Hutan Kaya, Rakyat Melarat
Penguasaan sumberdaya dan
perlawanan di Jawa
Penulis: Nancy Lee Peluso
Penerbit: KONPHALINDO, 2006
ISBN 979-8483-20-0
414 Halaman
Buku ini ditulis oleh Nancy yang
merupakan seorang peneliti dari Cornell University -Amerika. Kalau melihat
daftar referensi, Nancy nampaknya juga menulis beberapa publikasi hasil riset
bidang kehutanan di Kalimantan Timur dan Jawa. Buku ini ditulis dengan
menggunakan hasil penelitian di masyarakat sekitar hutan Jawa Tengah khususnya
Blora dan Brebes. Untuk riset ini, dia menggunakan dua pertanyaan panduan
yakni: (1) mengapa dan bagaimana orang menggunakan hutan di Jawa, (2) apa
penyebab konflik terkait pemanfaatan hutan antara negara dan penduduk desa
hutan di Jawa. Nancy menggunakan pendekatan sejarah untuk menganalisis pola
pemanfaatan dan konflik dalam pengelolaan hutan tersebut.
Periode pra kolonial (sebelum 1600-an),
pemanfaatan hutan di Jawa mempunyai karakter sebagai berikut:
·
Penduduk Jawa diperkirakan 3,4 juta jiwa.
·
Hutan untuk memasok kayu (jati) untuk bangunan
bagi raja, bangsawan dan masyarakat.
Masyarakat juga memanfaatkan hutan untuk lahan pertanian dan penggembalaan
ternak.
·
Terdapat kelompok orang Kalang (bukan Jawa) yang
ahli di bidang menebang, mengangkut dan mengerjakan kayu jati. Mereka harus
membayar pajak dan upeti kepada Raja.
·
Raja mengklaim suatu kawasan (termasuk hutan)
dengan tujuan utama untuk menguasai orang didalamnya sebagai sumber tenaga
kerja (dan bukan klaim pemilikan Kawasan). Penduduk membayar dengan tenaga atau
upeti untuk hak akses pemanfaatan hutan yang diperolehnya. Sebagai haknya
masyarakat bisa membuka lahan dan menjadikan raja sebagai pengayom ketika
mereka bermasalah dengan pihak lain (hubungan patron-client).
Periode Kongsi Dagang VOC/Kompeni
(1619-1796), kronologi dan karakter pemanfaatan hutan di Jawa mempunyai
sebagai berikut:
·
VOC menggunakan kayu jati untuk bahan pembuatan
kapal. VOC menentukan kuota tahunan yang harus disetor penguasa local ke
pos-pos pantai milik VOC. VOC lebih menekankan pada penguasaan sumberdaya
tenaga kerja dan kayu, dan kurang menekankan penguasaan Kawasan.
·
Masyarakat dan penguasa local boleh menebang
kayu untuk kepentingan subsistensi
·
VOC bekerjasama dengan swasta pedagang Cina atau
produser lain untuk mendapatkan kayu. Tapi dia harus dapat persetujuan raja
atau bangsawan Jawa untuk mengekspor kayu.
·
Tahun 1677, VOC membangun galangan kapal di
Rembang. 36 desa (terutama orang Kalang) dilibatkan dalam pembalakan,
penebangan dan pengangkutan kayu dengan kerbau. Kerbau ini antara lain berasal
dari milik petani.
·
Tahun 1684, beberapa penebang pohon dari Jerman
dilibatkan dalam mengawasi berbagai kegiatan Kehutanan di Cirebon.
·
Tahun 1705 Cirebon, Pemanukan, Indramayu dan
Gabang dikuasai VOC. Kompeni juga melakukan penaklukan militer di beberapa
kesultanan yang belum tunduk ke VOC. 1743 dan 1745 pantai timur laut Jawa
diserahkan ke Kompeni. VOC yang semula memonopoli pembuatan kapal yang
panjangnya kurang dari 80 kaki (24 meter), memberikan ijin kepada swasta untuk
membuat kapal yang berukuran kecil
·
Tahun 1770 pemberontakan orang Kalang (di
wilayah bupati Pekalongan dan Jepara) akibat VOC menekan orang kalang agar
menyetorkan kayu ke Kompeni dan bukan ke Raja.
