) dan Balzar (ahli Geodesi) didatangkanuntuk
membangun system Kehutanan di Hindia Belanda. Mereka ditugaskan di Rembang
(Jawa Tengah) dengan tanggung jawab
antara lain: mengawasi penyelenggaraan Kehutanan, melakukan pemetaan dan penataan
hutan, merumuskan kelas hutan dan merencanakan jalan sarad di dalam hutan. Tenaga
ahli lain yang didatangkan adalah Roessler, seorang ahli Kehutanan berpengalaman
Jerman dan juga beberapa ahli kehutanan Belanda alumni Jerman. Sebaliknya beberapa
pejabat Kehutanan di Jawa juga dikirim belajar ke Jerman untuk mempelajari
model pengelolaan hutan di sana.
Para ahli Kehutanan Jerman dan
Belanda tersebut berhasil merumuskan Undang-undang Kehutanan Jawa dan Madura
yang disahkan pada tahun 1865. UU ini mengatur
tentang pemangkuan hutan, system pembuatan tanaan dan pemeliharaan, mekanisme
penebangan, pengujian kayu, system pengangkutan dan berbagai tindak pidana Kehutanan
seperti pencurian kayu, pembakaran hutan, penggembalaan liar di hutan. Dalam
konteks ini konsepsi hutan adalah asset negara (hutan negara). Walaupun sempat
muncul konsepsi “hutan desa” namun konsep itu dihapus Kembali karena dikuatirkan
akan menimbulkan okupasi lahan di desa. UU ini juga menghapus system blandong,
dan penyelenggaraan Kehutanan dilaksanakan dengan system kontrak dengan swasta.
Disahkannya UU ini mambawa dua perubahan besar dalam penyelenggaraan Kehutanan yakni;
(1) penetapan status hutan negara dan ancaman tindak pidananya, telah menutup
pintu praktik-praktik pemanfaatan hutan oleh masyarakat yang ada saat itu, paadahal
hutan merupakan salah satu penopang utama penghidupan masyarakat, (2) berlakunya
system kehutanan akademik dimana proses perencanaan, penanaman, pemeliharaan,
penebangan dan pengamanan menjadi komponen-komponen penting dalam
penyelenggaraan Kehutanan.
Penutupan akses masyarakat
terhadap sumberdaya hutan dan sumberdaya public lainnya, semakin ditegaskan dengan
adanya Domein Verklarring (1870) yang secara umum menyebutkan bahwa sumber daya
(hutan, lahan, perairan dll) yang tidak bisa dibuktikan kepemilikannya, secara otomatis
menjadi milik negara. Isi Domein Verklaring tersebut, kemudian diadopsi dalam revisi
UU Jawa dan Madura pada tahun 1874 yang menegaskan hutan adalah domain negara
dan dikelola untuk kepentingan negara. Selain itu hutan di Jawa dan Madura
dibagi dalam dua kelas yakni jati dan rimba
(campuran non jati).
Dari sisi silvikultur, penerapan system
Kehutanan akademik dalam penyelenggaraan Kehutanan mengakibatkan perubahan
hutan yang semula kaya akan biodiversity digantikan oleh tegakan-tegakan
monokultur yang tertata rapi mirip kebun kayu namun miskin keanekaragaman
hayati. Pengembangan silvikultur ini terus berkembang dengan adanya keberhasilan
system tumpangsari (agroforestry), dan system penjarangan dan kemudian disusul
dengan adanya Instruksi Pembuatan Buku Rencana Perusahaan pada Hutan Jati tahun
1938.
