Monday, December 15, 2025

SENI BERTAHAN DI RIMBA BIROKRASI

 


SENI BERTAHAN DI RIMBA BIROKRASI

Penulis: Kurniawan

Penerbit Mata Kata Inspirasi

Yogyakarta 2025

ISBN 978-634-7382-20-7

106 halaman

 

Buku ini ditulis oleh rekan saya yang biasa saya panggil dik Awang. Beliau dulunya merupakan seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang lingkungan hidup di Kalimantan Timur. Beliau kemudian melanjutkan karirnya di dunia birokrasi di sebuah pemerintah daerah di Kaltim dengan menjadi pegawai negeri sipil.

Dalam buku ini dik Awang dengan gaya bahasa yang santai, guyon, dan satire menuliskan beberapa pengalamannya dalam berkarya di dunia birokrasi. Dari 22 tulisan, sebagian besar berkaitan dengan budaya kerja di birokrasi (15 tulisan), sistem insentif di dunia birokrasi (6 tulisan) dan sistem seleksi karyawan (1 tulisan).

Terkait dengan budaya kerja, dik Awang dengan jujur berusaha mengangkat isu yang sering disoroti orang luar seperti kinerja birokrasi yang lamban, sistem yang Asal Bapak Senang (ABS), atasan yang „selalu“ benar dan lain-lain. Dik Awang menyoroti, mesin birokrasi yang disetir oleh regulasi-lah yang membuat birokrasi jadi lamban. Ketakutan terhadap penyimpangan prosedur yang berakibat sanksi administratif dan atau pidana membuat para pejabat cenderung „bermain aman“ dan tidak berani ambil resiko. Dalam hal budaya kerja ini, juga dikupas adanya kaum oportunis yang suka meng-klaim kerja orang lain. Meski demikian terdapat pula PNS maupun tenaga honorer yang berjuang dengan penuh dedikasi.Kasus lain yang dikupas antara lain jiwa korsa PNS yang cukup tinggi,  tips-tips menghadapi atasan dan lingkungan kerja agar karir berkembang, serta „kenakalan“ PNS dalam mensiasati sistem absensi…hehehe..

Terkait dengan sistem insentif di dunia birokrasi, secara garis besar díkupas tentang sistem penggajian bagi PNS yang terdiri gaji pokok dan berbagai tunjangan termasuk tunjangan kinerja. Tunjangan ini sering berbeda antar daerah tergantung pada kemampuan daerah tersebut. Bagi daerah yang kemampuan anggarannnya terbatas, gaji dan tunjangan seorang PNS seringkali pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Tidak jarang seorang PNS menggadaikan SK PNS nya untuk mendapatkan pinjaman/kredit dari Bank. Lembaga keuangan seperti Bank atau Koperasi sering menjadi jaring penyelamat bagi seorang PNS ketika terdesak kebutuhan keuangan. Kondisi PNS yang serba pas-pasan ini berbeda jauh dengan pandangan umum bahwa PNS adalah golongan yang makmur dan berkecukupan. Masyarakat sering menganggap PNS punya status sosial dan ekonomi yang mapan, padahal realitasnya sering berbeda jauh.

Dunia birokrasi dulu dikenal sebagai dunia yang penuh nepotisme. Orang masuk menjadi PNS tidak harus punya kompetensi tinggi. Asalkan punya kedekatan dengan „orang dalam“ maka jalan akan terbuka. Untunglah kondisi tersebut semakin membaik dengan adanya Computer Asssisted Test (CAT) atau test berbasis komputer. Sistem rekrutmen ini telah berhasil mengurangi praktik titip-menitip dalam rekrutmen PNS.

 

Komentar:

Dari sisi bahasa, tulisan dik Awang mudah dicerna dan banyak terminologi generasi milenial digunakannya dengan sangat pas. Saya membayangkan dik Awang menulis artikel ini dengan tekun dan kemudian dirangkai jadi satu. Selamat atas terbitan buku perdananya ya…

Kalau ke depannya buku dik Awang dimaksudkan untuk “sharing” dan “membekali” generasi milenial atau GenZ yang sudah dan akan masuk rimba birokrasi, saya menyarankan untuk dilakukan penelaahan lebih lanjut untuk isu tertentu misal strategi menghadapi seleksi Calon ASN/PNS dan P3K, Apa beda ASN dan P3K?, apa beda jalur struktural dan fungsional? bagaimana strategi untuk mengembangkan diri di dunia birokrasi? Bagaimana menjaga integritas dan idealisme? Bagaimana mengelola keuangan rumah tangga? Bagaimana upaya mengembangkan pendapatan rumah tangga dll….


