Buku 2 dari trilogy Untuk Negeriku (sebuah Otobiografi)
Oleh Mohammad Hatta
Penerbit Buku Kompas,
Jakarta 2011
ISBN 978-979-709-540-6
192 halaman
Buku ini merupakan buku ke-2 dari trilogy “Untuk Negeriku”
yang merupakan otobiografi salah seorang tokoh proklamator kita yakni Bung
Hatta.
Dalam buku ini diceritakan Bung Hatta berhasil menyelesaikan
pendidikan sarjana ekonomi pada tahun 1932. Aktivitas organisasi dan politiknya
membuat proses studynya memakan waktu selama 11 tahun. Namun karena aktivitas
politiknya yang luas dan kerajinan membaca buku, membuat proses ujiannya terasa
mudah karena para professor pengujinya meyakini kemampuan Bung Hatta dalam penguasaan
teori dan analisa.
Sekembalinya ke tanah air, Hatta dihadapkan pada kondisi
bubarnya Partai Nasional Indonesia dan ditangkapnya Soekarno oleh Belanda. Bung
Hatta kemudian mulai aktif dalam Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru) yang
dia rintis bersama Sjahrir. PNI Baru ini merupakan partai yang bersikap non
cooperative terhadap Belanda, dan menekankan pada pendidikan para kader (partai
kader). PNI Baru ini relative selektif memilih anggota kader dan berusaha
mendidik anggotanya dengan wawasan kebangsaan maupun pendidikan politik. Selain
melalui kursus-kursus pendidikan politik, PNI Baru juga menerbitkan majalah
Daulat Rakyat yang menjadi media pendidikan bagi anggotanya. Melalui majalah
ini Bung Hatta, Sjahrir dan anggota lainnya membuat tulisan dan berusaha
menyebarluaskan gagasan kebangsaan bagi anggotanya.
Aktivitas Bung Hatta di PNI Baru ini membuat Bung Hatta
kenal dengan Soekarno dan sempat terlibat polemic dengannya soal pendekatan non
cooperative. Soekarno menuduh Hatta
tidak konsisten dengan pendekatan non cooperative, namun Hatta mampu membantah
secara elegan. Bagi saya perdebatan tersebut, cukup menarik karena mereka bisa
saling menguji konsep/teori, dan perdebatan yang dimuat di media tersebut
menjadi pendidikan politik bagi public.
Selama aktif di PNI Baru, Bung Hatta semakin berkilau. Saat
melakukan kunjungan dagang bersama pamannya ke Jepang, Bung Hatta sering
disebut pihak Jepang sebagai Gandhi from Java, karena pendekatan non
cooperative dan anti kekerasan. Jepang yang sudah mengincar Asia, sebenarnya
mulai melakukan pendekatan ke Bung Hatta. Namun
Bung Hatta bersikap menghindar karena beliau konsisten
untuk memerdekakan Indonesia, terlepas dari penjajahan siapapun.
Tulisan Bung Hatta yang tajam di majalah Daulat Rakyat membuat
Belanda was-was. Muncul berbagai upaya untuk menghambat aktivitas Bung Hatta,
dan pada puncaknya tahun 1934 Bung Hatta, Sjahrir dan beberapa aktivis PNI Baru
ditangkap untuk kemudian dibuang ke Boven Digul –Papua (tahun 1935), kemudian
dipindahkan ke Bandaneira.
Suatu hal yang membuat saya takjub adalah spirit intelektualitas
Bung Hatta yang luar biasa. Beliau rajin membaca buku, rajin menulis artikel
untuk mengkomunikasikan pemikiran-pemikiran beliau dan beliau rajin melakukan aktivitas
mendidik/mengajari orang. Beliau melakukan hal itu tatkala aktif di organisasi
maupun ketika berada di tempat pembuangan yang terpencil…. Nampaknya tidak ada
sesuatu yang bisa menghentikan semangat Bung Hatta untuk belajar dan menulis. Spirit
untuk menerangi kegelapan nampaknya sudah mendarah daging dalam setiap denyut
dan tarikan nafas beliau……