Akhir
yang tidak selesai; Gelombang Kedatangan Tanaman dan Perubahan Wilayah
Pedalaman
Hery
Santoso
Penerbit
Interlude, Yogyakarta 2023
ISBN
978-623-8275-04-5
216
halaman
Dalam
buku ini mas Hery menuturkan pasang surut komoditi boomcrop. Boomcrop dalam hal
ini dimaknai sebagai komoditas yang menimbulkan berbagai kejutan dalam waktu yang relative singkat, baik
berupa lonjakan produksi, yang kemudian diikuti
dengan keuntungan, hingga
gelombang migrasi ke wilayah-wilayah baru utamanya di wilayah pedalaman.
Beberapa komoditi yang dibahas antara lain Tembakau, Karet, Kentang, Kopi, Kakao
dan Kelapa Sawit.
Tembakau (Emas Hijau)
Budidaya
tembakau di wilayah Temanggung dan Dieng, dipicu oleh Sistem Tanam Paksa
(cultuur stelsel) sekitar tahun 1870 . Meskipun system tanam paksa dihentikan,
masyarakat setempat masih terus
membudidayakan tembakau. Wilayah dataran tinggi merupakan wilayah yang ekosistemnya
unik sehingga komoditi yang sesuai untuk wilayah dataran tinggi relative sangat
terbatas. Keterbatasan komoditi ini membuat mereka hanya mempunyai pilihan
terbatas sebagai sumber penghidupan, sehingga daerah dataran tinggi sering
dikonotasikan sebagai daerah yang miskin. Oleh karena itu ketika tembakau
diintroduksi di sana dan cocok dibudidayakan, tembakau menjadi salah satu
harapan bagi masyarakat untuk memperbaiki kondisi ekonominya. Meskipun budidaya
tembakau membutuhkan external input
tinggi termasuk dari curah tenaga kerja, tembakau juga menjanjikan
keuntungan yang luar biasa. Penerimaan masyarakat yang sangat positif terhadap
tembakau kemudian melebur ke mitos dan ritual-ritual masyarakat terkait dengan
tembakau.
Pada
awalnya tembakau seringh dikombinasikan dengan jagung sebagai makanan pokok,
kacang-kacangan untuk penyubur tanah dan ternak untuk sumber tenaga kerja dan
pupuk. Kombinasi tersebut menciptakan ekologi yang seimbang. Perpaduan yang
menguntungkan tersebut juga didukung oleh adanya migrasi penduduk ke daerah dataran tinggi. Namun karena
pertimbangan efisiensi dan mencari untung yang lebih besar, lama kelamaan
banyak petani tembakau meninggalkan konsep tersebut. Mereka lebih banyak
melakukan budidaya tembakau secara monokultur. Dengan sistem monokultur ini
unsur hara tergerus dan mereka
membutuhkan input yang disupply dari pupuk dan obat-obatan pabrik. Input-input
tersebut relatif mahal sehingga petani banyak yang memanfaatkan jasa Lembaga
keuangan formal maupun informal. Kerusakan ekologis yang mengakibatkan ketergantungan
yang tinggi terhadap input dari luar serta margin keuntungan yang semakin
menipis membuat budidaya tembakau di beberapa daerah menjadi surut dan beralih
ke komoditas lain.
Karet (emas putih)
Pada
awal abad 19-20, karet bersama tembakau menjadi komoditas yang menjanjikan di
Deli-Sumatera Utara. Berbagai komoditas perkebunan seperti karet, teh, dan tembakau
diproduksi oleh Kongsi dagang
internasional dari Belanda, Inggris, Perancis dan Amerika. Praktik Perkebunan
di Pantai Timur Sumatera ini menghidupkan adanya praktik perbudakan dengana
adanya kuli kontrak dari Jawa dan Cina. Ribuan perempuan juga didatangkan dari Jawa
untuk menyediakan layanan seks untuk para pekerja perkebunan. Komoditi karet
yang dihasilkan dari Perkebunan tersebut sebagian besar dikirim ke Amerika.