Monday, December 08, 2025

Mengelola Perubahan melalui Pelatihan dan Pengembangan

 


Mengelola Perubahan melalui Pelatihan dan Pengembangan

Penulis Jim Stewart

PT Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta 1997

279 halaman

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku Managing Change through Training and Development karya Jim Steward yang dipublikasikan tahun 1991. Buku ini memadukan perspektif perubahan pada tiga level:

  • Organisasi – struktur, strategi, budaya
  •  Kelompok/Tim – dinamika, kolaborasi, proses kerja
  • Individu – keterampilan, sikap, perilaku, motivasi

Training and development (T&D) diposisikan sebagai intervensi kunci untuk memfasilitasi perubahan di ketiga level tersebut.

 

Bab 1 — Seputar Buku Ini, mengupas tentang Tujuan penerbitan, struktur dan isi buku dan beberapa pengertian istilah yang digunakan dalam buku ini seperti manajemen, organisasi kerja, pelatihan & pengembangan .

Bab 2 – Sifat Dasar Perubahan, buku Understanding Change,  mengupas tentang perubahan yang dialami spesies, individu dan organisasi. Spesies perlu beradaptasi dan berubah terhadap perubahan di sekitarnya bila mereka ingin bertahan hidup. Manusia sebagai individu juga harus berubah dan beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya. Proses adaptasi pada diri manusia menjadi  efektif karena didukung kemampuan intelektualnya untuk belajar. Seperti manusia, organisasi juga perlu berubah dan beradaptasi agar tetap eksis. Perubahan dalam organisasi bisa dipicu faktor internal (strategi, struktur, SDM) dan eksternal (teknologi, pasar, regulasi) atau biasa disebut dengan STEP (Struktur, Teknologi, Ekonomi dan Politik).

Bab 3 – Perubahan Organisasi (Organizational Development/OD) yang Terencana, Perubahan adalah proses, bukan peristiwa. Perubahan juga bisa berupa perubahan terencana (planned) maupun perubahan reaktif (unplanned). Salah satu model perubahan organisasi dirumuskan oleh Hinings yang menyebutkan 5 tahapan perubahan organisasi: Diagnosis terkait problema dan kebutuhan perubahan organisasi, Identifikasi Hambatan terhadap perubahan yang direncanakan, Alokasi Tanggungjawab, Pengembangan & Pelaksanaan Strategi dan Monitoring.

Dalam menyikapi perubahan ini, seorang pemimpin dituntut untuk mampu menciptakan kondisi belajar, tidak hanya memerintah. Semakin tinggi partisipasi anggota organisasi dalam mendesain dan implementasi perubahan, ada kecenderungan tingkat keberhasilannya semakin tinggi.

Bab 4 – Pengembangan Organisasi, dalam bab ini penulis memperkenalkan pendekatan OD sebagai strategi sistematis, proses jangka panjang untuk mendukung perubahan yang efektif dengan menggunakan ilmu perilaku/ilmu sosial. Beberapa contoh penerapan OD yang banyak dikembangkan selama ini antara lain berupa Pengembangan Tim, Desain Tugas Pekerjaan, Desain Organisasi, Pengembangan Gaya Manajemen & Kepemimpinan, Demokrasi Industri.

Beberapa Model OD antara lain Model “Kesempurnaan” (ideal) yang menggunakan análisis 7S dari Peter & Waterman (Structure,Strategy, Skills, System, Staff, Style and Share Values). Model kedua Adalah Model “Gunung Es” dari Herman yang mengungkapkan bahwa fenomena yang terlihat dalam sebuah organisasi biasanya berupa hubungan-hubungan formal. Namun sejatinya semuanya dipengaruhi oleh hubungan  informal dalam organisasi yang pengaruhnya sangat besar bagi kelangsungan hidup organisasi. Model ketiga adalah “Organisasi yang belajar” yang berusaha menghubungkan proses belajar individul dengan proses belajar organisasi termasuk menyatukan área formal dan informal. Model Gap Analisis, yang menganalisis strategi perubahan yang diperlukan untuk merubah kondisi saat ini ke situasi ideal yang diharapkan.

