Sunday, October 05, 2025

Si Parasit Lajang

 




Si Parasit Lajang
Penulis Ayu Utami
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia 
Jakarta , 2013
ISBN 978-602-424-124-7
201 halaman

 

Buku ini berisi cercahan pemikiran dan keseharian seorang perempuan muda perkotaan. Di akhir usia duapuluhan , ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri Si Parasit Lajang (istilah yang dilontarkan feminis Jepang). Walaupun dia sudah dewasa dan bekerja, dia tetap tinggal bersama orang tua dan masih merepotkan orangtua untuk mengurus keperluannya. Itu mengapa dia menyebut diri Si Parasit Lajang.

Ia terkesan cuek tapi di sisi lain is mengamati dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya.  Tulisannya menunjukkan bahwa dia bisa bersikap kritis sambil tetap berada di lingkungan kehidupan yang kapitalistis. Orang bisa menyukai Barbie, film porno, fashion, mall sambil tetap bisa bilang bahwa semua itu bisa menerkam manusia dan kita harus cerdik-cerdik bergumul dengannya , seperti seorang pawang bermain dengan harimau sirkus. Pesan  dalam buku ini, di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan.

Dua paragraf di atas merupakan kutipan dari epilog-halaman belakang dari buku Si Parasit Lajang. Dari lebih 40 tulisan dalam buku ini, kita memang akan dihadapkan pada sosok Ayu Utami yang kritis namun juga kocak. Sebagai feminis, beberapa tulisannya menggugat tentang dominasi pria seperti tentang alat kontrasepsi yang sebagian besar ditujukan untuk perempuan. Dia juga menggugat perempuan sebagai korban „kekerasan“ terkadang juga dituding menjadi penyebab kekerasan itu sendiri.

Ayu yang Katholik dengan logika kritisnya  juga menggugat nilai-nilai agama. Dia mempertanyakan tentang perlunya keberadaan lembaga perkawinan, perlunya menjaga keperawanan, laranngan nonton blue film, poligami  dan juga tentang perlunya anak keturunan. Saya merasa Ayu seperti agnostik, yang tidak ingin dikekang oleh berbagai aturan agama yang dianggap membelenggu.

Ayu yang mengalami jaman Orde Baru juga mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah saat itu. Kebijakan pemerintah yang militeristik, dan membungkam masyarakat sipil yang kritis, juga todak lepas dari kritik Ayu Utami. Dia juga mengkritisi dominasi kulit putih (negara maju) dengan adanya  stereotype bahwa cantik itu harus putih, body semampai dll. Dominasi kaum kulit putih tadi antara lain masuk melalui pasar yang kapitalistik yang secara cerdik mengeksploitasi nafsu manusia yang tidak pernah puas seperti boneka Barbie. Bahkan dominasi kulit putih ini juga muncul dalam berbagai bidang seni, yang menggambarkan orang kulit hitam dan kulit berwarna adalah primitif dan terbelakang.

Ayu juga kritis dengan lingkungannya. Dia melihat secara nyata bahwa lingkungan pedesaan sudah terpapar budaya kota. Mereka tidak mau kerja di sawah karena takut kulitnya hitam. Proses pendidikan dan serbuan media televisi membuat anak tercerabut dari akar budayanya.

Ayu memang kritis. Mungkin kita akan terkaget-kaget dengan gugatannya terhadap nilai-nilai agama, maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kita gak perlu emosi, cukup telusuri logika pikirnya saja. Saya sendiri tidak selalu menyetujui cara pikirnya, meski saya menghormati pendapatnya.

 

No comments: