Monday, December 16, 2024

Kiat Menjadi Diktator

 


Kiat Menjadi Diktator

Penulis Mikal Hem

Penerbit CV Marjin Kiri

Tangerang, 2023

ISBN 978-602-0788-46-3

191 halaman

 

Buku ini diterjemahkan oleh Irwan Syahrir dari buku  berbahasa Norwegia berjudul Kanskje jeg kan bli dictator en handbok karya Mikal Hem, yang terbit tahun 2012. Buku ini berisi resep merebut kekuasaan, mempertahankannya dan mengakhiri jabatan sebagai diktator. Secara  satire komedi, buku ini menyindir kelakuan para diktator dari berbagai belahan dunia seperti Afrika, Asia, Amerika Latin, Eropa Timur, dan Eropa Barat ketika memegang tampuk kekuasaan.

Para diktator memperoleh kekuasaan melalui beberapa cara. Di negara-negara yang situasi politik tidak stabil seperti sebagian negara Afrika, perebutan kekuasaan melalui kudeta merupakan hal yang sering terjadi. Antara tahun 1952 sd 2000, telah terjadi 85 kudeta di 33 negara Afrika. Biasanya kudeta ini terjadi di negara yang miskin atau pertumbuhan ekonomi rendah, negara yang bersangkutan tidak punya ketergantungan politik terhadap negara lain, dan kekuasaannya terpusat (sentralistik). Beberapa kunci sukses sebuah kudeta antara lain: adanya dukungan kekuatan militer, adanya dukungan luar negeri, petakan orang-orang penting pemegang kekuasaan yang harus diamankan atau dinetralisir, kuasai media massa sebagai corong kekuasaan.

Cara kedua untuk memperoleh kekuasaan adalah melalui perang gerilya seperti terhadap penjajah seperti yang dilakukan Mao Zedong di Cina atau Paul Kagame di Rwanda yang melawan genocida. Cara ini membutuhkan kesabaran dan seringkali pengorbanan yang besar. Cara ini akan berhasil bila mampu membangun visi yang jelas terkait tujuan perjuangan atau kesadaran akan musuh bersama yang dihadapi, simpati dari masyarakat luas, dukungan internasional, kecakapan dan militansi pasukan militer sehingga sanggup berjuang bertahun-tahun.

Cara ketiga untuk menjadi diktator adalah dengan melalui pemilu yang manipulatif. Biasanya hal ini dilakukan ketika sang diktator sudah memegang tampuk kekuasaan, sehingga untuk memperoleh legitimasi, dia menyelenggarakan pemilu walaupun penuh manipulasi ataupun intimidasi.

Cara keempat untuk menjadi diktator adalah dengan sistem dinasti Dimana tampuk kekuasaan diwariskan kepada anak keturunan atau kerabat yang bertalian darah. Hal ini seperti terjadi di Korea Utara, beberapa negara Arab, Brunai, beberapa negara Afrika maupun beberapa negara Asia Tengah pecahan negara Uni Soviet.

Cara-cara meraih tampuk kekuasaan tersebut tidak ada yang paling baik karena semua terkait dengan situasi  local dan factor pendukungnya. Tapi ada yang perlu diingat bahwa “mendapatkan kekuasaan itu mudah, namun mempertahankan tetap di puncak itu jauh lebih sulit.”

Ketika sudah memegang tampuk kekuasaan, seorang diktator harus mengembangkan strategi untuk mempertahankan kekuasaannya. Beberapa strategi yang dilakukan oleh para diktator tersebut antara lain:

·        Mengendalikan, membatasi gerak dan kalau perlu menghilangkan oposisi.

·        Menyelenggaraan pemilu agar memperoleh legitimasi bahwa pemerintahannya demokratis. Meskipun pemilu dilakukan secara manipulative dan intimidatif.

·        Indoktrinasi tentang keberpihakannya kepada rakyat dan indoktrinasi ini dimulai sejak anak-anak di bangku sekolah.

·        Membangun ajaran propaganda bahwa kita adalah ras terunggul seperti yang terjadi di Korea Utara sehingga seorang diktator dibutuhkan untuk menjaga keunggulan ras tersebut.

Seorang diktator hendaknya bisa meresap ke segenap tatanan masyarakat  sehingga muncul kultus individu. Pembuatan patung dan pemasangan gambar  sang diktator di banyak tempat, membuat gelar diri yang gagah, menciptakan sebuah filsafat negara, menulis buku, menggunakan media untuk memuat berita tentang sang diktator, gunakan nama sang diktator untuk jalan atau fasilitas publik, membangun narasi tentang kehebatan atau kesaktian sang diktator, menjadikan dirinya sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan menciptakan hukum yang aneh untuk menunjukkan dialah yang berkuasa—itu merupakan cara-cara untuk membangun alam bawah sadar masyarakat akan kehadiran sang diktator.

