BIOGRAFI
GUS DUR
The
Authorized Biography of Abdurrahman Wahid
Penulis:
Greg Barton
Penerbit
LKiS, Yogyakarta 2003
ISBN
979-3381-25-6
516
halaman
Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur dilahirkan di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 7
September 1940. Gus Dur berasal dari keluarga
musim tradisional yang identic dengan pesantren. Beliau merupakan anak dari tokoh
nasional Kiai Wahid Hasyim dan merupakan cucu Kiai Hasyim Asy’ari (pendiri organisasi
muslim terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama/NU).
Gus
Dur dibesarkan di Jakarta. Setelah ayahnya meninggal tahun 1953 dan dia lulus
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama sambil mondok di Pesantren Krapyak Yogyakarta.
Selanjutnya beliau mondok di Pesantren Tegalrejo-Magelang, Pesantren
Denanyar-Jombang dan Pesantren Tambakberas-Jombang. Selama masa sekolah, Gus
Dur merupakan kutu buku yang sangat rajin membaca termasuk buku-buku Barat, suka menonton film dan suka menonton sepakbola.
Beliau juga mulai menunjukkan ketertarikan terhadap mistik dan sufisme Islam
dengan suka berziarah ke makam-makam keramat.
Sekitar
tahun 1964, Gus Dur mendaftar di Universitas Al Azhar, Kairo – Mesir. Karena
tidak puas dengan pembelajaran di Universitas Kairo, Gus Dur lebih banyak
menghabiskan waktu dengan membaca buku, nonton sepakbola dan nonton film
bioskop. Karena sering bolos kuliah dan pikirannya yang terganggu peristiwa pemberontakan
G30S/PKI, dia tidak lulus beberapa mata kuliah dan beasiswanya dihentikan.
Gus
Dur di tahun 1966 kemudian pindah kuliah di Universitas Baghdad di Irak. Di
universitas Baghdad ini Gus Dur menemukan tempat belajar yang dia inginkan
sehingga beliau giat belajar, rajin berdiskusi, dan rajin menulis. Gus Dur juga
mengasah ketrampilan berbahasa asing sehingga beliau bisa menguasai Bahasa
Inggris, Arab dan Perancis. Pada tahun
1968, Gus Dur menikahi Nuriyah walaupun hubungan mereka bersifat Long Distance Relationship/LDR.
Pada
tahun 1970, Gus Dur lulus dari Universitas Baghdad. Beliau kemudian mengajak
Nuriyah pergi ke Eropa untuk mencari peluang studi di Eropa. Namun upayanya
gagal dan mereka kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1971. Pulang di Indonesia Gus Dur menunjukkan ketertarikan
terhadap upaya pemberdayaan masyarakat dan bergabung dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat/LSM. Beliau tinggal di Jombang untuk mengajar di Pesantren
Tambakberas namun sering ke Jakarta karena beliau bekerja paruh waktu dengan LP3ES yang menerbitkan
jurnal sosial “PRISMA” yang merupakan salah satu jurnal berkualitas di
Indonesia. Beliau saat itu mulai rajin menulis berbagi analisis sosial di
jurnal PRISMA dan majalah Tempo.
Di
sekitar tahun 1978, Gus Dur mulai bergabung menjadi Dewan Syuriah NU dan mulai
tinggal menetap di Jakarta Bersama keluarganya yang sudah dikaruniai 3 orang
anak putri. Di tahun 1978 ini parpol PPP yang menjadi tempat bernaung NU,
memilih J. Naro sebagai Ketua. Naiknya Naro sebagai Ketua PPP diikuti dengan
marginalisasi NU di PPP. Marginalisasi
NU ini membawa perpecahan dalam tubuh NU, karena banyak kiai berpengaruh tidak
puas dengan kinerja Idham Chalid yang merupakan Pengurus NU untuk sayap
politik. Sehingga muncul Gerakan untuk mengembalikan NU ke Khittah 1926 dimana
NU akan focus pada kegiatan sosial ekonomi dan tidak merambah dunia politik
praktis. NU yang merupakan organisasi Islam moderat, kemudian menerima asas Tunggal
Pancasila sebagai Upaya untuk menjaga keutuhan NKRI.