Dari sisi sosial, adanya klaim
negara atas wilayah hutan, pemberlakuan pajak tanah, berbagai iuran untuk kegiatan
sosial seperti pernikahan, memotong ternak, pemakaian air irigasi dll telah
menimbulkan gejolak di masyarakat. Hal ini diperparah oleh distribusi lahan yang
tidak adil antara elite desa dan Kehutanan dengan masyarakat awam. Berbagai
iuran dan penguasaan asset oleh negara, mungkin bertujuan baik untuk kesejahteraan
masyarakat, namun karena komunikasi dari pemerintah yang lemah dan pendekatan
yang cenderung top down, telah menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Di tahun
1890 di daeah Blora (Jawa Tengah) muncul tokoh local Samin Sentiko yang
mengajarkan pendekatan “kesetaraan” dan menolak adanya klaim negara. Mereka
melakukan perlawanan dengan cara non kekerasan seperti menolak ekonomi uang
dengan cara menolak membayar pajak, menolak upah dibayar dengan uang tunai, menolak
larangan berladang di hutan, menolak larangan mengambil kayu, menolak denda, menolak
berbahasa halus dengan pejabat, dan menolak hadir dalam acara-acara yang
dihadiri kalangan penyelenggara Kehutanan. Perlawanan Samin dan pengikutnya ini,
secara hakikat tidak hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup, namun
sejatinya juga terkait dengan system nilai dimana system nilai yang diterapkan
oleh pemerintah (ekonomi uang, dominasi negara dll) tidak sesuai dengan system nilai
yang ada di masyarakat. Perlawanan Samin dan pengikutnya ini berakhir tahun
1907 ketika Samin dan pengikutnya ditangkap dan dibuang ke Sumatra hingga
menemui ajalnya disana.
Perlawanan masyarakatterhadap
suprastruktur (termasuk Kehutanan) sebenarnya tidak hanya dalam bentuk
perlawanan terbuka (pemberontakan). Terdapat banyak “perlawanan dalam diam”
yang berupa pencurian kayu dan tindak kejahatan hutan. Data dari Nancy Peluso
menyebutkan selama kurun waktu 1918-1968 terdapat lebih 367.000 kasus
pelanggaran peraturan Kehutanan di Jawa atau rata-rata lebih dari 7.000 kasus
per tahun. (Itu data yang tercatat, ada kemungkinan fakta yang tidak tercatat
jauh lebih besar).
Pada era penjajahan Jepang
(1942-1945), kerusakan hutan cukup parah baik karena eksploitas oleh tentara
Jepang maupun oleh adanya politik bumi hangus dari pemerintah Hindia Belanda yang
tidak ingin fasilitas dan industry Kehutanan yang ada dimanfaatkan oleh Jepang.
Selain itu, Sebagian masyarakat memanfaatkan suasana chaos untuk melakukan perambahan
hutan dan penebangan liar. Keberhasilan rehabilitasi hutan pada era Jepang ini juga
relative rendah.
Pada tahun 1945-1950-an
pengelolaan hutan dihadapkan pada pertanyaan “ke arah manakah pengelolaan hutan
paska kemerdekaan akan dibawa?” Terdapat dua kubu idiologis yakni kubu “rimbawan
konservatif” yang disokong kaum nasionalis, berorientasi pada aspek ekonomi dan
konservasi sehingga penyelenggaraan negara harus sentralistik dan berbasis negara. Kubu yang lain adalah “rimbawan
progresif” yang cenderung berafiliasi komunis dan mengedepankan redistribusi
lahan. Namun perdebatan dua kubu tersebut cenderung lebih focus pada “politisasi”
isu kehutanan dan tidak menyentuh langsung pada isu hutan dan Kehutanan.