Sebagian besar diktator mempunyai kecenderungan untuk menumpuk harta secara illegal. Bahkan di negara-negara miskin, diktator akan tetap berusaha mengeruk harta sebanyak-banyaknya. Biasanya mereka akan menggunakan keluarga dan kroni untuk  mengumpulkan harta ini. Mereka mengumpulkan komisi-komisi dari investor atau proyek-proyek yang akan dilaksanakan di negara tersebut. Demikian pula regulasi usaha dibuat njelimet agar investor akan kesulitan menempuh jalur formal dan lebih suka membayar melalui “jalur belakang”. Pemerintah yang korup semacam ini biasanya sangat tertutup dan tidak mau transparan terhadap kontrak-kontrak dengan para investor. Pemerintah tidak transparan dengan duit yang masuk ke negara dan berapa yang masuk ke kantong diktator dan kroninya. Hal yang ironis adalah negara yang konon demokratis seperti USA seringkali menutup mata terhadap kelakuan para diktator karena pertimbangan bisnis investor US di negara diktator tersebut. “Kleptokrasi” (pemerintahan yang mencuri duit rakyatnya sendiri) merupakan bentuk korupsi paling langsung dan terang-terangan. Cara seperti ini bisa dijalankan bila masyarakat sipil lemah, mayoritas masyarakat berpendidikan rendah dan buta huruf, organisasi kemasyarakatan dan media dikerdilkan,  dan instansi pemerintah dilemahkan supaya tidak berani menantang diktator dan kroninya.

Untuk menjaga keamanan harta yang dikumpulkannya, banyak diktator yang menyimpan dalam bentuk property, barang seni, barang mewah maupun ditabung di bank-bank di negara yang memperbolehkan anonimitas pemiliknya seperti Swiss.

Kebanyakan diktator mempunyai gaya hidup yang sangat boros yang jauh dari tingkat kehidupan masyarakatnya. Belanja di kota metropolitan dunia, baju rancangan desainer terkemuka, pesta mewah, koleksi mobil mewah, kapal pesiar, istana megah dan main perempuan merupakan bagian gaya hidup mereka. Mereka juga membangun mahakarya arsitektural  nan mahal seperti Menara, gereja, villa dan tata kota  yang luar biasa  walaupun seringkali jarang dimanfaatkan  secara optimal.

Sebagian diktator juga memiliki bakat menulis sastrawi yang baik seperti Moamar Gaddafi yang menerbitkan novel tentang daerah perdesaan yang damai dan lingkungan keluarga yang tumbuh kembang dengan sehat. Dia juga menerbitkan Kitab Hijau  yang mencoba mengkombinasikan pandangan Islam, tradisi kesukuan Libya, sosialisme dan nasionalisme pan Arabia. Beberapa diktator yang juga menjadi penulis adalah Niyazov dan Berdimukhamedov (Turkmenistan), Saddam Hussein (Irak), Kim Il Sung dan Kim Jong Il (Korea Utara), Mao Zedong (China) dan Papa Doc Duvalier (Haiti).

Kenikmatan hidup menjadi diktator, dirasakan tidak hanya oleh sang diktator, tetapi juga dirasakan oleh keluarga dan kroni-kroninya. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Keluarga dan kroni posisinya lebih enak dari sang diktator karena mereka tidak menjadi sasaran langsung bila ada kudeta. Kroni setia di lingkungan pemerintahan maupun keluarga perlu dipelihara agar dia bisa menjadi tameng pembela bagi sang diktator. Selain manfaat finansial, mereka juga memperoleh manfaat non finansial seperti jabatan politik, jabatan bisnis, kekebalan hukum, gelar akademik, status sosial dll. Dengan fasilitas yang dimilikinya, tidak jarang keluarga atau kroni sang diktator akhirnya terjerumus dalam seks, narkoba dan kekerasan.

Para diktator biasanya menduduki jabatan lebih lama daripada pemimpin negara yang demokratis.  Selama menjabat dia bisa meraup kekayaan, dipuja seperti Tuhan dan mabuk kekuasaan. Namun harus disadari bahwa akhir politiknya bisa datang tiba-tiba.  Bila seorang diktator berhasil mempertahankan kekuasaan tanpa menjadi korban kudeta atau pembunuhan, sang diktator bisa terus berkuasa  sampai mati, atau bisa menyerahkan kekuasaan kepada orang lain. Namun menyerahkan kekuasaan kepada orang lain sering beresiko orang yang diberi kekuasaan akan berkhianat dan menusuk dari belakang.