Penyebaran
varietas baru karet Brazil yang sangat pesat mengakibatkan penguasaan lahan oleh
masyarakat semakin terdesak. Meskipun di lahan perusahaan, tersedia sistem
jalur untuk memberi kesempatan budidaya tanaman pangan, namun dirasa tidak
mencukupi. Masyarakat local kemudian mensiasatinya dengan mengembangkan kebun karet rakyat dengan perladangan gilir
balik dengan pola agroforestry tanaman karet dengan padi ladang, tanaman buah,
rotan dan lain-lain. Pengembangan
agroforestry tersebut ditengarai lebih merupakan pilihan rasional untuk
maksimalisasi keuntungan dan bukan pertimbangan kelestarian ekologi semata. Pengembangan
agroforestry tersebut lebih merupakan agroekosistem ekstensif yang dikembangkan
untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan dari sisi tenaga kerja dan kesuburan
tanah. Pengembangan budidaya karet di Sumatera ini kahirnya membawa banyak
perubahan sosial dan ekonomi dari sisi tenurial yang mengarah ke individual,
munculnyasistem tenaga kerja upahan dan lain-lain.
Di
Kalimantan, sebagian masyarakat telah mengambil
karet alam seperti Willunghbeia sp, gutta percha dari Nyatoh (Palaquium sp) dan
getah jelutong (Dyera costulanta). Saat
itu mereka hanya mengambil dari alam sehingga sering menghadapi ancaman
Binatang buas maupun perebutan areal antar suku. Adanya introduksi budidaya
karet varietas baru , membuat Masyarakat Dayak kemudian mengembangkan pertanian
semi menetap. Meski demikian pengembangan budidaya karet di Kalimantan tidak
cukup merata karena adanya komoditas lain yang berniali ekonomi tinggi seperti
lada dan rotan.
Karet
mengalami booming pada tahun 1920, namun kemudian merosot di tahun 1930. Pada
saat itu kebutuhan pasar yang tinggi, kondisi geografis dan klimatologis yang
mendukung budidaya karet, ketersediaan tenaga kerja serta aspek historis
masyarakat yang sudah mengenal karet alam, membuat perkembangan budidaya karet
melonjak pesat. Saat ini karetpun masih menjadi komoditas penting untuk sokoguru
ekonomi local jutaan petani, penyerapan tenaga kerja dan devisa negara. Pada
tahun 2016, karet berkontribusi sekitar 25-40%
dari total ekspor subsector perkebunan. Perkebunan karet rakyat mencapai
85% dari total area kebun karet nasional yang mencapai 3,5 juta hektar. Sedangkand
ari sisi produksi, karet rakyat mencapai 76% dari total produksi karet
nasional. Dari sisi ekonomi rumah tangga, di beberapa daerah seperti di Bungo –
Jambi, 70% pendapatan rumah tangga berasal dari karet. Salah satu tantangan
yang dihadapi dalam pengembangan karet rakyat ini adalah banyak agroforestry
karet sudah tua dan tidak produktif lagi sehingga perlu dicarikan jalan
pemecahannya.
Kentang
Di
lereng atas Daerah Dataran Tinggi Dieng merupakan daerah yang terbelakang
karena kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya yang terbatas. Lokasi yang tinggi
mengakibatkan budidaya pertanian menjadi terbatas. Sebelum tahun 1970-an mereka
menanam jangung dan tembakau. Kondisi kemudian membaik di tahun 1970 ketika sayuran
kubis/kol dibudidayakan dan masyarakat lereng atas mendapatkan keuntungan dari
budidaya sayuran tersebut.
Kondisi
tersebut semakin berkembang dengan dibudidayakannya tanaman kentang Granola
pada tahun 1980-1990 an yang hanya bisa tumbuh di atas ketinggian 1800 dpl. Meskipun
budidaya kentang membutuhkan input eksternal yang tinggi, namun itu tidak
terlalu menjadi masalah bagi masyarakat karena di lingkungannya terdapat
Lembaga keuangan formal dan informal yang menyediakan pinjaman modal. Booming kentang
ini menyebabkan desa-desa lereng atas yang semula dianggap miskin dan
terbelakang menjadi desa yang makmur. Pembangunan kampung seperti tempat ibadah
(masjid dan mushola), ritual keagamaan, pesta kembang api, Pendidikan anak
semakin berkembang. Kehidupan sosialpun cenderung makin individualis dan terjadi pengelompokan antar keluarga berdasar
alur darah keturunan (sistem bani/trah).
