JANG OETAMA; Jejak dan Perjuangan HOS. Tjokroaminoto
Penulis: Aji Dedi Mulawarman
Penerbit Galang Pustaka,
Yogyakarta 2015
ISBN 978-602-9431-92-6
256 halaman
Buku ini berisi tentang perjalanan hidup salah satu tokoh
pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto (1882-1934). Secara umum buku ini isinya
mirip dengan buku HOS Tjokroaminoto yang ditulis oleh sejarawan Drs. Anhar Gonggong pada tahun 1985. Kelebihan buku ini
adalah bahasa yang lebih popular sehingga mudah dicerna dan referensi pendukung
yang lebih kaya.
Jang Oetama (Yang Utama) merupakan gelar yang disematkan
oleh Kongres Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) tahun 1935 untuk
menghormati kepeloporan dan kepahlawanan HOS Tjokroaminoto.
Latar belakang keluarga
Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto lahir tanggal 16 Agustus 1882 di Bakur-Sawahan, Madiun, Jawa Timur. Kakek buyut Tjokroaminoto adalah ulama Kiai Bagus Kasan Basari yang menyunting seorang putri Raja Surakarta. Kakeknya adalah seorang Bupati Ponorogo dan ayahnya merupakan seorang Wedana (Asisten Bupati). Karena berasal dari Keluarga bangsawan maka beliau berhak menyandang gelar “Raden Mas”. Setelah aktif dalam pergerakan politik yang berafiliasi Sosialisme Islam yang menghormati kesetaraan, beliau meninggalkan gelar Raden Mas. Beliau lebih suka menggunakan istilah Haji Oemar Said Tjokroaminoto atau HOS Tjokroaminoto untuk menonjolkan identitias Islam pribumi.
Hari kelahiran Tjokroaminoto bersamaan dengan letusan gunung
berapi Gunung Krakatau. Hal ini oleh sebagian orang dihubungkan dengan keyakinan
bahwa beliau akan memberikan “prestasi” yang dahsyat seperti ledakan gunung
tersebut.
Meskipun Tjokroaminoto memperoleh pendidikan pamongpraja di
OSVIA Magelang, mempunyai kakek seorang
Bupati Ponorogo, ayah wedana dan punya mertua seorang Wakil Bupati Ponorogo, namun Tjokroaminoto tidak tertarik
jadi pamong praja. Beliau malah suka kerja di swasta seperti di sebuah
perusahaan dagang swasta, pindah jadi calon masinis, pindah jadi tenaga kimia
di pabrik gula bahkan jadi kuli pelabuhan. Beliau lama kelamaan malah tertarik
dengan fenomena banyaknya kemiskinan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya.
Karir politik
Tjokroaminoto merupakan orang yang cerdas dan suka
berorganisasi. Beliau sempat menjadi ketua perkumpulan Panti Harsoyo Surabaya. Karir
politik Tjokroaminoto dalam pergerakan nasional dimulai dalam usia muda. Beliau
mula-mula masuk Budi Utomo dan menjadi Ketua Budi Utomo Surabaya. Ketertarikan
pada perkembangan dunia Islam yang
sedang melemah, membuat beliau kemudian bergabung dengan Sarekat Dagang
Islam yang kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam atau SI pada tahun 1912. SI sejak awal sudah melihat
perlunya negara Indonesia yang merdeka sehingga bisa mengatur bangsa sendiri (zelf
bestuur). Mereka memperjuangkan gagasan tersebut dengan cara yang
kooperatif. Selain mendorong kemerdekaan bangsa, salah satu garis politik yang
dipilih oleh SI adalah anti kapitalisme asing dan memilih jadi pelindung wong
cilik.
Pada tahun 1918, Dewan Rakyat (Volksraad) dibentuk untuk
menampung dan menyuarakan kehendak rakyat. Tjokroaminoto dan Abdul Muis (sastrawan
pengarang novel Salah Asuhan) mewakili SI duduk dalam Volksraad tersebut. Namun
Volksraad ini tidak mampu mewadahi cita-cita kemerdekaan yang diharapkan oleh
SI, sehingga Tjokroaminoto dan Abdul Muis lebih banyak mengambil peran sebagai
oposisi.
Pada tahun 1921, Sarekat Islam Merah yang dikomandani Semaun
dan berafiliasi komunis memisahkan diri dari Sarekat Islam. Pemisahan ini
didasari perbedaan ideologis karena SI berideologi Islam dan SI Merah
berideologi komunis. Pada tahun 1923 SI berubah menjadi Partai Sarekat Islam
dan mengambil kebijakan non kooperatif dengan pemerintah.
Pada tahun 1929 Partai Serikat Islam berubah nama menjadi
Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) yang mempunyai cabang di banyak daerah.
Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Suryopranoto, dr. Sukiman, AM Sangaji dll
merupakan tokoh-tokoh PSII. Dalam perkembangannya, selain dengan kaum komunis,
PSII juga mempunya perbedaan pandangan yang serius dengan golongan nasionalis
(Dr. Sutomo cs). Di Tingkat internal PSII juga mengalami perpecahan antara
Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim yang berorientasi Islam dengan dr. Sukiman dan
Suryopranoto yang cenderung nasionalis.
Di bulan Ramadhan tepatnya 17 Desember 1934, Tjokroaminoto
meninggal dunia karena sakit dan dimakamkan di Yogyakarta. Setelah meninggalnya
HOS Tjokroaminoto, PSII mengalami kemunduran yang cukup signifikan.
Butir-butir pemikiran Tjokroaminoto
Tjokroaminoto merupakan seorang organisatoris yang hebat.
Hal ini dibuktikan dengan jumlah anggota
SI pada awal berdirinya tahun 1912 hanya 2.000 orang, bisa berkembang menjadi
2.500.000 orang pada tahun 1919. Beliau juga bisa mengembangkan SI tidak hanya
di Jawa tetapi juga di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi bahkan Ambon. Gagasan pemikiran
Tjokroaminoto yang pro rakyat kecil, dipandang merupakan gagasan baru yang
membawa harapan untuk orang banyak Apalagi gagasan tersebut disampaikan dengan
gaya orasi yang sangat memikat dalam rapat akbar yang dihadiri puluhan ribu
orang. Bahkan tidak jarang sebagian masyarakat yang masih tradisional
menganggap Tjokroaminoto adalah “Heru Tjokro” atau “Sang Ratu Adil” yang akan
membebaskan masyarakat dari penjajahan dan kemiskinan. Masyarakat tersebut rela
antri berdesakan untuk bersalaman atau menyentuh baju Tjokroaminoto yang
dianggap jelmaan “Ratu Adil”. Melihat fenomena tersebut Haji Agoes Salim dengan
bijak mengingatkan Tjokroaminoto agar tidak terjebak dalam kultus individu. Melihat
pengaruh Tjokroaminoto yang sangat besar, Belanda menyebutnya “Raja Jawa tanpa
Mahkota”.
Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Moeis sering
disebut sebagai Tiga Serangkai Partai
Sarekat Islam Indonesia (PSII) karena kecendekiawanan, integritas, dan
kepemimpinannya. Beliau bertiga menjadi motor penggerak PSI/PSII.
1. Pemerintahan oleh bangsa sendiri (Zelf Bestuur)
Salah satu pemikiran cemerlang Tjokroaminoto adalah anti kolonialisme dan perlunya pemerintahan pribumi untuk menentukan nasib sendiri (zelf bestuur). Beliau melihat penjajahan menimbukan kemiskinan dan penderitaan sehingga beliau berpendapat penjajahan asing harus diakhiri. Bangsa Indonesia harus diatur oleh pemerintah sendiri dan bukan oleh Belanda atau pemerintah boneka Hindia Belanda.
2. Anti kapitalisme asing.
Sejak tahun 1928, HOS Tjokroaminoto sudah
melakukan penentangan terhadap sewa tanah (erfpacht) oleh orang asing.
Kontrak sewa yang panjang oleh orang asing, pasti akan mengurangi jatah lahan
yang bisa digarap petani. Beliau bersama PSII juga mendorong adanya keringanan
pajak bagi rakyat pribumi serta penghapusan kerja paksa.
3. Sosialisme Islam
Beliau mendorong Sosialisme Islam sebagai dasar
negara. Sosialisme di sini diartikan sebagai sebuah bentuk paham yang
mengutamakan persahabatan dan persaudaraan sebagai pengikat kehidupan
bermasyarakat, dan bukan individualisme. Keperluan Masyarakat, hak-hak
Masyarakat dan kewajiban Masyarakat harus diletakkan di atas kepentingan
sendiri dengan berpegang pada aturan-aturan Islam. Tujuan akhir Sosialisme
Islam ini adalah Kesejahteraan lahir dan batin berdasarkan Islam. Ideologi sosialisme Islam ini menimbulkan
perpecahan dengan SI Merah yang berafiliasi komunis karena SI mendasarkan pada
pengakuan terhadap aspek reliji sedang komunisme berbasis pendekatan kesejahteraan materialisme
semata.
