ANAK PERDAMAIAN
Penulis: Don
Richardson
Penerbit Kalam
Hidup,
Bandung, 1974
Buku ini merupakan
terjemahan dari buku Peace Child karya Don Richardson seorang Penginjil Kanada
yang mulai tahun 1963 bertugas menyebarkan agama di daerah Papua sebelah
selatan. Buku kisah nyata ini merupakan catatan Don ketika bertugas mendampingi
masyarakat tradisional suku Sawi di daerah tersebut.
Suku Sawi merupakan salah satu suku tradisional yang tinggal di dekat Pirimapun, Papua sebelah agak Selatan dekat Laut Arafura. Sebelum tahun 1960-an, mereka hidup meramu dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia melimpah di sekitarnya (food gathering people). Sagu, buah-buahan, ikan, burung, babi hutan, ular dll merupakan sumber makanan mereka. Mereka hidup dengan berpegang pada nilai-nilai kepercayaan dan budaya dari nenek moyangnya termasuk budaya yang peduli lingkungan. Saat itu tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah (diperkirakan usia harapan hidup rata-rata hanya sekitar 25 tahun). Seluruh masyarakat buta huruf dan terisolir dari dunia luar. Mereka menetap di sebuah kampung dengan rumah panjang dan atau rumah tinggi sekitar 12 meter dari atas tanah untuk menghindarkan serangan musuh dan binatang buas. Biasanya mereka berpindah dengan mengikuti alur-alur sungai dan menggunakan perahu kano sebagai sarana transportasi mereka. Mereka pindah ke tempat lain bila sumberdaya makanan di daerah tersebut sudah menipis datau untuk menghindari sergapan musuh.
Sebagai suku kecil (satu kampung hanya sekitar 200 orang) yang harus mempertahankan keberlangsungannya, mereka lekat dengan budaya kekerasan dan peperangan. Dalam urusan domestik rumah tangga, perempuan sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan seringkali dianggap sebagai budak. Budaya poligami juga banyak terjadi di suku ini. Orang-orang berpengaruh seperti ketua adat atau tokoh mereka yang kuat, rata-rata melakukan poligami. Uniknya para isteri tersebut bisa bekerja sama dan rukun.
Sebagaimana suku tradisional lainnya di Papua, suku Sawi mempunyai temperamen keras. Budaya kekerasan merupakan salah satu cara penyelesaian konflik. Perang antar suku maupun perang antar kampung (walau masih satu suku) sering terjadi untuk memperebutkan sumberdaya ataupun untuk membalas dendam. Mereka berperang menggunakan tombak dan panah tradicional. Pada saat tersebut suku-suku tradicional masih melakukan kanibalisme dengan memenggal kepala dan memakan daging musuh yang dikalahkannya. Tengkorak kepala musuhnya dikeringkan dan disimpan sebagai bukti kekuatan día (bahkan seringkali dijadikan bantal tidur). Rahang bawah musuh yang dipenggal kepalanya seringkali dijadikan hiasan oleh kaum perempuan.
Salah satu keunikan Suku Sawi adalah mereka memuja pengkhianatan. Orang yang berhasil mengkhianati musuh dengan cara paling licik, akan dianggap paling hebat. Hal itu diceritakan turun temurun dalam pertemuan-pertemuan adat atau keluarga. Mereka seringkali berbuat baik kepada orang/kampung/suku lain misal mengundang mereka dalam pesta adat, memberi hadiah, menawarkan jodoh dll, tapi ujung-ujungnya orang tersebut dibantainya. Ibarat memelihara babi, mereka memberi makan agar babi itu gemuk, dan setelah tiba saatnya, mereka akan menyembelihnya. Hal ini yang seringkali mengakibatkan dendam turun temurun antar kampung/suku.
Upaya untuk membangun perdamaian antar kampung/suku seringkali sudah dilakukan karena sikap saling curiga dan tradisi pengkhianatan tersebut. Salah satu upaya perdamaian adalah saling bertukar anak. Misal kampung A bermusuhan dengan kampung B. Ketika mereka sepakat untuk berdamai, warga kampung A menyerahkan seorang bayi untuk diadopsi oleh warga kampung B. Demikian pula sebaliknya. Ikatan perdamaian tersebut terus berlangsung selama bayi tersebut masih hidup. Namun bila bayi tersebut meninggal, maka ikatan perdamaian tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Bayi yang dipertukarkan ini disebut sebagai „Anak Perdamaian“.