·
Tahun 1776 para buruh hutan dibebaskan dari
bayar pajak kepala dan sumbangan tenaga kegiatan non hutan, namun mereka harus
mau kerja bakti wajib dalam pekerjaan hutan di wilayah hutan. Kerja bakti ini
disebut dengan blandongdiensten atau blandong. Mereka bekerja di bawah
pengawas Belanda atau Jerman.
·
Tahun 1777 penerapan penebangan selektif untuk
kayu jati. Penggunaan tenaga kerbau untuk pengangkutan terkadang over
eksploitasi sehingga banyak ternak yang mati.
·
Tahun 1796 pembentukan komisi untuk menyelidiki keadaan hutan di Jepara dan
Rembang. Hasil kerja komisi ini adalah penghentian penebangan di daerah Jepara
dan Rembang serta pengurangan kuota 50% untuk wilayah Blora. Namun rekomendasi
ini tidak dijalankan. Pembalakan terus jalan dengan ijin residen. Pembalakan
hutan yang ada dilakukan tidak efisien dan merusak tanah (ada yang mengistilahkan
penambangan kayu/timber extraction). Ada upaya penanaman kembali namun
tidak dilakukan secara serius dan hanya ditabur. Pada tahun 1796 ini VOC
dinyatakan bangkrut.
Periode kolonial Belanda –
Daendels (1796-1811),
·
Pada era Daendels menjabat sebagai Gubernur
Jenderal Jawa Daendels (1801-1811)
membentuk instansi pemerintah Dienst van het Boschwezen (Dinas
Kehutanan) untuk mengurusi tanah atau tempat tanaman jati tumbuh atau dapat
ditanam. Pembentukan instansi ini dilakukan untuk menjamin monopoli pemerintah
atas kayu jati, serta tenaga kerja dan pembuatan kapal. Daendels kemudian juga
membentuk manajer hutan tingkat kecamatan (bosgangers) yang bertugas
mengawasi pembalakan, penanaman kembali, pengumpulan benih jati dan “teres” (pengeringan
pohon jati sebelum ditebang dengan mengupas kulit). Bosgangers ini
kebanyakan berasal dari mantan prajurit.
·
Empat unsur yang diterapkan oleh Daendels dalam
pengelolaan hutan: (1) semua hutan adalah tanah negara (lands domein)
untuk dikelola demi kemaslahatan negara, (2) penyerahan pengelolaan hutan pada
suatu instansi, (3) pembagian wilayah hutan menjadi persil untuk ditebang dan ditanami dengan system
rotasi, (4) pembatasan akses masyarakat terhadap jati untuk maksud komersial,
masyarakat boleh memanfaatkan kayu mati dan hasil hutan non kayu.
·
Daendels menerapkan kebijakan untuk melawan
korupsi dan “penjahat hutan”. Pelapor terjadinya tindak kejahatan memperoleh insentif
1/3 dari nilai denda yang dibayarkan oleh terlapor.
·
Kebijakan lain dari Daendels adalah menghapus
eksploitasi hutan oleh swasta dan memonopoli perdagangan dan pengangkutan kayu
jati untuk negara. Buruh hutan, diberi upah 1,5 kg beras per hari dan mereka
bekerja selama 8-14 hari perbulan selama
Februari-November).
Periode kolonial Inggris – Raffles
(1811-1815),
·
Raffles berusaha melakukan efisiensi dalam
pengelolaan hutan. Dia merasa pengelolaan hutan cara Daendels dan monopoli perdagangan
kayu jati memboroskan banyak uang untuk pengawasan, sehingga dia mencabut
reformasi organisasi Kehutanan yang dibentuk Daendels. Pengelolaan hutan
Kembali ditangani residen. Raffles menetapkan hutan yang luas dan potensinya
tinggi dikelola negara, sedangkan sisanya disewa dan diusahakan oleh pengusaha.
·
Raffles menerapkan konsep pembatasan penebangan
sekitar 40.000-50.000 gelondong kayu jati. Dia juga lebih lunak dalam menindak
kejahatan Kehutanan. Raffles juga menekankan bahwa akses Inggris terhadap kayu
dan tenaga kerja. Sedangkan sultan berkuasa atas tanah.