Kiprah
Gus Dur di organisasi NU membuat namanya semakin popular, apalagi pemikiran-pemikirannya
bernas. Dia juga berkenalan dengan LB Moerdani, pimpinan intelijen yang
menyediakan berbagai informasi rahasia terkait pergerakan politik termasuk Gerakan
Islam Radikal. Di akhir tahun 1984, beliau terpilih sebagai Ketua PB NU dalam
Muktamar di Situbondo. Terpilihnya beliau juga diterima baik oleh Presiden
Soeharto, penguasa saat itu. Gus Dur membawa pembaharuan di NU dengan
mengembangkan pemikiran kritis kepada lingkungan di sekitarnya. Banyak
diskusi-diskusi terbuka dilakukan untuk membuka pemikiran-pemikiran baru
termasuk dialog antar iman. Bulan madu dengan Soeharto tidak berjalan lama
karena mulai 1987, Gus Dur sering mengkritisi kebijakan Soeharto secara terbuka.
Gus Dur kemudian terpilih kembali sebagai Ketua PB NU pada Muktamar 1989.
Soeharto Kembali mendukung Gus Dur karena menyadari anggota NU yang sangat
besar merupakan kekuatan politik yang akan bermanfaat bagi Soeharto.
Pada
akhir tahun 1990, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) terbentuk dipimpin
oleh BJ Habibie. Meskipun bersifat organisasi cendekiawan, namun ICMI tidak
bisa dipungkiri juga mempunyai tujuan politik. Gus Dur melihat ICMI bersifat sekatrian
sehingga tidak mau bergabung dan lebih suka mendirikan Forum Demokrasi (Fordem)
yang anggotanya pluralis. Selama memimpin NU dan Fordem ini Gus Dur menerima
banyak tekanan politik dan intimidasi dari Soeharto, politisi maupun militer
yang pro Soeharto. Meski demikian pesona Gus Dur masih cukup kuat bagi public NU
sehingga beliau terpilih Kembali dalam Muktamar 1994 di Cipasung Tasikmalaya.
Mulai
tahun 1995, Gus Dur mulai berjejaring dengan
Megawati yang menjadi Ketua Partai PDIP. Mereka berdua bersama Amin Rais
dan Sri Sultan Hamengku Buwono X menjadi tokoh sentral Gerakan Reformasi yang
melengserkan Soeharto tahun 1998. Gus Dur kemudian mendirikan Partai
kebangkitan Bangsa yang menjadi perahu politik dan berhasil menduduki jabatan
presiden Republik Indonesia ke 4. Gus Dur terpilih menjadi Presiden dalam
pemilihan oleh anggota DPR tahun 1999, sedang Megawati terpilih sebagai wakil
presiden.
Pada masa pemerintahan Gus Dur, selain pemulihan kondisi ekonomi, pemerintah juga dihadapkan dengan isu separatism di Aceh dan Papua, perlawanan kroni Soeharto, Gerakan Islam Radikal, Militer “Hijau”, konflik horizontal seperti di Poso, Maluku dan berbagai tekanan internasional. Kondisi Gus Dur yang kondisi fisiknya menurun serta gaya manajemennya yang sembrono membuat beliau tidak bisa bekerja dengan optimal. Beberapa hal lain yang menghambat kinerja beliau adalah:
- Harapan publik yang terlalu besar agar Gus Dur bisa memcahkan semua masalah dalam waktu pendek.
- Lawan-lawan yang kuat seperti kroni Suharto, koruptor, militer, radikalis.
- Masyarakat sipil yang lemah untuk jadi partner membangun
- Pers yang dipengaruhi oleh politik karena dimiliki oleh sejumlah politisi
- Kekurangan modal politik atau partai pendukung sehingga mudah digoyang oleh lawan politik
- Gerakan reformasi yang terbelah midalnya perpecahan dengan Megawati dan Amin Rais
- Kaum Islamis modern cenderung menjadi ujung tombak bagi kaum oposisi untuk menyerang Gus Dur
- Tidak adanya konstitusi yang demokratik sehingga DPR begitu super power
- Sikap aparatur negara yang memusuhi pemerintahan Gus Dur karena tidak banyak benefit mereka terima dari pemerintahan Gus Dur
- Sistem Hukum yang tidak berfungsi dengan baik (hakim korup dll)
- Negara rente yang bekerjasama dengan kejahatan yang terorganisir
- Pembangkangan oleh militer
Gus Dur yang merupakan tokoh nasional yang berpemikiran cemerlang, pluralis, inklusif, sosialis/berpihak ke umat, suka guyon, tulus, liberal dan smart, ternyata tidak mampu bertahan menghadapi tekanan dan keroyokan para politikus opportunis di DPR. Beliau harus mundur dari jabatannya di tahun 2001. Meski demikian di belakang hari banyak orang kemudian menyadari bahwa Gus Dur merupakan tokoh bangsa yang unik namun berperan besar meletakkan pondasi demokrasi di Indonesia. Sampai-sampai di saat Pemilu, banyak calon presiden atau calon legislative yang menjual nama besar Gus Dur untuk mendapatkan dukungan dari para pemilih.
No comments:
Post a Comment