Oleh: Selo Soemardjan
Komunitas Bambu,
Jakarta 2009
ISBN: 979-3731-41-9
508 halaman
Buku ini merupakan sebuah penelitian tentang perubahan social di Yogyakarta pada akhir jaman kolonialisme Belanda, jaman pendudukan Jepang, revolusi kemerdekaan dan paska kemerdekaan sampai dengan tahun 1958. Perubahan ideology kenegaraan dari system kerajaan ke kolonialisme Belanda dilanjutkan ke kolonialisme Jepang dan ke era revolusi kemerdekaan serta paska merdeka telah membawa dampak perubahan bagi berbagai bidang kehidupan masyarakat seperti di bidang system pemerintahan, tumbuh berkembangnya partai politik, pertanian rakyat, tumbuhnya perusahaan asing, pendidikan masyarakat dan lain-lain.
Dari penelitian di Yogyakarta ini, beliau merumuskan dalil umum perubahan social sebagai berikut:
1. Kalau ada rangsangan yang cukup kuat untuk mengatasi hambatan-hambatan yang menghalangi tahap permulaan proses perubahan, maka hasrat akan perubahan social bisa menjadi tindakan untuk mengubah.
2. Orang-orang yang mengalami tekanan kuat dari luar cenderung untuk mengalihkan agresi balasan mereka dari sumber tekanan yang sebenarnya ke sasaran-sasaran materiil yang ada sangkut pautnya dengan sumber itu.
3. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan dari luar cenderung untuk bekerjasama dengan kekuatan dari luar, tetapi hanya untuk mempertahankan ketentraman jiwa mereka.
4. Orang-orang yang tertekan cenderung untuk menjadi lebih agresif. Hal ini disebabkan mereka menjadi semakin menyadari adanya kesenjangan antara keadaan hidup sekarang dengan keadaan yang diinginkan
5. Proses perubahan social di kalangan pelopor perubahan bermula dari pemikiran ke sesuatu di luar (ide ke aksi) sedangkan di kalangan warga masyarakat perubahan bermula dari fakta realitas eksternal kemudian menyesuaikan diri (fakta ke adaptasi internal).
6. Harta kekayaan yang diinginkan, tetapi tidak bisa lagi diperoleh karena jalan itu tertutup oleh kekuatan luar sehingga telah kehilangan nilai sosialnya oleh rasionalisasi. Dalam hal ekstrim harta kekayaan itu tidak dihargai.
7. Rakyat menolak perubahan karena beberapa alas an; (a) mereka tidak memahaminya, (b) perubahan itu bertentangan dengan nilai serta norma yang ada; (c) para anggota masyarakat yang berkepentingan/vested interest dengan keadaan yang ada, cukup kuat menolak perubahan itu, (d) resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar daripada jaminan social dan ekonomi yang bisa diusahakan, (e) pelopor perubahan ditolak.
8. Perubahan yang tidak merata pada berbagai sector kebudayaan masyarakat cenderung menimbulkan ketegangan-ketegangan dan mengganggu keseimbangan social.
9. Dalam proses perubahan social, kebiasaan-kebiasaan lama dipertahankan dan diterapkan pada inovasi sehingga tiba saatnya kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih menguntungkjan menggantikan hal yang lama.
10. Kalau rakyat terus menerus tidak diberi kesempatan untuk memuaskan kebutuhan sosialnya, mereka cenderung beralih merenungkan hal bukan keduniawian untuk mendapatkan ketenteraman jiwa. Dalam hal sebaliknya, mereka cenderung untuk menjadi lebih sekuler dalam system kepercayaannya.
11. Suatu perubahan social yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pelopor yang berlawanan dengan vested interest cenderung untuk berhasil.
12. Perubahan yang dimulai dengan pertukaran pikiran secara bebas diantara warga masyarakat yang terlibat, cenderung mencapai sukses yang lebih lama daripada perubahan yang dipaksakan dengan dekrit pada mereka.
13. Perubahan dari system kelas tertutup ke kelas terbuka akan disertai dengan perubahan dari system komunikasi vertical satu arah ke system komunikasi vertical dua arah.
14. Perubahan dari system kelas tertutup ke kelas terbuka cenderung untuk mengalihkan orientasi rakyat dari tradisi, maka mereka menjadi lebih mudah menerima perubahan lainnya.
15. Semakin lama dan semakin berat penderitaan yang telah dialami rakyat karena berbagai ketegangan psikologis dan frustasi maka semakin tersebar luas dan cepat kecenderungan perubahan yang akan menuju pada kelegaan.
Dalam buku ini, secara tidak langsung beliau menggaris bawahi pentingnya peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pelopor perubahan di Yogyakarta. Beberapa kepeloporan Sri Sultan HB IX antara lain:
• Di bidang kenegaraan, beliau sebagai raja berdaulat dengan legowo menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia.
• Di bidang pemerintahan, beliau mendorong aktif kehidupan berdemokrasi di Yogyakarta melalui pengembangan lembaga perwakilan/DPRD padahal situasi politik dan cultural saat itu sangat memungkinkan Sri Sultan untuk bersikap otoriter.
• Di bidang ekonomi, beliau mendorong adanya ekonomi kerakyatan melalui pengembangan koperasi rakyat. Selain itu beliau berusaha mendorong pengembangan BUMN untuk menggantikan perusahaan asing di Indonesia.
• Di bidang pendidikan, Sri Sultan secara aktif berusaha mendirikan Perguruan Tinggi di Yogyakarta bahkan merelakan sebagian istananya sebagai ruang belajar mengajar.
Walaupun tidak semua gagasan beliau bisa berjalan lancer namun hal itu tidak mengurangi pandangan public terhadap Sri Sultan sebagai negarawanan yang visioner dan bijak. Kondisi kebatinan masyarakat Yogyakarta saat itu, dimana rakyat masih sangat menghormati Raja, digunakan oleh Sri Sultan untuk menuntun proses perubahan social di Yogyakarta dengan penuh kedamaian dan tidak banyak gejolak.
Secara umum buku ini sangat bagus. Dari sisi isi, buku ini cukup komprehensif karena mengupas berbagai aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, pemerintahan, politik dll) secara cukup mendalam. Kemampuan analisis komprehensif ini mengindikasikan tingkat kepakaran yang sulit dicari tandingnya. Dari sisi bahasa, bahasa yang dipakai di buku ini sangat runtut dan sederhana sehingga mudah dipahami. Salah satu kelebihan utama dalam penulisan buku ini adalah kemampuan Prof. Selo Soemardjan untuk menulis dengan gaya bertutur (story telling). Membaca buku ini seperti membaca cerita sejarah yang mengalir lembut dan menghanyutkan…….
No comments:
Post a Comment