·
Pada jaman Raffles, untuk efisiensi usaha
Kehutanan, buruh (blandong) dan petani hutan dikenai pajak sewa tanah. Namun
dibayar dengan tenaga untuk kerja di hutan.
Periode kolonial Belanda (1816-1940)
·
Menerapkan desentralisasi dengan penugasan
pengelolaan hutan kepada residen, meski demikian penebangan kayu terkadang
banyak dilakukan untuk kepentingan sector lain.
·
Tahun 1832 penerapan system Tanam Paksa (Kultuurstelsel).
Hutan di Jawa dibawah yurisdiksi Direktur Pertanian namun secara administrative
tetap di bawah Residen. Terjadi penebangan besar-besaran untuk membangun pabrik
gula, Gudang kopi, pengeringan tembakau dan rumah dinas. Selain itu kebutuhan
kayu meningkat untuk kayu bakar di pabrik-pabrik tersebut. Diperkirakan pada
tahun 1843 penebangan mencapai 100.000 gelondong kayu dan meningkat menjadi 175.000 batang pada sekitar 1863.Selain
itu penebangan tak resmi juga berlanjut karena pengusaha kapal juga membeli
kayu dari makelar Cina, Arab dan Eropa yang tak resmi.
·
Tahun 1849 Dua orang rimbawan dan seorang
supervisor dari Jerman ditempatkan di Rembang untuk mengelola hutan jati.
Mereka mengembangkanpembagian persil yang sederhana dan teratur, menetapkan
wilayah penebangan dan penanaman setiap tahun. Tenaga jerman ini kemudian
bertambah di tahun 1855. Pada tahun 1857, empat orang rimbawan Belanda dikirim
ke Jerman untuk studi bidang Kehutanan.
·
Tahun 1865 pembuatan undang-undang Kehutanan
yang memaparkan secara rinci prosedur penebangan, penjarangan jati dan
jenis-jenis pengelolaan lainnya seperti pembagian petak. UU Kehutanan ini
mengusung pendekatan pengelolaan hutan “ilmiah” dari Jerman dimana pengelolaan
hutan dilakukan dengan ketaatan sistematis terhadap rencana kerja penebangan
dan penanaman Kembali di Kawasan hutan sesuai kaidah silvikultur yang
dikembangkan melalui eksperimentasi dari waktu ke waktu. UU Kehutanan ini
kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Dinas Kehutanan (Boschwezen) yang
diisi oleh rimbawan professional berlatar belakang pendidikan kehutanan dan
juga dibentuk polisi hutan untuk melindungi hutan. Hutan juga dibagi menjadi Hutan Jati dan Hutan
Non Jati (Wildhoutbosschen). Pada tahun 1865 ini blandongdiensten
yang semula dilakukan mengikuti cara Reffles, akhirnya dihapus dan
digantikan system tenaga kerja lepas.
Penghapusan system blandong ini disertai dengan penerapan pembayaran pajak
dengan uang tunai yang menyulitkan petani dan buruh yang selama ini subsisten
dan penghasilan dari hutan semakin terbatas karena pembatasan akses terhadap
hutan. Undang-undang Kehutanan ini mengalami perbaikan tahun 1913, 1927, 1928,
1931 dan 1934 walaupun yang lebih dominan dipakai adalah hasil revisi tahun 1927.
·
Tahun 1870 penetapan Domein Verklaring yang
menyebutkan bahwa semua tanah yang tidak diklaim, bero lebih 3 tahun dan semua tanah hutan adalah ranah (domain)
negara. Penetapan ini merubah orientasi pengelolaan hutan oleh colonial Belanda
yang semula berorientasi penguasaan species (kayu) menjadi penguasaan tanah. Dengan
demikian ada pembatasan terhadap masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan
terutama kayu dan penggembalaan ternak.
·
Tahun 1875 peraturan pengawasan polisi dan
kejahatan kehutanan diberlakukan. Konsesi swasta terus berkembang dan 93%
supply kayu dilakukan oleh kontraktor swasta yang Sebagian besar menggunakan metode
tebang habis (clear cutting). Dinas
Kehutanan menguasai hutan jati monopoli kayu jati untuk kepentingan ekonomi.