Akhir hidup para mantan diktator juga beragam. Untuk menghindari balas dendam, banyak mantan diktator yang lebih suka hidup di pengasingan di negara yang mau menerimanya seperti Perancis.  Ada pula beberapa mantan diktator yang mendekam di penjara negaranya seperti Manuel Noriega (Panama) dan Charles Taylor (Liberia). Sedangkan sejumlah mantan diktator meninggal saat bertugas seperti Macias Nguema (Guinea Khatulistiwa), Moammar Gaddafi (Libya), Ceucescu (Rumania), Rafael Trujillo (Republik Dominika), Somoza (Nikaragua). Di berbagai negara, mantan diktator malah diawetkan (dan eberapa diantaranya dipajang), seperti Lenin (Soviet), Mao Zedong (China), Ferdinand Marcos (Filipina), Kim Il Sung (Korea Utara), Georgi Dimitrov (Bulgaria), Klement Gottwalt (Cekoslovakia).

Ada bahaya-bahaya ketika menjabat sebagai diktator. Namun di sisi lain ada banyak hal yang akan dia dapatkan bila semua berjalan lancar. Tahta/Kuasa, Harta dan Wanita akan ada dalam genggamanmu… “Absolute power corrupts absolutely” – Lord Acton 1887.

 

Refleksi:

Melihat pengalaman berbagai negara dictatorial, ada kecenderungan sang dictator menggunakan kroni dan keluarganya untuk meraup harta. Tapi mengapakah di Indonesia pemeriksaan kasus korupsi hanya ditujukan pada penyelenggara negara dan tidak kepada anggota keluarganya? Ah alangkah mulianya hati para pembuat aturan hukum dan penegak hukum yang berprasangka positif terhadap keluarga penyelenggara negara. apakah mungkin mereka berpendapat bahwa orang Indonesia adalah orang yang sangat jujur dan amanah, sehingga TIDAK MUNGKIN para penyelenggara negara  melakukan tindak korupsi dengan menggunakan kroni dan keluarganya???

Tuesday, December 10, 2024

Majalah Forest Digest edisi 22, April-Juni 2022



Majalah Forest Digest edisi 22, April-Juni 2022 mengangkat isu Perdagangan Karbon. Dalam rangka berkontribusi untuk mitigasi perubahan iklim global, Indonesia  mempunyai target penurunan emisi 29-49% hingga 2030. Salah satu strategi yang dikembangkan untuk mencapai target tersebut adalah mendorong perusahaan industry untuk secara sukarela menurunkan emisi melalui penggunaan teknologi yang rendah karbon.  

Strategi yang lain adalah mengenakan perdagangan karbon seperti “cap and trade” dimana perusahaan produsen emisi yang melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah, wajib membeli hak mengemisi perusahaan mitra yang lebih rendah emisinya pada periode tertentu. Skema lain untuk perdagangan karbon adalah “carbon off set” dimana Perusahaan tidak wajib  menurunkan emisi namun mereka bisa membeli “hak” atau sertifikat dari pihak lain yang telah melakukan kegiatan menurunkan jumlah CO2 di atmosfer. Dengan membeli sertifikat tersebut, seseorang atau kelompok dapat mendanai proyek untuk melawan perubahan iklim. Sertifikat tersebut dapat "mengimbangi" emisi CO2 pembeli dengan jumlah pengurangan CO2 yang sama di tempat lain.

Strategi ketiga adalah pengenaan pajak  karbon kepada perusahaan produsen emisi. Pajak ini dibayarkan ke negara dengan  tarif Rp. 30.000 per ton (US$ 2 per ton). Disinsentif pengenaan pajak ini diharapkan bisa mendorong Perusahaan untuk mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Dari berbagai kebijakan tersebut, muncul kekuatiran bahwa harga karbon dan pajak karbon yang rendah (hanya Rp. 30.000), akan membuat produsen emisi lebih suka menghapus dosa dengan membeli karbon atau membayar pajak karbon daripada mengembangkan teknologi yang lebih ramah lingkungan.

