Kiat
Menjadi Diktator
Penulis Mikal Hem
Penerbit CV Marjin Kiri
Tangerang, 2023
ISBN 978-602-0788-46-3
191 halaman
Buku ini diterjemahkan oleh Irwan Syahrir dari buku berbahasa Norwegia berjudul Kanskje jeg
kan bli dictator en handbok karya Mikal Hem, yang terbit tahun 2012. Buku
ini berisi resep merebut kekuasaan, mempertahankannya dan mengakhiri jabatan
sebagai diktator. Secara satire komedi,
buku ini menyindir kelakuan para diktator dari berbagai belahan dunia seperti Afrika,
Asia, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Eropa Barat ketika memegang tampuk
kekuasaan.
Para diktator memperoleh kekuasaan melalui beberapa cara. Di
negara-negara yang situasi politik tidak stabil seperti sebagian negara Afrika,
perebutan kekuasaan melalui kudeta merupakan hal yang sering terjadi. Antara
tahun 1952 sd 2000, telah terjadi 85 kudeta di 33 negara Afrika. Biasanya
kudeta ini terjadi di negara yang miskin atau pertumbuhan ekonomi rendah,
negara yang bersangkutan tidak punya ketergantungan politik terhadap negara
lain, dan kekuasaannya terpusat (sentralistik). Beberapa kunci sukses sebuah
kudeta antara lain: adanya dukungan kekuatan militer, adanya dukungan luar
negeri, petakan orang-orang penting pemegang kekuasaan yang harus diamankan
atau dinetralisir, kuasai media massa sebagai corong kekuasaan.
Cara kedua untuk memperoleh kekuasaan adalah melalui perang
gerilya seperti terhadap penjajah seperti yang dilakukan Mao Zedong di Cina
atau Paul Kagame di Rwanda yang melawan genocida. Cara ini membutuhkan kesabaran
dan seringkali pengorbanan yang besar. Cara ini akan berhasil bila mampu
membangun visi yang jelas terkait tujuan perjuangan atau kesadaran akan musuh bersama
yang dihadapi, simpati dari masyarakat luas, dukungan internasional, kecakapan
dan militansi pasukan militer sehingga sanggup berjuang bertahun-tahun.
Cara ketiga untuk menjadi diktator adalah dengan melalui pemilu
yang manipulatif. Biasanya hal ini dilakukan ketika sang diktator sudah
memegang tampuk kekuasaan, sehingga untuk memperoleh legitimasi, dia
menyelenggarakan pemilu walaupun penuh manipulasi ataupun intimidasi.
Cara keempat untuk menjadi diktator adalah dengan sistem
dinasti Dimana tampuk kekuasaan diwariskan kepada anak keturunan atau kerabat
yang bertalian darah. Hal ini seperti terjadi di Korea Utara, beberapa negara Arab,
Brunai, beberapa negara Afrika maupun beberapa negara Asia Tengah pecahan
negara Uni Soviet.
Cara-cara meraih tampuk kekuasaan tersebut tidak ada yang
paling baik karena semua terkait dengan situasi
local dan factor pendukungnya. Tapi ada yang perlu diingat bahwa “mendapatkan
kekuasaan itu mudah, namun mempertahankan tetap di puncak itu jauh lebih sulit.”
Ketika sudah memegang tampuk kekuasaan, seorang diktator harus
mengembangkan strategi untuk mempertahankan kekuasaannya. Beberapa strategi
yang dilakukan oleh para diktator tersebut antara lain:
·
Mengendalikan, membatasi gerak dan kalau perlu menghilangkan
oposisi.
·
Menyelenggaraan pemilu agar memperoleh
legitimasi bahwa pemerintahannya demokratis. Meskipun pemilu dilakukan secara manipulative
dan intimidatif.
·
Indoktrinasi tentang keberpihakannya kepada rakyat
dan indoktrinasi ini dimulai sejak anak-anak di bangku sekolah.
·
Membangun ajaran propaganda bahwa kita adalah
ras terunggul seperti yang terjadi di Korea Utara sehingga seorang diktator dibutuhkan
untuk menjaga keunggulan ras tersebut.
Seorang diktator hendaknya bisa meresap ke segenap tatanan masyarakat
sehingga muncul kultus individu. Pembuatan
patung dan pemasangan gambar sang diktator
di banyak tempat, membuat gelar diri yang gagah, menciptakan sebuah filsafat
negara, menulis buku, menggunakan media untuk memuat berita tentang sang diktator,
gunakan nama sang diktator untuk jalan atau fasilitas publik, membangun narasi
tentang kehebatan atau kesaktian sang diktator, menjadikan dirinya sebagai
wakil Tuhan di muka bumi dan menciptakan hukum yang aneh untuk menunjukkan dialah
yang berkuasa—itu merupakan cara-cara untuk membangun alam bawah sadar masyarakat
akan kehadiran sang diktator.
Sebagian besar diktator mempunyai kecenderungan untuk
menumpuk harta secara illegal. Bahkan di negara-negara miskin, diktator akan
tetap berusaha mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Biasanya mereka akan
menggunakan keluarga dan kroni untuk mengumpulkan
harta ini. Mereka mengumpulkan komisi-komisi dari investor atau proyek-proyek
yang akan dilaksanakan di negara tersebut. Demikian pula regulasi usaha dibuat
njelimet agar investor akan kesulitan menempuh jalur formal dan lebih suka
membayar melalui “jalur belakang”. Pemerintah yang korup semacam ini biasanya
sangat tertutup dan tidak mau transparan terhadap kontrak-kontrak dengan para
investor. Pemerintah tidak transparan dengan duit yang masuk ke negara dan
berapa yang masuk ke kantong diktator dan kroninya. Hal yang ironis adalah
negara yang konon demokratis seperti USA seringkali menutup mata terhadap
kelakuan para diktator karena pertimbangan bisnis investor US di negara diktator
tersebut. “Kleptokrasi” (pemerintahan yang mencuri duit rakyatnya sendiri) merupakan
bentuk korupsi paling langsung dan terang-terangan. Cara seperti ini bisa
dijalankan bila masyarakat sipil lemah, mayoritas masyarakat berpendidikan
rendah dan buta huruf, organisasi kemasyarakatan dan media dikerdilkan, dan instansi pemerintah dilemahkan supaya
tidak berani menantang diktator dan kroninya.