Pada era 1962, Jawatan Kehutanan
digantikan oleh Perusahaan Negara Perhutani. Pembentukan Perhutani ini
merupakan salah satu bentuk kemenangan kaum nasionalis. Perhutani bertugas
untuk: (1) meningkatkan devisa, (2) melakukan reforestasi, (3) memproduksi kayu
untuk mendukung industry Kehutanan. Namun karena situasi politik dan keamanan yang tidak stabil membuat target tersebut
tidak bisa terlaksana dengan baik. Dalam situasi yang tidak menentu tersebut, rimbawan
progresif di bawah Organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Serikat Buruh
Kehutanan Indonesia (SARBUKSI) juga mengorganisir masyarakat untuk melakukan
pendudukan lahan dan menyuarakan redistribusi lahan. Memanfaatkan kekacauan
tersebut, sebagian masyarakat melakukan tindak penjarahan kayu, lahan , hasil
hutan lain dan fasilitas kehutanan. Kondisi ini diperparah oleh adanya bencana kelaparan
massal sehingga masyarakat memanfaatkan hutan dan sumberdaya yang ada
didalamnya untuk bertahan hidup. Akibat tindak penjarahan tersebut, kerusakan
hutan yang diderita Perhutani di tahun 1960an sangatlah besar.
Pada tahun 1966, Pemerintah Orde
Baru terbentuk dan UU Pokok Kehutanan sitetapkan. Lima tahun kemudian status Perhutani
berubah dari Perusahaan Negara menjadi Perusahaan Umum Perhutani. Melalui UU
Pokok Kehutanan dan perubahan status Perhutani, pemerintah menegaskan Kembali bahwa
hutan adalah asset negara, pemanfaatan untuk ekonomi negara dan harus
dipisahkan dari kegiatan ekonomi masyarakat local. Perhutani sebagai “penguasa”
hutan di Jawa kemudian menjalankan mekanisme penyelenggaraan hutan seperti
penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pengamanan secara teratur. Dari sisi
manajemen, Perhutani juga melakukan rasionalisasi unit pengelolaan hutan, dan
melakukan sentralisasi anggaran untuk efisiensi.
Untuk mengatasi
tekanan sosial masyarakat terhadap hutanpada tahun 1970-1980an, Perhutani
mengembangkan Program MALU, Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) dan
Program Perhutanan Sosial (PS)[1]
. Program-program tersebut bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat
yang pada akhirnya akan memunculkan dukungan masyarakat dalam pelestarian
hutan. Namun dalam kenyataannya program-program tersebut, belum menunjukkan
keberhasilan. Kegagalan tanaman, pencurian kayu dan konflik dengan masyarakat
semakin meningkat.
Kondisi hutan di Jawa mengalami
kerusakan massif di awal reformasi (1998-2000an). Situasi chaos mengakibatkan
penjarahan kayu meningkat drastic. Tahun 1997, pencurian kayu berkisar 200 ribu
batang. Tahun 1998 pencurian kayu berkisar 1 juta batang dan tahun 1999 berkisar
3,1 juta batang. Dalam kurun waktu 1998-2002, standing stock di lahan Perhutani
menurun dari 37,5 juta M3 menjadi 28 juta M3. Produksi kayu pada tahun 1999
sebesar 1,75 juta M3, pada tahun 2002 menjadi 1,45 juta M3 dan pada tahun 2004
menjadi 847 ribu M3. Pada tahun 1998, keuntungan kotor Perhutani mencapai 581
milyar rupiah dan pada tahun 2002 hanya mencapai 200 milyar rupiah.
Untuk mengantisipasi tekanan
sosial masyarakat ini Perhutani kemudian mengembangkan Program Pengelolaan
Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), yang mengintroduksikan bagi hasil kayu. Namun
Program ini juga belum sepenuhnya memberikan hasil yang kongkrit.
Perlawanan Masyarakat sekitar
hutan
Dengan adanya penguasaan hutan
oleh negara, penyelenggara Kehutanan sejak jaman Hindia Belanda memperkenalkan kegiatan tumpangsari dalam kawasan
hutan untuk mengatasi kebutuhan lahan untuk penghidupan masyarakat,. Dalam hal
ini kepada masyarakat diberikan hak menggarap lahan hutan dengan kewajiban menanam
dan memelihara tanaman pokok Kehutanan di lahan garapannya. Sebagai haknya, petani
penggarap (pesanggem) berhak menanam dan memanen tanaman semusim di lahan garapannya.