Namun mereka juga menguasai batas aliran sungai dengan dalih konservasi
·
Tahun 1873, W. Buurman memulai system
tumpangsari (taungya) di lahan yang akan direhabilitasi. Tahun 1881, system ini
dinilai berhasil di Semarang. Pemberian akses lahan kepada petani hutan ini melalui
system tumpang sari kemudin digunakan sebagai strategi rehabilitasi hutan di
daerah yang petaninya lapar lahan. Di Tahun 1912, 61% peremajaan hutan
dilakukan dengan system tumpangsari. Pemberian akses kepada petani tumpangsari
selama 2 tahun dianggap sangat efisien dan murah bagi Dinas Kehutanan untuk peremajaan
hutan.
·
Tahun 1890-1905 gerakan Samin yang dipimpin
tokoh Samin Surosentiko mulai berkembang di Randublatung Jawa Tengah. Mereka
melakukan perlawanan terhadap perebutan akses terhadap hutan oleh negara serta
pembebanan pajak dan pungutan yang memberatkan serta tidak sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat. Mereka melakukan perlawanan dengan cara anti
kekerasan dan membangkang membayar pajak. Selain masyarakat Samin, sebenarnya
pelarangan akses terhadap hutan telah menimbulkan perlawanan dalam bentuk kejahatan
hutan seperti pncurian kayu. Pada tahun 1905 sebanyak 45.000 orang ditahan
karena kejahatan hutan khususnya pencurian kayu. Hal ini menunjukkan bahwa
sebenarnya masyarakat tidak bisa dipisahkan dari hutan.
·
Pada tahun 1894 selesailah pembangunan jalan
kereta api yang menghubungkan Batavia,
Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Pembangunan jalan kereta api membutuhkan kayu
untuk bantalan rel dan juga untuk bahan bakar kereta api. Jawatan Kereta Api
Negara (SS) akhirnya diberi konsesi hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar. Dinas
Kehutanan sendiri juga membangun jalur rel
untuk mengangkut kayu yang mencapai 1.000 km pada tahun 1916. Over eksploitasi
ini menunjukkan adanya konflik kepentingan antara Dinas Kehutanan yang mendapat
mandate mengelola dan melindungi hutan versus industry perusahaan negara dan
masyarakat sebagai pemanfaatan hutan.
·
Tahun 1897 pembentukan distrik Kehutanan (houtvesterij)
yang wajib memiliki rencana pengelolaan hutan sepuluh tahun. Di tingkat
perusahaan kontraktor mereka menyusun rencana sementara (bosdistricts). Reorganisasi
ini dibantu pakar Jerman yang didatangkan tahun 1909. Reorganisasi yang lain
adalah konsolidas Dinas Kehutanan sebagai penguasa lahan dan sumberdaya hutan.
Dinas Kehutanan yag semula di bawah Departemen Dalam Negeri dipindahkan ke
Departemen Pertanian, Industri dan Perdagangan. Hal ini untuk menunjukkan Dinas
Kehutanan focus pada komoditi dan bukan masyarakat hutan. Polisi hutan yang
semula di bawah Departemen Dalam Negeri dipindah ke Dinas Kehutanan supaya
mereka bisa menjalankan fungsi pengawasan dan juga pembinaan teknis. Kewenangan
polisi hutan, bersifat terbatas yakni hanya menangkap “penjahat hutan”. Menjelang
abad 20, pemanfaatan kayu jati mengalami pergeseran dari bahan untuk kapal
menjadi bahan eksport kayu mewah.
·
Tahun 1913, pengembangan Pangkalan Percobaan
Hutan untuk riset intensifikasi hutan. Pada tahun 1927 dirumuskan fungsi hidrologis,
klimatologis dan kesejahteraan sosial
dalam pengelolaan hutan batas aliran sungai. Di tahun 1925 terjadi pengembangan
otonomi kepala distrik hutan (administrateur). Reformasi ini kemudian
diikuti penggabungan Djatibedrijf (badan usaha pengelola jati) yang
berorientasi komersial dengan Dinas Kehutanan Tropis (Dienst der Wildhoutbosschen)
menjadi Diesnt Bosschen op Java en Madura. Konsekwensi penggabungan ini
adalah ekploitasi hutan oleh swasta dihentikan dan kewenangan penuh negara dalam produksi dan
penjualan produk kayu mentah.
