Monday, October 27, 2025

ANAK PERDAMAIAN

 



ANAK PERDAMAIAN

Penulis: Don Richardson

Penerbit Kalam Hidup,

Bandung, 1974

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku Peace Child karya Don Richardson seorang Penginjil Kanada yang mulai tahun 1963 bertugas menyebarkan agama di daerah Papua sebelah selatan. Buku kisah nyata ini merupakan catatan Don ketika bertugas mendampingi masyarakat tradisional suku Sawi di daerah tersebut.

Suku Sawi merupakan salah satu suku tradisional yang tinggal di dekat Pirimapun, Papua sebelah agak Selatan dekat Laut Arafura. Sebelum tahun 1960-an, mereka hidup meramu dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia melimpah di sekitarnya (food gathering people). Sagu, buah-buahan, ikan, burung, babi hutan, ular dll merupakan sumber makanan mereka. Mereka  hidup dengan berpegang pada nilai-nilai kepercayaan dan budaya dari nenek moyangnya termasuk budaya yang peduli lingkungan. Saat itu tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah (diperkirakan usia harapan hidup rata-rata  hanya sekitar 25 tahun). Seluruh masyarakat buta huruf dan terisolir dari dunia luar. Mereka menetap di sebuah kampung dengan rumah panjang dan atau rumah tinggi sekitar 12 meter dari atas tanah untuk menghindarkan serangan musuh dan binatang buas. Biasanya mereka berpindah dengan mengikuti alur-alur sungai dan menggunakan perahu kano sebagai sarana transportasi mereka. Mereka pindah ke tempat lain bila sumberdaya makanan di daerah tersebut sudah menipis datau untuk menghindari sergapan musuh.

Sebagai suku kecil (satu kampung hanya sekitar 200 orang) yang harus mempertahankan keberlangsungannya, mereka  lekat dengan budaya kekerasan dan peperangan. Dalam urusan domestik rumah tangga, perempuan sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan seringkali dianggap sebagai budak. Budaya poligami juga banyak terjadi di suku ini. Orang-orang berpengaruh seperti ketua adat atau tokoh mereka yang kuat, rata-rata melakukan poligami. Uniknya para isteri tersebut bisa bekerja sama dan rukun.

Sebagaimana suku tradisional lainnya di Papua, suku Sawi mempunyai temperamen keras. Budaya kekerasan merupakan salah satu cara penyelesaian konflik. Perang antar suku maupun perang antar kampung (walau masih satu suku) sering terjadi untuk memperebutkan sumberdaya ataupun untuk membalas dendam. Mereka berperang menggunakan tombak dan panah tradicional.  Pada saat tersebut suku-suku tradicional masih melakukan kanibalisme dengan memenggal kepala dan memakan daging musuh yang dikalahkannya. Tengkorak kepala musuhnya dikeringkan dan disimpan sebagai bukti kekuatan día (bahkan seringkali dijadikan bantal tidur). Rahang bawah musuh yang dipenggal kepalanya seringkali dijadikan hiasan oleh kaum perempuan.

Salah satu keunikan Suku Sawi adalah mereka memuja pengkhianatan. Orang yang berhasil mengkhianati musuh dengan cara paling licik, akan dianggap paling hebat. Hal itu diceritakan turun temurun dalam pertemuan-pertemuan adat atau keluarga. Mereka seringkali berbuat baik kepada orang/kampung/suku lain misal mengundang mereka dalam pesta adat, memberi hadiah, menawarkan jodoh dll, tapi ujung-ujungnya orang tersebut dibantainya. Ibarat memelihara babi, mereka memberi makan agar babi itu gemuk, dan setelah tiba saatnya, mereka akan menyembelihnya. Hal ini yang seringkali mengakibatkan dendam turun temurun antar kampung/suku.

Upaya untuk membangun perdamaian antar kampung/suku seringkali sudah dilakukan karena sikap saling curiga dan tradisi pengkhianatan tersebut. Salah satu upaya perdamaian adalah saling bertukar anak. Misal kampung A bermusuhan dengan kampung B. Ketika mereka sepakat untuk berdamai, warga kampung A menyerahkan seorang bayi untuk diadopsi oleh warga kampung B. Demikian pula sebaliknya. Ikatan perdamaian tersebut terus berlangsung selama bayi tersebut masih hidup. Namun bila bayi tersebut meninggal, maka ikatan perdamaian tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Bayi yang dipertukarkan ini disebut sebagai „Anak Perdamaian“.