Di era Perhutani, program tumpangsari untuk peningkatan kesejahteraan
masyarakat ini kemudian berkembang dengan berbagai varian seperti Program MALU
(1970-1980an), PMDH (1980-1990an), PS (1986-1990an),
PHBM (1990an-sekarang) dan Ijin
Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial/IPHPS (2018-sekarang).
Namun implementasi berbagai
program tersebut tidak sepenuhnya
berhasil meningkatkan kesejateraan masyarakat dalam jangka panjang. Secara umum,
setelah 2 tahun pendapatan petani penggarap (pesanggem) menurun karena tajuk
tanaman pokok telah menaungi tanaman semusim yang ditanam di lahan garapannya (andil).
Oleh karenanya kegiatan tumpangsari seringkali mendapatkan perlawanan diam-diam
dari masyarakat, seperti adanya sabotase dengan menelantarkan lahan garapan, sabotase
mematikan tanaman pokok agar tajuknya tidak mengganggu tanaman semusim,
sabotase dengan berpura-pura patuh tetapi sebenarnya mengacuhkan arahan-arahan
pejabat Kehutanan saat penyuluhan-penyuluhan.
Di era 1990 an, bentuk kegiatan perlawanan
tersebut semakin beragam seperti maraknya pencurian kayu sebagai dampak banyaknya
industry kayu local. Ditengarai industry kayu tersebut menggunakan kayu illegal
yang dicuri dari kawasan hutan. Kayu-kayu illegal tersebut disupply oleh warga masyarakat
local , yang dalam beroperasinya sering bekerjasama dengan pejabat Kehutanan yang
korup. Oknum pejabat yang korup ini mengakibatkan wibawa penyelenggara Kehutanan
jatuh di mata public, dan sering menjadi bahan olok-olokan/gunjingan (bullying) di masyarakat. Penegakan hukum
untuk mengatasi pencurian ini agak sulit dilakukan karena sebagian oknum kehutanan
terlibat dan masyarakat sendiri sering melindungi warganya yang terlibat dalam pencurian
kayu.
Terbatasnya asset lahan di desa
(non hutan), pertambahan populasi yang tinggi, terbatasnya pendidikan tingkat pendidikan masyarakat
dan terbatasnya lapangan kerja/usaha di desa telah semakin memperkuat tekanan
sosial terhadap hutan. Selain itu penerapan system Kehutanan akademik yang
berbasis negara, telah menimbulkan keguncangan karena telah mencerabut
masyarakat dari akar budayanya. Di waktu lalu, hutan merupakan ruang kehidupan
masyarakat namun penetapan hutan negara telah menjadikan mereka terpisah dengan
ruang hidupnya. Monokulturisasi telah mengakibatkan masyarakat kehilangan banyak
keanekaragaman hayati yang selama ini mereka manfaatkan. Masyarakat sendiri jarang
atau bahkan tidak pernah dilibatkan dalam
proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan hutan yang ada didekatnya. Tindak
pengamanan hutan oleh petugas Kehutanan yang terkadang berlebihan juga
dirasakan membuat masyarakat petani penggarap (pesanggem) seringkali merasa
kehilangan harga diri dan martabatnya. Hl ini juga bisa menimbulkan perlawanan
tersebut.
Salah satu hal yang sering salah
dipahami oleh para penyelenggara Kehutanan adalah masyarakat dianggap selalu
berorientasi subsisten dan pro kelestarian lingkungan. Padahal terdapat dinamika
di masyarakat yang juga ingin sejahtera secara material. Terdapat perubahan
orientasi subsisten ke ekonomi kapitalisme yang berorientasi uang dan pemenuhan
kekayaan material. Hasil tumpangsari yang relatif pas-pasan untuk memenuhi
kebutuhan subsisten pastilah semakin tidak akan mencukupi pmenuhan kebutuhan
kekayaan material. Kalau ekonomi subsisten, masyarakat menjadi actor utamanya.
Namun untuk ekonomi kapitaslis seperti industry perkayuan, masyarakat hanya
menjadi salah satu actor dari sejumlah actor yang terlibat. Hal inilah yang
harusnya dipikirkan untuk dicarikan pemecahannya oleh penyelenggara Kehutanan,
agar tindak pidana Kehutanan bisa dieliminir sedini mungkin.
Mungkinkah terjadi konflik atau
perlawanan terbuka oleh masyarakat?
Dalam sejarah penyelenggaraan Kehutanan,
dikenal adanya pemberontakan orang Kalang dan gerakan Samin Sentiko. Namun selain
itu jarang sekali muncul perlawanan terbuka dari masyarakat terhadap
penyelenggara Kehutanan. Mengapa demikian?
Dari pengamatan Mas Hery Santoso,
masyarakat pinggiran hutan di Jawa,
sebenarnya mempunyai kalkulasi yang cukup rasional dalam melakukan gerakan
perlawanan terhadap kebijakan yang tidak mereka setujui. Hutan merupakan salah
satu sumber daya yang menopang kehidupan mereka walaupun hasilnya pas-pasan
untuk pemenuhan kebutuhan subsisten. Oleh karena itu mereka tidak berani
mengambil resiko melakukan perlawanan secara terbuka (seperti protes, atau
klaim redistribusi lahan, pemberontakan) terhadap penyelenggara kehutanan yang
bisa berakibat dicabutnya lahan garapan mereka.
Oleh karena itu perlawanan cukup dilakukan secara diam melalui
sabotase-sabotase. Jadi tindakan petani sebenarnya didasari kalkulasi untung-rugi
walau sifatnya sangat sederhana. Mas Herry juga menambahkan bahwa tidak munculnya
aksi konfrontatif dari masyarakat juga dipengaruhi oleh perubahan kebijakan dan
kapitalisme negara tidak secara massif memporakporandakan perekonomian
masyarakat sehingga masyarakat masih mempunyai ruang bertahan hidup. Masyarakat
tidak teresploitasi secara ketat, mereka hanya tersingkir dari sumberdaya subsistensi
local yang sebelumnya bisa dikuasai secara bersama-sama. Hal lain yang juga
menghambat aksi kolektif perlawanan konfrontatif adalah cross cutting
affiliation dimana masyarakat pesanggem, petugas Kehutanan, blandong berasal
dari satu kampung dan susah dilakukan pengelompokan (segregasi) karena saling
terkait denganafiliasi kekerabatan, agama, dll.
Secara teoritis, sejarawan Sartono
Kartodirjo menyebutkan bahwa aksi terbuka yang revolusioner aakan terjadi bila:
(1) ada suatu tradisi untuk memberontak, (2) ada ketegangan terus menerus
dimana suatu lapisan masyarakat tersingkir dan kehilangan hak-haknya, (3)
adanya dominasi negara yang mengacaukan sendi-sendi kehidupan masyarakat, (4)
adanya satu tokoh/pemimpin yang revolusioner, (5) kelembagaan yang memiliki
kapasitas. Melihat kriteria-kriteria tersebut
nampaknya sulit dipenuhi oleh masyarakat desa yang ada di Jawa. Sehingga
menjadi suatu hal yang wajar kalau perlawanan konfrontatif secara terbuka oleh
masyarakat terhadap penyelenggara kehutanan jarang terjadi.
Solusi ke depan?
Pada tahun 1970an – 1980an muncul
banyak gagasan Kehutanan yang mengutamakan pada aspek etika sosial. Muncul
kesadaran bahwa pengabaian dan marginalisasi terhadap masyarakat telah mendorong laju kerusakan hutan. Etika
Sosial pada era ini bermuara pada: (1) penyediaan kayu bakar dan bahan lain untuk
pemenuhan dasar rumah tangga masyarakat, (2) penyediaan pangan dan kualitas
lingkungan berkelanjutan, (3) penyediaan sumber pendapatan alternatif dan
lapangan kerja bagi masyarakat akar rumput.