Bab 5 – Tiga Metodologi OD yang Utama, antara lain Jaringan Manajerial yang lebih mendorong perubahan organisasi melalui penguatan level managerial. Proses perubahan disesuaikan dengan gaya manajerial di kelompoknya. Metode lain adalah Metode Tanggapan Survai untuk menggali kelemahan kelompok/organisasi dan mengidentifikasi solusi secara bersama. Metode Ketiga adalah Konsultasi Proses yakni satu set aktivitas oleh konsultan yang membantu klien untuk menerima, mengerti dan bertindak  atas dasar kejadian-kejadian proses yang terjadi di lingkungan klien.

Bab 6 – Teori Kelompok dan Tim, sebuah kelompok efektif untuk OD mempunyai ciri: kejelasan tujuan bagi anggota kelompok, komunikasi efektif, kepemimpinan, penggunaan pengaruh dalam kelompok disesuaikan basis rasional, konflik yang produktif, pengambilan keputusan bersama, hubungan antar individu dan monitoing & evaluasi bersama. Bab ini mengulas teori pengembangan kelompok (Tuckman: Forming–Storming–Norming–Performing). Perubahan pada organisasi selalu berdampak pada dinamika kelompok. Berkaitan dengan hal tersebut pelatihan dapat membantu kelompok beradaptasi terhadap peran baru, struktur baru, atau sasaran baru. Teori lain yang dibahas adalah Teori Kelompok Alternatif yang menekankan bahwa kelompok akan menjadi efektif bila dapat memuaskan kebutuhan anggotanya. Sedangkan Teori Tim yang Efektif  menekankan bahwa kelompok yang efektif perlu memiliki fungsi tertentu, yang dibagi namun saling mengisi dan pembagian fungsi disesuakan dengan kemampuan serta kepribadiannya.

Bab 7 – Memfasilitasi Kelompok-kelompok Belajar, Bab ini fokus pada peran fasilitator dalam proses perubahan.  Fasilitator membantu tim: menciptakan dan mempertahankan iklim yang tepat untuk proses belajar, memberikan dan menerima tanggapan, memfasilitasi pemecahan konflik, menyelaraskan persepsi, dan memfasilitasi pengambilan keputusan secara kolektif. Dalam fasilitasi proses, seorang fasilitator dituntut untuk memilih momentum yang tepat saat akan melakukan intervensi kepada kelompok.

Bab 8 – Pengembangan Tim, merupakan istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah cara pendekatan untuk meningkatkan fungsi kelompok kerja utuh. Peran tim kerja dalam suatu organisasi  ada kecenderungan semakin meningkat di masa depan. Untuk memulainya, model diagnostic bisa digunakan. Model diagnostic ini akan mengidentifikasi “kondisi” (siapa yang sedang dikembangkan) dan “tujuan” (mengapa kelompok ini ada). Model lain yang bisa digunakan Adalah model “Klasifikasi” yang focus pada variable isu yang perlu dibahas dalam pengembangan tim dan variable dari focus data (eksternal dan internal). Prinsip umum dari kedua model tersebut adalah: perlu pemilahan kebutuhan pengembangan individu versus tim, perlu ada kejelasan tujuan tim dan jalur pengembangan alami. Dalam pengembangan tim ini beberapa tahapan yang diperlukan antara lain: eksplorasi kebutuhan individu, eksplorasi fungsi kelompok, dan eksplorasi disfungsi tim.

Bab 9 – Teori Belajar dan Perubahan Sikap. Bab ini menguraikan hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku. Perubahan organisasi sering gagal karena faktor sikap, bukan skill sehingga perubahan sikap/mindset memegang peranan yang penting. Diperlukan strategi agar pelatihan dapat: Mengubah mindsets, Meningkatkan kepercayaan diri dan Menanamkan nilai dan perilaku baru. Dalam bab ini dikupas Teori Sistem Beta atau Action Learning dari Reg Revans yang mencakup tahapan proses belajar mulai dari formulasi hipotesa, desain eksperimen, eksperimentasi & mengamati & análisis hasil, menerima/menolak dan menyusun kembali hipotesa.  Teori lain yang dikupas adalah proses belajar eksperensial atau proses pemecahan masalah dari David Kolb. Konsep yang dikembangkan oleh Kolb ini mencakup Siklus Pendidikan Orang Dewasa (pengalaman-refleksi-perumusan konsep-eksperimen). Terdapat beberapa poin penting untuk aplikasi teori dalam praktek pembelajaran: (1) belajar merupakan proses yang berkesinambungan, (2) proses belajar diarahkan oleh kebutuhan atau tujuan, (3) proses belajar membutuhkan keterlibatan dalam aktivitas berbeda tapi saling berhubungan, (4) individu mempunyai gaya belajar yang berbeda-beda, (5) belajar adalah kemampuan yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan. Prinsip inti andragogy adalah: Orang dewasa belajar bila relevan, Belajar berbasis pengalaman, dan Self-directed learning. Perubahan organisasi memerlukan perubahan perilaku individu sehingga  training adalah mekanisme utamanya