Suku Sawi melakukan kanibalisme terhadap musuh. Namun mereka melakukan pemakaman  bila ada keluarga yang meninggal. Mereka tidak menguburkan jenazah Keluarga yang meninggal dan meletakkan di sebuah panggung sampai jenazahnya hancur. Ada ritual khusus terhadap jenazah seperti mereka bisa memegang2 jenazah yang sedang mengalami proses pembusukan. Praktik yang kurang higienis seperti ini yang mungkin menyebabkan berbagai penyakit muncul selain faktor alam yang lembab yang menyebabkan banyak penyakir paru-paru dan infeksi lain. Tengkorak Keluarga yang meninggal seringkali disimpan sebagai cara mengenang untuk mereka yang sudah meninggal Dunia (jaman itu belum ada teknologi foto).

Saat Don mulai bertugas mendampingi masyarakat Sawi di tahun 1962, masyarakat masih menggunakan peralatan jaman batu seperti kapak batu, tombak dengan cakar burung kasuari, pisau dari tulang kaki burung dan lain-lain. Ketika  Don datang dengan berbagai peralatan besi seperti kapak, pisau, alat cukur, dll, masyarakat takjub. Don menjadikan barang-barang tersebut sebagai alat barter dan menarik perhatian masyarakat. Masyarakat Sawi yang baru melihat orang kulit putih, terheran-heran melihatnya dan teknologi yang dibawanya.

Don memilih tinggal di kampung bersama masyarakat Sawi. Dia belajar bahasa lokal, budaya local, kepercayaan local. Dia bersama istrinya juga melakukan pelayanan kesehatan untuk mengobati orang yang sakit atau terluka. Kemahirannya melakukan pengobatan, juga menjadi kunci sukses mereka dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat. Secara perlahan, Don berhasil menanamkan nilai-nilai keagamaan yang penuh cinta kasih dan menjauhkan budaya kekerasan, dengan tetap menghargai nilai-nilai local yang dirasa masih sesuai.  Dia juga berhasil mendamaikan beberapa kampung disekitarnya yang biasa bertikai. Puncaknya día berhasil membangun balai pertemuan bersama yang dijadikan tempat beribadah sekaligus berkhotbah bagi pastor local yang dididik oleh Don. Don dan istrinya bertindak lebih jauh dengan mengajarkan baca tulis untuk masyarakat Sawi. Kegiatan ini makin berkembang setelah Irian Jaya diserahkan oleh Belanda ke Pemerintah Indonesia di tahun 1963 dengan adanya guru local.

 

Komentar:

Seperti ketika membaca buku Jungle Child karya Sabine Kuegler, ketika membaca buku Anak Perdamaian,  saya terpesona dengan para Penginjil (pendakwah) yang penuh dengan semangat altruisme menyebar ke berbagai suku dan pelosok daerah yang terisolir. Spirit moral pantang menyerah, sabar dan kerja keras untuk menyebarluaskan ajaran Tuhan dan menanamkan nilai kebaikan menjadi kunci sukses pertama mereka. Kunci sukses kedua adalah dukungan orang terdekat seperti istri dan anak. Tidak jarang sebagai suami istri, mereka  saling melengkapi dengan ketrampilan praktis bidang kesehatan dan pendidikan.  Selain itu mereka mempunyai kompetensi kunci lain seperti:

  • Ketrampilan untuk mempelajari dan berkomunikasi dengan bahasa local, karena bahasa menjadi kunci untuk menyebarkan ajaran, nilai-nilai, edukasi dan hubungan social.
  • Kompetensi untuk mempelajari budaya, kepercayaan dan nilai-nilai local.
  • Kompetensi untuk beradaptasi dan membangun kepercayaan dengan masyarakat local.
  • Kompetensi melakukan pengobatan di bidang kesehatan karena tingkat kesehatan masyarakat yang rendah.
  • Kompetensi untuk mengajar pendidikan dasar.
  • Kompetensi untuk melakukan mediasi konflik secara transparan dan adil.

Secara umum buku ini relatif mudah dipahami, dengan bumbu cerita kisah local yang menarik. Perjuangan Don, bisa menjadi bahan perenungan kita bahwa masih banyak saudara-saudara kita di daerah terpencil yang belum sepenuhnya bisa menikmati kue pembangunan sampai saat ini. Perjuangan dan kompetensi yang dimiliki Don bisa menjadi perenungan khususnya bagi kawan-kawan pendamping masyarakat, agar bisa menjadi pendamping masyarakat yang profesional dan bersemangat juang tinggi.