Dalam perjalanannya etika sosial
tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh birokrat Kehutanan yang masih ragu terhadap
kontribusi etika sosial dalam pelestarian hutan. Akhirnya mereka mengembangkan
program sosial Kehutanan (community foretry) namun hanya sekedarnya tanpa
menyentuh akar filosofinya. FAO menyebutkan kendala yang dihadapi dalam
pengembangan community forestry antara lain: (1) para penggagas program tidak
memahami mekanisme sosial yang terjadi di level grassroots, (2) relasi sosial
masyarakat dengan hutan di sekitarnya sangat kompleks mencakup aspek material dan
immaterial, (3) perencanaan Kehutanan seringkali gagal menangkap realitas di
lapangan, (4) lemahnya konsepsi proyek etika sosial itu sendiri.
Pelusso menyebutkan salah satu
kelemahan proyek etika sosial yang ada adalah tujuan utama program yang
berorientasi pada pengamanan hutan dan menghutankan kembali lahan kosong.
Sehingga program yang dikembangkan cenderung menjauhkan masyarakat dari hutan
yang menjadi penopang hidupnya. Masyarakat yang sudah memiliki pengalaman dalam
mengelola hutan hendaknya dihargai pengetahuannya dan dijadikan basis
pengembangan proyek. Tidak jarang pengetahuan tradisional masyarakat dalam
mengelola hutan, hasilnya jauh lebih baik dari
kehutanan akademik yang dikelola negara. Seperti hutan rakyat di Jawa
produktivitasnya mencapai 2,29 m3/ha/th, sedangkan Perhutani hanya 0,74
m3/ha/th.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan program etika sosial (termasuk Perhutanan Sosial dan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat lainnya) dimasa depan adalah:
1. Program etika sosial seringkali terjebak dalam penyederhanaan dan stereotype bahwa masyarakat tradisional adalah selalu pro pelestarian lingkungan. Padahal masyarakat mengalami dinamika dan tidak jarang sudah terpengaruh oleh kapitalisme/ekonomi uang.
2. Masyarakat mempunyai dinamika dalam mata pencaharian. Akses informasi dan penetrasi pasar sering mengakibatkan masyarakat familiar dengan komoditi-komoditi yang dibutuhkan pasar dan tidak selalu berorientasi subsisten.3. Areal yang dijadikan lokasi program etika sosial (seperti Perhutanan Sosial), seringkali merupakan lahan terdegradasi dan sumberdaya hutannya sudah dikuras oleh konsesi atau pihak lain. Perlu dipertimbangkan untuk memberikan perlakuan yang adil dengan memberikan lahan yang masih melimpah sumberdayanya bagi penerima ijin PS atau program etika sosial.
4. Proyek etika sosial bisa menjadi pisau bermata dua karena bisa menjadi acuan untuk pendampingan oleh penyelenggara Kehutanan. Namun di sisi lain pemetaan wilayah proyek etika sosial bisa menjadi instrument control teritorialisasi wilayah pedalaman oleh birokrasi.
5. Proyek etika sosial sering menjanjikan kepastian hukum bagi pihak yang mengikuti skema yang ditawarkan. Namun proyek ini sering kali mengabaikan praktik-praktik pengelolaan hutan oleh masyarakat yang selama ini sudah teruji lestari.
oooOOOooo
[1] Catatan saya pribadi, Program MALU
(integrasi kegiatan Mantri Kehutanan dengan Lurah/Kepala Desa). Program
Pembangunan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) seperti pemberdayaan masyarakat
melalui kegiatan di dalam dan pengembangan usaha di luar kawasan. Program Perhutanan Sosial (PS) melalui
agroforestry di dalam kawasan sesuai masa daur tanaman pokok.
No comments:
Post a Comment