·
Tahun 1940 Dinas Kehutanan Kolonial Belanda
telah mengambil lebih 3 juta hektar tanah Jawa ke bawah kekuasaannya.
Pembatasan akses masyarakat ke hutan telah menimbulkan persoalan baru karena
myarakat kehilangan tempat usaha untuk bertani, beternak dll. Sedangkan
lapangan kerja di desa sangat terbatas. Adanya monopoli perdagangan kayu jati
juga menimbulkan persoalan karena masyarakat (khususnya yang miskin) tidak
mampu membeli kayu untuk bangunan rumah mereka sendiri. Sedangkan kayu
substitusi yang lain sangat terbatas.
Periode penjajahan Jepang (1942-1945)
·
Pada tahun 1942, era transisi masuknya penjajah
Jepang, Belanda melakukan politik bumi hangus dengan menghancurkan sarana dan
prasarana kehutanan seperti kantor, tempat penampungan kayu, penggergajian, rek
kereta dll agar tidak bisa dimanfaatkan
oleh Jepang. Di lapangan, terjadi situasi chaos dan banyak terjadi penjarahan
kayu jati oleh masyarakat, oleh penguasa local maupun oleh rimbawan itu
sendiri.
·
Jepang membentuk Jawatan Kehutanan Jepang yng
merupakan bagian Departemen Perindustrian. Namun kemudian pindah ke Biro Perkapalan karena kayu jati
sangat diperlukan untuk membuat kapal. Kemeudian pindah ke bawah Departemen
Produksi Perang. Karena untuk mensupply kebutuhan perang, eksploitasi kayu jati
mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 1944 diperkirakan 120.000-250.000
kubik kayu untuk membuat kapal. Selain itu Jepang membutuhkan banyak kayu untuk
memperbaiki rel kereta yang hancur akibat bumi hangus Belanda.
·
Over eksploitasi kayu ini tidak disertai dengan
reforestasi yang memadai. Selama 3 tahun, Jepang hanya bisa melakukan
reforestasi 20.000 hektar hutan jati dan 6.000 hektar bukan jati. Padahal normalnya
mereka harus melakukan rehabilitasi 43.000 hektar hutan jati dan 27.300 hektar
non jati.
·
Untuk pengerjaan hutan, Jepang memobilisasi
masyarakat melalui kerja paksa (romusha). Petani disuruh menebang dan
mengangkut kayu. Mereka juga dipindahkan ke dalam hutan untuk membuka hutan
baru. Tahun 1945 eksploitasi kayu menurun karena kurangnya alat kerja, tenaga
pengangkut serta kondisi represif yang dihadapi buruh hutan.
Periode jaman awal revolusi Kemerdekaan
(1945-1948)
·
Pada awal Kemerdekaan, Jawata Kehutanan
dipindahkan ke Yogyakarta. Perambahan hutan oleh masyarakat massif karena
situasi yang chaos. Pembangunan hutan relative mandeg karena masyarakat tidak
mau bekerja memburuh di sector Kehutanan khususnya untuk menebang kayu bakar.
Di tahun 1945-1947 kejahatan Kehutanan mencapai 34.490 kasus yang tidak
terselesaikan di pengadilan.
·
Orientasi pemanfaatan kayu untuk kebutuhan domestic
yang mencapai 87% di tahun 1946. Pemakaian kayu bakar cukup tinggi untuk bahan
bakar kereta api.
·
Terdapat pertentangan antara rimbawan
konvensional yang mengedepankan fungsi konservasi dan produksi hutan bagi
negara dengan kelompok rimbawan yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
·
220.000 hektar hutan rusak dan 108.640
diantaranya disebabkan dibakar. Terdapat sekitar 110.000 hektar yang dijarah
oleh masyarakat dan didukung militer untuk kayu gelondongan dan kayu bakar.
·
Terdapat upaya pemerintah untuk mengembalikan
lahan konsesi ke pemegang ijin namun mendapat perlawanan dari buruh hutan yang
didukung oleh Sarekat Buruh Kehutanan Seluruh Indonesia (SARBUKSI) dan Barisan
Tani Indonesia (BTI)
·
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia tahun
1948 telah menghancurkan berbagai infrastruktur Kehutanan di berbagai daerah.