Untuk
maksimalisasi keuntungan, masyarakat petani kentang menggenjot produksi dengan
mengelola lahan tanpa jeda (panen 3 kali setahun). Mereka mengatasi kebutuhan
nutrisi tanah dengan memanfaatkan pupuk dan obat-obatan pabrik. Selain itu
mereka melakukan ekstensifikasi perluasan
lahan kentang dengan merambah hutan dan Kawasan cagar budaya. Untuk mengatasi
kebutuhan tenaga kerja, petani di lereng atas kemudian menerapkan sistem upahan
dengan mendatangkan pekerja dari desa di lereng bawah. Akibat eksploitasi lahan
yang berlebihan, kejayaan kentang hanya bertahan 2-3 dekade saja. Nutrisi lahan
semakin habis sehingga terjadi ketergantungan yang semakin tinggi terhadap
pupuk pabrik. Selain itu muncul berbagai penyakit tanaman yang sulit diobati.
Ekosistem lereng atas yang rentan, menjadi tergerus oleh pertanian kentang yang
eksploitatif. Erosi pun semakin
meningkat. Kondisi tersebut berakibat pada produktifitas yang menurun, dan
margin keuntungan yang semakin menipis. Semua itu berujung pada kebangkrutan
sebagian petani yang tidak mampu mengembalikan pinjaman modal kepada lembaga
keuangan yang menjadi kreditornya.
Kopi (Emas Hitam)
Pada
tahun 1700an, Masyarakat Priangan mulai membudidayakan kopi yang dirasa
prospektif. Masyarakat berani menempuh resiko membudidayakan kopi untuk
menggantikan komoditas konvensional yang mereka budidayakan sebelumnya. Secara
perlahan kemakmuran mereka meningkat walaupun tidak sepenuhnya berhasil
menghapus kemiskinan. Pemerintah colonial yang melihat kopi sebagai komoditi
yang menguntungkan kemudian memaksakan monopoli dan membeli harga kopi dengan
sangat murah. Masyarakat kemudian melakukan perlawanan dengan menjual kopi
mereka ke pedagang Cina.
Kopi
bagi Masyarakat Gayo Aceh merupakan komoditi yang melegenda, meski mereka
mengadopsi kopi setelah kopi mengalami
kejayaan di Priangan satu abad sebelumya. Kopi telah
mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan religi masyarakat. Kontribusi
kopi terhadap pendapatan ekonomi rumah tangga di Gayo, sangatlah signifikan. Biaya
produksi kopi yang cukup mahal, tidaklah menjadi penghalang untuk petani
membudidayakan kopi karena berbagai Lembaga permodalan tersedia di
lingkungannya. Walau perlu diakui bahwa tidak selamanya kopi menghasilkan kisah
manis, karena terdapat kepedihan seperti kemiskinan yang tak kunjung usai,
renternir yang merajalela dan resiko-resiko yang selalu mengintai. Meski
demikian budidaya kopi menjadi salah satu pilihan yang terus dilakukan masyarakat
paska perkebunan kopi oleh kongsi pemerintah colonial berakhir.
Di
daerah lain seperti Pegunungan Tengger, sejak perluasan tanam paksa, adopsi
tanaman kopi juga sangat massif. Kopi yang semula ditanam sebagai tanaman
pagar, dikembangkan memenuhi petak-petak pertanian lahan kering Masyarakat.
Sekitar tahun 1840 diperkirakan sekitar 400.000-500.000 keluarga terlibat dalam
budidaya kopi. Lahan-lahan tidur atau sebagian Kawasan hutan disulap menjadi
kebun kopi.
