Sagu
Papua untuk Dunia
Penulis
Ahmad Arif
Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta 2019
ISBN 978-602-481-199-0
208
halaman
Buku
ini ditulis oleh Ahmad Arif seorang jurnalis harian Kompas yang melakukan
penelusuran terhadap tanaman sagu sebagai potensi sumber karbohidrat di masa
depan.
Sagu
merupakan tanaman yang bisa tumbuh di lahan gambut dan rawa-rawa. Selain di
Indonesia, sagu ini juga ditemukan di beberapa negara Asia Tenggara seperti
Malaysia, Thailand, Filipina dan Papua Nugini. Di Indonesia sendiri tanaman
sagu banyak dijumpai di Tanah Papua dan Maluku seperti yang dituliskan oleh
Alfred Wallace. Meski demikian dari berbagai tulisan dalam ekspedisi Marco Polo,
sagu juga pernah jadi makanan bagi masyarakat di Sumatra. Sedangkan di Jawa terdapat lukisan pohon sagu di
relief candi dan terdapat nama-nama makanan yang berbahan baku sagu. Hal itu
menunjukkan bahwa sebenarnya sagu juga pernah tersebar ke Jawa dan Sumatra
walau mungkin saat ini populasi pohon sagu di daerah Jawa dan Sumatra tinggal
sedikit.
Di
saat terjadi peralihan makanan pokok ke beras di berbagai daerah termasuk Papua,
kebutuhan beras nasional melambung sangat tinggi dan tidak mampu dipenuhi dari
produksi beras domestik sehingga kebijakan impor beras menjadi kejadian yang selalu
berulang hampir setiap tahun. Selain beras, Indonesia juga mempunyai
ketergantungan yang tinggi terhadap impor gandum. Semakin maraknya budaya makan
roti, mie instan dan sejenisnya Selama 30 tahun terakhir impor gandum meningkat
500% atau lima kali lipat. Di tahun 2017/2018 impor gandum Indonesia mencapai
12,5 juta ton. Adanya ketergantungan terhadap beras dan gandum sebagai sumber
karbohidrat ini, berkorelasi dengan munculnya penyakit seperti diabetes karena beras
mempunyai kandungan glikemik tinggi dan mudah dicerna menjadi glukosa dalam
darah.Dari sisi sosial, ketergantungan terhadap beras yang didatangkan dari
luar daerah berpotensi menimbulkan kerawanan pangan ketika supply beras dari luar
terganggu. Selain itu masyarakat yang dulu bisa menghasilkan pangan sagu secara
swasembada, sekarang sering haruis menukarkannya ke beras supaya anak-anaknya
mau makan.
Di
balik kesalahan kebijakan yang mendorong beras-isasi (termasuk bantuan Raskin/Beras
untuk Keluarga miskin), Indonesia sebenarnya menyimpan potensi sumber
karbohidrat yang sangat besar dalam bentuk sagu.
Diperkirakan terdapat 5,5 juta hektar lahan sagu di Indonesia dan 5,2 juta
hektar berada di tanah Papua. Namun pemanfaatan sagu di Papua masih kurang dari 1% dan hanya untuk pemenuhan
kebutuhan local.
Di
level internasional, sagu dengan kandungan gizinya yang bagus (seperti glikemik
rendah, bebas gluten dan memperlancar pencernaan) sebenarnya mempunyai potensi pasar
yang cukup tinggi namun Indonesia belum bisa memanfaatkan dengan optimal. Pada
tahun 2016 Indonesia bisa mengekspor pati sagu 7.700 ton per tahun. Hal ini
sangat kontras dengan Malaysia yang bisa mengekspor 47.000 ton pertahun.
Padahal luas lahan sagu di Malaysia hanya kurang dari 1% lahan sagu milik
Indonesia.