Berkaitan dengan sikap, terdapat beberapa cara untuk merubah sikap yakni: (1) paksaan/coercive atau reward and punishment, (2) empiris, membujuk melalui logika dan mengundang minat sendiri secara rasional, (3) normatif/re-edukasi, yang merupakan kombinasi reward – punishment, bujukan yang logis dan penerapan psikologi social seperti tekanan dari teman sebaya/kebiasaan masyarakat. Pendekatan perubahan sikap ini juga bisa dilakukan dengan menggunakan teori dari Kurt Lewin (Unfreeze – Change – Refreeze).

Bab 10 – Pendekatan untuk Perubahan dan Pengembangan Individu. Pengelolaan perubahan yang efektif memerlukan partisipasi dari mereka yang terpengaruh. Oleh karenanya pengembangan diri anggota organisasi agar siap menerima perubahan menjadi kebutuhan penting. Pengembangan diri merupakan sebuah upaya peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan kemampuan seseorang melalui usaha yang diarahkan oleh dirinya sendiri (self learning). Beberapa metode pengembangan diri antara lain: observasi dengan mengamati perilaku orang lain/ahli, refleksi, bacaan penuntun, kunjungan, magang, mencari umpan balik, mencari tantangan, paket belajar autodidak.

Untuk mengembangkan budaya pengembangan diri, sebuah organisasi perlu memiliki: (1) komitmen pimpinan manajemen yang ditunjukkan secara nyata, (2) adanya sumber nyata yang dialokasikan untuk pengembangan diri, (3) menyediakan training  untuk mendukung pengembangan diri seperti pelatihan pengembangan diri, pelatihan cara belajar dll, (4) pengembangan sistem manajemen yang holistik dll. Beberapa métode yang bisa digunakan dalam pengembangan diri antara lain: (1) proses belajar menggunakan kasus nyata-action learning, (2) self and peer assessment/SAPA untuk menilai kemampuan diri, (3) Structured Group learning/SGL sebagai métode belajar secara berkelompok.

Bab 11—Peran dan Kontribusi Pelatihan dan Pengembangan. Bab ini menjelaskan bagaimana Training & Development (T&D) mendukung perubahan. Fungsi utama T&D: Meningkatkan kompetensi, Menangani resistensi, Membentuk perilaku baru dan Menyelaraskan nilai & budaya. Stewart menekankan pendekatan terpadu perubahan hanya berhasil jika organisasi, tim, dan individu berubah secara selaras. Training & Development bukan aktivitas pendukung, tetapi strategic driver of change. Pelatihan yang efektif mempercepat proses adaptasi, menurunkan resistensi, dan membangun budaya belajar.

 

Komentar:

Secara umum buku ini akan memandu kita untuk mengenal Organizational Development. Menurut saya, buku ini agak teoritis sehingga pembaca yang ingin dapat panduan praktis melakukan OD dijamin akan kecewa. Gaya bahasanya juga agak sulit saya cerna, saya tidak tahu persis apakah kesulitan ini terkait dengan kualitas penerjemahan-nya ataukah memang asli dari “sono-nya”.

Monday, October 27, 2025

ANAK PERDAMAIAN

 



ANAK PERDAMAIAN

Penulis: Don Richardson

Penerbit Kalam Hidup,

Bandung, 1974

 

Buku ini merupakan terjemahan dari buku Peace Child karya Don Richardson seorang Penginjil Kanada yang mulai tahun 1963 bertugas menyebarkan agama di daerah Papua sebelah selatan. Buku kisah nyata ini merupakan catatan Don ketika bertugas mendampingi masyarakat tradisional suku Sawi di daerah tersebut.

Suku Sawi merupakan salah satu suku tradisional yang tinggal di dekat Pirimapun, Papua sebelah agak Selatan dekat Laut Arafura. Sebelum tahun 1960-an, mereka hidup meramu dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang tersedia melimpah di sekitarnya (food gathering people). Sagu, buah-buahan, ikan, burung, babi hutan, ular dll merupakan sumber makanan mereka. Mereka  hidup dengan berpegang pada nilai-nilai kepercayaan dan budaya dari nenek moyangnya termasuk budaya yang peduli lingkungan. Saat itu tingkat kesehatan masyarakat relatif rendah (diperkirakan usia harapan hidup rata-rata  hanya sekitar 25 tahun). Seluruh masyarakat buta huruf dan terisolir dari dunia luar. Mereka menetap di sebuah kampung dengan rumah panjang dan atau rumah tinggi sekitar 12 meter dari atas tanah untuk menghindarkan serangan musuh dan binatang buas. Biasanya mereka berpindah dengan mengikuti alur-alur sungai dan menggunakan perahu kano sebagai sarana transportasi mereka. Mereka pindah ke tempat lain bila sumberdaya makanan di daerah tersebut sudah menipis datau untuk menghindari sergapan musuh.

Sebagai suku kecil (satu kampung hanya sekitar 200 orang) yang harus mempertahankan keberlangsungannya, mereka  lekat dengan budaya kekerasan dan peperangan. Dalam urusan domestik rumah tangga, perempuan sering menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) karena perempuan seringkali dianggap sebagai budak. Budaya poligami juga banyak terjadi di suku ini. Orang-orang berpengaruh seperti ketua adat atau tokoh mereka yang kuat, rata-rata melakukan poligami. Uniknya para isteri tersebut bisa bekerja sama dan rukun.

Sebagaimana suku tradisional lainnya di Papua, suku Sawi mempunyai temperamen keras. Budaya kekerasan merupakan salah satu cara penyelesaian konflik. Perang antar suku maupun perang antar kampung (walau masih satu suku) sering terjadi untuk memperebutkan sumberdaya ataupun untuk membalas dendam. Mereka berperang menggunakan tombak dan panah tradicional.  Pada saat tersebut suku-suku tradicional masih melakukan kanibalisme dengan memenggal kepala dan memakan daging musuh yang dikalahkannya. Tengkorak kepala musuhnya dikeringkan dan disimpan sebagai bukti kekuatan día (bahkan seringkali dijadikan bantal tidur). Rahang bawah musuh yang dipenggal kepalanya seringkali dijadikan hiasan oleh kaum perempuan.

Salah satu keunikan Suku Sawi adalah mereka memuja pengkhianatan. Orang yang berhasil mengkhianati musuh dengan cara paling licik, akan dianggap paling hebat. Hal itu diceritakan turun temurun dalam pertemuan-pertemuan adat atau keluarga. Mereka seringkali berbuat baik kepada orang/kampung/suku lain misal mengundang mereka dalam pesta adat, memberi hadiah, menawarkan jodoh dll, tapi ujung-ujungnya orang tersebut dibantainya. Ibarat memelihara babi, mereka memberi makan agar babi itu gemuk, dan setelah tiba saatnya, mereka akan menyembelihnya. Hal ini yang seringkali mengakibatkan dendam turun temurun antar kampung/suku.

Upaya untuk membangun perdamaian antar kampung/suku seringkali sudah dilakukan karena sikap saling curiga dan tradisi pengkhianatan tersebut. Salah satu upaya perdamaian adalah saling bertukar anak. Misal kampung A bermusuhan dengan kampung B. Ketika mereka sepakat untuk berdamai, warga kampung A menyerahkan seorang bayi untuk diadopsi oleh warga kampung B. Demikian pula sebaliknya. Ikatan perdamaian tersebut terus berlangsung selama bayi tersebut masih hidup. Namun bila bayi tersebut meninggal, maka ikatan perdamaian tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Bayi yang dipertukarkan ini disebut sebagai „Anak Perdamaian“.

Suku Sawi melakukan kanibalisme terhadap musuh. Namun mereka melakukan pemakaman  bila ada keluarga yang meninggal. Mereka tidak menguburkan jenazah Keluarga yang meninggal dan meletakkan di sebuah panggung sampai jenazahnya hancur. Ada ritual khusus terhadap jenazah seperti mereka bisa memegang2 jenazah yang sedang mengalami proses pembusukan. Praktik yang kurang higienis seperti ini yang mungkin menyebabkan berbagai penyakit muncul selain faktor alam yang lembab yang menyebabkan banyak penyakir paru-paru dan infeksi lain. Tengkorak Keluarga yang meninggal seringkali disimpan sebagai cara mengenang untuk mereka yang sudah meninggal Dunia (jaman itu belum ada teknologi foto).

Saat Don mulai bertugas mendampingi masyarakat Sawi di tahun 1962, masyarakat masih menggunakan peralatan jaman batu seperti kapak batu, tombak dengan cakar burung kasuari, pisau dari tulang kaki burung dan lain-lain. Ketika  Don datang dengan berbagai peralatan besi seperti kapak, pisau, alat cukur, dll, masyarakat takjub. Don menjadikan barang-barang tersebut sebagai alat barter dan menarik perhatian masyarakat. Masyarakat Sawi yang baru melihat orang kulit putih, terheran-heran melihatnya dan teknologi yang dibawanya.

Don memilih tinggal di kampung bersama masyarakat Sawi. Dia belajar bahasa lokal, budaya local, kepercayaan local. Dia bersama istrinya juga melakukan pelayanan kesehatan untuk mengobati orang yang sakit atau terluka. Kemahirannya melakukan pengobatan, juga menjadi kunci sukses mereka dalam membangun kepercayaan dengan masyarakat. Secara perlahan, Don berhasil menanamkan nilai-nilai keagamaan yang penuh cinta kasih dan menjauhkan budaya kekerasan, dengan tetap menghargai nilai-nilai local yang dirasa masih sesuai.  Dia juga berhasil mendamaikan beberapa kampung disekitarnya yang biasa bertikai. Puncaknya día berhasil membangun balai pertemuan bersama yang dijadikan tempat beribadah sekaligus berkhotbah bagi pastor local yang dididik oleh Don. Don dan istrinya bertindak lebih jauh dengan mengajarkan baca tulis untuk masyarakat Sawi. Kegiatan ini makin berkembang setelah Irian Jaya diserahkan oleh Belanda ke Pemerintah Indonesia di tahun 1963 dengan adanya guru local.

 

Komentar:

Seperti ketika membaca buku Jungle Child karya Sabine Kuegler, ketika membaca buku Anak Perdamaian,  saya terpesona dengan para Penginjil (pendakwah) yang penuh dengan semangat altruisme menyebar ke berbagai suku dan pelosok daerah yang terisolir. Spirit moral pantang menyerah, sabar dan kerja keras untuk menyebarluaskan ajaran Tuhan dan menanamkan nilai kebaikan menjadi kunci sukses pertama mereka. Kunci sukses kedua adalah dukungan orang terdekat seperti istri dan anak. Tidak jarang sebagai suami istri, mereka  saling melengkapi dengan ketrampilan praktis bidang kesehatan dan pendidikan.  Selain itu mereka mempunyai kompetensi kunci lain seperti:

  • Ketrampilan untuk mempelajari dan berkomunikasi dengan bahasa local, karena bahasa menjadi kunci untuk menyebarkan ajaran, nilai-nilai, edukasi dan hubungan social.
  • Kompetensi untuk mempelajari budaya, kepercayaan dan nilai-nilai local.
  • Kompetensi untuk beradaptasi dan membangun kepercayaan dengan masyarakat local.
  • Kompetensi melakukan pengobatan di bidang kesehatan karena tingkat kesehatan masyarakat yang rendah.
  • Kompetensi untuk mengajar pendidikan dasar.
  • Kompetensi untuk melakukan mediasi konflik secara transparan dan adil.

Secara umum buku ini relatif mudah dipahami, dengan bumbu cerita kisah local yang menarik. Perjuangan Don, bisa menjadi bahan perenungan kita bahwa masih banyak saudara-saudara kita di daerah terpencil yang belum sepenuhnya bisa menikmati kue pembangunan sampai saat ini. Perjuangan dan kompetensi yang dimiliki Don bisa menjadi perenungan khususnya bagi kawan-kawan pendamping masyarakat, agar bisa menjadi pendamping masyarakat yang profesional dan bersemangat juang tinggi.