Kopi
sebagai emas hitam yang bernilai tinggi, membuat pemerintah colonial melakukan
control secara ketat seperti dalam bentuk monopoli, control harga dan
lain-lain. Masyarakat disuruh menanam kopi di kebunnya untuk kepentingan
pemerintah colonial. Akibat tekanan ini lahan produksi pangan masyarakat
menjadi terbengkelai sehingga muncul kondisi rawan pangan. Masyarakat juga
kehilangan kesempatan untuk budidaya tanaman komersial lain yang potensial
menjadi alternatif tambahan pendapatan mereka. Walau kopi menguntungkan, namun
keuntungan itu hanya dinikmati pemerintah colonial dan masyarakatnya malah miskin.
Bahkan secara ekstrim dikatakan Masyarakat yang menanam kopi tidak bisa
menikmati kopi yang ditanamnya karena semua disetorkan ke Kongsi pemerintah.
Tradisi minum seduhan daun kopi, kopi luwak dan kopi jagung, merupakan sebuah
bentuk kemiskinan karena mereka tidak bisa menikmati kopi berkualitas yang
dihasilkan di kebunnya. Mereka hanya bisa memanfaatkan sisa-sisa kopi yang
tidak lolos seleksi oleh Kongsi pemerintah. Kuatnya control dan intervensi pemerintah colonial dalam
budidaya kopi di waktu lalu, mengakibatkan tidak muncul pengusaha pribumi yang
tangguh. Karena penikmat utama keuntungan bisnis kopi adalah pemerintah
colonial.
Tanam
paksa kopi dihapus 1908. Di dataran Tinggi Kerinci-Sumatera, produksi kopi
meningkat sepuluh kali lipat antara
tahun 1923-1926. Hal ini menunjukkan Masyarakat mempunyai rasionalitas sendiri
dalam budidaya kopi. Ketika mereka melihat kopi menguntungkan dan membawa
kemakmuran, mereka akan membudidayakannya walau investasi cukup besar dan demikian
pula dengan resikonya. Walaupun daya dukung lingkungan menurun dan muncul
penyakit tanaman baru yang mengakibatkan kejatuhan produksi kopi, namun
Sebagian petani kelas menengah nampaknya tetap bertahan dengan kopi. Apalagi
ditemukan beberapa varietas kopi baru yang dianggap menjanjikan. Untuk
maksimalisasi keuntungan, petani menemukan langkah-langkah adaptif. Misalnya
untuk mengurangi resiko cuaca yang tidak menentu, mereka biasa melakukan panen ketika
biji masih hijau. Untuk mengatasi pencurian kopi, mereka membuat kamuflase
dengan membiarkan kebun kopi mereka seperti hutan belukar.
Padsa
saat ini, minum kopi sudah menjadi gaya hidup. Produksi kopi pun lebih
berorientasi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri. Selama lima tahun
terakhir, produksi kopi berkisar 600.000 ton pertahun. Kopi telah berhasil
memberikan kontribusi signifikan bagi Sebagian petani kopi. Meski demikian
terdapat sejumlag tantangan yang diohadapi petani kopi seperti produktivitas yang
rendah, margin keuntungan tipis, ketidakberdayaan dalam mobilisasi factor
produksi, lemahnya posisi tawar,dan tuntutan standar kualitas yang semakin
meningkat.
Sebuah
pembelajaran dari kasus kopi ini adalah di daerah pedalaman yang jarang
terjangkau oleh kehadiran negara, peranan pasar ternyata bisa sangat menentukan
dalam mendorong dinamika Masyarakat. Petani yang kelihatanya bernalar pikir
sederhana, mempunyai rasionalitas dan keberanian tersendiri Ketika menghadapi tantangan
masa depan dan kemakmuran keluarganya.
Kakao (Emas Coklat)
Kakao
merupakan salah satu komoditi di Sulawesi yang sudah diproduksi sejak jaman colonial.