 

 

Thursday, October 16, 2025

SOCIOPRENEURSHIP

 

 

SOCIOPRENEURSHIP

         Penulis: Hempri Suyatna dkk

Penerbit Erlangga, Jakarta 2024

86 halaman

Social Entrepreneurship atau biasa diterjemahkan Kewirausahaan Sosial merupakan orang-orang  yang melakukan terobosan serta melakukan hal baru yang ditujukan untuk kesejahteraan publik (inovator sosial). Dua kunci sociopreneurship ini adalah: (1) adanya inovasi sosial yang merubah sistem dalam masyarakat dan (2) hadirnya individu yang memiliki visi, kreatif, berjiwa wirausaha dan beretika.

Ruang lingkup pengembangan Kewirausahaan Sosial ini mencakup banyak dimensi seperti upaya pengentasan kemiskinan, upaya mengatasi degradasi lingkungan, upaya mengatasi pengangguran dan berbagai masalah sosial lainnya. Bentuk kelembagaan Kewirausahaan Sosial sendiri dibedakan menjadi 3 yakni (1) not for profit social enterprise yang berbasis kesularelawanan dan donasi, (2) Community based social entreprise seperti koperasi, (3) profit for benefit enterprise yang mengembangkan bisnis secara profesional guna mendukung tujuan sosial seperti Dompet Dhuafa.

Ada beberapa langkah penting dalam pengembangan Kewirausahaan Sosial yakni: (1) Perlu adanya Visi dan Tujuan yang jelas, (2) Perlu ditumbuhkembangkan sikap mental wirausaha yang pantang menyerah, (3) Mengorganisir dan memobilisasi modal ekonomi, sosial, kultural dan  SDM, (4) Pengembangan kolaborasi atau kerjasama dengan pihak lain yang relevan. Dalam pengembangan Kewirausahaan Sosial ini kemampuan dalam diagnosis masalah dan identifikasi solusi untuk memecahkan masalah menjadi salah satu kunci penting.

Di lihat dari sisi ekonomi, untuk bisa mengembangkan Kewirausahaan Sosial yang menguntungkan, inisiasi sebuah bisnis sosial juga memerlukan studi kelayakan usaha baik dari sisi organisasi/struktur, produk, pemasaran maupun dari kalkulasi finansial. Dalam perancangan bisnis sosial ini, tidak menutup kemungkinan penggunaan tools seperti Business Canvas Model didalamnya (preposisi nilai, segmen pasar, saluran distribusi, hubungan pelanggan, struktur pendapatan, sumberdaya utama, aktivitas utama, mitra kunci, struktur biaya).

Pengalaman dari berbagai pihak menyebutkan implementasi bisnis sosial ini  sering menghadapi tantangan berupa lunturnya nilai-nilai sosial dan pergeseran untuk mencari profit semata. Oleh karenanya upaya monitoring evaluasi untuk mengukur manfaat sosial dari bisnis sosial ini perlu dikembangkan seperti dengan menggunakan instrumen Social Return on Investment (SROI). Untuk menjamin keberlanjutan program Kewirausahaan Sosial, pengembangan inovasi, pengembangan jejaring, pengembangan kelembagaan maupun mentalitas wirausaha perlu terus dipupuk.

Dalam buku ini juga ditampilkan contoh kegiatan Kewirausahaan Sosial seperti Clever Tykes yang menerbitkan buku cerita anak di Inggris, Produk denim Mud Jeans yang ramah lingkungan dari Belanda,  Upaya melawan perdagangan satwa liar di Vietnam, Proyek Dignity bisnis kuliner yang dikelola penyandang difabel di Singapura, Pengembangan kemitraan UMKM di China, Water.org yang menyalurkan Kredit untuk instalasi air bersih di Peru, Helpsy yang bergerak dalam pengelolaan limbah tekstil  di USA, Green Collect yang bergerak dalam daur ulang peralatan kantor dan rumah tangga di Australia, Good Cycles yang bergerak dibidang bisnis sepeda dan pelatihan bengkel sepeda bagi penganggur di Australia. Di Afrika ada contoh Kewirausahaan Sosial berupa pengembangan teknologi digital dalam pembelajaran di sekolah  di Afrika Selatan dan My agro yang menyalurkan kredit murah untuk petani guna mendukung ketahanan pangan di Mali, Tanzania dan Senegal. Dari dalam negeri juga ditampilkan kisah pengembangan ekowisata di Pujon Malang, Kelompok Usaha Bersama di Sleman dan Starla Education yang bergerak di bidang pendidikan.