·
Sampai akhir tahun 1949 terdapat 400.000 hektar
(14% dari tanah hutan negara di Jawa) dikuasai buruh atau dicuri kayunya. Bagi
buruh dan masyarakat, pemerintahan telah beralih dari colonial Belanda ke
Indonesia, namun idiologi pengelolaan hutan dirasakan sama dengan jaman
colonial.
·
Sekitar tahun 1950an tenaga ahli Kehutanan
Belanda dan Jerman dilibatkan sebagai penasehat termasuk jadi pengajar di
Universitas Gadjah Mada. Industri kayu makin berkembang sehingga ekploitasi
hutan meningkat. Saran Becking (penasehat Kehutanan) agar dilakukan pengurangan
produksi kayu selama 30 tahun agar kondisi hutan membaik, tidak dijalankan. Akses
masyarakat miskin untuk kayu bangunan dan arang makin terbatas karena
terbatasnya alokasi kayu untuk masyarakat dan daya beli yang rendah.
·
Sampai tahun 1957, Jawatan Kehutanan berada di
bawah Departemen Pertanian. Terdapat pembagian peran Pusat dan Daerah. Namun
adanya pertentangan idiologi politik antar pejabat mengakibatkan fungsi
pelaksanaan dan pengawasan program tidak berjalan optimal. Terdapat 4 aktor
penting yang mempengaruhi pengelolaan hutan era ini yakni: (1) Darul
Islam/tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang menggunakan hutan sebagai tempat
gerilya sehingga mereka berusaha mempertahankan hutan yang ada, (2) Militer
yang membakar hutan untuk memaksa tentara DI/TII menyerah, (3) Partai Komunis
Indonesia melalui Sarbuksi dan BTI yang mendukung masyarakat ntuk melakukan
land reform, (4) Partai Nasionalis yang berusaha untuk mendukung program
pemerintah.
·
Terdapat penambahan populasi penduduk sekitar
hutan sehingga tekanan terhadap hutan semakin tinggi. Jawatan Kehutanan mulai
meningkatkan Kerjasama dengan polisi, militer dan tokoh masyarakat untuk
mengatasi hal ini melalui kampanye pelestarian hutan, penegakan hukum dan
transmigrasi.
·
Untuk penyelesaian klaim lahan, masyarakat
diperbolehkan klaim lahan asal mempunyai Dokumen pendukung seperti sertifikat. Terhadap
penghuni liar, militer dapat mengusir mereka keluar dari hutan.
·
Tahun 1961, Perhutani dibentuk. Di bidang perburuhan,
terbentuk pula Sarekat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) sebagai tandingan
Sarbukti yang berafiliasi ke PKI. Berbagai aliran idiologis mempunyai
kecenderungan sama yakni tidak memiliki konsep yang jelas untuk pengelolaan
hutan yang melibatkan masyarakat.
Jaman Orde Baru (1966
·
UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal
menandai terbukanya investasi asing di Indonesia. Produk Kehutanan diarahkan
menjadi sumber pendapatan negara. Perhutani mempunyai mandate untuk mengelola
hutan untuk memproduksi kayu jati dan hasil hutan lain, memasarkan produk Kehutanan,
mengatur SDM dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Untuk tugas
tersebut Perhutani didukung oleh tenaga spesialis teknis Kehutanan, Polisi
Hutan dan tenaga administrasi. Adanya Perhutani yang “nasionalis” dan
berlandaskan Pancasila membuat jiwa korsa rimbawan semakin menguat. Walau tidak
bisa dipungkiri bahwa di mata masyarakat, Perhutani dipandang sebagai pihak “luar” yang sedikit
banyak akan mengatur kehidupan masyarakat desa hutan. Jiwa korsa rimbawan tadi
mengalami benturan di tingkat bawah seperti level mandor yang penghasilannya
rendah dan mudah tergiur oleh iming-iming suap .