Kakao pernah mengalami booming pada tahun 1820-1880 meski dalam skala relative
kecil. Kakao saat itu dijadikan sebagai komoditi cadangan yang bisa
menggantikan komoditi lain (misal teh, kopi, karet) ketika komoditi lain
tersebut mengalami kemunduran. Kakao kemudian dikembangkan secara massif oleh
pemerintah colonial Ketika pasar internasional minuman coklat semakin
meningkat. Mulai abad 19, kakao telah diekspor dari Sulawesi ke Filipina. Ekspor
tersebut terhenti di tahun 1928 ketika produksi kakao merosot. Ekspansi kakao
kemudian merambah Ambon dan Jawa. Meski demikian Suklawesi tetap dianggap
penting karena menjadi sentra kakao tertua di Indonesia. Kemerosotan produksi
kakao tersebut antara lain disebabkan oleh kemunduran ekosistem penopangnya,
serta hama dan penyakit tanaman.
Booming
kakao Kembali terjadi tahun 1980an Ketika pasokan kakao dunia terhambat karena
serangan hama kakao di Pantai Gading dan Ghana. Kakao di Sulawesi yang selama
setengah abad mati suri, kembali menggeliat dengan peluang pasar itu. Banyak
orang Bugis dari dataran rendah migrasi ke dataran tinggi di Napu dan Kulawi (Sulawesi
Tengah) untuk membuka lahan kakao baru yang dikelola secara mandiri. Kakao
dipandang sebagai komoditi yang menjanjikan kemakmuran dibanding tembakau dan
bawang yang selama ini menopang kehidupan Masyarakat di sana.
Anatara
decade 1980-1990an produksi kakao
meningkat signifikan dan Indonesia menjadi penghasil kakao ketiga setelah
Pantai Gading dan Ghana. Lonjakan produksi ini dilakukan oleh petani kakao (bukan
Perusahaan) di Sulawesi. Di tahun 2004, total pengapalan kakao dari pelabuhan
Makassar mencapai 200.000 ton (produksi tahunan nasional sekitar 309.000 ton).
Booming
kakao di atas antara lain dipengaruhi oleh: (1) tersedianya lahan yang luas dan
cenderung masih subur dan segar, (2) tersedianya tenaga kerja melimpah seperti
migran Bugis, (3) tersedianya pengetahuan tentyang teknik budidaya dan pasar
kakao, (4) terbukanya pasar dunia akibat penurunan produksi di Pantai Gading
dan Ghana, (5) jaringan infrastruktur yang memadai, (6) merosotnya nilai rupiah
terhadap dollar sehingga komoditi ekspor diuntungkan. Booming kakao yang
menghipnotis banyak orang, memang memberikan peningkatan kemakmuran bagi sebagian
petani. Namun di sisi lain, booming kakao tersebut juga disertai dengan
kebutuhan lahan yang meningkat. Untuk mengatasi kebutuhan lahan tersebut, sebagian
masyarakat memanfaatkan lahan hutan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu. Selain
dampak negative perambahan hutan, hal lain yang perlu diantisipasi adalah
politik identitas karena ada pandangan stereotype (yang belum tentu benar)
bahwa yang mendapatkan keuntungan dari booming kakao adalah pendatang (seperti
orang Bugis) dan bukan penduduk asli setempat.
Saat
ini kakao Kembali mengalami penurunan produksi.Satu hektar kebun kakao yang
semula bisa menghasilkan 700 kg kakao, saat ini hanya bisa menghasilkan
separuhnya. Seperti apakah strategi untuk bertahan hidup ke depan? Kembali ke
jagung dan buah-buahan? Ataukah beralih ke sawit?
Kelapa Sawit
Budidaya
sawit di Pantai Timur Sumatera dimulai tahun 1911 seluar 2.630 hektar yang
kemudian berkembang menjadi 2.715 hektar (tahun 1915), 6.916 hektar (tahun
1922) 31.600 hektar (tahun 1925), 90.000 hektar (tahun 1938) dan 100.000 hektar
(tahun 1939). Budidaya sawit tersebut
dilakukan melalui Perusahaan Perkebunan.