Buku ini merupakan Seri Kuliah Ringkas (SKR) sehingga gaya bahasa di buku ini relatif mudah dicerna. Dari sisi konten, secara umum buku ini bertujuan untuk mengenalkan konsep Kewirausahaan Sosial sehingga analisisnya tidak terlalu dalam. Meski demikian, menurut saya buku ini sudah  bisa menghantar pembaca untuk memahami konsep Kewirausahaan Sosial. Contoh-contoh Kewirausahaan Sosial yang ditampilkan di buku ini cukup menarik serta mampu memberikan gambaran yang lebih kongkrit tentang  penerapan Kewirausahaan Sosial.

Sunday, October 05, 2025

Si Parasit Lajang

 




Si Parasit Lajang
Penulis Ayu Utami
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia 
Jakarta , 2013
ISBN 978-602-424-124-7
201 halaman

 

Buku ini berisi cercahan pemikiran dan keseharian seorang perempuan muda perkotaan. Di akhir usia duapuluhan , ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri Si Parasit Lajang (istilah yang dilontarkan feminis Jepang). Walaupun dia sudah dewasa dan bekerja, dia tetap tinggal bersama orang tua dan masih merepotkan orangtua untuk mengurus keperluannya. Itu mengapa dia menyebut diri Si Parasit Lajang.

Ia terkesan cuek tapi di sisi lain is mengamati dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya.  Tulisannya menunjukkan bahwa dia bisa bersikap kritis sambil tetap berada di lingkungan kehidupan yang kapitalistis. Orang bisa menyukai Barbie, film porno, fashion, mall sambil tetap bisa bilang bahwa semua itu bisa menerkam manusia dan kita harus cerdik-cerdik bergumul dengannya , seperti seorang pawang bermain dengan harimau sirkus. Pesan  dalam buku ini, di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan.

Dua paragraf di atas merupakan kutipan dari epilog-halaman belakang dari buku Si Parasit Lajang. Dari lebih 40 tulisan dalam buku ini, kita memang akan dihadapkan pada sosok Ayu Utami yang kritis namun juga kocak. Sebagai feminis, beberapa tulisannya menggugat tentang dominasi pria seperti tentang alat kontrasepsi yang sebagian besar ditujukan untuk perempuan. Dia juga menggugat perempuan sebagai korban „kekerasan“ terkadang juga dituding menjadi penyebab kekerasan itu sendiri.

Ayu yang Katholik dengan logika kritisnya  juga menggugat nilai-nilai agama. Dia mempertanyakan tentang perlunya keberadaan lembaga perkawinan, perlunya menjaga keperawanan, laranngan nonton blue film, poligami  dan juga tentang perlunya anak keturunan. Saya merasa Ayu seperti agnostik, yang tidak ingin dikekang oleh berbagai aturan agama yang dianggap membelenggu.

Ayu yang mengalami jaman Orde Baru juga mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah saat itu. Kebijakan pemerintah yang militeristik, dan membungkam masyarakat sipil yang kritis, juga todak lepas dari kritik Ayu Utami. Dia juga mengkritisi dominasi kulit putih (negara maju) dengan adanya  stereotype bahwa cantik itu harus putih, body semampai dll. Dominasi kaum kulit putih tadi antara lain masuk melalui pasar yang kapitalistik yang secara cerdik mengeksploitasi nafsu manusia yang tidak pernah puas seperti boneka Barbie. Bahkan dominasi kulit putih ini juga muncul dalam berbagai bidang seni, yang menggambarkan orang kulit hitam dan kulit berwarna adalah primitif dan terbelakang.

Ayu juga kritis dengan lingkungannya. Dia melihat secara nyata bahwa lingkungan pedesaan sudah terpapar budaya kota. Mereka tidak mau kerja di sawah karena takut kulitnya hitam. Proses pendidikan dan serbuan media televisi membuat anak tercerabut dari akar budayanya.

Ayu memang kritis. Mungkin kita akan terkaget-kaget dengan gugatannya terhadap nilai-nilai agama, maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kita gak perlu emosi, cukup telusuri logika pikirnya saja. Saya sendiri tidak selalu menyetujui cara pikirnya, meski saya menghormati pendapatnya.