Pada terbitan kali ini, Forest Digest juga mengupas tentang pengelolaan sampah yang menjadi persoalan serius di kota besar khususnya Jakarta. Di tahun 2021, Jakarta memproduksi sampah 7.233 ton per hari dan 53% diantaranya berupa sisa makanan. Pengolahan sampah untuk listrik  hanya mampu menampung sampah 100 ton per hari (data tahun 2021/2022). Suatu jumlah yang sangat timpang. Oleh karenanya pengelolaan  sampah perlu ditangani dari hulu-hilir melalui penerapan slogan reduce, reuse, dan recycle serta pelibatan masyarakat melalui bank sampah dan pemilahan sampah di tingkat rumah tangga

Sunday, December 01, 2024

eLearning: Panduan Dunia Digital dan Internet

 


eLearning: Panduan Dunia Digital dan Internet

Penulis: Robin Mason dan Frank Renie

Penerbit Baca!, Yogyakarta 2010

ISBN 979-2462-29-5

206 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku eLearning  yang diterbitkan Taylor-Fracis, London-New York, 2009. Buku ini diterbitkan ketika elearning masih belum sepesat sekarang. Di Indonesia sendiri, elearning dalam bentuk “sistem pembelajaran jarak jauh” sudah diinisiasi antara lain oleh Universitas Terbuka (UT) sejak tahun 1984-an, namun perkembanganya meluas secara massif ketika dunia mengalami pandemi COVID 19. Meski buku ini diterbitkan lebih dari satu decade lalu, namun menurut saya,  isinya terutama terkait dengan aspek pedagogi atau metode pembelajaran masih relevan sampai sekarang. Apalagi tulisan-tulisan  terkait dengan aspek pedagogi elearning versi pengalaman Indonesia masih relative terbatas.

Dalam buku ini, dikupas bahwa pembelajaran elearning seringkali mengalami drop out yang tinggi. Oleh karena itu terdapat beberapa poin penting  agar pembelajaran eLearning bisa berjalan sukses yakni:

1.     Para peserta belajar harus mempunyai motivasi tinggi dengan dukungan perangkat komunikasi (hardware dan software) yang memadai.

2.     Materi pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan para peserta (pendekatan student based learning atau problem based learning atau contextual based learning). Materi yang sesuai dengan kebutuhan peserta akan meningkatkan motivasi belajar mereka.

3.     Penggunaan teknologi elearning asynchronous dimana peserta berinteraksi dengan pelatih/pengajar menggunakan media yang tidak harus berkomunikasi secara langsung (misal melalui CD ROM, you tube, bahan ajar di internet) akan lebih efektif bila disertai dengan pembelajaran secara synchronous dimana peserta berinteraksi dengan pengajar secara langsung misalnya melalui online discussion, live streaming, maupun pertemuan tatap muka langsung (sistem blended atau campuran  antara online dan offline).

4.     Materi pembelajaran secara digital perlu disusun agar interaktif dan merangsang minat belajar peserta, singkat dan padat --proporsional dalam arti tidak terlalu banyak konten namun mampu mencakup kompetensi yang ingin diajarkan--,  mudah diakses/didownload dengan device yang dimiliki peserta, dan user friendly. Materi pembelajaran ini disusun dengan memperhatikan aspek quality insurance dan continues improvement.

5.     Peran pelatih/dosen/tutor lebih bersifat sebagai fasilitator. Pelatih membimbing peserta untuk menemukan sumber pembelajaran baru misal dengan mengajar secara interaktif, memberikan referensi pendukung, memfasilitasi proses diskusi, memberikan konseling kalau peserta mengalami kesulitan belajar, memberikan cara pandang baru dll. Semakin interaktif dan intens seorang pengajar/pelatih akan berkorelasi dengan semakin kuatnya  motivasi belajar para peserta.

6.     Peran peserta belajar, selain belajar secara mandiri maupun belajar dari para pengajar, adalah belajar dari peserta lain (peer to peer). Dari berbagai penelitian, peer to peer review dalam bentuk belajar bersama, pembuatan tugas bersama, memberikan feedback dan penilaian untuk peserta lain telah meningkatkan efektivitas pembelajaran.

Dalam buku ini juga dibahas beberapa istilah kunci dalam elearning, baik yang terkait dengan istilah metode pembelajaran maupun istilah hardware dan software yang disertai pula dengan beberapa web link bila pembaca ingin mendapatkan informasi yang lebih dalam. (walaupun ketika saya coba, beberapa web link sudah out of date).

Di akhir buku ini, penulis juga menyertakan resume dari sepuluh bacaan tentang elearning yang mereka rekomendasikan. Resume ini sangat menarik bagi saya, karena mencari informasi-informasi tentang dinamika elearning di dalam negeri nampaknya masih sangat sedikit.

Secara umum buku ini menarik dibaca untuk pegiat pendidikan khususnya elearning. Hasil penerjemahan   juga baik sehingga kalimatnya mudah dipahami. Salah satu kritik saya terhadap buku ini adalah struktur penulisan buku ini lebih menekankan pada istuilah-istilah elearning. Sedangkan artikel pengantar yang mengupas tentang pembelajaran elearning-nya agak kurang terstruktur.