Selama
tiga decade terakhir, animo masyarakat untuk terlibat dalam produksi sawit terjadi hamper secara merata di Sumatera,
Kalimantan Sulawesi bahkan Papua. Mereka seolah berkompetisi dengan Perusahaan yang
terus berekspansi ke berbagai wilayah penjuru tanah air. Nilai ekonomis sawit
dipandang sangat menjanjikan sehingga sebagian petani rela menggantikan
komoditi karet dan lainnya dengan sawit. Ekspansi ini cukup massif, dimana di
tahun 1968 luas kebun sawit nasional hanya 119.660 hektar. Namun di tahun 2015
luas kebun sawit nasional telah mencapai 11.445.808 hektar. Dari luasan 11,4
juta hektar tersebut 41% merupakan kebun sawit rakyat. Ekspansi ini antara lain
dipengaruhi oleh keuntungan yang menjanjikan, promosi Pembangunan pemerintah
dan peluang pasar lemak nabati di Tingkat global. Ekspansi ini juga membawa perubahan
sosial dari Masyarakat yang subsisten menjadi Masyarakat konsumsi. Selain itu terkadi
perubahan agroekosistem heterogen yang stabil (karet, kakao, kopi, lada dll)
menjadi ekosistem homogen yang tidak stabil (sawit).
Budidaya
sawit oleh pemerintah Indonesia dan Bank Dunia dimulai sejak tahun 1970an
melalui Perkebunan Inti Rakyat. Pekebun diorganisir dan dicangkokkan ke Perusahaan.
Selain itu terdapat proyek OPHIR yang
merupakan Kerjasama pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman yang
mencangkokkan 2.400 petani local (termasuk purnawirawan) dengan luasan kebun
5.903 hektar ke Perusahaan negara PTPN VI di Sumatera Barat. Konsep ini
kemudian menjadi cikal bakal program inti plasma.
Di
tingkat petani sawit sendiri, dapat dikategorikan menjadi petani swadaya local yang
independent, petani plasma local yang terikat Perusahaan dan petani kapitalis yang
didominasi para migran dan spekulan tanah
dan sudah bersandar pada prinsip akumulasi kapital. Diantara ketiga
petani tersebut petani swadaya merupakan petani yang paling marginal karena akses terhadap factor produksi lemah
yang berakibat pada rendahnya produktivitas mereka. Lahan yang dikelola petani swadaya
seringkali tidak mempunyai status yang jelas atau bahkan illegal sehingga
mereka tidak bisa mengakses berbagai layanan produksi yang disediakan pemerintah
termasuk peremajaan sawit, standarisasi Perkebunan berkelanjutan.
Di
tahun 2018, luas kebun sawit nasional diperkirakan 14,3 juta hektar dan 5,7
juta hektar (40%) diantaranya merupakan kebun sawit rakyat. Namun produktifitas
sawit rakyat tersebut hanya 50% lebih rendah dari produktivitas sawit milik Perkebunan
swasta. Diantara 5,7 juta hektar sawit rakyat, 1,96 juta hektar merupakan sawit
milik petani swadaya. Dari sisi produksi, sawit rakyat menghasilkan 16,8 juta ton (35%)
dari total produksi nasional 48,68 ton. Dari sisi penyerapan tenaga kerja, sawit
Perusahaan menyerap 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja
tidak langsung. Sedangkan sawit rakyat menyerap tenaga kerja 4,6 juta orang.
Isu
lahan merupakan isu krusial dalam budidaya sawit ini. Karena keterbatasan
lahan, tidak jarang petani mengembangkan budidaya sawit di Kawasan hutan. Terhadap lahan yang di luar Kawasan hutanpun
mereka seringkali tidak didukung dengan bukti kepemilikan yang sah seperti
sertifikat. Surat yang dimiliki paling hanya berupa Surat Keterangan Tanah yang
diterbitkan otoritas desa. Para migran dan investor seringkali membeli lahan
dari penduduk local, dan penduduk local menggunakan uang hasil penjualan untuk
berinvestasi di lahan baru mereka. Karena penguasaan lahan didasarkan mekanisme
pasar maka para pekebun yang mempunyai akses permodalan kuat bisa memiliki
kebun sawit puluhan bahkan ratusan hektar. Sedangkan pekebun yang tidak punya
akses modal hanya memiliki kebun 1-2 hektar saja. Dengan basis mekanisme pasar
pula, banyak orang kota termasuk pejabat local yang memiliki kebun2 sawit di
pedalaman yang dikelola oleh tenaga kerja setempat. Status tanah yang illegal ini
menjadi semakin pelik ketika si pemilik berhadapan dengan penegak hukum (missal
Instansi Kehutanan) dan disaat yang sama dia harus membayar hutang ke Lembaga penyedia
modal.