Untuk menjaga keamanan harta yang dikumpulkannya, banyak diktator
yang menyimpan dalam bentuk property, barang seni, barang mewah maupun
ditabung di bank-bank di negara yang memperbolehkan anonimitas pemiliknya
seperti Swiss.
Kebanyakan diktator mempunyai gaya hidup yang sangat boros
yang jauh dari tingkat kehidupan masyarakatnya. Belanja di kota metropolitan dunia,
baju rancangan desainer terkemuka, pesta mewah, koleksi mobil mewah, kapal
pesiar, istana megah dan main perempuan merupakan bagian gaya hidup mereka. Mereka
juga membangun mahakarya arsitektural nan
mahal seperti Menara, gereja, villa dan tata kota yang luar biasa walaupun seringkali jarang dimanfaatkan secara optimal.
Sebagian diktator juga memiliki bakat menulis sastrawi yang baik
seperti Moamar Gaddafi yang menerbitkan novel tentang daerah perdesaan yang
damai dan lingkungan keluarga yang tumbuh kembang dengan sehat. Dia juga
menerbitkan Kitab Hijau yang mencoba
mengkombinasikan pandangan Islam, tradisi kesukuan Libya, sosialisme dan
nasionalisme pan Arabia. Beberapa diktator yang juga menjadi penulis adalah
Niyazov dan Berdimukhamedov (Turkmenistan), Saddam Hussein (Irak), Kim Il Sung dan
Kim Jong Il (Korea Utara), Mao Zedong (China) dan Papa Doc Duvalier (Haiti).
Kenikmatan hidup menjadi diktator, dirasakan tidak hanya
oleh sang diktator, tetapi juga dirasakan oleh keluarga dan kroni-kroninya.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa Keluarga dan kroni posisinya lebih enak dari
sang diktator karena mereka tidak menjadi sasaran langsung bila ada kudeta. Kroni
setia di lingkungan pemerintahan maupun keluarga perlu dipelihara agar dia bisa
menjadi tameng pembela bagi sang diktator. Selain manfaat finansial, mereka
juga memperoleh manfaat non finansial seperti jabatan politik, jabatan bisnis,
kekebalan hukum, gelar akademik, status sosial dll. Dengan fasilitas yang
dimilikinya, tidak jarang keluarga atau kroni sang diktator akhirnya terjerumus
dalam seks, narkoba dan kekerasan.
Para diktator biasanya menduduki jabatan lebih lama daripada
pemimpin negara yang demokratis. Selama menjabat
dia bisa meraup kekayaan, dipuja seperti Tuhan dan mabuk kekuasaan. Namun harus
disadari bahwa akhir politiknya bisa datang tiba-tiba. Bila seorang diktator berhasil mempertahankan
kekuasaan tanpa menjadi korban kudeta atau pembunuhan, sang diktator bisa terus
berkuasa sampai mati, atau bisa
menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Namun menyerahkan kekuasaan kepada
orang lain sering beresiko orang yang diberi kekuasaan akan berkhianat dan menusuk
dari belakang.
Akhir hidup para mantan diktator juga beragam. Untuk
menghindari balas dendam, banyak mantan diktator yang lebih suka hidup di pengasingan
di negara yang mau menerimanya seperti Perancis. Ada pula beberapa mantan diktator yang mendekam
di penjara negaranya seperti Manuel Noriega (Panama) dan Charles Taylor
(Liberia). Sedangkan sejumlah mantan diktator meninggal saat bertugas seperti
Macias Nguema (Guinea Khatulistiwa), Moammar Gaddafi (Libya), Ceucescu
(Rumania), Rafael Trujillo (Republik Dominika), Somoza (Nikaragua). Di berbagai
negara, mantan diktator malah diawetkan (dan eberapa diantaranya dipajang),
seperti Lenin (Soviet), Mao Zedong (China), Ferdinand Marcos (Filipina), Kim Il
Sung (Korea Utara), Georgi Dimitrov (Bulgaria), Klement Gottwalt
(Cekoslovakia).
Ada bahaya-bahaya ketika menjabat sebagai diktator. Namun di
sisi lain ada banyak hal yang akan dia dapatkan bila semua berjalan lancar. Tahta/Kuasa,
Harta dan Wanita akan ada dalam genggamanmu… “Absolute power corrupts
absolutely” – Lord Acton 1887.
Refleksi:
Melihat pengalaman berbagai negara dictatorial, ada kecenderungan sang dictator menggunakan kroni dan keluarganya untuk meraup harta. Tapi mengapakah di Indonesia pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada penyelenggara negara dan tidak kepada anggota keluarganya? Ah alangkah mulianya hati para pembuat aturan hukum dan penegak hukum yang berprasangka positif terhadap keluarga penyelenggara negara. apakah mungkin mereka berpendapat bahwa orang Indonesia adalah orang yang sangat jujur dan amanah, sehingga TIDAK MUNGKIN para penyelenggara negara melakukan tindak korupsi dengan menggunakan kroni dan keluarganya???