 

 

Thursday, October 16, 2025

SOCIOPRENEURSHIP

 

 

SOCIOPRENEURSHIP

         Penulis: Hempri Suyatna dkk

Penerbit Erlangga, Jakarta 2024

86 halaman

Social Entrepreneurship atau biasa diterjemahkan Kewirausahaan Sosial merupakan orang-orang  yang melakukan terobosan serta melakukan hal baru yang ditujukan untuk kesejahteraan publik (inovator sosial). Dua kunci sociopreneurship ini adalah: (1) adanya inovasi sosial yang merubah sistem dalam masyarakat dan (2) hadirnya individu yang memiliki visi, kreatif, berjiwa wirausaha dan beretika.

Ruang lingkup pengembangan Kewirausahaan Sosial ini mencakup banyak dimensi seperti upaya pengentasan kemiskinan, upaya mengatasi degradasi lingkungan, upaya mengatasi pengangguran dan berbagai masalah sosial lainnya. Bentuk kelembagaan Kewirausahaan Sosial sendiri dibedakan menjadi 3 yakni (1) not for profit social enterprise yang berbasis kesularelawanan dan donasi, (2) Community based social entreprise seperti koperasi, (3) profit for benefit enterprise yang mengembangkan bisnis secara profesional guna mendukung tujuan sosial seperti Dompet Dhuafa.

Ada beberapa langkah penting dalam pengembangan Kewirausahaan Sosial yakni: (1) Perlu adanya Visi dan Tujuan yang jelas, (2) Perlu ditumbuhkembangkan sikap mental wirausaha yang pantang menyerah, (3) Mengorganisir dan memobilisasi modal ekonomi, sosial, kultural dan  SDM, (4) Pengembangan kolaborasi atau kerjasama dengan pihak lain yang relevan. Dalam pengembangan Kewirausahaan Sosial ini kemampuan dalam diagnosis masalah dan identifikasi solusi untuk memecahkan masalah menjadi salah satu kunci penting.

Di lihat dari sisi ekonomi, untuk bisa mengembangkan Kewirausahaan Sosial yang menguntungkan, inisiasi sebuah bisnis sosial juga memerlukan studi kelayakan usaha baik dari sisi organisasi/struktur, produk, pemasaran maupun dari kalkulasi finansial. Dalam perancangan bisnis sosial ini, tidak menutup kemungkinan penggunaan tools seperti Business Canvas Model didalamnya (preposisi nilai, segmen pasar, saluran distribusi, hubungan pelanggan, struktur pendapatan, sumberdaya utama, aktivitas utama, mitra kunci, struktur biaya).

Pengalaman dari berbagai pihak menyebutkan implementasi bisnis sosial ini  sering menghadapi tantangan berupa lunturnya nilai-nilai sosial dan pergeseran untuk mencari profit semata. Oleh karenanya upaya monitoring evaluasi untuk mengukur manfaat sosial dari bisnis sosial ini perlu dikembangkan seperti dengan menggunakan instrumen Social Return on Investment (SROI). Untuk menjamin keberlanjutan program Kewirausahaan Sosial, pengembangan inovasi, pengembangan jejaring, pengembangan kelembagaan maupun mentalitas wirausaha perlu terus dipupuk.

Dalam buku ini juga ditampilkan contoh kegiatan Kewirausahaan Sosial seperti Clever Tykes yang menerbitkan buku cerita anak di Inggris, Produk denim Mud Jeans yang ramah lingkungan dari Belanda,  Upaya melawan perdagangan satwa liar di Vietnam, Proyek Dignity bisnis kuliner yang dikelola penyandang difabel di Singapura, Pengembangan kemitraan UMKM di China, Water.org yang menyalurkan Kredit untuk instalasi air bersih di Peru, Helpsy yang bergerak dalam pengelolaan limbah tekstil  di USA, Green Collect yang bergerak dalam daur ulang peralatan kantor dan rumah tangga di Australia, Good Cycles yang bergerak dibidang bisnis sepeda dan pelatihan bengkel sepeda bagi penganggur di Australia. Di Afrika ada contoh Kewirausahaan Sosial berupa pengembangan teknologi digital dalam pembelajaran di sekolah  di Afrika Selatan dan My agro yang menyalurkan kredit murah untuk petani guna mendukung ketahanan pangan di Mali, Tanzania dan Senegal. Dari dalam negeri juga ditampilkan kisah pengembangan ekowisata di Pujon Malang, Kelompok Usaha Bersama di Sleman dan Starla Education yang bergerak di bidang pendidikan.