4. Pan Islamisme
Gerakan Pan Islamisme ingin mengembalikan umat Islam untuk bersatu sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Nabi Muhammad dan sepeninggalnya. Gerakan ini memiliki gagasan menyatukan umat Islam di seluruh dunia dengan menanggalkan warna kulit, etnis, bangsa, dan budaya. Tjokroaminoto bersama SI berusaha menggalang jejaring kerjasama yang kokoh dengan organisasi Islam lain (termasuk organisasi Islam Internasional) atas dasar kesamaan ideologi. Untuk membangkitkan kembali kejayaan Islam, upaya pembangunan karakter dan budaya umat Islam sesuai dengan ajaran Islam menjadi sangat penting. Pandangan Pan Islamisme ini banyak dikritik oleh golongan nasionalis seperti dr Sutomo yang menganggap bahwa cita-cita Pan Islamisme sulit terwujud. PSII juga dikritik karena lebih mengutamakan Islam daripada nasionalisme.
Sisi lain HOS Tjokroaminoto
Orator sang ratu adil
Tjokroaminoto merupakan seorang orator ulung dan menjadi
tokoh pergerakan nasional dalam usia yang muda. Beliau sangat menguasai materi
yang disampaikan dan juga menguasai teknik orasi. Buya HAMKA yang pernah mengikuti kursus Sarekat islam
tahun 1924 sangat mengagumi pemikiran dan kemampuan orasi HOS Tjokroaminoto.
Beliau menyampaikan bahwa ketika Tjokroaminoto mengajar, semua peserta penuh
antusias mengikuti pelajarannya dengan penuh konsentrasi.
Gaya orasi Tjokroaminoto yang memikat ini, kemungkinan
ditiru oleh Soekarno. Ketika Tjokroaminoto berbicara, semua orang diam dan
mendengarkan dengan seksama. Hal yang terjadi pula ketika Soekarno sedang
pidato, semua orang diam dan ibarat ada jarum jatuh, akan terdengar nyaring
bunyinya.
Wartawan yang cerdas
Organisatoris yang hebat
Untuk menjalankan organisasi Sarekat islam (dan kemudian PSI/PSII)
termasuk penerbitan koran, Tjokroaminoto berhasil menggalang donasi dari
para pengusaha dan pedagang serta anggota partai. Beliau juga bisa mendapatkan
dukungan donasi dari pemerintah arab atau organisasi internasional lain.
Beliau menyadari bahwa kaderisasi merupakan kunci untuk
mengembangkan dan menjaga kesinambungan organisasi. Oleh karenanya beliau juga menyelenggarakan
kursus bagi kader, yang isinya mencakup
cara mengelola organisasi dan pembahasan garis politik partai. Kader yang sudah
dilatih kemudian disebarkan ke berbagai cabang SI yang masih lemah
organisasinya, untuk membenahi organisasi cabang SI tersebut.
Tjokroaminoto juga berusaha mendorong penerapan idiologi
dalam praktek nyata di masyarakat. Sebagai contohnya, untuk mendukung sosialisme Islam,
Tjokroaminoto bersama PSII mendorong tumbuh kembangnya sarekat tani, sarekat
buruh, koperasi dan lembaga perbankan syariah. Di dunia Pendidikan yang menjadi
salah satu concern beliau, beliau juga mendorong adanya sekolah-sekolah untuk
pribumi.
Tjokroaminoto merupakan seorang pemerhati budaya dan mahir
untuk memainkan alat music tradisional. Beliau juga menggunakan pendekatan
budaya kepada masyarakat seperti yang dilakukan oleh Wali Songo dalam
menyebarkan Islam.
Kepala Keluarga yang bijaksana
Tjokroaminoto merupakan kepala eluarga yang mendidik anaknya
dengan disiplin dan lekat dengan ajaran Islam. Istri pertamanya (RA Soeharsikin)
yang dinikahui sekitar tahun 1902 berasal dari keluarga bangsawan yang setia mendukung perjuangan
Tjokroaminoto. Untuk mendapatkan tambahan penghasilan, beliau menjadikan
rumahnya di Surabaya sebagai tempat indekost bagi para pemuda yang akhirnya
menjadi tokoh pergerakan nasional. Rumah
di jalan Paneleh Surabaya tersebut akhirnya menjadi tempat berdiskusi bagi para
tokoh pergerakan bangsa.
Istri kedua Pak Tjokro (Roestina) yang dinikahi sekitar 1921
(ada kemungkinan setelah istri pertama meninggal), berasal dari kalangan rakyat
biasa dan berprofesi sebagai seniman. Beliau memilih Ibu Roestina karena beliau
menghormati prinsip kesetaraan, dan ingin menjauhkan diri dari atribut
kebangsawanan yang dirasa kurang sesuai dengan sosialisme Islam. Ibu Roestina ini yang melanjutkan peran Ibu
Soeharsikin dalam merawat anak dan mendukung perjuangan HOS Tjokroaminoto
hingga akhir hayat.
Penutup
Semoga semangat pengorbanan HOS Tjokroaminoto bisa menular
dan diteladani oleh kita semua. Semoga perjuangan HOS Tjokroaminoto bernilai
ibadah dan pahala senantiasa mengalir untuk beliau.
No comments:
Post a Comment