Di
saat dunia dilanda isu perubahan iklim, tanaman sagu sendiri sebenarnya punya
beberapa kelebihan untuk dibudidayakan secara lebih intensif, yakni: (1) mampu beradaptasi
dengan iklim dan musim, (2) bisa dipanen saat musim kemarau maupun musim hujan,
(3) tahan penyakit, tidak memerlukan pupuk kimia dan pestisida kimia, (4)
sistem perakaran mampu menangkap logam berat dan polutan, (5) dapat tumbuh di
rawa payau, (6) dapat menahan abrasi Pantai, (7) produktivitas tinggi Dimana satu
pohon sagu diperkirakan bisa menghasilkan 200-400 kg pati basah, (8) bisa
menyerap karbon, (9) bisa dibudidayakan tanpa harus monokulturisasi (10) bisa
menjadi sumber income bagi masyarakat
Melihat
benefit sosial ekonomi dan ekologi dari pengembangan sagu, maka pada sekitar
2014 muncul bebetrapa inisiatif pengembangan industry sagu seperti di Kabupaten
Meranti – Riau. Di Tanah Papua terdapat tiga Perusahaan yang menjajaki
pengembangan sagu yakni National Sago
Prima (NSP) di Jayapura, Perhutani (konsesi 20.000 hektar) dan PT ANJAP (konsesi
40.000 hektar) di Sorong Selatan. Dari 3 perusahaan tersebut hanya PT ANJAP
yang beroperasi dengan produksi tahun 2018 sekitar 1.894 ton.
Meskipun
prospek industry sagu cukup tinggi namun bisnis sagu tidak selamanya mulus.
Dari perkiraan 7 tahun balik modal, investasi PT ANJAP sebesar 77 juta US$
hingga tahun ke-8 masih merugi. Beberapa tantangan dalam pengembangan industry sagu
ini antara lain: (1) minimnya infrastruktur pengangkutan batang sagu, (2)
terbatasnya supply energi, (3) kondisi sagu alam yang membutuhkan modifikasi
mesin, (4) konflik tenurial dengan Masyarakat adat sehingga perlu biaya
tambahan.
Sdr
Ahmad Arif sebagai penulis menyebutkan bahwa pengelolaan industry sagu alam oleh
PT ANJAP memang masih menyisakan banyak kritik seperti perlindungan hak Masyarakat
adat, dampak pergeseran budaya masyarakat yang semakin tergantung produk luar,
dampak perubahan pola konsumsi masyarakat local dan gizi buruk. Meski demikian
PT ANJAP telah berhasil menciptakan lapangan kerja untuk Sebagian Masyarakat,
dan berhasil memanfaatkan tanaman sagu secara lebih produktif. Sehingga
inisiatif industry sagu seperti PT ANJAP bisa dikembangkan dan terus
disempurnakan sebagai alternatif untuk peningkatan kesejahteraan Masyarakat di
Tanah Papua.
Bagi
saya pribadi selaku pembaca, selain isu perlindungan masyarakat adat dari sisi
tenurial dan budaya, isu lain yang perlu dipecahkan adalah strategi untuk
menjaga kelestarian ekologis dan ekonomi dari ekstraksi industry sagu ini. Berapa potensi tegakan sagu yang ada?
Berapa kecepatan tumbuhnya? Berapa jatah tebangan maksimum supaya tidak over
eksploitasi? Kasus penggunaan teknologi pembalakan kayu dari alat konvensional
menjadi mesin alat berat di era HPH tahun 1970-1990-an yang mengakibatkan
deforestasi dan degradasi hutan secara masif, hendaknya menjadi yang pembelajaran
agar pemanfaatan sagu perlu berhati-hati agar tidak menimbulkan kehancuran
hutan sagu yang pada akhirnya akan menghancurkan kehidupan dan budaya masyarakat
asli Papua.
Secara
garis besar, beberapa temuan kritis yang ditulis di buku ini senada dengan tulisan
tentang kasus Perusahaan sagu PT ANJ yang dimuat dalam Jurnal Wacana edisi tahun 2020.