·
Terdapat upaya manajemen antara lain berupa: (1)
ukuran distrik hutan diciutkan dan dibagi dalam wilayah distrik jati dan non
jati, (2) perluasan produksi non jati untuk penganekaragaman income negara, (3)
Pemasukan hasil usaha domestic dikelola oleh Perhutani tingkat Unit di
Propinsi, sedang hasil ekspor kayu dikelola Perhutani Pusat, (4) Diberlakukannya
subsidi silang daerah surplus (Jateng dan Jatim) ke daerah minus (Jawa Barat).
·
Secara kelembagaan Perhutani semula berbentuk
Perusahaan Negara yang anggarannya ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Namun
kemudian pada tahun 1969 berubah menjadi Perum Perhutani yang lebih otonom tapi
wajib menyetorkan 55% keuntungan ke Anggaran Pendapatan Negara. Pada tahun
1972, Jawatan Kehutanan Jawa Tengah dan Jawa Timur bergabung dengan Perum Perhutani.
Hal ini disusul oleh Dinas Kehutanan Jawa Barat yang bergabung di Perhutani tahun
1978. Tahun 1983 Departemen Kehutanan dibentuk sehingga Perhutani bertanggungjawab
ke Departemen ini setelah pada periode sebelumnya bertanggungjawab ke
Departemen Pertanian. Sampai saat ini wilayah hutan Yogyakarta berdiri sendiri
dan tidak termasuk dalam wilayah Perhutani.
·
Dalam menjalankan tugasnya Perhutani melakukan
pengelolaan hutan dengan strategi; (1) menguasai lahan sehingga Perhutani
memberlakukan pengawasan preventif dan represif secara ketat, (2) Penguasaan
spesies dimana Perhutani mengontrol budidaya
Kehutanan skala besar, bibit, jenis tanaman yang boleh ditanam, penentuan jarak
tanam, apa hak masyarakat atas tanaman, dan berbagai aspek silvikultur lainnya.
(3) penguasaan tenaga kerja masyarakat pinggiran hutan yang mensupply tenaga
kerja murah.
·
Di lapangan kayu jati harganya makin mahal
karena gagalnya reforestasi, lokasi tebangan makin jauh dan biaya angkut
semakin mahal, dan potensi produksi kayu per hektar makin menurun. Pengelolaan hutan jati terancam tidak lestari
karena over eksploitasi penebangan dengan praktek cuci mangkok, semakin
banyaknya wilayah hutan yang digunakan untuk pertanian oleh masyarakat dan
jaringan pencurian kayu yang terorganisir. Di sisi lain terdapat perilaku
rimbawan local yang berkontribusi terhadap degradasi hutan seperti adanya
toleransi2 terhadap penyimpangan aturan yang ada missal memperbolehkan petani
menanam singkong di hutan yang menguras unsur hara, adanya favoritisme dalam
pembagian petak reforestasi kepada orang yang mudah diajak Kerjasama sehingga
bias target group dan penyimpangan penggunaan anggaran pembuatan tanaman.
·
Perhutani berinisiasi mengembangkan program
seperti Mantri-Lurah (MALU), Prosperity approach dan Pembangunan Masyarakat
Desa Hutan (PMDH) sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus
untuk mendukung kelancaran produksi hutan. Namun program tersebut kurang
berhasil karena tujuan pemberdayaan masyarakat tersebut tidak terointegrasi
utuh dalam praktik pengelolaan hutan. Bahkan ada kecenderungan program tersebut
ingin mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan, dan bukan
menciptakan siombiose mutualisme yang saling menguntungkan antara hutan dengan
masyarakat. Adanya pendekatan top down yang kurang memperhatikan kebutuhan
lapangan dan bias elite dalam pemilihan target group, juga memberikan
kontribusi signifikan dalam kegagalan tersebut.
· Konflik tenurial wilayah hutan di Jawa nampaknya akan masih jauh untuk diselesaikan. Pertambahan populasi penduduk meningkatkan tekanan terhadap hutan. Sedangkan Perhutani sendiri masih belum memiliki sebuah pendekatan yang jitu untuk menyelesaikan konflik tersebut. Meningkatnya biaya kebutuhan hidup, terbatasnya lapangan kerja di pedesaan, pendekatan petugas Perhutani yang lebih berorientasi pengawasan serta kepentingan ‘aktor luar” akan berakumulasi untuk berlangsungnya praktik2 pelanggaran aturan kehutanan di lapangan.
No comments:
Post a Comment