Maya
Penulis: Ayu Utami
Kepustakaan Populer Gramedia,
Jakarta (2013?)
Novel Maya ini merupakan kelanjutan dari novel Saman dan Larung karya Ayu
Utami. Novel ini ditulis tahun 2013 dengan setting menjelang Reformasi tahun
1998 yang berujung pengunduran diri presiden Soeharto.
Alkisah, Yasmin menerima tiga buah surat dari Saman dan satu buah batu akik bergambar Semar (tokoh punakawan wayang simbol kebijakan). Surat itu dikirim dari Amerika dan meminta Yasmin untuk mengantarkan surat tersebut ke ayahnya. Saman merupakan lelaki spesial di hati Yasmin karena día adalah kekasih gelap dan ayah dari anaknya—Samantha.
Saman sendiri semula biasa dipanggil Frater Wisanggeni atau Frater Wis yang
merupakan seorang calon pastor. Dia punya ketertarikan dengan teologi
pembebasan dan terjun dalam pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat petani karet.
Namun dalam perjalanannya, kegiatan pemberdayaan yang día lakukan menghadapi
represi dan kekerasan dari pihak penguasa yang ingin mengembangkan sawit. Korban petani berjatuhan, sehingga Frater Wis
melawan dan terpaksa mengganti namanya menjadi Saman untuk menyembunyikan diri.
Dia kemudian diselundupkan keluar negeri untuk menjamin keselamatan jiwanya.
Setelah menerima surat dari Saman tersebut, Yasmin dan Samantha kecil kemudian berkunjung ke Suhubudi, yang merupakan guru spiritual Saman. Sebagai ahli spiritual Suhubudi menggali banyak kearifan local termasuk pertanian tradisional dengan menggunakan padi local. Kearifan local ini seringkali mendapat tentangan dari penguasa local yang selama ini sering mengagung-agungkan “Revolusi Hijau” yang sarat dengan bibit unggul, obat dan pupuk pabrik. Posisi Suhubudi yang menjadi penasehat spiritual presiden Soeharto, membuat día tidak banyak diusik walaupun ada ketidaksenangan dari penguasa local.
Sebagai guru spiritual yang mengayomi semesta, Suhubudi juga menampung orang-orang cacat (termasuk cebol) yang tidak diterima oleh lingkungannya. Dia membangun padepokan untuk mereka, membimbing mereka dalam budi pekerti, mengajari soal kehidupan keseharian dan kesenian untuk menumbuhkan eksistensi mereka. Dalam bidang kesenian mereka membentuk Klan Saduki yang sering mementaskan sendratari Ramayana. Dua tokoh yang menonjol dalam Klan Saduki adalah Maya yang biasa memerankan Dewi Shinta dan Tuyul yang biasa memerankan Rama. Bagi Maya, Tuyul dan penari lain, sendratari terebut bisa membangkitkan kebanggaan karena dengan keterbatasan fisiknya, mereka mampu menampilkan sendratari yang indah dan sangat memikat. Keindahan tersebut tidak hanya muncul dalam penampilan seni semata, tetapi juga mempengaruhi jiwa mereka. Di balik penampilan fisik yang “jelek” di mata sebagian orang, namun tidak ada halangan bagi mereka untuk mempunyai jiwa dan perilaku yang baik.
Keindahan sendratari Ramayana ang ditampilkan Klan Saduki telah menarik minat budayawan India untuk mengajak Klan Saduki pentas di India. Namun inisiatif ini tidak mendapat persetujuan dari Kementerian Pariwisata yang kuatir kaum difabel Klan Saduki akan membawa citra negatif bagi bangsa Indonesia. Bagi Maya, tawaran pentas di luar negeri juga menimbulkan depresi tersendiri karena día kuatir día dan teman-temannya akan dicibir dan dibully dengan kondisi fisiknya yang tidak normal. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya rencana pentas ini dibatalkan.
Di Padepokan Suhubudi, Yasmin yang sangat rasional justru terlibat dalam suatu kejadian lain yang baginya merupakan perjalanan batin untuk memahami diri sendiri, cintanya, dan negerinya.
Novel ini sarat dengan bahasa metáfora yang indah dan penuh makna yang
reflektif. Novel ini mengajarkan setiap manusia baik yang normal secara fisik
maupun yang “abnormal/difabel” tetap mempunyai kebutuhan dasar untuk diakui
eksistensinya, punya nafsu yang berpotensi mendorong perbuatan salah dan punya
potensi untuk berbuat kebaikan. Nafsu tersebut perlu dikendalikan, salah
satunya dengan mengembangkan spiritualitas dalam kehidupannya. Keseimbangan
kehidupan dengan lingkungan dan semesta, menjadi salah satu faktor kunci menuju
hidup yang penuh kedamaian.

No comments:
Post a Comment