Buku ini merupakan Seri Kuliah Ringkas (SKR) sehingga gaya bahasa di buku ini relatif mudah dicerna. Dari sisi konten, secara umum buku ini bertujuan untuk mengenalkan konsep Kewirausahaan Sosial sehingga analisisnya tidak terlalu dalam. Meski demikian, menurut saya buku ini sudah  bisa menghantar pembaca untuk memahami konsep Kewirausahaan Sosial. Contoh-contoh Kewirausahaan Sosial yang ditampilkan di buku ini cukup menarik serta mampu memberikan gambaran yang lebih kongkrit tentang  penerapan Kewirausahaan Sosial.

Sunday, October 05, 2025

Si Parasit Lajang

 




Si Parasit Lajang
Penulis Ayu Utami
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia 
Jakarta , 2013
ISBN 978-602-424-124-7
201 halaman

 

Buku ini berisi cercahan pemikiran dan keseharian seorang perempuan muda perkotaan. Di akhir usia duapuluhan , ia memutuskan untuk tidak menikah dan menyebut diri Si Parasit Lajang (istilah yang dilontarkan feminis Jepang). Walaupun dia sudah dewasa dan bekerja, dia tetap tinggal bersama orang tua dan masih merepotkan orangtua untuk mengurus keperluannya. Itu mengapa dia menyebut diri Si Parasit Lajang.

Ia terkesan cuek tapi di sisi lain is mengamati dan memperhatikan keadaan di sekelilingnya.  Tulisannya menunjukkan bahwa dia bisa bersikap kritis sambil tetap berada di lingkungan kehidupan yang kapitalistis. Orang bisa menyukai Barbie, film porno, fashion, mall sambil tetap bisa bilang bahwa semua itu bisa menerkam manusia dan kita harus cerdik-cerdik bergumul dengannya , seperti seorang pawang bermain dengan harimau sirkus. Pesan  dalam buku ini, di zaman ini, larangan tidak memadai lagi untuk bekal manusia berhadapan dengan tantangan. Yang dibutuhkan adalah kecerdikan.

Dua paragraf di atas merupakan kutipan dari epilog-halaman belakang dari buku Si Parasit Lajang. Dari lebih 40 tulisan dalam buku ini, kita memang akan dihadapkan pada sosok Ayu Utami yang kritis namun juga kocak. Sebagai feminis, beberapa tulisannya menggugat tentang dominasi pria seperti tentang alat kontrasepsi yang sebagian besar ditujukan untuk perempuan. Dia juga menggugat perempuan sebagai korban „kekerasan“ terkadang juga dituding menjadi penyebab kekerasan itu sendiri.

Ayu yang Katholik dengan logika kritisnya  juga menggugat nilai-nilai agama. Dia mempertanyakan tentang perlunya keberadaan lembaga perkawinan, perlunya menjaga keperawanan, laranngan nonton blue film, poligami  dan juga tentang perlunya anak keturunan. Saya merasa Ayu seperti agnostik, yang tidak ingin dikekang oleh berbagai aturan agama yang dianggap membelenggu.

Ayu yang mengalami jaman Orde Baru juga mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah saat itu. Kebijakan pemerintah yang militeristik, dan membungkam masyarakat sipil yang kritis, juga todak lepas dari kritik Ayu Utami. Dia juga mengkritisi dominasi kulit putih (negara maju) dengan adanya  stereotype bahwa cantik itu harus putih, body semampai dll. Dominasi kaum kulit putih tadi antara lain masuk melalui pasar yang kapitalistik yang secara cerdik mengeksploitasi nafsu manusia yang tidak pernah puas seperti boneka Barbie. Bahkan dominasi kulit putih ini juga muncul dalam berbagai bidang seni, yang menggambarkan orang kulit hitam dan kulit berwarna adalah primitif dan terbelakang.

Ayu juga kritis dengan lingkungannya. Dia melihat secara nyata bahwa lingkungan pedesaan sudah terpapar budaya kota. Mereka tidak mau kerja di sawah karena takut kulitnya hitam. Proses pendidikan dan serbuan media televisi membuat anak tercerabut dari akar budayanya.

Ayu memang kritis. Mungkin kita akan terkaget-kaget dengan gugatannya terhadap nilai-nilai agama, maupun nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Kita gak perlu emosi, cukup telusuri logika pikirnya saja. Saya sendiri tidak selalu menyetujui cara pikirnya, meski saya menghormati pendapatnya.