Sawit
merupakan tanaman yang cepat rusak dan harus segera diolah. Dalam tempo 3 hari
setelah dipanen, sawit harus diolah di pabrik. Untuk minimalisasi resiko
tersebut, Sebagian petani yang jauh dari pabrik pengolahan mengembangkan
inovasi dengan mengembangkan kebun sawit campuran missal dengan karet.
Harapannya, mereka mempunyai Cadangan income bila sawit gagal panen atau
harganya jatuh.
Sawit memang kontroversial. Dari sisi ekonomi, tidak bisa dipungkiri bahwa sawit telah memberikan alternatif pendapatan bagi negara dan juga petani. Namun dari sisi ekologi, dan praktik budidaya selama ini muncul berbagai dampak yang perlu diwaspadai.
-----------------------------
Dalam
buku ini, Mas Hery sebagai aktivis bidang lingkungan mencoba menggali fenomena boomcorp dengan menggunakan
pendekatan anthropologis. Beliau tidak menggunakan pendekatan romantisme terhadap
kehidupan pedesaan yang penuh harmoni. Namun menggunakan pendekatan emic yang
melihat fenomena dari sudut orang dalam (petani) ketika mereka mengadopsi
sebuah komoditi. Dari pengamatannya, disimpulkan bahwa petani di pedalaman
adalah orang-orang yang rasional dalam memilih komoditi yang akan
dibudidayakan. Petani akan memilih komoditi yang paling menguntungkan secara
ekonomis karena dinamika lingkungannya yang semakin berorientasi pada masyarakat
konsumtif. Secara alamiah para petani pedalaman juga ingin hidup makmur,
seperti warga Masyarakat di daerah lain atau berprofesi lain. Bahkan mereka
berani mengambil resiko tertentu terkait pilihannya tersebut. Secara implisit,
pertimbangan ekologis nampaknya bukan menjadi pertimbangan utama dalam
pemilihan suatu komoditi.
Petani
pekebun di pedalaman juga memiliki karakter inovatif dalam mensiasati tantangan
dan hambatan yang ada. Upaya maksimalisasi keuntungan sering melahirkan
gagasan-gagasan yang win-win solution dari sisi ekonomi maupun ekologi. Seperti
kebun campuran, dari sisi ekonomi bermanfaat untuk penganeka ragaman pendapatan,
tetapi dari sisi ekologi ternyata bermanfaat untuk menjaga biodiversity termasuk
mencegah serangan hama yang massif.
Akses
lahan, akses permodalan, peluang pasar, infrastruktur pendukung, tenaga kerja
dan pengetahuan teknis dan pengetahuan tentang pasar, menjadi factor penting dalam
pemilihan komoditi boomcorp oleh para petani. Hal itu pula yang menjadi salah
satu kunci perkebunan rakyat menjadi eksis walaupun banyak budidaya boomcrop
dulu diinisiasi oleh Perusahaan/Kongsi dagang.
Komoditi
boomcorp mengalami pasang surut, kejayaan dan kemunduran. Negara seringkali
terlambat hadir di daerah pedalaman. Kehadiran negara seringkali digantikan
oleh pasar, dan disinilah pergumulan sering terjadi. Petani-petani kecil dengan
aksesnya yang terbatas seringkali tidak bisa memanfaatkan peluang dan layanan
yang tersedia, sehingga produktivitasnya rendah. Itu mengapa boomcrop menguntungkan
bagi sebagian orang tapi belum bisa menghapus kemiskinan yang ada.
No comments:
Post a Comment