Suku Sawi melakukan kanibalisme terhadap musuh. Namun mereka melakukan pemakaman bila ada keluarga yang meninggal. Mereka tidak menguburkan jenazah Keluarga yang meninggal dan meletakkan di sebuah panggung sampai jenazahnya hancur. Ada ritual khusus terhadap jenazah seperti mereka bisa memegang2 jenazah yang sedang mengalami proses pembusukan. Praktik yang kurang higienis seperti ini yang mungkin menyebabkan berbagai penyakit muncul selain faktor alam yang lembab yang menyebabkan banyak penyakir paru-paru dan infeksi lain. Tengkorak Keluarga yang meninggal seringkali disimpan sebagai cara mengenang untuk mereka yang sudah meninggal Dunia (jaman itu belum ada teknologi foto).
Saat Don mulai bertugas mendampingi masyarakat Sawi di tahun 1962, masyarakat masih menggunakan peralatan jaman batu seperti kapak batu, tombak dengan cakar burung kasuari, pisau dari tulang kaki burung dan lain-lain. Ketika Don datang dengan berbagai peralatan besi seperti kapak, pisau, alat cukur, dll, masyarakat takjub. Don menjadikan barang-barang tersebut sebagai alat barter dan menarik perhatian masyarakat. Masyarakat Sawi yang baru melihat orang kulit putih, terheran-heran melihatnya dan teknologi yang dibawanya.
Don memilih tinggal di kampung bersama masyarakat Sawi. Dia belajar bahasa lokal, budaya local, kepercayaan local. Dia bersama istrinya juga melakukan pelayanan kesehatan untuk mengobati orang yang sakit atau terluka. Kemahirannya melakukan pengobatan, juga menjadi kunci sukses mereka dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat. Secara perlahan, Don berhasil menanamkan nilai-nilai keagamaan yang penuh cinta kasih dan menjauhkan budaya kekerasan, dengan tetap menghargai nilai-nilai local yang dirasa masih sesuai. Dia juga berhasil mendamaikan beberapa kampung disekitarnya yang biasa bertikai. Puncaknya día berhasil membangun balai pertemuan bersama yang dijadikan tempat beribadah sekaligus berkhotbah bagi pastor local yang dididik oleh Don. Don dan istrinya bertindak lebih jauh dengan mengajarkan baca tulis untuk masyarakat Sawi. Kegiatan ini makin berkembang setelah Irian Jaya diserahkan oleh Belanda ke Pemerintah Indonesia di tahun 1963 dengan adanya guru local.
Komentar:
Seperti ketika membaca buku Jungle Child karya Sabine Kuegler, ketika
membaca buku Anak Perdamaian, saya terpesona
dengan para Penginjil (pendakwah) yang penuh dengan semangat altruisme menyebar
ke berbagai suku dan pelosok daerah yang terisolir. Spirit moral pantang
menyerah, sabar dan kerja keras untuk menyebarluaskan ajaran Tuhan dan menanamkan
nilai kebaikan menjadi kunci sukses pertama mereka. Kunci sukses kedua adalah dukungan
orang terdekat seperti istri dan anak. Tidak jarang sebagai suami istri, mereka
saling melengkapi dengan ketrampilan
praktis bidang kesehatan dan pendidikan. Selain itu mereka mempunyai kompetensi kunci
lain seperti:
- Ketrampilan untuk mempelajari dan berkomunikasi dengan bahasa local, karena bahasa menjadi kunci untuk menyebarkan ajaran, nilai-nilai, edukasi dan hubungan social.
- Kompetensi untuk mempelajari budaya, kepercayaan dan nilai-nilai local.
- Kompetensi untuk beradaptasi dan membangun kepercayaan dengan masyarakat local.
- Kompetensi melakukan pengobatan di bidang kesehatan karena tingkat kesehatan masyarakat yang rendah.
- Kompetensi untuk mengajar pendidikan dasar.
- Kompetensi untuk melakukan mediasi konflik secara transparan dan adil.
Secara umum buku ini relatif mudah dipahami, dengan bumbu cerita kisah local yang menarik. Perjuangan Don, bisa menjadi bahan perenungan kita bahwa masih banyak saudara-saudara kita di daerah terpencil yang belum sepenuhnya bisa menikmati kue pembangunan sampai saat ini. Perjuangan dan kompetensi yang dimiliki Don bisa menjadi perenungan khususnya bagi kawan-kawan pendamping masyarakat, agar bisa menjadi pendamping masyarakat yang profesional dan bersemangat juang tinggi.


